Selasa, 30 April 2019

Sekilas Sejarah Kyai Abdul Jalal (Panembahan Kaliyoso)

Silsilah Simbah KH.Abdul Djalal Awal dari jalur Ayah

Kyai Abdul Jalal awal iku Bin Kyai Niti Menggolo ( Kyai Kerti Manggolo I ) penewu Gedong ing Kraton Jogjakarta (Sumare wonten ing Kebun Karet, Caket Batu Raden, Purwokerto) Bin Kyai Honggo Wongso bin Kyai Ageng Derpuyudho (Kyai Ageng Gegulu) bin Kyai Khotib Kertonegoro, Bupati ing Grobogan, dene sumare ono ing Mondokan, Lawean, Solo, bin Kanjeng Pangeran Mandurorejo, sumare ing Kaliwungu asal Patih Sultan Ageng Mataram bin Kanjeng Pangeran Manduro Negoro Patih Sinuwun Sedo Krayak, Mataram, ing Ngambiran, Jogja bin Pangeran Juru Martani Patih Kanjeng Panembahan Senopati Mataram (Sumare Makam Raja Wonten Kota Gedhe, Jogja) bin Pangeran Su’aib ing Mondo Pandanann iyo Kyai Ageng Sobo bin Kanjeng Sunan Giri Tsani, Gajah Kedaton Gresik bin Kanjeng Sunan Giri Awal 'Anul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Syaikh Jumadil Qubro.

Silsilah Simbah KH.Abdul Djalal dari jalur Lainnya

Kyai Abdul Jalal awal bin Kyai Niti Menggolo bin Kyai Honggo Wongso bin Kyai Ageng Gulu Derpoyudho bin Kyai Khotib (Kertonegoro) bin Kanjeng Ratu Mas Sekarang Pati Binti Kanjeng Panembahan Hanyokrowati Sinuwun Sedo Krayak Mataram  bin Kanjeng Panembahan Senopati Ingalogo Mataram bin Kyai Ageng Mataram iyo Kyai Ageng Pamanahan bin Kyai Ageng Nis bin Kyai Ageng Selo (iyo Kyai Abdurrohman) Kertoboyo bin Kyai Ageng Abdullah Getas Pendowo ing Selo bin Kyai Ageng Bondan Kejawan ing Tarub iyo Kyai Ageng Lembu Peteng kaping kalih bin Prabu Browijoyo pamungkas kaping limo.

Sekelumit Sejarah Kaliyoso Joogopaten dan Kyai Abdul Djalal

Kira-kira 200 tahun silam (1790 M) Desa Kaliyoso yang terletak kurang lebih 12 Km sebelah utara kota Solo itu bernama ALAS JOGOPATEN.

Bahwa sejarah Kaliyoso itu dimulai dari seorang Kyai Abdul Djalal ke I yang pada waktu kecilnya bernama Kyai Bagus Turmudi, beliau orang pertama yang berdiam di Alas Jogopaten yang sekarang dikenal dengan nama Kaliyoso.
Kyai Abdul Djalal I sejak kecil ikut kakeknya yang juga bernama Kyai Abdul Djalal bertempat tinggal di Getak Pedan, Klaten (Kakeknya juga dimakamkan di Getak Pedan juga)

Setelah umurnya meningkat dewasa, Kyai Abdul Djalal I pergi dari rumah kakeknya di Getak Pedan, mencari ilmu agama Islam ke Pondok Pesantren di Surabaya, seterusnya menambah ilmunya ke Semarang dan akhirnya ke Pondok Pesantren di Mojo Baderan yang terletak disebelah barat Tegalgondo dimana Kyai Mojo seorang penasehat Pangeran Diponegoro dahulu bertempat tinggal disitu pula. Di Pondok Pesantren Mojo Baderan, Kyai Abdul Djalal I kemudian diambil mantu oleh gurunya sendiri (Kyai Jamal Korib)

Pada suatu ketika Kyai Abdul Djalal I diperintah oleh gurunya yang juga mertuanya untuk perlu menyebar luaskan ilmunya ke suatu tempat di sebelah utara Surakarta dengan disertai beberapa orang temannya diantaranya bernama Kyai Abdullah asal dari Jawa Timur.

Perjalanan rombongan Kyai Abdul Djalal I dimulai dari Mojo Baderan, melalui Surakarta terus menuju ke arah timur menyusuri Kali Cemoro sebelah Timur. Akhirnya mereka sampai di suatu tempat bernama “Watu Soye” atau menurut sumber lain dikatakan “Watu Suci”. Hingga sekarang dinamakan “Watu Soye” itu masih dapat disaksikan terletak ditengah-tengah Kali Cemoro. Konon katanya diatas batu inilah Kyai Abdul Jalal I sering melakukan sholat dan bermunajat kepada Allah SWT.

Setelah beberapa waktu lamanya Kyai Abdul Djalal I beserta rombongan berdiam di “Watu Soye” maka pada suatu saat, ketika Kyai Abdul Djalal I sedang bermunajat kepada Allah SWT, beluai mendapat ilham agar melanjutkan perjalanannya ke suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama “Grasak” terletak di sebelah selatan Masjid Kaliyoso sekarang. Disinilah akhirnya Kyai Abdul Djalal I dalam keprihatinannya mendapat ilham pula dari Allah bahwa disitulah tempat sebenarnya yang dituju.

Membuka Hutan

Ditempat benama “Grasak” ini Kyai Abdul Djalal I memulai persiapan untuk membuka hutan Jogopaten yang masih lebat itu.

Kyai Abdul Djalal I mulai melakukan rialat dan sholat, puasa dan amalan-amalan lainya dengan harapan agar pekerjaan membuka hutan Jogopaten dapat dilakukan dengan mudah dan selamat atas pertolongan Allah. Karenan konon katanya didalam hutan Jogopaten inilah tempat pusatnya para Jin serta mkluk makluk halus lainya, sehingga nama “Jogopaten” itu menurut orang yang mempunyai cerita, berasal dari kata “Jogo pati” atau berjaga-jaga untuk bersedia mati bila berani memasuki hutan tersebut.

Setelah mengalami beberapa peristiwa dan godaan-godaan yang tidak ringan maka Kyai Abdul Djalal I bersama pengikutnya berhasil juga menerobot ke dalam hutan dan membersihkannya. Disinilah Kyai Abdul Djalal I yang pertama kalinya mendirikan rumah, disusul dengan mendirikan surau (langgar) yang selanjutnya menjadi Masjid.

Kemudian tempat itu lambat laun menjadi suatu tempat yang ramai dikunjungi orang-orang sekitar yang ingin mencari ilmu. Di samping itu beberapa orang keluarga Kyai Abdul Djalal I sendiri dan juga keluarga pengikutnya menyusul pula pindah ke tempat yang baru itu.

Asal Mula Nama “Kaliyoso”

Pada sekitar tahun 1788 M, Paku Buwono IV (PB IV) yang dikenal dengan sebutan Sinuwun Bagus yang sementara waktu menduduki Tahta Kerajaan Surakarta. Pada waktu itu Permaisuri PB IV sedang mangandung dan mengudam ingin merasakan daging binatang kijang.
Untuk menuruti keinginan permaisuri kemudian PB IV dengan diikuti beberapa orang pejabat kraton pergi berburu ke Hutan Kerdowahono yang terletak disebelah selatan Jogopaten. Namun disinilah kemudian timbulah peristiwa yang sangat aneh yaitu PB IV dalam berburu tiba-tiba hilang tanpa bekas, sehingga para pengikutnya gusar semua.
Berhari-hari mereka mencari PB IV ke segenap penjuru daerah itu namun sia-sia belaka. PB IV tetap tidak berhasil ditemukan, sehingga pada suatu hari ada seorang penduduk disitu memberi petunjuk bahwa ditempat utara sungai ada berdiam seorang Kyai yang mungkin dapat meminta pertolongannya untuk menemukan PB IV yang hilang itu.

Syahdan setelah Kyai yang dimaksud itu berhasil ditemui oleh Pejabat Kraton, akhirnya Kyai yang tadi tidak lain adalah Kyai Abdul Jalal I pun menyanggupi untuk membantunya, tetapi bukan beliau sendiri yang akan mencari sang PB IV. 
Tetapi tugas yang berat itu dipercayakan kepada kepnakannya yang laki-laki (Anak dari Kakak Perempuan Kyai Abdul Djalal I) bernama Bagus Murtojo (Murtolo atau Murtodho) untuk menemukan tempat dimana PB IV berada.

Benar juga Bagus Murtojo dalam waktu singkat sudah berhasil menemukan tempat PB IV yang selanjutnya dapat meninggalkan tempat yang sangat angker itu dan pulang ke Kraton Surakarta.
Pada suatu ketika PB IV menemui Kyai Abdul Djalal I ditempat berdiamnya untuk menyampaikan rasa terima kasihnya atas bantuan ang pernah dilakukan dalam usahanya menemukan kembali dirinya (PB IV). Pada saat itulah PB IV dihadapan Kyai Abdul Djalal I terlontar kata-katanya “tempat yang sekarang saya namakan “Kaliyoso”

Demikian asal mula nama “Kaliyoso”. Sedang apa maksud dan arti dari kata “Kaliyoso” yang diucapkan PB IV itu hingga kini belum diketahui secara pasti.

Disamping memberikan nama Kaliyoso PB IV kepada Kyai Abdul Djalal I juga menyatakan memberikan “Tanah Perdikan” secukupnya untuk mengembangkan pelajaran agama Islam.
Selanjutnya Tanah Perdikan Kaliyoso Jogopaten. Juga PB IV berkenan pula memberikan kenang-kenangan berupa sebuahmimbar dan pintu masjid serta benda-benda pusaka kraton berupa tombak dan keris, salah satu diantaranya ialah tombak benama “Kyai Ronda” yang sampai saat ini pula benda-benda tersebut masih dapat disaksikan berada di Masjid Kaliyoso.


Adapun Bagus Murtojo sendiri oleh PB IV kemudian diambil atau diakui sebagai Saudara angkat PB IV. 

Makna Pasaran Dalam Filsafat Jawa

Pasaran berasal dari kata dasar “pasar”, mendapat akhiran –an. Pasaran adalah sirklus mingguan yang berjumlah 5 hari. Yaitu Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon. Disebut pasaran karena sistem ini lazim dipakai untuk membagi hari buka pasar (tempat jual beli) yang berada di 5 titik tempat.

Pada jaman dahulu salah satu sistem pemerataan perekonomian rakyat diatur dengan pembagian tempat jual beli (pasar). Yang berjumlah 5 titik tempat mengikuti arah mata angin (Timur, Selatan, Barat, Utara dan Tengah). Pasar Legi berada di Timur, Pasar Pahing berada di Selatan, Pasar Pon di Barat, Pasar Wage di Utara dan Pasar Kliwon berada di pusat / tengah kota. Pasar ini buka secara bergantian, mengikuti sirklus pasaran (pancawara) tersebut.

Sedangkan dalam masyarakat Melayu Islam, tempat jual beli (pasar) disebut pekan. Dan hari pasar memakai sirklus mingguan yang berjumlah 7 hari (Senin, Selasa dst). Misalnya ada Pasar Minggu, Pasar Senen dan seterusnya. Oleh sebab itu seminggu (7 hari) dalam  bahasa Melayu disebut juga sepekan (pekan=pasar).

Dengan demikian tidaklah aneh bila penamaan hari dan pasaran seperti Senin Kliwon, Selasa Legi dan seterusnya itu hanya dikenal di Jawa saja.

Menurut kepercayaan Jawa, hitungan Pasaran yang berjumlah lima itu sejalan dengan ajaran “Sedulur papat, kalima pancer”. Empat saudara, kelimanya pusat. Ajaran ini mengandung pengertian bahwa setiap diri manusia mempunyai empat saudara. Disebut saudara sebab keberadaannya ada sejak manusia masih dalam kandungan ibu. Pancer adalah diri kita (ke-aku-an atau Ego). Juga berkaitan dengan 4 unsur anasir pembentuk raga atau jasad yaitu tanah, air, api dan udara.

Hubungan pasaran, empat unsur dan Sedulur 4 itu adalah sebagai berikut :

Pasaran Legi bertempat di Timur, Anasir (elemen) Udara, memancarkan sinar (aura) putih.
Pasaran Paing bertempat di Selatan, anasir Api, memancarkan sinar merah.
Pasaran Pon bertempat di Barat, anasir Air, memancarkan sinar kuning.
Pasaran Wage bertempat di Utara, anasir Tanah, memancarkan sinar hitam.
Pasaran Kliwon tempatnya di pusat atau di tengah, anasir Eter, memancarkan sinar manca warna.

NEPTU

Neptu adalah nilai angka yang disematkan pada tiap-tiap hari dan pasaran. Neptu singkatan (jarwo dhosok) dari “geneping wetu” (penggenap keluarnya sebuah uraian), karena neptu memang digunakan untuk mewakili suatu hal dalam sebuah perhitungan (petungan).

Neptu Hari

Minggu neptu 5
Senin neptu 4
Selasa neptu 3
Rabu neptu 7
Kamis neptu 8
Jumat neptu 6
Sabtu neptu 9

Jumlah NEPTU HARI = 42

Bila diperhatikan dari urutan angka Neptu maka akan didapat bahwa hari JUMAT berada pada posisi tengah (PANCER). Sedangkan dalam sirklus Pasaran, KLIWON adalah PANCER.

Neptu Pasaran

Kliwon neptu 8
Legi neptu 5
Pahing neptu 9
Pon neptu 7
Wage neptu 4

Jumlah NEPTU PASARAN = 33

Jika neptu hari dan pasaran dijumlahkan : 42 +33 = 75.

Angka 75 ini bila dipecah :

7 = merupakan jumlah hari yang ada (7 hari)
5 = jadi jumlah pasaran 5.

Sedangkan bila kedua angka tersebut dijumlahkan maka akan ketemu jumlah bulan. 7 + 5 = 12 menjadi jumlah bulan dalam 1 tahun.

Penggabungan sirklus Hari dan Pasaran ini akan membentuk sirklus hari yang totalnya jumlahnya 35 hari. Para sesepuh Jawa banyak menggunakan neptu ini untuk berbagai macam perhitungan (petungan) nasib dan karakter.

Karakteristik HARI dan PASARAN

Menurut para sesepuh dan pinisepuh Jawa, setiap Hari dan Pasaran memiliki karakteristik tersendiri yang dipercayai berpengaruh kepada baik dan buruknya segala hal yang akan dikerjakan saat hari dan pasaran itu.

Arti Watak Hari dan Pasaran :

Lakune geni gedhe : watak baik, menggambarkan sumber kekuatan
Sri Kombang : watak baik, menggambarkan kemasyuran
Sri Agung : watak baik, menggambarkan kemuliaan
Gigis Wunu : watak kurang baik, menggambarkan kerugian
Pathol : watak buruk, menggambarkan penyakit
Peso : watak buruk, menggambarkan bahaya

Para sesepuh dan pinisepuh ilmu kasepuhan Jawa juga memakai karakteristik Hari dan Pasaran ini guna menentukan hari untuk mengawali suatu ritual ilmu ghaib. Bila kita mencermati hari ritual ilmu Aji kesaktian Jawa (Aji Panglimunan, Aji Brajamusti dll) akan didapati hampir semua ritual diawali pada hari yang berkarakter baik atau memakai dasar hitungan neptu. Ya, para sesepuh memang tidak sembarangan dalam memberikan tuntunan ilmu.

Jika dilihat dari tabel diatas, JUMAT LEGI adalah saat yang terbaik, karena menggambarkan sumber kekuatan (lakune geni gedhe). Itulah sebabnya masyarakat Jawa Timur, lebih memuliakan Jumat LEGI untuk keperluan mencari kesaktian. Salah satu contohnya pengijazahan Hizib Maghrobi. Dan memang Hizib ini lebih banyak berkembang di Jawa Timur.

Nah, sekarang anda mengerti alasan mengapa Hizib Maghrobi diijazahkan pada malam Jumat Legi. Jelas sekali Hizib Maghrobi adalah amalan ilmu hikmah yang berasal dari wilayah pesantren di Jawa Timur. Inilah gunanya memurnikan ajaran para Mahaguru. Agar kita dan beserta anak cucu kelak tetap bisa menelusuri asal-usul dan berbagai hal yang berkaitan dengan ilmu hikmah yang bersangkutan.

Lalu mengapa orang Jawa Tengah & Yogyakarta lebih memuliakan JUMAT KLIWON untuk mencari daya linuwih / kesaktian?

Selain hari Jumat Kliwon memiliki karakteristik baik, menggambarkan Kemasyuran (Sri Kombang). Hari Jumat sesuai angka neptu berada di Tengah (pancer). Sedangkan Pasaran letak Kliwon juga berada di tengah (pancer). Maka Jumat Kliwon adalah lambang dari diri pribadi sebagai Pancer. Sesungguhnya daya linuwih sejati memang bias dari pengenalan diri pribadi. Ingsun Sejati, Sedulur Sejati, Guru Sejati dan Sukma Sejati semuanya ada dalam diri manusia.

Begitu pula dengan hari Selasa Kliwon atau hari Anggara Kasih (Jawa Kuno) memiliki karakteristik yang baik, Sri Rahayu, melambangkan kemuliaan. Namun biasanya ritual pada hari-hari tersebut tidak dijalani dalam sehari saja, tetapi selama beberapa hari. Dengan memakai hitungan Neptu yang memiliki makna keutamaan (daya lebih).

Hari 3 NEPTU 40

Sebagaimana telah diuraiakan di atas, bahwa Hari dan Pasaran memiliki nilai angka yang disebut Neptu. Dalam khasanah ilmu kesaktian Jawa banyak amalan ritual ilmu yang mempergunakan puasa selama 40 hari. Dan bila ritual ini dirasa berat atau bersifat mendesak, misalnya keburu untuk segera digunakan. Maka para sesepuh Jawa memakai hitungan NEPTU hari dan Pasaran yang bila dijumlahkan hasilnya 40. Maka didapatlah 3 hari berturut-turut yang nilainya setara dengan 40 hari. Yaitu :

Selasa Kliwon + Rabu Legi + Kamis Pahing.
Rabu Pon + Kamis Wage + Jumat Kliwon.
Kamis Wage + Jumat Kliwon + Sabtu Legi.
Jumat Pahing + Sabtu Pon + Minggu Wage.
Sabtu Kliwon + Minggu Legi + Senin Pahing.

Untuk lebih jelasnya perhatikan keterangan sebagai berikut :

Jumlah Neptu Selasa (3) + Kliwon (8) = 11
Jumlah Neptu Rabu (7) + Legi (5) = 12
Jumlah Neptu Kamis (8) + Pahing (9) = 17
Jika NEPTU 3 hari berturut-turut tersebut dijumlahkan: 11 + 12 + 17 = 40

Jadi menurut para pinisepuh apabila ada amalan ilmu yang memakai ritual puasa 40 hari, dapat diringkas dengan cukup dijalankan 3 hari berturut-turut saja. Dengan syarat 3 hari tersebut memiliki jumlah Neptu 40.

Harapan Seorang Insan Yang Lemah

Kutatap awan hitam tutupi cahaya bintang malam hari.
Hati resah dan hendak kemana dibawa lari.
Perjalanan usia membuat banyak yang disadari.
Bahwa semua taqdir dari-Nya Sang Maha Pemberi.

Tak tahu kemana perih akan dibawa.
Mungkin sebentar lagi jasad akan berpisah jiwa.
Akan disimpan rapi semua hikmah dibalik peristiwa.
Dan perihpun akan disembunyikan dibalik tawa.

Bila kematian lebih dahulu mendatangiku.
Dan jasad rapuh ini kelak telah terbaring kaku.
Ingatlah pesan-pesan kehidupan yang pernah lahir dari mulutku.
Karena ia lahir dari ketulusan dan kasih sayangku.

Tak tahu, apa lagi yang harus dilakukan.
Bila terlalu mudah ikatan yang kuat diputuskan.
Terasa sangat sedih manakala diri dicampakkan.
Dan beratnya diri menahan duka dalam tangisan.

Ada hikmah yang disampaikan oleh manusia bijak.
Rindu manusia pada keharuman bunga setelah ia tercampak.
Rindu hati akan datang setelah ikatan retak.
Yang takkan kembali seperti perginya awan berarak.

Mengapa manusia harapkan kesempurnaan.
Dibalik harum mawar ada duri yang membahayakan.
Dibalik indahnya kobra ada bisa yang menyakitkan.
Sungguh dibalik bahagia yang didapat pasti ada kekurangan.

Biarlah duka tersimpan dalam jiwa yang terasing.
Sendiri bagai pasir di tengah gurun nan kering.
Bak batu karang yang hanyut setelah runtuhnya tebing.
Dan hilang dengan datangnya kematian yang beriring.

Tak tahu, kemana diri harus melangkah.
Setiap saat dan tempat mengalir hati yang duka.
Torehkan perih siraman garam di atas luka.
Dan kelak sampai maut datang berakhir sudah.

Betapapun aku melukiskan keagungan'Mu Ya Allah,
bersama huruf terangkai menjadi kata atau kalimat,
tak jua mampu meliputi rasa rinduku pada'Mu
keindahan yang Engkau tawarkan kepadaku
tak mampu kuukir dengan keindahan kata sebagai rasa syukurku

Ya Rabb....
betapa kerinduanku telah membuat setiap desah nafasku terperanggah oleh keindahan yang kau tawarkan lewat kisi kalbuku
semua keindahan itu menjadikan aku
tuk selalu bersyukur atas nikmat'Mu

Selasa, 23 April 2019

Janganlah Melaknat Dan Mendoakan Keburukan

Hendaknya kita berhati-hati dalam masalah laknat. Bahkan kepada orang kafir sekalipun. Orang kafir yang masih hidup tidak boleh ditujukan laknat kepadanya secara personal. Hukumnya haram melaknat orang kafir secara personal yang masih hidup. Karena boleh jadi Allah merahmati dia, sehingga dia mendapatkan hidayah untuk masuk Islam.

Dalilnya adalah ketika Nabi shallallahu ’alaihi wasallam mendoakan laknat untuk Abu Jahl, begitu juga orang-orang musyrik Quraisy lainnya, Allah ta’ala menegur beliau melalui firmanNya:

لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ

“Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim” (QS. Ali imran:128).

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ

“Seorang mukmin bukanlah orang yang banyak mencela, bukan orang yang banyak melaknat, bukan pula orang yang keji (buruk akhlaqnya), dan bukan orang yang jorok omongannya” (HR. Tirmidzi, no. 1977; Ahmad, no. 3839 dan lain-lain)

Bila melaknat secara personal orang kafir saja terlarang, maka melaknat seorang muslim tentu lebih terlarang lagi. Sungguh mengherankan bila seorang muslim begitu mudah mengucapan laknat kepada saudaranya. Padahal perkara laknat ini adalah perkara yang besar.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Siapa yang melaknat seorang Mukmin maka ia seperti membunuhnya ” (HR. Bukhari dalam Shahihnya 10/464).

Beliau juga bersabda: “Orang yang banyak melaknat tidak akan diberi syafaat dan syahadatnya tidak akan diterima pada Hari Kiamat” (HR. Muslim dalam Shahihnya no. 2598 dari Abi Darda radhiallahu ‘anhu)

So… jadilah insan muslim yang santun dan lembut tutur katanya. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah nabi yang penuh dengan kasih sayang. Beliau pernah bersabda,

إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً

“Sesunguhnya aku tidak diutus sebagai tukang melaknat, sesungguhnya aku diutus hanya sebagai rahmat.”

Definisi laknat secara bahasa adalah:

الإِبْعادُ والطَّرْد من الخير وقيل الطَّرْد والإِبعادُ من الله ومن الخَلْق السَّبُّ والدُّعاء واللَّعْنةُ الاسم والجمع لِعانٌ ولَعَناتٌ ولَعَنه يَلْعَنه لَعْناً طَرَدَه وأَبعده

“Menjauhkan dan menyingkirkan kebaikan. Dikatakan : ‘Menyingkirkan dan menjauhkan (jika berasal) dari Allah. Dan (jika berasal) dari makhluk maknanya adalah cacian dan doa’. Laknat adalah kata benda (ism), bentuk jamaknya adalah li’aan dan la’anaat. La’anahu – yal’anahu – la’nan, yaitu menyingkirkannya dan menjauhkannya” [Lisaanul-‘Arab, hal. 4044].

Adapun secara istilah:

البعد عن رحمة الله تعالى

“Menjauhkan dari rahmat Allah ta’ala dan pahala-Nya” [‘Umdatul-Qaariy 22/117; Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah, 2/167; dan Aadaabusy-Syar’iyyah 1/344].

Semua hal yang dilaknat Allah dan Rasul-Nya berdasarkan dalil, maka itu termasuk dosa besar.

Oleh karena itu, haram hukumnya melaknat seorang mukmin yang tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak menampakkan kemaksiatan-kemaksiatannya secara terang-terangan.

Allah ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” [QS. Al-Ahzaab : 58].

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَلَعْنُ الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ

“Pelaknatan terhadap seorang mukmin seperti membunuhnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6105 & 6653 dan Muslim no. 110].

An-Nawawiy rahimahullah berkata:

اعلم أن لعن المسلم المصون حرامٌ بإجماع المسلمين

“Ketahuilah bahwasannya melaknat seorang muslim yang terlindungi adalah haram berdasarkan ijmaa’ kaum muslimin” [Al-Adzkaar, 1/354].

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

الاجماع منعقد على تحريم لعنة معين من أهل الفضل

“Telah menjadi ijmaa’ keharaman laknat terhadap person tertentu dari kalangan orang-orang yang mempunyai keutamaan” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 20/285].

Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam kitabnya berjudul Risâlatul Mu‘âwanah wal Mudzâharah wal Muwâzarah, halaman 141, menjelaskan tentang larangan mendoakan jelek dan melaknat, baik ditujukan pada diri sendiri, orang lain maupun sesuatu apa pun di luar dirinya sebagai berikut:

واحذر - أن تدعو على نفسك أو على ولدك أو على مالك أو على احد من المسلمين وإن ظلمك,  فإن من دعا على من ظلمه فقد انتصر. وفي الخبر "لا تدعوا على انفسكم ولا على أولادكم ولا على اموالكم لاتوافقوا من الله ساعة إجابة".

Artinya: “Jangan sekali-kali mendoakan datangnya bencana atau mengutuk diri sendiri, keluargamu, hartamu ataupun seseorang dari kaum Muslimin walaupun ia bertindak dzalim terhadapmu, sebab siapa saja mengucapkan doa kutukan atas orang yang mendzaliminya, berarti ia telah membalasnya. Rasulullah SAW telah bersabda: ‘Jangan mendoakan bencana atas dirimu sendiri, anak-anakmu ataupun harta hartamu. Jangan-jangan hal itu bertepatan dengan saat pengabulan doa oleh Allah SWT’.”

Dari kutipan diatas dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, mendoakan jelek atau melaknat siapa pun dan apa pun dari kaum Muslimin termasuk diri sendiri, harta benda, keluarga dan orang lain agar tertimpa suatu bencana sangat tidak dianjurkan sekalipun mereka telah berbuat kedzaliman kepada kita. Artinya tidak sepantasnya kita melakukan hal yang sama buruknya sebab mendoakan jelek dan melaknat bukan akhlak karimah. Doa yang sebaiknya diucapkan untuk  orang yang telah berbuat dzalim adalah doa yang baik saja, misalnya agar ia mendapatkan hidayah dari Allah SWT, lalu menyadari kesalahannya dan bertobat.

Kedua, mengucapkan doa kutukan atau laknat atas orang lain agar tertimpa bencana bisa sama saja dengan melaknat diri sendiri. Alasannya,  sebagimana dijelaskan Rasulullah SAW, adalah  bisa saja pada saat kita mengucapkan kutukan atau laknat kepada orang lain, pada saat itu Allah sedang menghendaki  terkabulnya doa-doa, sementara orang lain tersebut ternyata tidak pantas mendapat kutukan karena tidak bersalah, misalnya.  Kutukan atau laknat seperti itu bisa berbalik kepada diri sendiri  sebagaimana dijelaskan  Sayyid Abdullah Al-Haddad di halaman yang sama (hal. 141) sebagai berikut:

وقد ورد أن اللعنة إذا خرجت من العبد تصعد نحوالسماء فتغلق دونها أبوابها ثم تنزل إلى الأرض فتغلق دونها أبوابها ثم تجيء الى الملعون فإن وجدت فيه مساغا وإلارجعت على قائلها.

Artinya: “Ketahuilah bahwa suatu laknat, bila telah keluar dari mulut seseorang, akan naik ke arah langit, maka ditutuplah pintu-pintu langit di hadapannya sehingga ia turun kembali ke bumi dan dijumpainya pintu-pintu bumi pun tertutup baginya, lalu ia menuju ke arah orang yang dilaknat jika ia memang patut menerimany , atau jika tidak, laknat itu akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.”

Dari kutipan di atas sangat jelas bahwa kutukan atau laknat memiliki dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang yang dilaknat akan terkena bencana jika memang menurut Allah ia pantas menerimanya. Kemungkinan kedua, jika ternyata Allah memandang lain, maka bencana itu akan menjadi bumerang  atau berbalik arah menuju orang yang telah mengucapkannya. Ini artinya sangat riskan melakukan kutukan atau melaknat orang lain.

Dalam kaitan itu, Nabi Muhammad SAW telah memberikan contoh atau teladan yang baik ketika beliau didzalimi orang-orang Thaif yang menolak dakwahnya. Beliau mendoakan agar mereka tetap diberi keselamatan atau hak hidup dengan berharap dari anak cucunya akan ada yang mau beriman kepada Allah SWT. Sebenarnya mengutuk atau melaknat orang lain hanya diperbolehklan kepada orang-orang tertentu saja yang telah di-nash oleh Allah sendiri sebagaimana penjelasan Sayyid Abdullah Al-Haddad di halaman yang sama (hal. 141) sebagai berikut:

واحذرأن تلعن مسلما أو بهيمة أوجمادا أو شخصا بعينه وان كان كافرا إلا إن تحققت أنه مات على الكفر كفرعون وابي جهل أو علمت أن رحمة الله لا تناله بحال كإبليس.

Artinya: “Jauhkan dirimu dari perbuatan melaknat seorang Muslim (termasuk pelayan dan sebagainya), bahkan seekor hewanpun. Jangan melaknat seorang manusia tertentu secara langsung, walaupun ia seorang kafir, kecuali bila Anda yakin bahwa ia telah mati dalam keadaan kafir sepeti Fir’aun, Abu Jahal dan sebagainya. Ataupun, yang Anda ketahui bahwa rahmat Allah tak mungkin mencapainya seperti Iblis.”

Dari kutipan diatas semakin jelas bahwa kita sangat dianjurkan untuk tidak pernah melaknat siapa pun dan apa pun, baik itu manusia maupun bukan manusia; baik itu Muslim maupun kafir. Orang kafir sekarang bisa saja akan menjadi mukmin di masa depan dengan hidayah Allah SWT. Laknat hanya boleh ditujukan kepada orang-orang kafir yang sudah jelas kekafirannya hingga akhir hayat  seperti Fir’aun, Abu Jahal dan sebagainya.

Iblis juga boleh dilaknat karena rahmat Allah SWT memang tidak akan pernah sampai kepadanya. Ia telah membangkang terhadap perintah Allah dan menyombongkan diri kepada-Nya sebagaimana di tegaskan di dalam Al-Qur’an, surah Al-Baqarah, ayat 34: “Aba wastakbara wakâna minal kâfirîn.” (Iblis membangkang Allah dan menyombongkan diri. Ia kafir).  Demikian pula setan-setan boleh dilaknat sebagaimana terdapat dalam bacaan ta’awudz:  “A’ûdzu billâhi minasy-syaithânir rajîm.” (Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk).

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Minggu, 21 April 2019

Sholat Tasbih Dan Tatacara Mengerjakan

Bila dilihat dari sisi keutamaannya para ulama memandang shalat tasbih memiliki keutamaan yang begitu besar sampai Imam As-Subki menyatakan bahwa tidaklah orang yang mendengar tentang keutamaan shalat tasbih namun ia meninggalkannya (tidak melakukannya) kecuali orang itu adalah orang yang merendahkan agama (lihat: Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Minhâjul Qawîm, Beirut: Darul Fikr, tt., hal. 203).

Adapun waktu pelaksanaan shalat tasbih dapat dilakukan kapan saja, baik siang hari ataupun malam hari, sepanjang tidak pada waktu yang dilarang untuk shalat. Hanya saja Imam Nawawi memiliki pendapat yang menyatakan adanya perbedaan dalam teknis pelaksanaan shalat tasbih di siang dan malam hari. Bagi beliau bila shalat tasbih dilakukan di malam hari maka akan lebih baik bila dilakukan dua rakaat – dua rakaat masing-masing dengan satu salam. Namun bila dilakukan di siang hari maka bisa dilakukan dua rakaat satu salam atau langsung empat rakaat dengan satu salam. Dalam kitab Al-Adzkâr-nya beliau menyatakan:

فإن صلى ليلاً فأحبّ إليّ أن يسلّم في ركعتين؛ وإن صلّى نهاراً، فإن شاء سلّم، وإن شاء لم يسلم

Artinya: “Bila shalat dilakukan di malam hari maka lebih kusukai bila bersalam dalam dua rakaat. Namun bila di siang hari maka bila mau bersalam (pada dua rakaat) dan bila mau maka tidak bersalam (di dua rakaat).”

Lalu bagaimana tata cara melakukan shalat tasbih?

Ibnu Hajar Al-Haitami di dalam kitabnya Al-Minhâjul Qawîm menuliskan:

و صلاة التسبيح وهي أربع ركعات يقول في كل ركعة بعد الفاتحة والسورة: سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر، زاد في الإحياء: ولا حول ولا قوة إلا بالله خمس عشرة مرة وفي كل من الركوع والاعتدال وكل من السجدتين والجلوس بينهما والجلوس بعد رفعه من السجدة الثانية في كل عشرة فذلك خمس وسبعون مرة في كل ركعة

Artinya: “dan (termasuk shalat sunnah) adalah shalat tasbih, yaitu shalat empat rakaat di mana dalam setiap rakaatnya setelah membaca surat Al-Fatihah dan surat lainnya membaca kalimat subhânallâh wal hamdu lillâh wa lâ ilâha illallâhu wallâhu akbar—di dalam kitab Ihyâ ditambahi wa lâ haulâ wa lâ quwwata illâ billâh—sebanyak 15 kali, dan pada tiap-tiap ruku’, i’tidal, sujud, duduk di antara dua sujud, dan duduk setelah sujud yang kedua masing-masing membaca (kalimat tersebut) sebanyak 10 kali. Maka itu semua berjumlah 75 kali dalam setiap satu rakaat.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Minhâjul Qawîm, Beirut: Darul Fikr, tt., hal. 203)

Dari penjelasan Ibnu Hajar di atas dapat disimpulkan tata cara pelaksanaan shalat tasbih sebagai berikut:

1. Pada dasarnya tata cara pelaksanaan shalat sunnah tasbih tidak jauh berbeda dengan tata cara pelaksanaan shalat-shalat lainnya, baik syarat maupun rukunnya. Hanya saja di dalam shalat tasbih ada tambahan bacaan kalimat thayibah dalam jumlah tertentu.

Niat Shalat tasbih

أُصَلِّيْ سُنَّةَ التَّسْبِيْحِ رَكْعَتَيْنِ\أَرْبَعَ رَكْعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ القِبْلَةِ للهِ تَعَالَى

2. Setelah membaca surat Al-Fatihah dan surat lainnya, sebelum ruku’ terlebih dahulu membaca kalimat subhânallâh wal hamdu lillâh wa lâ ilâha illallâhu wallâhu akbar (selanjutnya kalimat ini disebut tasbih) sebanyak 15 kali. Setelah itu baru kemudian melakukan ruku’.

Kalimat tasbih

سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر

Dan boleh ditambahi kalimat hauqolah:

 ولاحول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم

3. Pada saat ruku’ sebelum bangun untuk i’tidal terlebih dahulu membaca tasbih sebanyak 10 kali. Setelah itu baru kemudian bangun untuk i’tidal.

4. Pada saat i’tidal sebelum turun untuk sujud terlebih dahulu membaca tasbih sebanyak 10 kali, baru kemudian sujud.

5. Pada saat sujud yang pertama sebelum bangun membaca tasbih sebanyak 10 kali, baru kemudian bangun untuk duduk.

6. Pada saat duduk di antara dua sujud sebelum melakukan sujud kedua membaca tasbih sebanyak 10 kali, baru kemudian melakukan sujud yang kedua.

7. Pada saat sujud kedua sebelum bangun membaca tasbih sebanyak 10 kali.

8. Setelah sujud yang kedua tidak langsung bangun untuk berdiri memulai rakaat yang kedua, namun terlebih dahulu duduk untuk membaca tasbih sebanyak 10 kali. Setelah itu barulah bangun untuk berdiri kembali memulai rakaat yang kedua.

Dengan demikian maka dalam satu rakaat telah terbaca tasbih sebanyak 75 kali. Untuk rakaat yang kedua tata cara pelaksanaan shalat dan jumlah bacaan tasbihnya sama dengan rakaat pertama, hanya saja pada rakaat kedua setelah membaca tasyahud sebelum salam terlebih dahulu membaca tasbih sebanyak 10 kali, baru kemudian membaca salam sebagaimana biasa sebagai penutup shalat.

 Doa Shalat Tasbih

اللَّهُمَّ إِنِّيْ أّسْأّلُكَ تَوْفِيْقَ أَهْلِ الهُدَى وَأَعْمَالَ أَهْلِ الْيَقِيْنِ وَمُنَاصِحَةَ أَهْلِ التًوْبَةِ وَعَزَمَ أَهْلِ الصَّبْرِ وَوَجَلَ أَهْلِ الْخَشْيَةِ وَطَلَبَ أَهْلِ الرَّغْبَةِ وَتَعَبُّدَ أَهْلِ الْوَرَعِ وَعِرْفَانَ أَهْلِ الْعِلْمِ حَتَّى أَخَافَكَ. اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ مُخَافَةَ تُحْجِزُنِيْ عَنْ مَعَاصِيْكَ حَتَّى أَعْمَلَ بِطَاعَتِكَ عَمَلاً أَسْتَحِقُّ بِهِ رٍضَاكَ وَحَتَّى أُنَاصِحَكَ فِيْ التَّوْبَةِ وَخَوْفًا مِنْكَ حَتَّى أًخْلِصَ لَكَ النّصِيْحَةَ وَحَتَّى أَتَوَكَّلَ عَلَيْكَ فِيْ اْلأُمُوْرِ كُلِّهَا وَحَتَّى أَكُوْنَ حُسْنَ الظًّنِّ بِكَ سُبْحَانَ خَالِقَ النُّوْرِ

Allahumma inni as`aluka taufiiqo ahlil huda wa a’maala ahlil yaqiini wa munaashahati ahlit taubati wa ‘azma ahlish shobri wa jidda ahlil khosyyati wa tholba ahlir roghbati wa ta’abbuda ahlil wara’i wa ‘irfaani ahlil ‘ilmi hatta akhoofaka. Allahumma inni as`aluka makhoofatan tuhjizunii ‘an ma’aashiika hatta a’mala bi thoo’atika ‘amalan astahiqqu bihi ridhooka wa hatta unaashihaka bit-taubati khoufan minka wa hatta akhlisha laka an-nashiihata hayaa`an minka wa hatta atawakkalu ‘alaika fil umuuri husna dzonni bika subhaana khooliqin nuuri.

Artinya:

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pertolongan (sebagaimana) orang-orang yang mendapatkan petunjuk, amalan orang-orang yang yakin, keselamatan orang-orang yang bertaubat, kemantapan orang-orang yang bersabar, kesungguhan orang-orang yang takut (pada-Mu), pengharapan orang-orang yang merindukan-Mu, peribadatan orang-orang yang menjaga diri, dan kearifan orang-orang yang berilmu, hingga aku takut pada-Mu. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon rasa takut yang mencegahku dari bermaksiat pada-Mu hingga aku beramal untuk taat pada-Mu dengan amalan yang bisa memperoleh keridloan-Mu, hingga aku selamat dengan taubat karena takut pada-Mu, hingga aku ikhlas pada-Mu karena rasa malu, dan hingga aku pasrah pada-Mu dalam persoalanku, berbaik sangka pada-Mu. Maha Suci Dzat Yang Menciptakan Cahaya”.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Kamis, 11 April 2019

Perbanyaklah Baca Sholawat Di Bulan Sya'ban

Sebagian keutamaan bulan Sya’ban adalah adanya perintah bershalawat kepada Nabi Saw yang turun pada bulan ini. Perintah tersebut termaktub dalam Alquran surah Al-ahzab ayat 56;

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُـوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا (الاحزاب:)

Artinya;“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Saw. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi Saw dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”

Sebagian ulama berpendapat bahwa surah Al-ahzab ayat 56 tersebut turun pada lailatul isra’(malam Isra), namun pendapat ini lemah karena menyelisihi pendapat mayoritas ulama. Bahkan Ibn Abi al-Shaif al-Yamani mempertegas bahwa surah Al-ahzab ayat 56 tersebut turun pada bulan Sya’ban. Al-Hafidz Ibn Hajar al-‘Asqalani mengutip perkataan Abi Zar al-Harawi, menyatakan bahwa perintah bershalawat kepada Nabi Saw turun pada tahun kedua Hijrah bukan pada malam lailatul isra’.

Sayyid Muhammad bin Abbas al-Maliki dalam kitabnya Ma Dza fi Sya’ban juga mengatakan bahwa surah Al-ahzab ayat 56 turun pada bulan Sya’ban. Beliau memperkuat pandangannya dengan menyebutkan salah satu hadis yang diriwayatkan al-Dailami dari Sayyidah Aisyah, dia berkata:

شَعْباَنُ شَهْرِيْ وَرَمَضَانُ شَهْرُ اللِه وَشَعْبَانُ المُطَهِّرُ وَرَمَضَانُ المُكَفِّرُ

Artinya: “Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan bulan Allah. Bulan Sya’ban menyucikan dan Ramadhan menggugurkan dosa”.

Dalam hadis ini sangat jelas Nabi Saw mengaku bahwa bulan Sya’ban adalah miliknya, sedangkan Ramadhan milik Allah. Pengakuan Nabi Saw ini, kata Sayyid Muhammad bin Abbas al-Maliki, kemungkinan karena Sya’ban bulan bershalawat, bulan di mana surah Al-ahzab ayat 56 diturunkan sebagai perintah bershalawat kepada Nabi Saw.

Selanjutnya Sayyid Muhammad bin Abbas al-Maliki dalam kitabnya Ma Dza Fi Sya’banmenjelaskan hakikat bershalawat kepada Nabi Saw. dan kenapa Allah memerintahkan kita sebagai umatnya wajib bershalawat kepadanya. Dengan mengutip perkataan Izzuddin bin abbdissalam, Sayyid Muhammad menjelaskan :

“Shalawat atas Nabi Saw. bukanlah syafaat kita untuk Beliau karena orang seperti kita tidaklah bisa memberi syafaat kepada orang seperti Beliau. Kendati begitu Allah memerintahkan agar membalas jasa orang yang telah memberikan kebaikan kepada kita. Jika tidak bisa membalas jasanya maka kita berdo’a untuknya agar Allah menggantikan kita dalam memberikan balas jasa. Ketika kita tidak mampu membalas jasa penghulu manusia terdahulu dan yang kemudian maka Tuhan semesta alam memerintahkan agar kita bershalawat atasnya supaya shalawat itu sebagai balas jasa atas kebaikan dan anugerahnya kepada kita dan tentu saja tak ada kebaikan lebih utama daripada kebaikan Nabi Saw. kepada kita.”

Dalam hadis riwayat al-Imam Muslim, Nabi bersabda:

          مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا

Artinya;“barang siapa bershalawat sekali atasku maka sebab itu Allah bershalawat sepuluh kali atasnya”.

Al-Qadhi ‘Iyadh menafsirkan hadis riwayat al-Imam Muslim di atas tersebut. Beliau berkata, “Maksud Allah bershalawat sepuluh kali adalah tambahan rahmat-Nya dan pahala shalawat tersebut dilipatgandakan”.

Dengan demikian, bershalawat kepada Nabi Saw memiliki banyak keutaman. Keutamaan ini semakin bermakna ketika bershalawat pada bulan Sya’ban, sehingga tidak heran para ulama menganjurkan untuk memperbanyak baca shalawat kepada Nabi Saw pada bulan Sya’ban ini. Hal ini karena Sya’ban adalah bulan milik Nabi Saw, bulan bershalawat kepadanya.

Sholawat Imam Ali Zainal Abidin di setiap hari bulan Sya’ban :

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ شَجَرَةِ النُّبُوَّةِ وَ مَوْضِعِ الرِّسَالَةِ وَ مُخْتَلَفِ الْمَلائِكَةِ وَ مَعْدِنِ الْعِلْمِ وَ أَهْلِ بَيْتِ الْوَحْيِ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ الْفُلْكِ الْجَارِيَةِ فِي اللُّجَجِ الْغَامِرَةِ يَأْمَنُ مَنْ رَكِبَهَا وَ يَغْرَقُ مَنْ تَرَكَهَا الْمُتَقَدِّمُ لَهُمْ مَارِقٌ وَ الْمُتَأَخِّرُ عَنْهُمْ زَاهِقٌ وَ اللازِمُ لَهُمْ لاحِقٌ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ الْكَهْفِ الْحَصِينِ وَ غِيَاثِ الْمُضْطَرِّ الْمُسْتَكِينِ وَ مَلْجَإِ الْهَارِبِينَ وَ عِصْمَةِ الْمُعْتَصِمِينَ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ صَلاةً كَثِيرَةً تَكُونُ لَهُمْ رِضًى وَ لِحَقِّ مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ أَدَاءً وَ قَضَاءً بِحَوْلٍ مِنْكَ وَ قُوَّةٍ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ الطَّيِّبِينَ الْأَبْرَارِ الْأَخْيَارِ الَّذِينَ أَوْجَبْتَ حُقُوقَهُمْ وَ فَرَضْتَ طَاعَتَهُمْ وَ وِلايَتَهُمْ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ وَ اعْمُرْ قَلْبِي بِطَاعَتِكَ وَ لا تُخْزِنِي بِمَعْصِيَتِكَ وَ ارْزُقْنِي مُوَاسَاةَ مَنْ قَتَّرْتَ عَلَيْهِ مِنْ رِزْقِكَ، بِمَا وَسَّعْتَ عَلَيَّ مِنْ فَضْلِكَ وَ نَشَرْتَ عَلَيَّ مِنْ عَدْلِكَ وَ أَحْيَيْتَنِي تَحْتَ ظِلِّكَ وَ هَذَا شَهْرُ نَبِيِّكَ سَيِّدِ رُسُلِكَ شَعْبَانُ الَّذِي حَفَفْتَهُ مِنْكَ بِالرَّحْمَةِ وَ الرِّضْوَانِ الَّذِي كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ وَ [سَلَّمَ] يَدْأَبُ فِي صِيَامِهِ وَ قِيَامِهِ فِي لَيَالِيهِ وَ أَيَّامِهِ بُخُوعا لَكَ فِي إِكْرَامِهِ وَ إِعْظَامِهِ إِلَى مَحَلِّ حِمَامِهِ اللَّهُمَّ فَأَعِنَّا عَلَى الاسْتِنَانِ بِسُنَّتِهِ فِيهِ وَ نَيْلِ الشَّفَاعَةِ لَدَيْهِ اللَّهُمَّ وَ اجْعَلْهُ لِي شَفِيعا مُشَفَّعا وَ طَرِيقا إِلَيْكَ مَهْيَعا وَ اجْعَلْنِي لَهُ مُتَّبِعا حَتَّى أَلْقَاكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَنِّي رَاضِيا وَ عَنْ ذُنُوبِي غَاضِيا قَدْ أَوْجَبْتَ لِي مِنْكَ الرَّحْمَةَ وَ الرِّضْوَانَ وَ أَنْزَلْتَنِي دَارَ الْقَرَارِ وَ مَحَلَّ الْأَخْيَارِ

Ya Allah, curahkanlah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, pohon kenabian, tempat kelahiran risalah, tempat para malaikat datang silih berganti, sumber-sumber ilmu, dan keluarga wahyu.

Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, bahtera (penyelamat) yang berlayar di tengah-tengah gelombang (kehidupan) yang dahsyat; akan aman orang yang menaiki nya dan akan tenggelam orang yang meninggalkannya; orang yang mendahului mereka akan menyimpang, orang yang tertinggal dari mereka akan binasa, dan orang yang selalu bersama mereka akan menjumpai (mereka).

Ya Allah, curahkanlah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, benteng yang kokoh, penolong orang yang terjepit (musibah) nan sengsara, tempat pelarian orang-orang yang lari, dan penjaga orang-orang yang menginginkan penjagaan.

Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, shalawat tak terhingga yang menjadikan mereka rida dan sebagai balasan (setimpal dari kami) bagi hak Muhammad dan keluarga Muhammad, dengan (perantara) daya dan kekuatan dari-Mu wahai Tuhan sekalian alam.

Ya Allah, curahkanlah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad yang suci, bajik nan terpilih, yang telah Kauwajibkan (atas kami) hak-hak, ketaatan, dan berwilayah kepada mereka.

Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, bangunlah hatiku dengan (tatanan) ketaatan-Mu, jangan Kauhinakan daku dengan bermaksiat kepada-Mu, dan limpahkanlah kepadaku rasa peduli terhadap orang yang telah Kausempitkan rezekinya (fakir miskin) karena anugerah luas yang telah Kaulimpahkan atasku, karena keadilan yang telah Kaucurahkan atas diriku, dan karena Engkau masih menghidupkanku di bawah naungan (rahmat)-Mu. Ini adalah bulan Nabi-Mu, junjungan para rasul-Mu, bulan Syakban yang telah Kauselimutinya dengan rahmat dan keridaan, yang Rasulullah saw selalu berpuasa dan beribadah di malam dan siang harinya sebagai pengakuan terhadap (keagungan)-Mu ketika ia mengagungkannya hingga akhir usianya.

Ya Allah, bantulah kami untuk mengikuti sunahnya dan menggapai syafaatnya. Ya Allah, jadikanlah ia pemberi syafaatku dan jalan yang terang menuju ke (haribaan)-Mu, serta bantulah aku untuk mengikutinya sehingga aku menjumpai-Mu pada hari kiamat dalam keadaan rida terhadapku dan melupakan dosa-dosaku, sedangkan Engkau telah memastikan rahmat dan keridaan-Mu terhadapku serta telah menempatkanku di rumah, keabadian dan tempat orang-orang yang baik.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Senin, 01 April 2019

Bendera Rosululloh SAW

Bendera hitam atau putih bertuliskan kalimat tauhid selalu diidentikkan oleh sebagian kelompok sebagai bendera Islam atau bendera Rasulullah. Dengan anggapan ini, kalau ada bendera lain yang tidak serupa dengan bendera Rasulullah, dianggap bukan Islam dan tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah.
Bendera dan panji, menempati posisi yang agung sebagai simbol suatu negara, begitu pula bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin Negara Islam pertama di Madinah Al-Munawwarah. Hal itu dibuktikan dalil-dalil sunnah dan atsar, dirinci penjelasannya oleh para ulama mu’tabar.
Para ulama dari masa ke masa senantiasa mengulas bendera dan panji yang dijuluki Al-Liwa dan Ar-Rayah ini, berikut karakteristik, kedudukan dan fungsinya yang sangat istimewa.
Saat ini kaum Muslim dihadapkan pada upaya mungkar, stigmatisasi negatif dan kriminalisasi panji Al-Liwa dan Ar-Rayah dan para pengembannya.
Bagaimana mendudukkan Al-Liwa dan Ar-Rayah sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat bersikap?
Al-Liwa dan Ar-Rayah merupakan nama untuk bendera dan panji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Secara bahasa, keduanya berkonotasi Al-‘Alam (bendera). Secra syar’i, Al-Liwa (jamaknya : Al-Alwiyah) dinamakan pula Ar-Rayah Al-‘Azhimah (panji agung), dikenal sebagai bendera negara atau simbol kedudukan pemimpin, yang tidak dipegang kecuali oleh pemimpin tertinggi peperangan atau komandan brigade pasukan (amir Al-Jaisy) yakni Khalifah itu sendiri, atau orang yang menerima mandat dari Khalifah, sebagai simbol kedudukan komandan pasukan. Ia memiliki karakteristik berwarna putih, dengan khath berwarna hitam :
لا إله إلا الله محمد رسول الله
“Laa Ilaaha Illallaah Muhammad Rasulullah” berjumlah satu.
Sedangkan Ar-Rayah (jamaknya : Ar-rayat), ia adalah panji (Al-‘Alam) berwarna hitam, dengan khath berwarna putih :
لا إله إلا الله محمد رسول الله
“Laa Ilaaha Illallaah Muhammad Rasulullah”, dinamakan pula Al-‘Uqab.
Ar-Rayahnberukuran lebih kecil daripada Al-Liwa dan digunakan sebagai panji jihad para pemimpin detasemen pasukan (satuan-satuan pasukan (kata’ib), tersebar sesuai dengan jumlah pemimpin detasemen dalam pasukan, sehingga berjumlah lebih dari satu.
Dalil-Dalil Al-Liwa & Ar-Rayah
Banyak dalil-dalil sunnah dan atsar yang menjelaskan tentang Al-Liwa dan Ar-Rayah, diantaranya dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu :
كَانَ لِوَاءُ -صلى الله عليه وسلم- أَبْيَضَ، وَرَايَتُهُ سَوْدَاءَ
“Bendera (Liwa) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwarna putih, dan panjinya (Rayah) berwarna hitam.” (HR. Al-Hakim, Al-Baghawi, At-Tirmidzi)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ’anhu :
كَانَتْ رَايَةُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ، مَكْتُوبٌ عَلَيْه ِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ
“Panjinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwarna hitam, dan benderanya (Liwa) berwarna putih, tertulis di dalamnya: “Laa Ilaaha Illallaah Muhammad Rasulullah”.” (HR. Ath-Thabrani)
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu :
أَنَّ النبي -صلى الله عليه وسلم- كَانَ لِوَاؤُهُ يَوْمَ دَخَلَ مَكَّةَ أَبْيَضَ
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam liwa’-nya pada hari penaklukkan Kota Mekkah berwarna putih.” (HR. Ibn Majah, Al-Hakim, Ibn Hibban)
Dari Yunus bin Ubaid maula Muhammad bin Al-Qasim, ia berkata: Muhammad bin Al-Qasim mengutusku kepada Al-Bara’ bin ‘Azib, aku bertanya tentang rayah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti apa? Al-Bara’ bin ‘Azib menjawab :
كَانَتْ سَوْدَاءَ مُرَبَّعَةً مِنْ نَمِرَةٍ
“(Ar-Rayah) ia berwarna hitam, berbentuk persegi panjang terbuat dari kain wol.” (HR. At-Tirmidzi, Al-Baghawi, An-Nasa’i)
Dari Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
كَانَتْ رَايَةُ النَّبِيِّ -صلى الله عليه وسلم- سَوْدَاءَ تُسَمَّى الْعُقَابَ
“Rayah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwarna hitam disebut Al-‘Uqab.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Bentuk dan Bahan Kain Bendera Rasulullah
Al-Hujaili dalam Al-Alamu Nabawiy as-Syarif menyebutkan bahwa bentuk bendera Rasulullah adalah segiempat. Hal ini berdasar pada hadits
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى الرَّازِيُّ، أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ، أَخْبَرَنَا أَبُو يَعْقُوبَ الثَّقَفِيُّ، حَدَّثَنِي يُونُسُ بْنُ عُبَيْدٍ مَوْلَى مُحَمَّدِ بْنِ الْقَاسِمِ، قَالَ: بَعَثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْقَاسِمِ إِلَى الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ يَسْأَلُهُ عَنْ رَايَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاهِىَ؟ فَقَالَ: كَانَتْ سَوْدَاءَ مُرَبَّعَةً مِنْ نَمِرَةٍ.
“Dari Ibrahim bin Musa ar-Razi, mengabarkan pada kami Ibnu Abi Zaidah, mengabarkan pada kami Abu Ya’kub Ats-Tsaqafi,mengabarkan padaku Yunus bin Ubaid diutus Muhamad bin al-Qasim untuk bertanya kepada Bara bin Azib tentang bendera Nabi SAW, Bara menjawab, “Bendera Nabi SAW berwarna hitam, berbentuk segi empat (bujur sangkar), terbuat dari jubah berwarna hitam.” (HR Abu Daud)
Hadits ini hadits hasan menurut Al-Bukhari, hasan gharib menurut At-Tirmidzi dan di dhaifkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam musnadnya.
Berdasar hadits di atas pula kita dapat mengetahui bahwa rayah Rasul terbuat dari kain wol. Namun, Al-Hujaili mengatakan bahwa pada masa Nabi Muhammad, material atau bahan untuk 
Selasa, 26 Rajab 1440 H / 2 April 2019
TERBARU TERPOPULER FOKUS INDEKS
Home   >   Titian   >   Manhaj
Serba-Serbi Bendera Rasulullah ﷺ
 Jum'at, 9 November 2018 11:34   0 Komentar
Foto: Bendera Rasulullah (Ilustrasi)
   
KIBLAT.NET – Bendera tauhid menjadi perbincangan hangat akhir akhir ini. Semenjak adanya kasus pembakaran bendera, bersahut-sahutan antara beberapa kubu tentang hakikat bendera Rasulullah ini. Ada yang berpegang teguh bahwa itu adalah bendera Rasulullah, bendera umat Islam dan siapapun boleh menggunakannya. Tapi ada yang ngotot bahwa itu adalah bendera HTI dan menjadikannya dalih pembenaran untuk pembakaran yang mereka lakukan.
Aksi-aksi bela tauhid pun bergema di beberapa kota dan diikuti oleh ribuan umat Islam. Bukti bahwa di hatinya masih ada ghirah untuk memperjuangkan kehormatan kalimat Tauhid. Karena di dalam Sirah Nabawiyah, bendera ini diperjuangkan mati-matian oleh para shahabat di peperangan di masa itu. Dan bendera ini bertuliskan kalimat yang paling mulia serta simbol persatuan umat Islam.
Ini adalah momen yang tepat untuk memberikan penjelasan tentang bendera Rasulullah yang bernama Al-Liwa dan Ar-Rayya. Apa warnanya, apa bahan yang digunakan untuk membuat bendera ini di masa Rasul, tulisan apa yang termaktub di atasnya serta apa nama bendera Nabi ini berdasarkan dalil.
Mengenal Bendera Rasulullah
Terkait warna bendera Rasulullah, hadits yang paling masyhur dan sering disebut adalah  hadits yang diriwayatkan sahabat Jabir dan Ibnu Abbas.
عن ابن عباس قال كانت راية رسول الله -صلى الله عليه وسلم- سوداء ولواؤه أبيض
“Dari Ibnu Abbas berkata bahwa Rayyah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berwarna hitam dan liwa’nya berwarna putih” (HR Tirmidzi)
عن جابر أن النبى -صلى الله عليه وسلم- دخل مكة ولواؤه أبيض
“Dari Jabir bahwasannya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam memasuki kota Makkah dan liwa’nya berwarna putih.” (HR Tirmidzi)
Dalam redaksi yang lain juga disebutkan dan diriwayatkan An-Nasa’i
عن جابر رضي الله عنه : أن النبي صلى الله عليه و سلم دخل مكة ولواؤه أبيض
“Dari Jabir Radhiallahu ‘anhu bahwasannya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam memasuki kota Makkah dan liwa’nya berwarna putih.” (HR Tirmidzi)
Hadits shahih lainnya juga diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Al-Harits bin Hasan dan lainnya. Meskipun redaksinya agak berbeda, kesimpulan yang dapat diambil adalah warna Al-Liwa’ itu berwarna putih dan Ar-Rayyah berwarna hitam.
Ada hadits lainnya yang menyebutkan bahwa rayah Nabi itu berwarna kuning. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Baihaqi dan Ibnu Adi.
BACA JUGA  Busyro Muqoddas: Polres Klaten Lakukan Pendiaman Kasus Kematian Siyono
حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ حَدَّثَنَا سَلْمُ بْنُ قُتَيْبَةَ الشَّعِيرِىُّ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ سِمَاكٍ عَنْ رَجُلٍ مِنْ قَوْمِهِ عَنْ آخَرَ مِنْهُمْ قَالَ رَأَيْتُ رَايَةَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَفْرَاءَ.
Dari Uqbah bin Mukram berkata kepada kami Mukram, berkata pada kami Salm Ibn Qutaibah Asy-Syairi dari Syu’bah dari Simak dari sahabat yang tidak diketahui namanya, ia berkata, “Aku melihat bahwasanya bendera Nabi SAW berwarna kuning.” (HR. Abu Daud)
Namun, dalam sanad hadits ini ada perawi yang majhul (Tidak dikenal oleh ulama hadits)  sebagaimana tertulis dalam Al-Badru Al-Munir karya Ibnu Al-Mulaqin.
Syaikh Abdullah bin Muhammad bi Sa’ad Al-Hujaili dalam Al-Alamu Nabawiy as-Syarif wa Tatbiqatihi al-Qadimatu wa al-Ma‘ashiratu menyebutkan bahwa seseorang yang melihat rayah Nabi setelah peperangan akan menyatakan berwarna kuning karena panji tersebut telah berdebu.
Ada hadits dhaif juga yang menyebutkan bahwa rayah Nabi berwarna merah. Hadits ini riwayat Thabrani didhaifkan oleh Al-Haitsami dan Ibnu Hajar karena ada rawi yang tidak dikenal.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَدَ رَايَةً لِبَنِي سُلَيْمٍ حَمْرَاءَ
“Bahwasannya Nabi Shallahu alaihi wa sallam menetapkan untuk rayah Bani Salim berwarna merah.” (HR. Thabrani dalam kitabnya Al-Mu’jamul Kabir No. 425)
Bentuk dan Bahan Kain Bendera Rasulullah
Al-Hujaili dalam Al-Alamu Nabawiy as-Syarif menyebutkan bahwa bentuk bendera Rasulullah adalah segiempat. Hal ini berdasar pada hadits
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى الرَّازِيُّ، أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ، أَخْبَرَنَا أَبُو يَعْقُوبَ الثَّقَفِيُّ، حَدَّثَنِي يُونُسُ بْنُ عُبَيْدٍ مَوْلَى مُحَمَّدِ بْنِ الْقَاسِمِ، قَالَ: بَعَثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْقَاسِمِ إِلَى الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ يَسْأَلُهُ عَنْ رَايَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاهِىَ؟ فَقَالَ: كَانَتْ سَوْدَاءَ مُرَبَّعَةً مِنْ نَمِرَةٍ.
“Dari Ibrahim bin Musa ar-Razi, mengabarkan pada kami Ibnu Abi Zaidah, mengabarkan pada kami Abu Ya’kub Ats-Tsaqafi,mengabarkan padaku Yunus bin Ubaid diutus Muhamad bin al-Qasim untuk bertanya kepada Bara bin Azib tentang bendera Nabi SAW, Bara menjawab, “Bendera Nabi SAW berwarna hitam, berbentuk segi empat (bujur sangkar), terbuat dari jubah berwarna hitam.” (HR Abu Daud)
Hadits ini hadits hasan menurut Al-Bukhari, hasan gharib menurut At-Tirmidzi dan di dhaifkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam musnadnya.
Berdasar hadits di atas pula kita dapat mengetahui bahwa rayah Rasul terbuat dari kain wol. Namun, Al-Hujaili mengatakan bahwa pada masa Nabi Muhammad, material atau bahan untuk
BACA JUGA  Brenton Tarrant dan Tabiat Kebencian Orang Kafir kepada Umat Islam
membuat bendera tidak dipilih secara khusus. Liwa maupun rayah dapat terbuat dari kain bulu, wool, atau jenis kain yang lain.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ لِوَاءُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفَتْحِ أَبْيَضَ،وَرَايَتُهُ سَوْدَاءَ قِطْعَةَ مِرْطٍ مُرَجَّلٍ
“Dari Aisyah ia berkata, ‘Panji Rasulullah saat memasuki kota Makah berwarna putih, sedang benderanya berwarna hitam berbahan potongan kain wol.” (HR Baihaqi)
Rayah Rasulullah pun mempunyai sebuah nama yaitu Uqab. Hal ini berdasar pada pernyataan Ibnu Ishaq dalam Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam. Juga diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan Ibnu Adiy dari sahabat Abu Hurairah.
عن أبي هريرة كانت راية رسول الله صلى الله عليه و سلم سوداء تسمى العقاب
“Dari Abu Hurairah bahwasannya rayah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam itu hitam bernama al-uqab.” (HR Ibnu Adiy)
Hadits serupa dengan redaksi yang berbeda juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Baihaqi, An-Nawawiy dan lainnya.
Saudaraku, dalil-dalil di atas secara sharih menisbatkan bendera dan panji dengan karakteristiknya yang istimewa kepada Rasulullah shallallahu /alaihi wa sallam. Maka tidak mengherankan jika para ulama hadits bahkan menuliskan satu sub bab khusus berkenaan dengan Al-Liwa dan Ar-Rayah diantaranya : Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya menuliskan sub bab :
مَا قِيْلَ فِي لِوَاء النَّبِي صلى الله عليه و سلم
Ibnu Majah dalam Sunan-nya menuliskan sub bab :
باب الرَّايَات والأَلْوِيَّة
At-Tirmidzi dalam Sunan-nya menuliskan sub bab :
مَا جَاءَ فِيْ الرَّايَات
Ibnu Hibban dalam Shahih-nya menuliskan sub bab :
ذِكْرُ وَصْفِ لِوَاءِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ دُخُولِهِ مَكَّةَ يَوْمَ الْفَتْحِ
Dan yang lainnya, yang cukup menunjukkan keberadaan bendera dan panji istimewa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Barri, perihal warna bendera Nabi Muhammad SAW. ada tiga versi. Pertama, disebut Uqab (berwarna hitam, berbentuk bujur sangkar). Kedua bendera Nabi Muhammad disebut bendera putih (Ar-Rayah al-Baiydho’), dan ketiga bendera Nabi Muhammad berwarna merah.
ﻳﻘﻮﻝ اﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﻓﻰ ﻏﺰﻭﺓ ﺧﻴﺒﺮ: اﻟﻠﻮاء ﻫﻮ اﻟﻌﻠﻢ اﻟﺬﻯ ﻳﺤﻤﻞ ﻓﻰ اﻟﺤﺮﺏ ﻳﻌﺮﻑ ﺑﻪ ﻣﻮﺿﻊ ﺻﺎﺣﺐ اﻟﺠﻴﺶ، ﻭﻗﺪ ﻳﺤﻤﻠﻪ ﺃﻣﻴﺮ اﻟﺠﻴﺶ
“Ibnu Hajar berkata dalam Ghazwat Khaibar bahwa Liwa’ adalah sebuah bendera atau tanda yang dibawa dalam perang, agar diketahui posisi pasukan. Terkadang bendera ini dibawa oleh pemimpin pasukan”
Lalu beliau membedakan fungsi bendera ini antara di zaman Nabi dengan zaman sekarang:
اﻟﻌﻠﻢ ﺭﻣﺰ ﻟﻠﻮﻃﻦ ﻓﻰ اﻟﻌﺼﺮ اﻟﺤﺪﻳﺚ
“Bendera adalah simbol negara di zaman modern ini”
Berkenaan dengan istilah Al-liwa’ dan Ar-rayah, Syekh Athiyyah menyampaikan banyak beda pendapat diantara para ulama, ada yang mengatakan Al-liwa’ adalah bendera putih, Ar-rayah Panji Hitam. Dan ada pula yang tidak membedakan.
Ahli hadis Imam Ibnu Hajar juga menampilkan banyak riwayat dalam masalah ini:
ﻭﺃﻭﺭﺩ ﺣﺪﻳﺚ ﺟﺎﺑﺮ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺩﺧﻞ ﻣﻜﺔ ﻭﻟﻮاﺅﻩ ﺃﺑﻴﺾ ﺛﻢ ﺗﺮﺟﻢ ﻟﻠﺮاﻳﺎﺕ ﻭﺃﻭﺭﺩ ﺣﺪﻳﺚ اﻟﺒﺮاء ﺃﻥ ﺭاﻳﺔ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻧﺖ ﺳﻮﺩاء ﻣﺮﺑﻌﺔ ﻣﻦ ﻧﻤﺮﺓ ﻭﺣﺪﻳﺚ ﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻛﺎﻧﺖ ﺭاﻳﺘﻪ ﺳﻮﺩاء ﻭﻟﻮاﺅﻩ ﺃﺑﻴﺾ ﺃﺧﺮﺟﻪ اﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻭﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ ﻭﺃﺧﺮﺝ اﻟﺤﺪﻳﺚ ﺃﺑﻮ ﺩاﻭﺩ ﻭاﻟﻨﺴﺎﺋﻲ ﺃﻳﻀﺎ ﻭﻣﺜﻠﻪ ﻻﺑﻦ ﻋﺪﻱ ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻭﻷﺑﻲ ﻳﻌﻠﻰ ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﺑﺮﻳﺪﺓ ﻭﺭﻭﻯ ﺃﺑﻮ ﺩاﻭﺩ ﻣﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﺳﻤﺎﻙ ﻋﻦ ﺭﺟﻞ ﻣﻦ ﻗﻮﻣﻪ ﻋﻦ ﺁﺧﺮ ﻣﻨﻬﻢ ﺭﺃﻳﺖ ﺭاﻳﺔ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺻﻔﺮاء ﻭﻳﺠﻤﻊ ﺑﻴﻨﻬﺎ ﺑﺎﺧﺘﻼﻑ اﻷﻭﻗﺎﺕ
“At-Tirmidzi menyampaikan riwayat hadis Jabir bahwa Nabi masuk ke Makkah bendera Nabi berwarna putih, kemudian Tirmidzi membuat bab Rayat dan menampilkan hadis Barra’ bahwa Rayah Nabi berwarna hitam segi empat dari Namira. Hadis Ibnu Abbas bahwa Rayah Nabi berwarna hitam dan Liwa nya berwarna putih. Dikeluarkan oleh Tirmidzi, Ibnu majah. Dan hadis tadi juga oleh abu Dawud, Nasa’i, demikian pula oleh Ibnu Adi dari hadis Abu Hurairah, Abu ya’la dari Buraidah. Abu Dawud meriwayatkan dari Sammak dari seseorang kaumnya, dari seorang yang lain dari mereka, saya melihat Rayah Nabi berwarna kuning. Riwayat diatas jika dipadukan karena waktu yang berbeda-beda”
Berkenaan dengan dalil bahwa bendera Nabi bertuliskan kalimat syahadat, dikomentari oleh Imam Ibnu Hajar:
ﻭﺭﻭﻯ ﺃﺑﻮ ﻳﻌﻠﻰ ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺭﻓﻌﻪ ﺃﻥ اﻟﻠﻪ ﺃﻛﺮﻡ ﺃﻣﺘﻲ ﺑﺎﻷﻟﻮﻳﺔ ﺇﺳﻨﺎﺩﻩ ﺿﻌﻴﻒ ﻭﻷﺑﻲ اﻟﺸﻴﺦ ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻛﺎﻥ ﻣﻜﺘﻮﺑﺎ ﻋﻠﻰ ﺭاﻳﺘﻪ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ اﻟﻠﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﻭﺳﻨﺪﻩ ﻭاﻩ – فتح الباري ٦/١٢٧
Abu ya’la meriwayatkan dari Anas secara marfu’ bahwa Allah memuliakan umatku dengan bendera. Sanadnya dlaif. Abu Syekh meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rayah Nabi bertuliskan La Ilaha Illa Allah Muhammad Rasulullah. Sanadnya sangat lemah (Fathul Bari, 6/127)

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda