Rabu, 30 Oktober 2019

Hukum Bekerja Di Bank


Seiring dengan kemajuan zaman, legiatan perekonomian juga semaking berkembang dengan pesat termasuk dengan munculnya berbagai lembaga keuangan seperti bank dan sistem perbankan. Sistem perbankan konvensional adalah suatu sistem dimana terjadi kegiatan ekonomi yang mencakup kegiatan menanbung, pinjaman, penukaran mata uang, jaminan surat berharga, giro, transfer dan lain sebagainya.

Terkadang kondisi ekonomi suatu bangsa juga dapat dilihat dari sistem perbankannya, semakin maju sistem perbankan maka semakin maju pula negaranya. Sebenarnya pokok aktifitas suatu bank adalah menampung dana dari masyarakat dan disalurkan pada masyarakat yang lain atau dengan kata lain menyalurkan dana dari pihak yang kelebihan pada pihak yang kekurangan. Pihak bank sendiri biasanya mendapat keuntungan dari bunga pinjaman maupun potongan dari tabungan yang diberikan pada nasabah.

Dalam perekonomian modern yang diaplikasilah dewasa ini, pada dasarnya bank adalah lembaga perantara yang biasa disebut financial intermediary. Meskipun bank memberikan jasa pelayanan kepada masyarakat atau nasabah, bank bukanlah termasuk lembaga sosial. Sebenarnya bank dapat dikategorikan sebagai lembaga yang bergerak di bidang perdagangan dan peredaran uang di masyarakat dan tempat menyimpan harta.

Hukum Bekerja di Bank

Meskipun ulama berpendapat bahwa bank konvensional yang menerapkan bunga adalah aktifitas riba, ada beberapa pendapat yang menyatakan bagaimana hukum bekerja di bank itu sendiri. Untuk lebih jelasnya simak pendapat ulama berikut ini

Syaikh Yusuf Qardhawi

Dalam pendangan dan pendapat Yusuf Qardhawi, bekerja dibank sebenarnya tidak diharamkan karena tidak semua aktifitas atau transaksi dalam dunia perbankan konvensional mengandung unsur riba. Dalam sistem perbankan juga terdapat transaksi yang sifatnya halal dan diperbolehkan. Meskipun tetap saja Yusuf Qardhawi mengharamkan bunga atau rioba dari bank. Demikian juga orang yang bekerja di bank menurutnya hal tersebut diperbolehkan atas dasar alasan berikut

Tidak semua transaksi perbankan mengandung riba dan mereka yang bekerja dibank tidak sesalu melakukan aktifitas ribawi yang merugikan pihak lainnya dan tidak semuanya terkait hutang dan pinjaman.

Agar sistem perbankan tidak dikuasai oleh orang nonmuslim maka sistem perbankan konvensional pun sebaiknya dipegang atau dikuasai oleh orang muslim sehingga seorang muslim menurut Yusuf Qardhawi boleh saja bekerja dan mencari nafkah di bank.

Bekerja dibank hukumnya boleh terutama jika orang tersebut hanya dapat bekerja di sektor perbankan dan hal tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak. Apalagi seorang umat islam tentunya dianjurkan untuk bekerja sebagaimana yang tercantum dalam hadits.

Gaji yang diterima orang yang bekerja di bank dalam keadaan mendesak hukumnya diperbolehkan sebagaimana suatu perkara yang haram dapat menjadi halal jika dalam keadaan mendesak. Adapun hal ini sependapat dengan ulama Mesir yakni Jad Al Haq yang menyetakan bahwa bekerja di bank halal hukumnya meskipun bank tempatnya bekerja menggunakan sistem riba selama bank tersebut juga memiliki aktifitas perbankan lain yang sifatnya halal.

Hanya ada satu keadaan yang membolehkan kita bekerja di BANK riba, yaitu keadaan gawat dan dharurat, yaitu suatu keadaan yang dapat mengakibatkan seseorang dan keluarganya ke dalam jurang kebinasaan atau kesusahan yang amat sangat, namun ada syarat dan ketentuan yang harus diperhatikan:

Sudah berupaya mencari pekerjaan halal, namun tidak mendapatkan atau tidak punya modal.
Jika ia tidak bekerja di tempat tersebut, maka kemungkinan besar akan terjatuh ke dalam kebinasaan atau kesusahan yang serius.
Bekerja hanya sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan saja, jika keadaan gawat dan darurat telah hilang maka harus resign dari pekerjaan tersebut.

Dalil dari pengecualian ini adalah kaedah-kaedah sebagai berikut:

لا محرَّم مع الضرورة، ولا واجب مع العجز

Artinya: tidak ada yang diharamkan jika dalam keadaan darurat, dan tidak ada kewajiban jika dalam keadaan tidak mampu

الضرورة تبيح المحضورات

Artinya: keadaan darurat membolehkan Sesuatu yang diharamkan.

Yang perlu digaris bawahi adalah, syarat dan ketentuan berlaku bagi yang terjatuh dalam kondisi ini, dan harus diperhatikan dengan serius, sebagaimana kami isyaratkan diatas.

Bekerja di entitas ini sudah menjadi umumul balwa (suatu praktik yang tidak bisa dihindarkan) bahkan sistem ini sekarang menjadi sistem yang mengakar. Oleh karena itu, jika kita hukumi bahwa seluruh orang yang terlibat dalam kegiatan perekonomian harus resign dan meninggalkan pekerjaannya, hal itu akan melumpuhkan seluruh perekonomian, tidak hanya konvensional, tetapi juga syariah.

Dengan demikian, berdasarkan umumul balwa ini, diperbolehkan untuk bekerja di entitas ini sesuai dengan kaidah umumul balwa. Banyak para ulama yang menegaskan tentang hal ini, beberapa ulama diantaranya :

Ibnu Nujaim menjelaskan sebagai berikut :

قَالَ ابْنُ نُجَيْم الْحَنَفِيّ : أَمَّا مَسْأَلَةُ مَا إِذَا اخْتَلَطَ الْحَلَالُ بِالْحَرَامِ فِيْ الْبَلَدِ، فَإِنَّهُ يَجُوْزُ الشِّرَاءُ وَالْأَخْذُ إِلَّا أَنْ تَقُوْمَ دِلَالَةٌ عَلَى أَنَّهُ مِنَ الْحَرَامِ.

jika terjadi di sebuah negara, dana halal bercampur dengan dana haram, maka dana tersebut boleh dibeli dan diambil, kecuali jika ada bukti bahwa dana tersebut itu haram.

An-Nawawi menjelaskan sebagai berikut:

قَالَ النَّوِوِيّ : اَلْخلْطُ فِيْ الْبَلَدِ حَرَامٌ لَّا يَنْحَصِرُ بِحَلاَلٍ يَنْحَصِرُ لَمْ يَحرُمْ الشِّرَاءُ مِنْهُ بَلْ يَجُوْزُ الْأَخْذُ مِنْهُ إِلَّا أَنَّ يَقْتَرِنَ بِتِلْكَ الْعَيْنِ عَلَامَةٌ تَدُلُّ عَلَى أَنَّهَا مِنَ الْحَرَامِ فَإِنَّ لَمْ يَقْتَرِنْ فَلَيْسَ بِحَرَامٍ ,وَلَكِنْ تَرْكُهُ وَرْعٌ مَحْبُوْبٌ وَكُلَّمَا كَثُرَ الْحَرَامُ تَأَكَّدَ الْوَرْعُ.

Jika terjadi di sebuah negara, dana haram yang tidak terbatas bercampur dengan dana halal yang terbatas , maka dana tersebut boleh dibeli, bahkan boleh diambil kecuali ada bukti bahwa dana tersebut bersumber dari dana haram, jika tidak ada bukti, maka tidak haram. Tetapi meninggalkan perbuatan tersebut itu dicintai Allah Swt., setiap kali dana haram itu banyak, maka harus disikapi dengan wara’.

Ibnu Taimiyah menjelaskan sebagai berikut:

فَأَمَّا الْمُتَعَامِلُ بِالرِّبَا فَالْغَالِبُ عَلَى مَالِهِ الْحَلَالُ، إِلَّا أّنْ يُّعْرَفَ الْكُرْهُ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ، وَذَلكَ أَنَّهُ إِذَا بَاعَ أَلْفًا بِأَلْفٍ وَمِائَتَيْنِ، فَالزِّيَادَةُ هِيَ الْمُحَرَّمَةُ فَقًطْ، وَإِذَا كَانَ فِيْ مَالِهِ حَلَالٌ وَحَرَامٌ وَاخْتَلَطَ لَمْ يَحْرُمْ الْحَلَالُ بَلْ

لَهُ أَنْ يَّأْخُذَ قَدْرَ الْحَلَالِ كَمَا لَوْ كَانَ الْمَالُ لِشَرِيْكَيْنِ، فَاخْتَلَطَ مَالُ أَحَدِهِمَا بِمَالِ الْآخَر فَاِنَّهُ يُقَسَّمُ بَيْنَ الشَّرِيْكَيْنِ ) . . وَكَذَلِكَ مَنْ اخْتَلَطَ بِمَالِهِ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ، أُخْرِجَ قَدْرُ الْحَرَامِ وَالْبَاقِي حَلَالٌ لَهُ

 MENU

Hukum Bekerja di Bank Konvensional yang Mengandung Riba (PERHATIKAN)

fazzams | Agustus 29, 2017 | Akuntansi dan Keuangan, Berkah Langit, Ekonomi Islam, Fiqih Muamalah, Perbankan, Syariah

Pernahkah kita bertanya bagaimana hukumnya bekerja di lembaga keuangan konvesional ribawi, seperti bank konvensional, misalkan. Apakah haram? Atau tidak?

Bagaimana Hukum Meminjam Uang di Bank Konvensional untuk Membayar Utang?Bagaimanakah Hukum E-money dalam Islam? Berikut Penjelasannya

Makalah Lembaga Keuangan Syariah – Terlengkap (Semua Ada)Apa Hukum Memakai Jaminan dalam Akad Mudharabah?

Mari kita simak dari tanya jawab dengan Doktor Oni Sahroni di bawah ini.

Pertanyaan:

Assalamualaikum wr wb Ustadz.

Bagaimana Pandangan fikih terhadap para pegawai atau karyawan (profesional) yang bekerja di perusahaan konvensional atau usaha ribawi (tidak halal)?

Begitupula bagaimana pandangan fikih terhadap pegawai atau karyawan yang bekerja di perusahaan yang melayani produk konvensional dan syariah?

Jawaban

Wa’alaikum salam wr wb.

Pertanyaan tersebut bisa dijawab dalam poin-poin berikut.

Hukum Bekerja di Bank Konvensional (Ribawi / Bunga)

1.) Perlu kita ketahui dengan lebih jelas tentang kaidah atau ketentuan yang berlaku dalam hukum fikih terkait perihal bekerja di entitas atau lembaga konvensional. Lembaga konvensional yang dimaksud terdiri atas 2 bagian:

a.Perusahaan atau entitas yang core bisnisnya tidak halal

b.Perusahaan atau entitas yang core bisnisnya bisa produk syariah atau konvensional

2.) Bagian pertama : Untuk perusahaan (entitas) konvensional yang core bisnisnya tidak halal

a. Yaitu perusahaan (entitas) yang kegiatan usahanya mengatur atau memperjual belikan produk yang tidak halal – baik secara langsung ataupun tidak langsung / baik haram karena fisik (seperti babi dan khamr) maupun haram karena nonfisik (seperti pendapatan dari transaksi pinjaman berbunga)-.

b. Di antara contohnya adalah bekerja di bar / diskotik (minuman keras dan asusila), usaha produksi (distribusi) narkoba, mapia korupsi, mapia hukum, bank – khusus – konvensional, usaha produksi pornografi dan pornoaksi, usaha pencucian uang, dan sejenisnya.

c. Menurut fikih, bekerja di usaha-usaha tersebut di atas itu tidak diperkenankan (haram) dalam Islam, termasuk setiap orang yang terlibat dalam usaha tersebut juga tidak diperkenankan dalam Islam.

d. Contohnya dalam masalah riba,

عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Dari Jabir, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, Pemberi riba, pencatat, dan saksinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Mereka itu dosanya sama.’” (HR. Muslim)

Begitu pula dalam masalah risywah,

وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: ( لَعَنَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اَلرَّاشِي وَالْمُرْتَشِيَ

Dari Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-‘Ash Radliyallaahu ‘anhu bahwa ” Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melaknat orang yang memberi dan menerima suap”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Begitu pula dalam bab-bab lain, Allah tidak hanya mengharamkan pelakunya langsung, tetapi juga pelaku tidak langsung. Sesuai dengan kaidah sadduz zari’ah ( سد الذريعة ), meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang.

lembaga Fikih Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI) termasuk diantara yang berpendapat bahwa dana tersebut dikategorikan dana haram sebagaiman dilansir dalam Keputusannya no. 7/1/65, pada perteman ke 7 sebagai berikut :

أَنَّهُ لَا خِلَافَ فِيْ حُرْمَةِ الْإِسْهَامِ فِي شَرِكَاتٍ غَرْضُهَا الْأَسَاسِيُّ مُحَرَّمٌ،كَالتَّعَامُلِ بِالرِّبَا أَوْ إِنْتَاجِ الْمُحَرَّمَاتِ أَوْ الْمُتَاجَرَةِ بِهَا. وَالَأَصْلُ حَرْمَةُ الإِسْهَاِم فِيْ شَركِاَتٍ تَتَعَامَلُ أَحْيَانًا بِالْمُحَرَّمَاتِ، كَالرِّبَا وَنَحْوَهُ، بِالرَّغْمِ مِنْ أَنَّ أَنْشِطَتَهَا الْأَسَاسِيَّةَ مَشْرُوْعَةٌ

Bahwa tidak ada perbedaan pendapat bahwa membeli saham pada perusahaan yang kegiatan utamanya melakukan usaha yang haram, seperti transaksi ribawi, memproduksi barang yang haram, jual beli barang yang haram. Pada prinsipnya, haram membeli saham pada perusahaan yang kadang- kadang melakukan transaksi yang haram seperti transaksi ribawi dan sejenisnya, walaupun kegiatan utama perusahaan tersebut itu adalah usaha yang halal.

Diantara dalil (istisyhad) yang digunakan adalah kaidah fikih berikut :

“إِذَا اجْتَمَعَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ غُلِّبَ الْحَرَامُ”.

Jika ada dana halal dan haram bercampur, maka menjadi dana haram

Sesuai kaidah fikih ini, jika dana halal bercampur dengan dana haram, maka hukum haram lebih diunggulkan dan menjadi hukum keseluruhan dana tersebut.

hukum bekerja di bank konvensional

3.) Bagian kedua : Bekerja di lembaga atau entitas atau perusahaan yang core bisnisnya bergerak dalam bidang usaha konvensional dan usaha syariah.

a. Seperti halnya beberapa divisi di kementrian keuangan yang mengatur konvensional dan syariah. Begitu pula di bank umum yang mengatur kegiatan konvensional dan unit usaha syariah. Demikian pula di Bank Indonesia yang mengatur bank syariah dan bank konvensional.

b.Jika ditelaah, ada beberapa pendapat dari para ulama terkait hal ini:

b.1. Pendapat Pertama dibagi Dalam dua Kondisi:

Kondisi pertama, jika keterlibatan atau bekerja di perusahaan tersebut on mission (membawa nilai-nilai Islam) dengan menempati posisi-posisi strategis, seperti bagian treasury, dengan misi bisa membawa nilai Islam atau memberikan kebijakan untuk memperluan kewenangan syariah di unit syariah, misalnya, maka terlibatannya dalam usaha ini diperkenankan sesuai dengan kaidah

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

“Jika sebuah kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya”

Kondisi kedua, jika keterlibatannya hanya mencari ma’isyah atau pendapatan maka tidak diperkenankan kecuali dalam kondisi darurat dengan 2 parameter: tidak ada alternatif usaha lain yang halal dan pekerjaannya di entitas tersebut untuk memenuhi kebutuhan yang wajib pula, seperti kewajiban keluarga dan anak-anak. Hal ini sesuai dengan kaidah

الـــضَرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المَحْـــــــظُوْرَاتِ

“Kemudharatan-kemudharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang”

مَا اُبِيــــــْحُ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَــــدَّرُ بِقَدَرِهَا

“Apa yang dibolehkan karena adanya kemudharatan diukur menurut kadar kemudharatan”

b.2. Pendapat kedua, bekerja di entitas ini sudah menjadi umumul balwa (suatu praktik yang tidak bisa dihindarkan) bahkan sistem ini sekarang menjadi sistem yang mengakar. Oleh karena itu, jika kita hukumi bahwa seluruh orang yang terlibat dalam kegiatan perekonomian harus resign dan meninggalkan pekerjaannya, hal itu akan melumpuhkan seluruh perekonomian, tidak hanya konvensional, tetapi juga syariah.

Dengan demikian, berdasarkan umumul balwa ini, diperbolehkan untuk bekerja di entitas ini sesuai dengan kaidah umumul balwa. Banyak para ulama yang menegaskan tentang hal ini, beberapa ulama diantaranya :

Ibnu Nujaim menjelaskan sebagai berikut :

قَالَ ابْنُ نُجَيْم الْحَنَفِيّ : أَمَّا مَسْأَلَةُ مَا إِذَا اخْتَلَطَ الْحَلَالُ بِالْحَرَامِ فِيْ الْبَلَدِ، فَإِنَّهُ يَجُوْزُ الشِّرَاءُ وَالْأَخْذُ إِلَّا أَنْ تَقُوْمَ دِلَالَةٌ عَلَى أَنَّهُ مِنَ الْحَرَامِ.

jika terjadi di sebuah negara, dana halal bercampur dengan dana haram, maka dana tersebut boleh dibeli dan diambil, kecuali jika ada bukti bahwa dana tersebut itu haram.

An-Nawawi menjelaskan sebagai berikut:

قَالَ النَّوِوِيّ : اَلْخلْطُ فِيْ الْبَلَدِ حَرَامٌ لَّا يَنْحَصِرُ بِحَلاَلٍ يَنْحَصِرُ لَمْ يَحرُمْ الشِّرَاءُ مِنْهُ بَلْ يَجُوْزُ الْأَخْذُ مِنْهُ إِلَّا أَنَّ يَقْتَرِنَ بِتِلْكَ الْعَيْنِ عَلَامَةٌ تَدُلُّ عَلَى أَنَّهَا مِنَ الْحَرَامِ فَإِنَّ لَمْ يَقْتَرِنْ فَلَيْسَ بِحَرَامٍ ,وَلَكِنْ تَرْكُهُ وَرْعٌ مَحْبُوْبٌ وَكُلَّمَا كَثُرَ الْحَرَامُ تَأَكَّدَ الْوَرْعُ.

Jika terjadi di sebuah negara, dana haram yang tidak terbatas bercampur dengan dana halal yang terbatas , maka dana tersebut boleh dibeli, bahkan boleh diambil kecuali ada bukti bahwa dana tersebut bersumber dari dana haram, jika tidak ada bukti, maka tidak haram. Tetapi meninggalkan perbuatan tersebut itu dicintai Allah Swt., setiap kali dana haram itu banyak, maka harus disikapi dengan wara’.

Ibnu Taimiyah menjelaskan sebagai berikut:

فَأَمَّا الْمُتَعَامِلُ بِالرِّبَا فَالْغَالِبُ عَلَى مَالِهِ الْحَلَالُ، إِلَّا أّنْ يُّعْرَفَ الْكُرْهُ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ، وَذَلكَ أَنَّهُ إِذَا بَاعَ أَلْفًا بِأَلْفٍ وَمِائَتَيْنِ، فَالزِّيَادَةُ هِيَ الْمُحَرَّمَةُ فَقًطْ، وَإِذَا كَانَ فِيْ مَالِهِ حَلَالٌ وَحَرَامٌ وَاخْتَلَطَ لَمْ يَحْرُمْ الْحَلَالُ بَلْ

لَهُ أَنْ يَّأْخُذَ قَدْرَ الْحَلَالِ كَمَا لَوْ كَانَ الْمَالُ لِشَرِيْكَيْنِ، فَاخْتَلَطَ مَالُ أَحَدِهِمَا بِمَالِ الْآخَر فَاِنَّهُ يُقَسَّمُ بَيْنَ الشَّرِيْكَيْنِ ) . . وَكَذَلِكَ مَنْ اخْتَلَطَ بِمَالِهِ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ، أُخْرِجَ قَدْرُ الْحَرَامِ وَالْبَاقِي حَلَالٌ لَهُ

Adapun orang yang bertransaksi secara ribawi, maka yang dominan adalah halal kecuali diketahui bahwa yang dominan adalah makruh. Karena jika sesorang menjual 1000 seharga 1.200, maka yang haram adalah marginnya saja.

jika pendapatannya terdiri dari dana halal dan haram yang bercampur , maka bagian yang haram ini tidak mengharamkan bagian yang halal. ia bisa mengambil bagian yang halal tersebut, sebagaimana jika dana miliki dua orang syarik, dana syirkah telah bercampur dan menjadi milik keduanya, maka dana tersebut dibagi kepada dua syarik tersebut.

Begitu pula dana halal bercampur dengan dana haram, maka prosentase dana haram dikeluarkan, maka sisanya adalah dana halal.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Jumat, 25 Oktober 2019

Benarkah Siti Fatimah Tidak Mengalami Haid??



Bagian dari kodrat wanita adalah mengalami haid. Wanita di dunia dianggap normal, ketika dia mengalami haid. 
Ketika A’isyah ikut berangkat haji wada bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengalami haid. Hal inipun membuat A’isyah bersedih, hingga beliau menangis. Sang suami yang penyayang menenangkannya,
’Kamu kenapa? Apa kamu haid?’ tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

’Ya.’ Jawab A’isyah.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ، فَاقْضِي مَا يَقْضِي الحَاجُّ، غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِي بِالْبَيْتِ

Sesungguhnya haid adalah perkara yang telah Allah tetapkan untuk putri Adam. Lakukan seperti yang dilakukan jamaah haji, hanya saja kamu tidak boleh thawaf di Ka’bah. (HR. Bukhari 294 dan Muslim 1211)

Oleh karena itu, ketika ada berita bahwa ada salah satu wanita keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak mengalami haid, yang disampaikan dalam rangka menunjukkan keutamaannya, selayaknya tidak langsung kita terima, namun kita periksa keabsahan berita itu. Karena kondisi ini menyalahi kodratnya wanita.

Apakah Fatimah tidak Mengalami Haid

Ada beberapa riwayat yang menyebutkan keutamaan Fatimah radhiyallahu ‘anha,yang menjelaskan bahwa beliau tidak mengalami haid.
Diantaranya hadis,

ابنتى فاطمة حوراء آدمية لم تحض ولم تطمث وإنما سماها الله تعالى فاطمة لأن الله تعالى فطمها ومحبيها عن النار

Putriku Fatimah manusia bidadari. Tidak pernah haid dan nifas. Allah menamainya Fatimah, karena Allah menyapihnya dan menjauhkannya dari neraka.

Riwayat ini telah disebut oleh Muhib al-Thabary (w.694 H) dalam kitab manaqibnya, Zakha-ir al-‘Uqbaa. Dalam kitab ini disebutkan hadits ini diriwayat oleh al-Ghatsany dari Ibnu Abbas. Ibnu Hajar al-Haitamy menyebut hadits ini dalam kitab beliau, al-Shawaiq al-Muhriqah tanpa komentar apapun terhadap kualiatas riwayatnya, namun dalam kitab ini pentakhrijnya tertulis al-Nisa-i, bukan al-Ghatsany. Khatib al-Baghdadi juga telah menyebut riwayat ini dalam kitabnya, Tarikh al-Baghdadi, beliau mengatakan, dalam isnad hadits ini tidak hanya satu orang yang tidak dikenal dan haditsnya tidak tsaabit (tidak shahih). Pernyataan Khatib al-Baghdadi ini juga telah disebut dalam kitab al-Laala-i al-Mashnu’ah karya al-Suyuthi. Al-Zahabi dalam Talkhis Kitab al-Maudhu’at mengatakan, isnadnya terdiri dari orang-orang dhalim dan orang-orang yang tidak dikenal. Ibnu al-Jauzi telah memasukkan hadits ini dalam kelompok hadits-hadits maudhu’ dalam kitabnya, al-Maudhu’aat.

Catatan :
Kitab Zakha-ir al-‘Uqbaa karya Muhib al-Thabary merupakan sebuah kitab yang menguraikan biografi dan kelebihan-kelebihan ahlul bait, namun sayang dalam kitab ini banyak memuat hadits hadits maudhu’ dan dhaif. 

Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh al-Shakawy sebagaimana telah dikutip oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam kitabnya, al-Shawaiq al-Muhriqah, beliau mengatakan :

اعْلَم أَنه أَشَارَ فِي خطْبَة هَذَا الْكتاب إِلَى بعض حط على ذخائر العقبى فِي مَنَاقِب ذَوي الْقُرْبَى للْإِمَام الْحَافِظ الْمُحب الطَّبَرِيّ بِأَن فِيهِ كثيرا من الْمَوْضُوع وَالْمُنكر فضلا عَن الضَّعِيف ثمَّ نقل عَن شَيْخه الْحَافِظ الْعَسْقَلَانِي أَنه قَالَ فِي حق الْمُحب الطَّبَرِيّ إِنَّه كثير الْوَهم فِي عزوه للْحَدِيث مَعَ كَونه لم يكن فِي زَمَنه مثله

“Ketahuilah al-Shakhawy telah mengisyarahkan dalam khutbah kitab ini (kitab manaqib ahlul Bait karangan al-Shakhawy) kepada sebagian pembahasan atas kitab Zakha-ir al-‘Uqbaa fi Manaqib Zawil Qurbaa karya Imam al-Hafizh al-Muhib al-Thabary dimana di dalam kitab tersebut banyak terdapat riwayat-riwayat maudhu’ dan mungkar serta dha’if. Kemudian al-Shakhawy mengutip dari gurunya, al-Hafizh al-Asqalany bahwasanya beliau pernah berkata perihal al-Muhib al-Thabary, bahwa beliau ini banyak waham dalam menyandarkan suatu hadits, disamping itu beliau memang tidak ada orang yang sebanding beliau pada`masanya.”

Dari Asmaa, beliau mengatakan : (ِِِAsmaa binti Amiis)

قبلت اي ولدت فاطمة بالحسن فلم ار لها دما فقلت يا رسول الله: إني لم أر لفاطمة دما في حيض ولا نفاس فقال أما علمت أن ابنتي طاهرة مطهرة لا يرى لها دم في طمث ولا ولادة

Artinya : Aku turut membantu Fatimah melahirkan Hasan, aku tidak melihat pada Fatimah darah sedikitpun, maka aku mengatakan, Ya Rasulullah, sesungguhnya aku tidak pernah melihat Fatimah berdarah haid dan nifas, Rasulullah berkata : “Apakah kamu tidak mengetahui sesungguhnya anakku selalu dalam keadaan suci dan disucikan, tidak pernah dilihat darah padanya, baik darah kotoran maunpun wiladah.”

Al-Muhib al-Thabary (w.694 H) telah menyebut hadits ini dalam kitab manaqibnya, Zakha-ir al-‘Uqbaa pada masalah “Menyebut kesucian Fatimah dari wanita anak Adam” pada Hal. 90 dengan pentakrijnya Imam Ali bin Musa al-Rizha.
Asmaa dalam riwayat di atas adalah Asmaa binti ‘Amiis sebagaimana tertulis dalam kitab Nur al-Abshar karangan al-Syablanji yang juga menyebut riwayat di atas dengan riwayat dari Asmaa binti ‘Amiss. Al-Zahabi menjelaskan bahwa Asmaa binti ‘Amiis ini salah seorang sahabat Nabi yang pernah hijrah ke negeri Habsyah bersama suaminya, Ja’far. Kemudian meninggalkan negeri Habsyah berangkat ke Madinah pada Tahun ketujuh Hijrah untuk ikut bersama kaum Muhajirin di Madinah. Memperhatikan keterangan di atas, maka pada Tahun ketiga Hijrah, pada waktu lahir Sayyidina Hasan, Asmaa binti ‘Amiis masih berada di Habsyah alias tidak berada di negeri Madinah, jadi bagaimana mungkin dapat dikatakan bahwa Asmaa binti ‘Amiis turut membantu kelahiran Sayyidina Hasan r.a, sedangkan Sayyidina Hasan r.a. sebagaimana dimaklumi lahir pada bulan Sya’ban atau pertengahan Ramadhan Tahun ketiga Hijrah. Berdasarkan penjelasan ini dapat dipastikan bahwa riwayat yang dinisbah kepada Asmaa binti ‘Amiis ini juga maudhu’ alias palsu sebagaimana riwayat lain yang tersebut pada nomor 1 dan 2 di atas.

Riwayat ini juga disebutkan al-Kinani, dan beliau mendhaifkannya. Beliau mengatakan,

أورده المحب الطبرى فى ذخائر العقبى وهو باطل أيضا فإنه من رواية داود بن سليمان الغازى

Disebutkan oleh al-Muhib at-Thabari dalam kitab Dzakhair al-Uqba, dan ini juga hadis bathil, karena dari riwayat Daud bin Sulaiman al-Ghazi.

Keterangan yang sama juga disampaikan al-Munawi, beliau berkomentar

لكن الحديثان المذكوران رواهما الحاكم وابن عساكر عن أم سليم زوج أبي طلحة. وهما موضوعان كما جزم به ابن الجوزى، وأقره على ذلك جمع منهم: الجلال السيوطي مع شدة عليه

Akan tetapi dua hadis yang disebutkan, yang diriwayatkan oleh Hakim dan Ibnu Asakir dari Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah. Dan dua hadis itu palsu, sebagaimana yang ditegaskan Ibnul Jauzi, dan disetujui oleh beberapa ulama, diantaranya as-Suyuthi, dengan komentar yang sangat keras untuk hadis itu. (Ittihaf as-Sail, hlm. 12).

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Minggu, 20 Oktober 2019

Ayat Chafadhoh Dari Somalangu


Aku di kasih Ayat Chafadhoh ini dari seseorang yang sangat istimewa di hati ku.
Lalu aku mengamalkan apa yang Beliau perintahkan.
تصوم سبعة ايام موته
Puasa 7 hari mutih
Dimulai hari jum'at, hanya memakan nasi dan air putih dan wiridan Ayat Chafadhoh ba'da sholat fardhu di baca 7 x dan ba'da sholat qiyamul lail (tahajud, hajat, witir dll) di baca sebanyak 21 x

Dengan keyakinan di hati aku menjalankan semua itu.

Ini Ayat Chafadhoh Yang Dimaksud

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ.
وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ. وَ یُرۡسِلُ عَلَیۡکُمۡ حَفَظَۃً ؕ . إِنَّ رَبِّي عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَفِيظٌ. فَاللَّهُ خَيْرٌ حَافِظًا ۖ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ. لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ ۗ . إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ. وَحَفِظْنَٰهَا مِن كُلِّ شَيْطَٰنٍۢ رَّجِيمٍ. وَجَعَلْنَا السَّمَاءَ سَقْفًا مَّحْفُوظًا ۖ. وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ. وَحِفْظًا ۚ ذَٰلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ. وَرَبُّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَفِيظٌ. اللَّهُ حَفِيظٌ عَلَيْهِمْ وَمَا أَنتَ عَلَيْهِم بِوَكِيلٍ. إِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ. كِرَامًا كَاتِبِينَ. يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ. إِن كُلُّ نَفْسٍ لَّمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌ. إِنَّ بَطْشَ رَبِّكَ لَشَدِيدٌ. إِنَّهُ هُوَ يُبْدِئُ وَيُعِيدُ. وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ. ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيدُ. فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيدُ. هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْجُنُودِ. فِرْعَوْنَ وَثَمُودَ. بَلِ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي تَكْذِيبٍ. وَاللَّهُ مِن وَرَائِهِم مُّحِيطٌ. بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَّجِيدٌ. فِي لَوْحٍ مَّحْفُوظٍ.

Bismillahirrohmaanirrohiim
Walaa yauuduhu chifdhuhumaa wahuwal 'aliyyul 'adhiim,
Wayursilu 'alaikum chafadhoh,
Inna robbi 'alaa kulli syai-in chafiidh,
Faallohu khoirun chaafidhon wahuwa arhamur rohimiin,
Lahu mu'aqibaatum    mim baini yadaihi wamin kholfihi yakhfudzuunahu min amrillah,
Inna nahnu nazzalnadz dzikro wa inna lahuu lachaafidhuun,
Wachafidznaahaa min kulli syaithoonirrojiim,
Waja'alnas samaa-a saqfam machfuudhon,
Wachifdzoom min kulli syaithooni maariid,
Wachifdzoon dzaalika taqdiirul 'aziizil 'aliim,
Warobbuka 'alaa kulli syai-in chafidh,
Allohu chafiidun 'alaihim wamaa anta 'alaihim biwakiil,
Wainna 'alaikum lachaafidhiin, kirroomaan   kaatibiina ya'lamuuna maa taf'aluun,
In kullu nafsil lammaa 'alaihaa chaafidz,
Inna bathsya robbika lasyadiid,
Innahu huwa yubdii-u wayu'iid,
Wahuwal ghofuurul waduud,
Dzuul'arsyil majiid,
Fa'-'aalu limaa yuriid,
Hal ataaka chadiistul junuud,
Fir'auna wastamuud,
Balil ladziina kafaruu fii takdziib,
Wallohu miw waroo-ihim mukhiith,
Bal huwa qur-aanu majiid,
Fiilauchim machfuudh.

Bagi yang berkenan ingin mengamalkan silahkan
Sebelum membaca Ayat Chafadhoh terlebih dahulu baca surat fatihah kepada:

Kanjeng Nabi Agung Muhammad SAW
Kanjeng Sayyidina 'Ali bin Abi Tholib
Kanjeng Sayyidina Hasan bin 'Ali
Kanjeng Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani
Kanjeng Syaikh Abdul Kafi Awwal Al-Jili Al-Hasany
Kanjeng Syaikh Thoifur bin Abdurrohman Al-Hasany
Kedua Orangtua dan Sesepuh dan silsilah ilmu serta keluarga.

Semoga bermanfaat

Rabu, 16 Oktober 2019

Tatacara Mengurus Jenazah Yang Rusak Akibat Kecelakaan Ataupun Bencana

Bagaimana cara menyempurnakan pemandian jenazah seseorang yang meninggal dalam suatu kecelakaan sehingga jasadnya rusak dan terkadang sebagian anggota tubuhnya terpotong-potong ataupun korban kebakaran?


JAWABAN :

يجب تغسله كما يغسل غيره إذا أمكن ذلك ، فإن لم يمكن فإنه يُيمّم ، لأن التيمم يقوم مقام التغسيل بالماء عند العجز عن ذلك .

Wajib bagi anda untuk memandikannya sebagaimana jenazah yang lainnya jika memungkinkan. Namun apabila tidak memungkinkan untuk memandikannya maka ditayamumi. Karena tayamum bisa menggantikan kedudukan pemandian jenazah dengan air yang tidak bisa dilakukan. 

Imam an-Nawawi rahimahullah menulis, “Apabila tidak memungkinkan untuk memandikan jenazah lantaran langkanya air ataupun jenazah terbakar, maka jenazah tak perlu dimandikan, tetapi cukup ditayamumi. Tayamum ini wajib. Sebab ia adalah upaya mensucikan yang tidak berhubugan dengan menghilangkan najis, sehingga wajib beralih kepada tayamum saat tidak memungkinkan menggunakan air.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, 5/128)

(وَيَلْزَمُ) عَلَى طِرِيْقِ فَرْضِ الْكِفَايَةِ (فِي الْمَيِّتِ)... الْمُسْلِمِ غَيْرِ الْمُحْرِمِ وَالشَّهِيْدِ (أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ غُسْلُهُ وَتَكْفِيْنُهُ وَالصَّلاَةُ عَلَيْهِ وَدَفْنُهُ ) (قَوْلُهُ غُسْلُهُ) أَيْ أَوْ بَدُلُهُ وَهُوَ التَّيَمُّمُ كَمَا لَوْ حُرِقَ بِالنَّارِ وَكَانَ لَوْ غُسِلَ تَهَرَّى .

Dan wajib menurut secara fardlu kifayah pada mayat yang muslim selain orang yang mati dalam keadaan ihram dan mati syahid (dalam pertempuran membela agama) empat perkara, yaitu: memandikannya, mengkafaninya, melakukan shalat atasnya dan menguburnya. Ucapan pengarang: memandikannya, artinya atau penggantinya, yaitu tayammum, sebagaimana andaikata mayat yang terbakar oleh api dan andaikata dimandikan maka dagingnya terlepas dari tubuhnya. [ Al Bajuri 1/ 242 - 243 ].

وَإِنْ كان بِحَيْثُ لو غُسِّلَ تَهَرَّى لِحَرْقٍ أو نَحْوِهِ يُمِّمَ بَدَلَ الْغُسْلِ لِعُسْرِهِ

“Apabila janazah dalam keadaan rusak karena terbakar atau lainnya yang andai di mandikan kulitnya akan terkelupas maka janazah tersebut ditayammumi sebagai pengganti dari mandi karena sulitnya melaksanakan pemandian”. [ Asna alMathoolib I/305 ].

Dalam kasus mutilasi apakah potongan tubuh yang ditemukan di kemudian hari, wajib dimandikan & dikubur jadi satu dengan potongan tubuh yang lainya ? Wajib, tapi nggak usah menggali potongan yang telah dikubur.

وَلَوْ وُجِدَ جُزْءُ مَيِّتٍ مُسْلِمٍ غَيْرِ شَهِيدٍ صُلِّيَ عَلَيْهِ بَعْدَ غُسْلِهِ وَسُتِرَ بِخِرْقَةٍ وَدُفِنَ كَالْمَيِّتِ الْحَاضِرِ ، وَإِنْ... كَانَ الْجُزْءُ ظُفْرًا أَوْ شَعْرًا لَكِنْ لَا يُصَلَّى عَلَى الشَّعْرَةِ الْوَاحِدَةِ
قَوْلُهُ : ( وَلَوْ وُجِدَ جُزْءُ مَيِّتٍ ) أَيْ تَحَقَّقَ انْفِصَالُهُ مِنْهُ حَالَ مَوْتِهِ أَوْ فِي حَيَاتِهِ وَمَاتَ عَقِبَهُ فَخَرَجَ الْمُنْفَصِلُ مِنْ حَيٍّ وَلَمْ يَمُتْ عَقِبَهُ إذَا وُجِدَ بَعْدَ مَوْتِهِ فَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ ، وَيُسَنُّ مُوَارَاتُهُ بِخِرْقَةٍ وَدَفْنُهُ .اهـ .

Bila di ketemukan bagian dari janazah orang muslim maka wajib di sholati setelah terlebih dahulu dimandikan dan dibungkus dengan kain, dan juga dikuburkan selayaknya janazah yang hadir, meskipun bagian tersebut hanyalah kuku atau rambut hanya saja bila hanya sehelai rambut tidak perlu disholati.

(Perkataan pengarang “Bila di ketemukan bagian dari janazah orang muslim”) dengan syarat bila diketahui pasti anggota tersebut milik mayit saat ia sudah mati/saat matinya, atau saat hidupnya kemudian mati setelahnya, berbeda dengan bagian tubuh yang terpisah dari orang hidup namun ia tidak mati setelah anggautanya terpisah dan baru diketemukan saat ia mati maka tidak wajib disholati”. [ Hasyiyah Bujairomi VI/98, I/455 ].

Selanjutnya, terkait cara memandikan dan mengkafani korban mutilasi ataupun jenazah yang rusak akibat kecelakaan ataupun kebakaran.

Pertama, Burhanudin Ibnu Mazah mengatakan,

وإن أوجد شيئاً من أطراف ميت كيد أو رجل أو رأس لم يغسل ولم يصلِ عليه، ولكنه يدفن

Jika hanya ditemukan potongan tubuh mayit, seperti tangan atau kaki, atau kepala saja, dia tidak dimandikan dan tidak dishalatkan, namun langsung dimakamkan.

Kemudian beliau menyebutkan keterangan dari Imamnya, disebutkan oleh al-Hasan bin Ziyad dari Abu Hanifah, beliau mengatakan,

إذا وجد أكثر البدن غسل وكفن وصلي عليه ودفن. وإن كان نصف البدن، ومعه الرأس غسل وصلي عليه ودفن

Jika ditemukan potongan tubuh mayat yang lebih utuh, dia dimandikan, dikafani, dishalati, dan dimakamkan. Dan jika ditemukan separoh jasad dan ada kepalanya maka dikafani, dimandikan, dishalati, dan dimakamkan.

Beliau juga mengatakan,

وإن كان مشقوقاً نصفين طولاً، فوجد منه أحد النصفين لم يغسل، ولم يصلِ عليه، ولكنه يدفن لحرمته، وإن كان نصف البدن بلا رأس غسل، ولم يصلِ عليه. وإن كان أقل من نصف البدن ومعه الرأس غسل وكفن ودفن ولا يصلى عليه

“Jika terbelah memanjang separoh, dan ditemukan hanya separohnya, maka tidak dimandikan, tidak dishalati, namun dikubur dalam rangka memuliakan jasadnya. Jika ditemukan separoh jasad melintang tanpa kepala maka dimandikan dan tidak dishalati. Jika kurang dari separoh jasad dan ada kepalanya, dia dimandikan, dikafani, dikuburkan dan tidak dishalati.” (al-Muhith al-Burhani, 2:364).

Kedua, keterangan dalam Hasyiyah Ibn Abidin,

لو وجد طرف من أطراف إنسان أو نصفه مشقوقا طولا أو عرضا يلف في خرقة إلا إذا كان معه الرأس فيكفن

“Jika ditemukan potongan anggota badan manusia atau ditemukan separoh badan terbelah memanjang atau melintang, cukup dibungkus dengan kain (tidak dimandikan), kecuali jika ada kepalanya maka dia dikafani.” (ar-Raddul Mukhtar, 2:222).

Dari beberapa keterangan di atas, kita bisa mengambil kesimpulan,

1. Potongan jasad mayat, ada yang disikapi sebagai layaknya manusia utuh dan ada yang disikapi bukan sebagai manusia.

2. Potongan jasad yang disikapi sebagaimana layaknya manusia, wajib dimandikan, dikafani, dishalati dan dimakamkan sebagaimana layaknya jenazah. Sebaliknya, potongan jasad yang tidak disikapi sebagaimana layaknya manusia, tidak dimandikan dan tidak dishalati, tapi cukup dibungkus dengan kain dan dikuburkan.

3. Potongan yang disikapi sebagai jasad manusia utuh:
Potongan jasad mayat yang lebih dari separoh, meskipun tanpa kepala
Potongan kurang dari separoh badan bersama kepala

4. Potongan yang disikapi BUKAN sebagai jasad manusia utuh
Hanya potongan anggota badan, seperti tangan, kaki
Hanya potongan separoh tanpa kepala.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Perjuangan HOS Tjokroaminoto

R Tjokroaminoto dilahirkan pada 16 Agustus 1882. Nama kecilnya adalah Oemar Said. Ia lahir di sebuah kampung di Madiun bertepatan dengan meletusnya gunung Krakatau di Selat Sunda, dari keluarga Raden Mas Tjokromiseno. Dalam diri Tjokroaminoto mengalir sekaligus darah santri dan priyayi. Bakat kepemimpinan Tjokroaminoto merupakan turunan dari kakeknya Raden Mas Adipati Tjokronegoro yang menjadi bupati Ponorogo dan ayahnya sendiri sebagai Wedana di Kepatihan Pleco. Kakek dari nasab ibunya yaitu Kyai Bagoes Salim Kasan Besari, adalah seorang ulama terkenal dari Ponorogo, Jawa Timur yang memiliki sebuah pondok pesantren di desa Tegalsari.

Silsilahnya: HOS Tjokroaminoto bin Tjokroamiseno bin Tjokronegoro bin Kyai Hasan Besari bin Kyai Ilyas bin Kyai Muhammad Besari Tegalsari. Gelar Raden Mas didapat HOS Tjokro karena Kyai Hasan Besari menikahi RA Moertosiyah, cucu dari Sunan Paku Buwono III dari Kraton Solo.

Kakeknya tersebut merupakan seorang ulama kenamaan pada penghujung abad kesembilan belas, yang menyemarakkan kegiatan keagamaan di wilayah karesidenan Madiun. Sebagai pemimpin agama yang berkiblat pada kepentingan umat, Kasan Besari menjalani kehidupan bersahaja, sesuai dengan keadaan masyarakat yang miskin dan terbelakang. Pengaruhnya semakin luas sampai menjangkau daerah-daerah lain di luar kawasan Ponorogo dan Jawa Timur.

Kemashuran dan kebagusan pondoknya yang tiada tandingnya dewasa itu, menyebabkan nama beliau itu di sekeliling Tegalsari menjadi buah bibir banyak orang, hingga lama-kelamaan seiring berjalannya waktu mashurlah nama beliau di seluruh tanah Kerajaan Jawa (Surakarta) dan akhirnya nama besar dan kealimannya pun menembus tembok Keraton Surakarta. Keluarga keraton dan Susuhunan akhirnya tertarik pada kealiman dan nama besarnya, kemudian beliaupun dikawinkan dengan seorang puteri dari Susuhunan ke-II. Maka beliaupun menjadi keluarga ningrat Keraton Surakarta, oleh karena itu beliau sebagai keluarga Keraton dan bahkan sebagai menantu Susuhunan berhak menyandang gelar kehormatan sebagai keluarga ningrat Keraton Surakarta, namun berbeda dengan yang lainnya, Kyai Bagus Kasan Basari sangat rendah hati dan tidak mau menggunakan gelar kebangsawanan yang diberikan kepadanya, beliau tetap menggunakan nama biasa, yaitu: Kyai Bagus Kasan Basari.

Dari pernikahannya dengan seorang puteri Keraton Surakarta itu, Kyai Bagus Kasan Basari dianugrahi seorang putera yaitu: Raden Mas Adipati
Cokronegoro, yang mana dikemudian hari diangkat menjadi Bupati Ponorogo.

Oleh karena jasanya kepada negeri, Raden Mas Adipati Cokronegoro dianugerahi bintang Riddeer der Nederlandsche Leeuw oleh pemerintah Hindia Belanda pada masa itu.

Berbeda dengan ayahnya Kyai Bagus Kasan Basari, beliau Raden Mas Adipati Cokronegoro tidak menjadi seorang ulama besar dan tidak pula memimpin Pondok Pesantren, melainkan beliau terjun ke dunia politik menjadi pegawai pemerintah. Selama menjalani karirnya menjadi pegawai pemerintah, beliaupun tercatat pernah menduduki jabatan penting yakni menjadi seorang Bupati yang memimpin rakyat Ponorogo dengan sangat baik dan dihormati oleh seluruh rakyatnya, sehingga beliau mendapat sebuah gelar kehormatan dari pemerintah pada masa itu. Hal ini pulalah yang pada akhirnya mengalir pada anak keturunannya yang sangat mashur dan disegani oleh semua orang pada masanya, yakni H.O.S Tjokroaminoto yang mashur bukan hanya di tanah Jawa melainkan di seluruh Indonesia berkat kepemimpinannya dalam organisasi Sarekat Islam.

Dalam perjalanan hidup keluarganya, Raden Mas Adipati Cokronegoro dianugerahi seorang putra yang bernama Raden Mas Cokroamiseno.
Cokroamiseno mengikuti jejak sebagaimana ayahnya, yakni sebagai pegawai pemerintah, karena selama hidupnya diapun menerjuni pekerjaan sebagai pegawai Pamongpraja pula. Raden Mas Cokroamiseno pernah menduduki jabatan-jabatan penting pemerintah, di antaranya adalah sebagai Wedana di Kawedanan Kleco.

Raden Mas Cokroamiseno inilah yang merupakan ayah dari H.O.S Tjokroaminoto. Jika kita lihat dari silsilah keluarganya ini, maka jelas bahwa H.O.S Tjokroaminoto berasal dari keturunan ningrat Keraton Surakarta dan juga keturunan seorang ulama besar, maka tak heran jika beliau mampu menjadi seorang pemimpin yang terkenal dan sangat berpengaruh melalui organisasi yang
ia pimpin sekaligus juga menjadi seorang ulama yang alim dan bijaksana.

H.O.S Tjokroaminoto merupakan anak kedua dari dua belas bersaudara.
Mereka adalah (secara beruntun dari yang tertua):

1. R. M. Oemar Djaman Tjokroprawiro, pensiunan Wedana.
2. R. M. H. Oemar Said Tjokroaminoto.
3. R. Aju Tjokroadisoerjo, isteri almarhum pensiunan Bupati Purwokerto.
4. R. M. Poerwadi Tjokrosoedirdjo, Bupati yang diperbantukan kepada Residen Bodjonegoro.
5. R. M. Oemar Sabib Tjokrosoeprodjo, pensiunan Wedana, kemudian masuk PSII dan Masjumi, serta tewas di Madiun dijaman yang terkenal dengan nama
“Madiun Affaire”.
6. R. Adjeng Adiati.
7. R. Aju Martowinoto, isteri pensiunan pegawai tinggi PTT.
8. R. M. Abikoesno Tjokrosoejoso, ahli bangunan (arsitek).
9. R. Adjeng Istingatin
10. R. M. Poerwoto.
11. R. A. Istidjah Tjokrosoedarmo, pegawai tinggi kehutanan.
12. R. A. Istirah Mohamad Soebari, pegawai tinggi kementerian perhubungan.

Di antara mereka yang mengikuti jejak Tjokroaminoto malang-melintang di dunia pergerakan adalah R. M. Oemar Sabib dan R. M. Abikoesno Tjokrosoejoso. Sedangkan saudara-saudaranya yang lain mengikuti jejak ayahnya
sebagai Bupati, Wedana, pegawai tinggi maupun yang lainnya.

Agaknya, latar belakang keluarganya itulah yang menyebabkan Oemar Said dapat menjalani kehidupan masa kecilnya tanpa melalui guncangan yang berarti, sebagaimana terjadi pada lazimnya anak-anak pribumi. Ayahnya memberinya pendidikan agama ketat sejak dini, disamping pendidikan Barat sesuai lazimnya para pejabat pemerintah kala itu.

Pada usia dua puluh tahun, Oemar Said telah menyelesaikan pendidikannya di OSVIA Magelang, sebuah sekolah gubermen yang mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pegawai pamong praja. Tiga tahun berikutnya, ia bekerja sebagai juru tulis di Kepatihan Ngawi. Ia bahkan sempat berhasil menjadi patih, tetapi tidak lama kemudian meninggalkan pekerjaan ini untuk pindah ke Surabaya dan bekerja pada sebuah perusahaan Belanda. Di kota ini juga ia mengikuti kursus-kursus pada malam hari dalam menekuni soal teknik mesin di Sekolah Teknik Mesin.

Pada tahun 1907, ia mulai menekuni dunia jurnalistik. Tulisan-tulisannya di berbagai media cetak dikenal sangat tajam. Dunia jurnalistik inilah yang membuatnya meninggalkan tugasnya dari pemerintahan Hindia Belanda. Tetapi kemudian ia melamar menjadi masinis, lalu bekerja sebagai ahli kimia di sebuah pabrik gula, di daerah dekat Surabaya.

Sementara itu, semangat kebangsaannya mulai tumbuh. Ia kemudian mewujudkan semangat kebangsaannya itu dengan masuk ke kancah politik dan mulai mengorganisasikan para pemuda pribumi untuk lebih aktif meningkatkan kesadaran dan kemampuan di segala bidang.

Sesudah ia menunaikan ibadah haji, ia meninggalkan gelar keningratannya, dan lebih suka memperkenalkan diri dengan nama Haji Oemar Said Tjokroaminoto, atau lebih dikenal dengan panggilan akrab HOS. Tjokroaminoto.

Pada tahun 1905 berdiri organisasi Sarekat Dagang Islam, di bawah pimpinan seorang kiai pengusaha, H. Samanhudi. Organisasi ini merupakan organisasai pergerakan kumpulan para pengusaha batik di Solo, yang didirikan sebagai respon terhadap “kebijakan” pemerintah Hindia Belanda yang sangat menganaktirikan penduduk bumi putra yang beragama Islam, dan menempatkan warga kelas putih yang beragama Kristen sebagai warga Negara kelas satu. Terkenal sekali pada saat itu pernyataan Ratu Belanda yang disampaikan dalam pidatonya, “sebagai Negara Kristen, Pemerintah Belanda berkewajiban mengatur dengan lebih baik kedudukan hukum rakyat Kristen yang berada di Kepulauan Hindia Belanda….”

Perlakuan diskriminatif tersebut memberikan semangat bagi SDI untuk memberikan kesadaran politik terhadap pedagang-pedagang Muslim pribumi tentang hak-hak mereka yang diperkosa oleh pemerintah Kolonial, dan meningkatkan persatuan segenap umat Islam. Dalam waktu singkat, wadah para pedagang Muslim ini menyebar ke seluruh penjuru tanah air. Sambutan hangat dan meriah datang dari daerah-daerah di pelosok Nusantara. Mereka mendirikan cabang-cabang SDI di daerahnya. Di Surabaya, Tjokroaminoto menyambut SDI dan segera tampil menjadi pemimpin muda yang sangat berbakat. Ia menjadi  ketua Cabang SDI Jawa Timur.

Pada waktu itu, Tjokroaminoto telah cukup dikenal dengan sikap-sikapnya yang radikal dengan menentang kebiasaan-kebiasaan yang memalukan bagi rakyat banyak. Ia dikenal sebagai seorang yang menganggap dirinya sama derajatnya dengan pihak manapun, baik orang Belanda maupun pejabat pemerintah. Harapannya begitu besar untuk dapat melihat sikap yang dimilikinya itu juha menjadi sikap kawan-kawan sebangsanya, terutama dalam berhubungan dengan orang-orang Belanda  dan bangsa asing pada umumnya. Pada zaman ketika orang pribumi harus menunduk dan duduk bersila saat berhadapan dengan pejabat pemerintah kolonial Belanda, Tjokroaminoto dengan dramatis sekali berani melanggar kebiasaan itu. Ia memiliki keberanian untuk duduk di kursi ketika menemuo seorang pejabat pemerintah. Ia bicara dengan tenang tanpa menundukkan kepala, bahkan pandangan matanya disorotkan dengan tajam. Ia duduk dengan santai sambil meletakkan sebelah kakinya pada kakinya yang lain. Ia kemudian dikenal sebagai Gatotkaca Sarekat Dagang Islam.

Surabaya pada tahun 1912 adalah merupakan salah satu keputusan yang sangat bersejarah, karena dalam kongres itu nama Sarekat Dagang Islam (SDI) berubah menjadi Sarekat Islam (SI). Dan mengubah konsep pergerakan di bidang ekonomi menjadi organisasi pergerakan yang beroritentasi pada sosial-politik.  Lewat kongres itu pula H. Samanhudi menyerahkan kursi kepemimpinan SI kepada Tjokroaminoto.

Di bawah kepemimpinannya, organisasi pergerakan ini kemudian dapat tampil menjadi gerakan nasional secara total. Ia mampu mengembangkan missi gerakan bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri. Jika pada awal-awal kelahiran organisasi pergerakan ini menggunakan istilah “kongres” dalam musyawarah kerjanya, maka pada periode-periode berikutnya organisasi ini menggunakan istilah “kongres nasional” yang sekaligus mencerminkan organisasi ini sebagai pergerakan nasional secara menyeluruh. Gerakan SI yang menyebar ke segenap penjuru Nusantara itu bukan saja mencerminkan bahwa organisasi tersebut telah tersebar ke seluruh daerah di Nusantara, tetapi juga mencerminkan suatu usaha yang sadar dari pemimpin-pemimpinnya untuk menyebarkan dan menegakkan cita-cita nasionalisme.

Bagi Tjokroaminoto istilah “nasionalisme” itu merupakan suatu usaha untuk meningkatkan seseorang pada tingkat natie (bangsa), untuk berjuang menentukan pemerintahannya sendiri, atau setidak-tidaknya agar rakyat Indonesia diberikan hak untuk mengemukakan pendapatnya dalam masalah-masalah politik. Dalam kongres nasional di Bandung pada tahun 1916 itu ia berkata”

“tidaklah wajar untuk melihat Indonesia sebagai sapi perahan yang diberikan makan hanya disebabkan oleh susunya. Tidaklah pada tempatnya untuk menganggap negeri ini sebagai suatu tempat dimana orang-orang datang dengan maksud mengambil hasilnya, dan pada saat ini tidaklah lagi dapat dipertanggungjawabkan bahwa penduduknya terutama penduduk pribumi, tidak mempunyai hak untuk berpartisipasi di dalam masalah-masalah politik, yang menyangkut nasibnya sendiri…….Tidak bisa lagi terjadi bahwa seseorang mengeluarkan undang-undang dan peraturan untuk kita tanpa partisipasi kita, mengatur hidup kita tanpa pastisipasi kita”

Tjokroaminoto mengambil sikap yang pasti dalam menghadapi perkembangan masyarakat yang semakin terbuka. Di bidang kebudayaan, ia sangat ketat menjaga kelestarian adat istiadat yang ada sebagai milik bangsa Indonesia, dan karena itu ia sangat selektif terhadap kebudayaan Barat yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial. Dengan bangga ia mempertahankan bentuk-bentuk kesenian Jawa dan berbagai tradisi lainnya. Akan tetapi, ia menentang simbol-simbol pemujaan yang masih dilaksanakan sebagian besar rakyat Indonesia, seperti gelar keningratan, sembah sujud, dan sesajen-sesajen. Oleh karena itu, ia mengikuti gerakan “Jawa Dwipa” yang bertujuan mengubur sikap mental dan lambang-lambang feodalisme. Ia menerapkan metode dan sistem Barat dalam menjalankan roda organisasi, dalam bekerja, berdiskusi, dan berfikir, tapi menentang sikap dan gaya hidup kebarat-baratan yang menimbulkan akbiat-akibat negatif dalam masyarakat.

Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto terus dikembangkan lewat Sarekat Islam ini. Titik tolak pemikiran dan cita-cita perjuangannya didasarkan atas tiga dimensi, yakni situasi dan kondisi kemasyarakatan yang menjadi tantangan dan harus dihadapinya;  aktifitas-aktifitas yang dilakukannya dalam dunia pergerakan nasional sebagai jawaban terhadap tantangan yang dihadapinya; dan gagasan-gagasan yang ditawarkan, baik secara langsung melalui ceramah-ceramahnya maupun berupa tulisan dalam berbagai media massa.

Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto dituangkan dalam berbagai tulisan karangan di media massa maupun dalam bentuk buku. Beberapa buku hasil tulisan karangannya sangat dikenal dan menjadi bagian terpenting dalam sejarah pergerakan Indonesia. Ia menulis sejarah Nabi Muhammad Saw, agar masyarakat mau meninggalkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam dan menjalankan ajaran Islam sesuai dengan ajaran nabi. Ia juga menulis buku berjudul Reglement Umum Umat Islam, sebagai pedoman hidup umat Islam dalam bidang akhlak, akidah, ibadah, perkawinan dan amar makruf nahi munkar. Tentang pendidikan ia menulis buku berjudul Muslim National Onderwijs, yaitu membentuk manusia berpribadi Muslim, melalui pelatihan otak, menanamkan semangat kemerdekaan dan keberanian yang patriotik, membiasakan berbuat baik, dan hidup sederhana. Sedangkan untuk menanggulangi faham sosialisme yang disusung oleh kaum atheis dan komunis di Indonesia ia menulis buku Islam dan Sosialisme. Buku ini sangat terkenal dan monumental, bahkan menjadi salah satu karya terbesar Tjokroaminoto. Di dalamnya memuat sistem kemasyarakatan yang social-religius dengan susunan pemerintahan yang bersendikan demokrasi, dan musyawarah untuk mufakat.

Salah satu wasiat Tjokroaminoto yang sangat terkenal adalah ungkapan “lerena mangan sadurunge wareg” yang berarti “berhentilah makan sebelum kenyang”. Pesan ini memang bersumber dari hadis Nabi Muhammad Saw. Akan tetapi dengan mewariskannya secara turun menurun, menunjukan bahwa Tjokroaminoto ingin menyampaikan kepada generasi bangsa, agar menghindari sikap rakus dan serakah serta menggunakan aji mumpung, dengan menggunakan jabatan untuk kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan.

Pada tahun 1926, dalam perjalanan ibadah haji, Tjokroaminoto melakukan kunjungan ke Muktamar Alam Islami di Makkah. Saat-saat yang berharga itu tidak disia-siakannya untuk menggalang kerjasama umat islam internasional dan mewujudkannya di Indonesia dengan mengadakan kongres-kongres Al-Islami yang dihadiri oleh organisasi-organisasi nasional berasaskan Islam.

Pada kongres PSII ke-20 di Banjar Negara, 20-26 Maret 1934, Tjokroaminoto menyodorkan sebuah wasiat  tertulis yang disahkan oleh forum sebagai “Pedoman Umat Islam”. Isinya memberikan wasiat dan pesan kepada umat Islam supaya menjadi pelopor dalam upaya membawa masyarakat menuju tatanan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam. Ia merasa bahwa kondisi kesehatannya semakin memburuk. Beberapa kali ia jatuh sakit dan harus menjalani perawatan.

Masa-masa berakhirnya perjuangan tokoh ini mulai terlihat tanda-tandanya. Di bulan Ramadhan 1553 H, Tjokroaminoto menderita sakit yang cukup parah di Yogyakarta. Konon di saat-saat terakhir itu, sekonyong-konyong Tjokroaminoto bangkit dan duduk, kemudian ia mengatakan bahwa ia sedang bertemu Rasulullah. Kemudian ia tidur kembali. Peristiwa itu berulang-ulang hingga Tjokroaminoto berpulang ke rahmatullah pada hari Senin Keliwon, 17 Desember 1934, bertepatan dengan 10 Ramadhan 1553 H.

Minggu, 13 Oktober 2019

Sejarah Perjuangan Adipati Brotonegoro Polorejo


Pada tahun 1765 Polorejo resmi menjadi kota Kabupaten, dengan bupatinya yang pertama ialah putra Surodiningrat I bupati Ponorogo yaitu Raden Tumenggung Brotonegoro. Pusat pemerintahan kabupaten terletak di Dukuh Dalem Ds. Polorejo, sekarang Jl. Srigading. Sekitar tahun 1824 M ada utusan seorang senopati keraton Solo mengadakan kunjungan ke Katemenggungan Polorejo, karena memang saat itu kabupaten Polorejo di bawah kekuasaan keraton Solo.
Ketika selama kunjungan di Polorejo senopati itu tertarik akan kecantikan putrinya tumenggung Brotonegoro yang sedang menjanda kembang. Akan tetapi sang tumenggung sangat keberatan jika anaknya dijadikan selir oleh sang senopati, yang menurut cerita sudah banyak selir itu. Karena usahanya tidak berhasil, senopati itu mendekati Tumenggung Sumoroto yang kebetulan ada ketidak cocokan dengan tumenggung Brotonegoro.  Maka diaturlah siasat memfitnah sang tumenggung ke Raja Solo, dia membuat laporan bahwa, tumenggung Brotonegoro mbalelo. Mendapat laporan ini, raja Solo nimbali (memanggil) Brotonegoro untuk menghadap sang raja.
Selanjutnya secara diam-diam raja Solo mengirimkan telik sandi (intel) pribadi agar menyelidiki ketemenggungan Polorejo. Hasil investigasi dari pada telik sandi itu adalah bahwa, tidak diperoleh bukti–bukti yang kuat yang menunjukkan adanya tumenggung Polorejo Brotonegoro akan mbalelo ( memberontak ) ke Solo. Telik sandi itu tidak mendapati adanya pelatihan-pelatihan perang yang dilakukan oleh para prajurit katemenggungan, yang didapati hanyalah latihan pencak silat biasa saja, dan ketika ditanyakan kepada penduduk desa, mereka rata-rata men jawab tidak ada apa-apa, lagi pula situasi lingkungan katemenggungan tampak aman tidak ada tanda-tanda yang membahayakan keamanan, dan persiapan pemberontakan.
Kemudian raja Solo mengirim lagi utusan untuk memanggil Brotonegoro agar menghadap Raja, seraya utusan itu mengatakan bahwa Raja tidak akan menghukumnya dengan jaminan dirinya sendiri. Artinya jika sampai di Solo Brotonegoro jadi dihukum, maka hidup dan matinya utusan itu diserahkan kepada Brotonegoro.
Ketika Tumenggung Brotonegoro memenuhi panggilan rajanya berangkat dari Polorejo bersama-sama para prajurit dan utusan menuju Solo, dalam perjalanan tidak mendapati gangguan apapun dan selamat sampai di keraton. Kemudian Tumeng gung bersama utusan memasuki keraton menghadap Raja, sesampainya di hadapan raja tidak ada tutur kata yang mengancam keselamatannya dari rajanya, bahkan hanya membicarakan tentang keadaan keamanan katemenggungan, dan kesejahteraan penduduk Kabupaten  Polorejo  dan tidak ada yang lain. Menjadi legalah hati sang tumeng gung setelah sekian waktu dihadapan raja diterima dengan baik dan tidak ada tanda-tanda untuk di rangket (di tangkap) untuk di penjarakan.
Setelah selesai pisowanan (menghadap) raja, Brotonegoro pulang kembali ke Kabupaten Polorejo dengan selamat, dan sesampainya di dalem Kabupaten terus istirahat untuk melepas lelah dan bersyukur kepada Tuhan bahwa dirinya terlepas dari  fitnah  yang mengancamnya dengan hukuman penjara.
Perlawanan RT Brotonegoro terhadap Belanda
Pada tahun 1825 M ketika terjadi perang Diponegoro melawan Belanda, P. Diponegoro beserta bala tentaranya memasuki wilayah Ponorogo dari wilayah kabupaten Pacitan, dan istirahat di kabupaten Polorejo yang ketika itu bupatinya tumenggung Brotonegoro. Setelah bala tentara P. Diponegoro istirahat sehari semalam di Polorejo, mereka lalu berangkat lagi kearah barat menuju Jawa Tengah melalui Sumoroto dan Badegan kemudian kembali ke Yogjakarta.
Setelah Polorejo ditinggalkan bala tentara P. Diponegoro, Belanda memasuki wilayah kabupaten Polorejo dengan persenjataan lengkap dan menyerbu, akan tetapi ketika itu Brotonegoro sudah siap untuk menghadapi pasukan Belanda karena memang sudah antisipasi sebelumnya, mesti nanti sepeninggalnya tentara P. Diponegoro dari Polorejo Belanda pasti menyerbu Kabupaten Polorejo. Dan betullah antisipasi Brotonegoro tersebut, karena itu sebelum di serbu oleh Belanda, Brotonego sudah menyiapkan para prajurit dengan persenjataan lengkap dan persiapan mental dan phisik yang mantap menghadapi serangan Belanda.
Sebelum kompeni Belanda tiba di wilayah wewengkon Kabupaten Polorejo, tumenggung Broto negoro sudah mendapatkan informasi tentang dari arah mana bala tentara Belanda akan menyerang Polorejo. Informasi dari teliksandi (inteljen) tumenggung Brotonegoro itu menerangkan, bahwa Belanda akan memasuki dan menyerang dari arah Utara Barat yaitu daerah Magetan, oleh karena itu tumenggung Brotonegoro membuat calon (bakal) pesanggrahan di sebelah barat daya kabupaten Polorejo + 2,5 Km, pesanggrahan itu terbuat dari bambu yang di bentuk menara yang tinggi digunakan untuk mengintai kedatangan musuh. Kemudian tempat untuk membuat calon (bakal-Jw.) pesanggrahan itu di abadikan sebagai sebuah dukuh yaitu Bakalan yang masuk wewengkon Polorejo.
Adapun pesanggrahan yang dibuat oleh para prajurit Brotonegoro itu letaknya lurus di utara masjid Bakalan +/-500 m. Tidaklah sia-sia persiapan Brotonegoro untuk  membuat  pesanggrahan itu, dan betul-betul bermanfaat untuk mengintai kedatangan Belanda, karena ketinggian menara pesang grahan itu 2x setinggi pohon bambu (rong uder- Jw.) dan sekaligus sebagai pusat komando.
Perang Brotonegoro melawan Belanda sudah tidak dapat dihindari lagi dan betul-betul terjadi pada tahun 1825 M. Medan pertempuran berada di sebelah barat daya pesanggrahan, ketika tumenggung Brotonegoro menjemput kedatangan Belanda diikuti oleh banyak prajurit, dan sebagai tanda jika Belanda sudah datang seorang prajurit di perintah memukul gong yang disebut kyai Demung sekaligus sebagai aba-aba perang. Disaat Belanda datang prajurit pemukul gong demung memukul gong itu terus-menerus hingga kuda yang di tunggangi Brotonegoro lari melesat secepat kilat ndigar-ndigar menjemput musuh, dan tumenggung tampak gagah berani sebagai komandan perang.
Peperangan berlangsung hingga waktu sore hari menjelang malam, hingga sangat sulit untuk melihat lawan dan kawan dan Belandapun mundur, prajurit Brotonegoro banyak yang menyebar kocar kacir di berbagai penjuru arah. Namun tumeng gung sudah kembali lagi ke pesanggrahan diikuti oleh sebagian prajurit, waktu sudah betul-betul malam banyak prajurit kebingungan untuk kembali ke pesanggrahan, karena memang medan peperangan saat itu masih berupa hutan belantara. Di saat prajurit itu kebingungan mencari pesanggra han, tiba-tiba saat itu ada seorang prajurit yang melihat lampu yang kerlip-kerlip (kelip-kelip.Jw) tidak jauh dari tempat prajurit itu berdiri yaitu di arah sebelah barat lurus, kemudian mereka sama mengatakan yang kelip-kelip diatas itu pasti lampu pesanggrahannya ndoro Brotonegoro, dan ternyata betul. Setelah mereka berjalan menuju ke arah lampu tersebut ketemu dengan prajurit-prajurit lainnya dan mereka dapat berkumpul kembali.
Kemudian tempat prajurit memukul Gong Demung tadi dinamakan dukuh Demung masuk Ds.Sukosari. Tempat ndigar-ndigar kudanya Brotonegoro dinamakan persawahan Tegari, karena sekarang tempat ini berupa tanah persawahan masuk Desa Polorejo. Tempat prajurit mengatakan kelip-kelipnya lampu pesanggrahan itu dinamakan Sekelip masuk wilayah Polorejo. Bekas (petilasan) pesang grahan Brotonegoro dinamakan sawah Tilasan, karena sekarang berupa tanah persawahan, yang dahulu kala ada gerumbulnya dinamakan gerumbul Tilasan dan gerumbul itu di tebang sekitar tahun 1998 M.
Jatuhnya Kota Madiun ke Tangan Belanda.
Pada tanggal 15 Nopember 1825 pertahanan kabu paten Madiun yang setia kepada P. Diponegoro dipusatkan diselatan kota Ngawi, namun para pasukan yang berada dalam pertahanan ini mendapat gempuran yang hebat dari serdadu Belanda. Dari sebelah utara di gempur oleh Belanda yang dipimpin oleh Theunissen, dari barat di serang Belanda yang dipimpin oleh Letnan Vlikken Sohild dengan ratusan prajurit Jogorogo Surakarta pro Belanda. Akhirnya pasukan Madiun yang setia kepada P. Diponegoro menjadi kocar-kacir dan Ngawi jatuh ketangan Belanda.
Pada waktu itu pertahanan P. Diponegoro di Madiun sektor Selatan di tempatkan di daerah Kabupaten Pacitan dengan panglima daerah dibawah pimpinan Bupati Mas Tumenggung Djojokaridjo, Mas Tumenggung Djimat dan Ahmad Taris, namun karena kuatnya serdadu Belanda pada akhir Agustus 1825 M, Pacitan dapat dikuasai oleh ser dadu Belanda.
Dengan berhasilnya Belanda melumpuhkan pasukan P. Diponegoro di Madiun, pertahanan sektor Selatan dan sektor Utara (Ngawi), maka wilayah Madiun secara keseluruhan sudah jatuh ketangan Belanda dan Brotonegoro bupati Polorejo yang menjadi benteng pertahanan kota Ponorogo utarapun di obrak-abrik oleh Belanda. 
Brotonegoro seorang bupati yang gagah berani itu tetap menghadang serdadu Belanda yang datang dari arah kota Madiun dan Goranggareng Magetan. Karena pasukan dan persenjataan yang tidak seimbang, maka pasukan Brotonegoro banyak yang tewas, dan pertempuran menjadi tidak seimbang karena semakin sedikitnya pasukan Brotonegoro maka pekathiknya dengan sigap meloncat naik ke punggung kudanya Brotonegoro dan menarik ken dali kudanya dan mencambuk-cambuknya hingga kudanya lari melesat cepat menuju arah Barat laut.
Melihat Brotonegoro keluar dari medan pertempuran dan memacu kudanya sangat cepat, Belanda pun mengejarnya hingga Brotonegoro naik kepun cak Gunung Gombak (Nglarangan) Kauman Sumoroto. Gunung kecil itu diatasnya tidak berpenduduk hingga Belanda sangat mudah untuk mengepung perbukitan tersebut. Pada waktu itu tidak boleh seorangpun penduduk pribumi yang naik ke atas bukit, hingga waktu yang sangat lama, sehingga karena tidak ada makanan dan minuman setelah bertahan sekian bulan lamanya, akhirnya sang Bupati Brotonegoro menemui ajalnya.
Kemudian Gunung Gombak tersebut dinamakan Gunung Larangan, karena adanya larangan dari Belanda selama Brotonegoro berada diatas bukit, tidak boleh ada orang pribumi yang naik keatasnya. Akhirnya jenazah Brotonegoro oleh Belanda dikuburkan diatas Gunung itu, dengan pemakaman secara Islam, bersama kudanya Tejosumekar dan pekathiknya. 
Setelah Brotonegoro wafat dalam medan perang dengan cara yang sangat tidak manusiawi oleh perlakuan Belanda, maka yang menggantikan kedudukan Bupati Polorejo adalah Brotowirjo sekitar tahun 1825 s/d 1829 M, dia adalah adik kandung Brotonegoro, dan menjadi bupati Polorejo tidak lama hanya dalam kurun 3 tahun sudah meninggal dunia, kemudian digantikan oleh putra menantunya yang bernama Mertomenggolo tahun 1829 – 1834 M. Selanjutnya di gantikan oleh R.T Wirjo negoro putra R.T Brotowirjo tahun 1834 – 1837. Di tahun inilah R.T Wirjonegoro meninggal dunia dan dimakamkan dimakam keluarga R. Betoro Katong Setono Jenangan Ponorogo. Dengan demikian Kabupaten Polorejo sudah runtuh dan di hanguskan oleh pemerintahan Belanda bersama dengan kabupaten Kutha Wetan (Kota Lama).

Sabtu, 12 Oktober 2019

Sejarah Perjuangan Sayyid Hasan Bin Thoha (Mbah Singo Barong)


Kota Semarang menyimpan kisah banyak sejarah tokoh perjuangan Kerajaan Islam Nusantara. Salah satunya adalah Habib Hasan bin Toha bin Muhammad bin Thoha bin Yahya yang dikenal oleh masyarakat dengan nama Mbah Kramat Jati. Habib Luthfi bin Yahya menyebutkan bahwa beliau mendapat gelar Singo Barong karena sebagai Pimpinan Perang Hamengku Buwono II.
Habib Hasan bin Thoha bin Yahya lahir di kota Inat (Hadramaut), dari pasangan Habib Thoha bin Yahya dengan Syarifah Aisyah binti Abdullah Al-Idrus. Beliau mendapat pendidikan langsung dari kedua orangtuanya sampai hafal Alquran sebelum usia tujuh tahun. Sebelum menginjak dewasa, dia telah banyak hafal kitab-kitab.
Di samping belajar ilmu syariat, Habib Hasan juga belajar tasawuf kepada para ulama. Di antara guru beliau adalah Habib Umar bin Smith dan Quthbil Ghouts Al Habib Alwi bin Abdullah Bafaqih. Denga ilmu yang tinggi, dakwah Habib Hasan diterima khalayak umum maupun khusus. Fatwa-fatwanya banyak didengar oleh pembesar kerajaan waktu itu.
Pada waktu muda, setelah mendapat izin dari gurunya untuk berdakwah dan mengajar, Habib Hasan ke Afrika di Tonja, Maroko dan sekitarnya, kemudian ke daerah Habsyah, Somalia terus ke India dan Penang Malaysia untuk menemui ayahnya.
Setelah tinggal beberapa waktu di Penang, dia mendapat izin dari ayahnya untuk ke Indonesia meneruskan dakwahnya. Habib Hasan pertama kali masuk ke Palembang kemudian ke Banten. Pada saat tinggal di Banten, dia diangkat oleh Sultan Rofiudin, atau Sultan Banten yang terakhir waktu itu menjadi Mufti Besar.
Di Banten tidak hanya mengajar dan berdakwah, dia juga bersama-sama dengan pejuang Banten dan Cirebon mengusir penjajah Belanda. Walaupun Sultan Rofi’udin telah ditangkap dan dibuang ke Surabaya oleh Belanda, tetapi Habib Hasan yang telah menyatukan kekuatan pasukan Banten dan Cirebon tetap gigih mengadakan perlawanan.
Setelah itu, Habib Hasan meneruskan dakwahnya lagi ke Pekalongan, Jawa Tengah. Di Pekalongan dia mendirikan pesantren dan masjid di desa Keputran dan tinggal di Desa Ngledok. Pondok Pesantren itu terletak di pinggir sungai.
Sebelumnya, arah sungai mengalir dari arah selatan Kuripan mengalir ke tengah kota menikung sebelum tutupan kereta api. Namun, dengan keistimewan yang dimiliki Habib Hasan, aliran sungai itu dipindah ke barat yang keberadaannya seperti sampai sekarang.
Pengaruh Habib Hasan mulai dari Banten sampai Semarang sangat besar. Tidak mengherankan bila Belanda selalu mengincar dan mengawasinya. Pada tahun 1206 H/1785 M, terjadilah sebuah pertempuran sengit di Pekalongan. Dengan kegigihan dan semangat yang dimiliki Habib Hasan dengan santri dan pasukannya, Belanda kewalahan.
Akhirnya Habib Hasan bersama pasukan dan santrinya mengungsi ke Kaliwungu, Kendal, tinggal di suatu daerah yang sekarang dikenal dengan Desa Kramat. Atas perjuangan, kearifan, serta keluasan ilmu Habib Hasan, Sultan Hamengkubuwono ke II kagum dan menjadikannya menantu. Daerah yang ditempati juga mendapat perlindungan sultan.
Keturunan beliau antara lain:
Sayyid Thoha, Ciledug
Sayyid Muhammad
Mbah Surgi Jatikusumo Batang
Sayyid Ali, Mufti Besar di Yaman
Sayyid Yahya
Sayyid Hamid
Sayyid Alwi
Sayyid Umar
Dewi Aisyah (Raden Mas Ayu)
Raden Ayu Fatimah
Cucu beliau antara lain:
Pangeran Panotogomo Sayyid Muhammad bin Ali bin Hasan, yang menjadi Sultan Alimuddin Kutai Kartanegara
Diantara cucu Beliau yang di Pekalongan adalah Beliau Maulana Habib Luthfi bin Yahya; Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Umar bin Thoha bin Hasan bin Thoha bin Yahya.
Hubungan Habib Hasan bin Thoha & Kraton Yogyakarta
Perjuangan, kearifan, serta keluasan ilmu yang dimiliki Habib Hasan terdengar oleh Sultan Hamengkubuwono ke II, membuatnya menjadi kagum kepada Habib Hasan. Karena kekaguman tersebut akhirnya Habib Hasan diangkat menjadi menantu Sultan Hamengkubuwono ke II dan daerah yang ditempati mendapat perlindungan Kraton Yogyakarta.
Istri Habib Hasan bernama Gusti Kanjeng Ratu Bendoro atau sering disebut Kanjeng Ratu Kedaton dari Garwo Patmi Hamengkubuwoo II yang bernama Bendoro Mas Ayu Rantam Sari. Beliau adalah menantu ke-3 setelah menantu ke-2 Raden Ronggo Prawirodirjo III, adalah Ayah dari Sentot Prawirodirjo.
Dengan demikian jika ditinjau dari hubungan kekerabatan, Raden Tumenggung Sumodiningrat atau Habib Hasan adalah paman dari Pangeran Diponegoro dan Sentot Prawirodirjo. Beliau adalah ipar dari Sultan Hamengkubuwono III (ayah Pangeran Diponegoro).
Beberapa tugas Habib Hasan yang berkaitan dengan keselamatan Sultan Hamengkubuwono II beserta kejayaan Kraton Yogyakarta adalah;
1- Pembebasan Hamengkubuwono II sekaligus pengawalan dari masa pembuangan ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
2- Sebagai utusan khusus Hamengkubuwono II bertemu dengan perwakilan dari Pakubuwono V tentang rencana perlawanan terhadap Inggris pada tahun 1810 di daerah Wedi-Klaten.
3- Sebagai Panglima Besar dalam mempertahankan Plengkung Gading atau pintu utama Kraton Yogyakarta dari sisi selatan, dari serangan Inggris.
4- Pengamanan pantai utara dari serangan kerajaan Inggris dan penjajah dengan mengerahkan pasukan-pasukan beliau yang selalu disebut Bajak Laut oleh penjajah. Padahal pasukan tersebut dikomandoi Tumenggung Sumodiningrat dengan nama kesatuan Singobarong.
5- Penemu strategi perang Capit Urang bersama Sri Sultan Hamengkubuwono II diterapkan di laut maupun darat.
6- Pembangunan masjid-masjid disetiap daerah dimana Beliau ditugaskan, antara lain Masjid Peninggalan Dalem Ngadinegaran, Masjid Bagelen-Purworejo, Masjid Wedi-Klaten, Masjid di Wonosari, Masjid di Kaliwungu-Semarang bersama Kyai Asy’ari.
Selain sebagai ahli strategi perang, beliau terkenal sebagai Syaikhul Akbar di tanah Jawa.
Selama mengabdi dan berjuang di wilayah Mataram, beliau beberapa kali pindah tempat tinggal, dari Purworejo, Wedi-Klaten, Magelang, dan tinggal di wilayah Kaliwungu, tinggal di suatu daerah yang sekarang di kenal dengan desa Kramat.
Habib Hasan tinggal bersama sahabatnya bernama Kyai Asy’ari seorang ulama besar yang menjadi cikal bakal pendiri pesantren di wilayah Kaliwungu (Kendal ), guna bahu-membahu mensyiarkan Islam. Masa tua hingga wafatnya, Habib Hasan tinggal di Semarang tepatnya di daerah Perdikan atau Jomblang yang merupakan pemberian dari Sultan HB II.
Masa Tinggal di Semarang
Setelah mendapat tugas dari Hamengkubuwono II untuk menyelesaikan kekacauan di wilayah Semarang, dimana Adipati Semarang pada waktu itu kewalahan menghadapinya. Habib Hasan mendirikan benteng pertahanan di daerah Jomblang.
Perjuangan beliau tidak pernah berhenti sampai akhir hayatnya. Hasil pertanian dari tanah yang dimilikinya, tidak pernah digunakan untuk kepentingan pribadi, tetapi selalu dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan, sehingga beliau sangat dicintai oleh anak-anak, kawulo cilik, menengah sampai atas. Bahkan para prajuritnya sangat tunduk dan patuh pada beliau. Meskipun begitu, penjajah selalu memfitnah untuk menghancurkan citra beliau, namun tidak pernah berhasil. Bahkan rakyat semakin mencintai beliau.
Thariqah yang dipegang oleh Habib Hasan adalah Thariqah Saadatul ‘Alawiyyin (‘Alawiyyah), Sathariyyah, Qadiriyah, dan Sadziliyah Naqsyabandiyah. Itulah yang diterapkan untuk mendidik keluarga dan anak muridnya, seperti membaca aurad Wirdul Latif, dan istighfar menjelang Maghrib. Setelah berjamaah maghrib dilanjutkan salat sunah rawatib, tadarus Al-Qur’an, membaca Ratib dari Ratibul Hadad, Ratibul Athas, Ratibul Idrus dan wirid Sadatil bin Yahya serta Ratibnya, dilanjutkan shalat Isya’ berjamaah, selanjutnya membaca aurad dan makan bersama.
Di antara kebiasaan beliau yang tidak pernah ditinggalkan adalah berziarah kepada para auliya’ atau orang-orang shaleh, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat. (ziyaratul ‘ulama wal auliya ahyaan wa amwatan). Rumah beliau terbuka 24 jam dan dijadikan tumpuan umat untuk memecahkan segala permasalahan yang mereka hadapi.
Semasa beliau berdakwah dalam rangka meningkatkan umat dalam ketaqwan dan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya,
Pertama; sangat menekankan pentingnya cinta kepada baginda Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya yang dijadikan pintu kecintaan kepada Allah SWT.
Kedua; kecintaan kepada kedua orang tua dan guru, yang menjadi sebab untuk mengerti cara taqarrub, taqwa dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ketiga; sangat menekankan rasa cinta tanah air. Habib Hasan adalah seorang yang lemah lembut dan berakhlak mulia tetapi sangat keras dalam berpegang teguh kepada Syari’atillah  (syariat Allah) dan Sunnah Rasul. Beliau tidak pernah mendahulukan kepentingan pribadinya.
Banyak amalan sirri (rahasia) yang dilakukan oleh beliau setiap malamnya. Sehabis qiyamullail, Habib Hasan berkeliling membagikan beras, jagung dan juga uang ke rumah-rumah fuqara’ wal masakin (faqir miskin), anak-anak yatim dan janda-janda tua. Beliau sangat menghargai generasi muda dan menghormati orang yang lebih dituakan.
Pada waktu hidup, beliau dikenal sebagai seorang yang ahli menghentikan segala perpecahan dan fitnah antar golongan dan suku. Sehingga cara adu domba yang dilakukan pihak penjajah tidak mampu menembusnya. Di samping sebagai ulama’ besar, beliau juga menguasai beberapa bahasa dengan fasih dan benar.
Habib Hasan wafat di Semarang dan dimakamkan di depan pengimaman Masjid Al Hidayah Taman Duku Lamper Kidul Semarang. Hingga saat ini, banyak orang yang yang datang berziarah di makamnya.
Lokasi
Letak Makamnya berada di belakang Java Mall Semarang, masuk lewat pertigaan pasar kambing atau jalan Tentara Pelajarke arah timur pelan-pelan di kiri jalan, ada plang bertuliskan “Ke Makam Waliyullah Assayyid Al Habib Hasan bin Thoha bin Yahya (Mbah Singo Barong)". Tepatnya di Jalan Duku Kelurahan Lamper Kidul Kota Semarang, tepat di belakang Mihrab Masjid Al Hidayah.
Dulunya daerah makam itu berupa tanah pemakaman umum yang berubah menjadi area perumahan. Dan berdasar data bahwa tanah di area makam merupakan tanah perdikan (bebas pajak) hadiah Raja Kraton Yogyakarta pada bala tentara yang dipimpin Mbah Singo Barong.
Maka di zona area pemakaman dulunya dipakai kamp para tentara dan menjadi perumahan para tentara. Dimana Java Mall sekarang itu dulunya adalah markas tentara (Kodim) dan tempat mengatur strategi perang.

Pentingnya Belajar Melalui Guru Dan Sanad


Seseorang bisa keliru pikiran dan keyakinannya disebabkan ilmu yang diperolehnya salah. Karena itu, posisi ilmu sangat penting. Adapun kerusakan dalam bidang ilmu bisa disebabkan beberapa hal. Antara lain; mempelajari ilmu tanpa guru, meremehkan otoritas ulama dan guru yang keliru.

Belajar agama tanpa guru sangat rawan gagal paham dalil agama, dan mudah ditipu aliran sesat. Sesorang ingin mengetahui makna al-Qur’an tanpa belajar dan tanpa bimbingan guru, akan menemui kesulitan. Sebab lafadz al-Qur’an bisa berupa metafora, mengandung makna ganda, dan sifatnya global. Sehingga perlu rincian untuk menemukan hakikat makna sesungguhnya. Begitu pula berlaku dalam belajar fikih, hadis dan lain-lain. Selain itu, seseorang akan mudah ditipu oleh ‘penjahat agama’ bila dia belajar tanpa guru. ‘Penjahat agama’ akan memberi mempengaruhi cara berpikir. Karena tidak figur yang dianuti, ia bisa terpleset logika sesat.

Penting untuk dipertegas, bahwa Islam merupakan agama yang sangat menghormati, memulyakan dan memberi penekanan pada kepentingan ilmu. Apa pun yang dihubungkan dengan ilmu akan menjadi mulya. Ulama mulya karena penguasaan dan pengamalannya terhadap ilmu. Suatu tempat menjadi mulya bila ditempati untuk majelis ilmu. 

Manusia paling mulya di sisi Allah Swt adalah orang yang bertakwa. Ilmu merupakan tangga menuju manusia bertakwa, beribadah dengan betul. Ibadah dikehendaki oleh Allah diperoleh setelah manusia memiliki pengetahuan dan kenal dengan Allah Swt. Ilmu bisa menjadi alat mengendalikan manusia dari perbuatan keji dan munkar.

Bila kita pelajari suatu ilmu, tetapi tidak semakin bertakwa, maka ada dua sebab; bisa jadi ada subjek ilmu yang belum ditekuni dan bisa pula mindset belajarnya keliru yaitu ilmunya dituju untuk tujuan-tujuan tidak baik.

Ternyata, disiplin ilmu-ilmu itu tidak mengandung manfaat kecuali bila membantu menuju kepada takwa. Jadi, kemuliaan ilmu digantungkan oleh manfaat atau tidaknya. Sudah pasti dengan memenuhi syarat mempelajari; yaitu niat karena Allah Swt. Sementara, ilmu yang tidak bermanfaat akan menjadi ‘senjata’ menenggelamkan seseorang dalam kekeliruan.

Maka, setiap ilmu yang tidak disertai rasa takwa dipastikan tidak akan memberikan kebaikan. Dan pemiliknya tidak boleh digelari dengan alim. Ilmu yang wajib diperoleh manusia itu adalah ilmu-ilmu yang dapat menghantar untuk mengenal Allah. Inilah ilmu terbaik, termulya yang setiap Muslim wajib mempelajarinya.

Tidak ada petunjuk – baik itu dalam al-Qur’an, hadis, atau fatwa ulama – itu yang mengukur kemulyaan dengan harta. Karena sikap Islam cukup jelas, bahwa ilmu lebih mulya daripada harta. Justru, cela terhadap harta duniawi sering dijelaskan oleh para ulama.

Karena itu, jika ilmu dicampuri atau dikuasai oleh harta duniawi, maka ilmu menjadi rusak. Dorongan nafsu termasuk duniawi. Makanya, ilmu semestinya mengendalikan hawa nafsu bukan hawa nafsu yang menguasai ilmu.

Dorongan nafsu yang biasa menyerang penuntut ilmu adalah ketidak sabaran menerima ilmu. Imam Syafi’i menasihati, bahwa supaya penuntut ilmu berhasil, memerlukan waktu yang panjang (thulul zaman).

Tetapi akibat dorongan nafsu, maka penuntut ilmu secara instan. Kita lihat kasus-kasus dalam dunia pendidikan saat ini. Gelar akademik yang diperjual-belikan.

Perkembangan di dunia teknologi juga memberi peluang orang melakukan langkah instan dalam belajar. Seorang penuntut ilmu bisa mengakses segala informasi dari media sosial dan website. Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim menjelaskan salah satu adab seorang pelajar adalah jangan sekali-kali mengambil ilmu dari buku tanpa guru. Sebab, lembaran kertas tidak bisa membimbing. Sementara guru akan membimbing jika bacaan pelajar yang keliru.Sepintar apapun dan seluas apapun pengetahuan seseorang bila tidak memiliki sanad guru, maka dalam Islam keilmuannya tidak sah. Serta tidak pantas diangkat sebagai seorang guru alim.

Ilmu sanad adalah sebuah tradisi ilmiah yang hanya dimiliki oleh umat Islam. Tidak ada umat, dari agama dan ras manapun yang memiliki tradisi ilmiah ini. Ahli hadits menyusun rumusan keilmuan ini dengan kaidah-kaidah detil yang mengagumkan.

Isnad atau sanad adalah silsilah nama-nama perawi (pewarta) yang membawakan suatu berita tentang hadits Nabi ﷺ atau kejadian-kejadian sejarah. Dinamakan sanad, karena para penghafal menjadikannya acuan dalam menilai kualitas suatu berita atau ucapan. Apakah ucapan tersebut shahih (valid) atau dha’if (tidak valid).

Dalam tradisi Islam sejarah Islam, kita harus membaca sejarah sebagaimana halnya membaca hadits-hadits Rasulullah ﷺ. Tidak mungkin riwayat dari Rasulullah ﷺ diketahui benar atau tidaknya tanpa melalui proses penelitian sanad (silsilah pewarta) dan matannya (teks berita). Para ulama kita memperhatikan nama-nama periwayat dan redaksi ucapan yang mereka riwayatkan. Mereka mengumpulkan setiap redaksi hadits yang diriwayatkan oleh perawi, memilah-milahnya, menghukuminya, dan memisahkan mana yang shahih dan mana yang dha’if. Dengan metode ini, hadits-hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah ﷺ bisa dibersihkan dari kebohongan dan hal-hal buruk yang disisipkan padanya.

Ironisnya, sekarang ini kaum muslimin tidak lagi memperdulikan kualitas kabar, cerita, dan berita yang mereka baca. Mereka lupa tradisi emas yang disusun oleh ulama-ulama mereka. Sebagian umat Islam gandrung dengan tulisan-tulisan modern dan mengenyampingkan karya ulama-ulama mereka. Mereka membaca sejarah dengan mengedepankan keindahan bahasa dan runut alurnya. Tak lagi memperhatikan apakah riwayat yang dinukil buku-buku tersebut benar atau tidak. Padahal Islam memiliki standar yang tinggi dalam menerima berita.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS:Al-Hujuraat | Ayat: 6).

Ajaran Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah atau Maturidiyah berbeda jauh dari ajaran Salafi Wahabi, yang mengakibatkan sikap dan pandangan ulama dan pengikutnya jauh berbeda. Demikian juga dalam mengambil ilmu agama. Ulama Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah/Maturidiyah sangat mementingkan sanad dari mana ilmu itu didapat.

Jauh berbeda dari Ulama Salafi Wahabi yang mengatakan bahwa ilmu sudah tertulis lengkap dari zaman salaf. Sanad hanya diperlukan di zaman salaf ketika menyampaikan Hadits. Katanya ilmu pengetahuan sudah berkembang sudah tertulis dalam buku. Jadi dengan membaca Kitab induk itu sudah cukup, tidak perlu pakai sanad yang sambung menyambung hingga ke penulis Kitabnya.

Ulama Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah/Maturidiyah sangat mementingkan sanad ilmu, sebab mereka berkeyakinan ilmu agama itu ada dalam diri manusia yaitu pada hati dan akhlak para Ulama. Sedang Kitab adalah hanya catatan ilmu dari hati para Ulama, yang untuk memahaminya kita perlu kenal Ulama itu, agar pemahaman kita dalam membaca Kitab itu sama dengan yang difahami oleh Ulama yang menulisnya.

Rasulullah shallallahu alaihi wassalam mengisyaratkan bahwa ilmu para Nabi memang diwariskan pada Ulama sebagaimana disebut dalam hadits berikut:

العلماء ورثة الأنبياء

Ulama adalah pewaris Nabi

Kemudian hadits berikut lebih menegaskan lagi bahwa ilmu ada pada ulama

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إِنَّ الله لا يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعَاً يَنْتَزِعُهُ من العِبادِ ولَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ حتَّى إذا لَمْ يُبْقِ عَالِمٌ اتَّخَذَ الناس رؤسَاً جُهَّالاً ، فَسُئِلوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا-البخاري

Telah bersabda Rasulullahi shallallahu alaihi wassalam: “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan serta merta mencabutnya dari hati manusia. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ‘ulama. Kalau Allah tidak lagi menyisakan seorang ‘ulama pun, maka manusia akan menjadikan pimpinan-pimpinan yang bodoh. Kemudian para pimpinan bodoh tersebut akan ditanya dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan. [Al-Bukhari (100, 7307); Muslim (2673)]

Itu sebabnya duduk dan bertemu bersama Ulama adalah media belajar dan menimba ilmu yang utama, selain membaca Kitabnya. Dengan bertemu, melihat dan duduk bersama Ulama, kita akan dapat melihat tauladan, merasakan suasana bersama Ulama yang tidak dapat diperoleh kecuali dengan bertemu dan duduk bersama Ulama. Bukankah seorang muslim yang bertemu Rasulullah shallallahu alaihi wassalam dan wafatnya dalam keadaan muslim mendapat gelar yang tidak diperoleh oleh muslim lain yaitu Shahabat radhiallahu anhum.

Ulama yang Ilmunya bersanad, akan selalu bercerita kepada muridnya tentang gurunya. Bahkan Ulama itu sangat ingin agar murid menjumpai gurunya itu, agar muridnya itu memperoleh ilmu dan berkat sebagaimana yang diperoleh oleh Ulama itu. Demikianlah sikap para Ulama yang ilmunya bersanad.

Bukankah doa yang selalu kita baca dalam Surat Al Fatihah, adalah meminta ditunjukkan oleh Allah, jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang telah Allah beri nikmat. Nikmat yang dimaksud adalah tentu nikmat Iman dan Islam. Orang yang telah diberi nikmat itulah para guru dan Ulama, yang belajar dari gurunya yang belajar dari gurunya yang sambung menyambung tanpa putus hingga sampai kepada Sahabat dan seterusnya sampai kepada Rasulullah shallallahu alaih wassalam, puncak pimpinan dari golongan orang yang telah diberi nikmat Iman dan Islam oleh Allah.
Itu pula sebabnya murid-murid sangat hormat pada gurunya, karena memuliakan ilmu warisan Rasulullah shallallahu alaih wassalam yang ada pada diri guru itu. Mereka sangat berterima kasih dan mendatangi gurunya ketika beliau masih hidup maupun sudah wafat dengan menziarahi makamnya. Murid-murid itu juga menziarahi makam Ulama-Ulama terdahulu yaitu guru dari guru mereka, karena begitulah gurunya memberi contoh kepada mereka.

Menziarahi dengan tujuan selain untuk mengingati mati, juga untuk mendoakan, mengingati jasa dan untuk lebih mengenal pribadi Ulama itu untuk dapat mengikuti jejak para Ulama itu. Itu pula sebabnya pengikut Ahlussunnah wal Jamaah Asy’ariyah/Maturidiyah menjaga peninggalan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam dan para Ulamanya agar kita dapat mengenal pribadi, mencintai dan mengikuti jejak para pendahulu mereka.

Kita selalu melihat bagaimana para murid menghadiahkan bacaan Al-Fatihah kepada guru-guru mereka, sebagai tanda terima kasih atas jasa para guru, dan berdoa kepada Allah seperti apa yang diminta dalam surat Al Fatihah agar ditunjukkan jalan seperti guru-guru mereka yang telah mendapatkan nikmat Iman dan Islam.
Berbeda jauh dari golongan Salafi Wahabi yang justru menghilangkan jejak dan peninggalan mereka itu, bahkan peninggalan Rasulullahu shallallahu alaihi wassalam –pun dihancurkan oleh mereka. Mereka merasa tidak perlu mengenal gurunya lebih dekat sebab ilmu agama menurut mereka ada pada Kitab tanpa perlu guru yang bersanad.

Salah satu sebab pentingnya belajar bersanad adalah untuk memastikan bahwa ilmu yang disampaikan dan diterima dari Ulama dari satu generasi ke Ulama di generasi berikutnya adalah sama sebagaimana ilmu itu diterima dar Ulama di generasi sebelumnya. Hal ini sangat penting, sebab cara penyampaian seperti ini menjamin kebenaran pemahaman ilmu yang diwariskan.
Sedang ilmu yang disampaikan dengan hanya membaca Kitab dari Ulama Salaf tanpa sanad ilmu, sangat memungkinkan ilmu yang diterima sudah dimasukkan oleh pemahaman dari dirinya sendiri dan terpengaruh hawa nafsunya.
Belum lagi kalau Kitab itu sudah dipalsukan textnya, sebagaimana yang terjadi pada Kitab-Kitab Ulama Muktabar, Atau diberi catatan kaki yang menyesatkan yang sama sekali tidak jelas sanad asalnya. Bahkan catatan kaki yang menyesatkan ini juga ada pada Kitab terjemah Al Qur’an.

Sanad ilmu / sanad guru sama pentingnya dengan sanad hadits.
Sanad hadits adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan matan/redaksi hadits dari lisan Rasulullah
Sedangkan Sanad ilmu atau sanad guru adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan penjelasan baik Al Qur’an maupun As Sunnah dari lisan Rasulullah.

Hal yang harus kita ingat bahwa Al Qur’an pada awalnya tidaklah dibukukan. Ayat-ayat Al Qur’an hanya dibacakan dan dihafal (imla) kemudian dipahami bersama dengan yang menyampaikannya.

Sanad adalah silsilah atau rantai yang menyambungkan kita dengan yang sebelum kita, hubungan, sanad adalah hubungan kalau secara bahasa sanad adalah sesuatu yang terkait kepada sesuatu yang lain atau sesuatu yang bertumpu pada sesuatu yang lain, tapi didalam maknanya ini secara istilah adalah bersambungnya ikatan bathin kita, bersambungnya ikatan perkenalan kita dengan orang lain, sebagian besar adalah guru-guru kita.

“Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya, maka oleh sebab itu jadi tidak boleh baca dari buku, tentunya boleh baca buku apa saja boleh, namun kita harus mempunyai satu guru yang kita bisa tanya jika kita mendapatkan masalah”.

Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan”

“Sanad adalah bagai rantai emas terkuat yg tak bisa diputus dunia dan akhirat, jika bergerak satu mata rantai maka bergerak seluruh mata rantai hingga ujungnya, yaitu Rasulullah saw,”
Kita jangan mengulang apa yang telah terjadi pada kaum Nasrani dimana ilmu agama mereka sanadnya terputus dari lisannya Nabi Isa a.s.  Kitab suci yang ditangan mereka telah bercampur dengan akal pikiran mereka sendiri di mana di dalamnya ada unsur  hawa nafsu atau kepentingan manusia belaka sehingga mereka tidak “mengenal”  Rasul Allah yang terakhir , Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam

وَلاَبُدَ فِى سُلُوْكِ طَرِيْقِ الْحَقِّ مِنْ اِرْشَادِ اُسْتَاذٍ حَاذِقٍ وَتَسْلِيْكِ شَيْخٍ كَامِلٍ مُكَمَّلٍ حَتَّى تَظْهَرُ حَقِيْقَةِ التَّوْحِيْدِ بِتَغْلِيْبِ الْقَوِى الرُّحَانِيَةِ عَلَى اْلقَوِىِّ الْجِسْمَانِيَّةِ

Diwajibkan bagi orang yang mencari jalan yang benar (belajar agama) untuk mencari seorang guru yang benar, dan di bawah arahan guru yang sempurna dan bisa menyempurnakan sehingga bisa menghantarkan kepada hakikatnya keyakinan dengan mengedepankan kekuatan ruhani mengalahkan kekuatan jasmani (akal fikiran)
(Tafsir haqqi, juz 15, hal: 13)

وقال الشيخ أَبُوْ عَلِىّ الدَّقَاقِ : لَوْ أَنَّ رَجُلاً يُوْحَى إِلَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ لاَ يَجِيْئُ مِنْهُ مِنَ اْلأَسْرَارِ

Syeh Abu Ali al-Daqoq berkata: seandainya seseorang diberi petunjuk dan baginya tidak memiliki guru maka jangan berharap akan muncul baginya asror (rahasia yang benar dari kebenaran ilmu tersebut).

فَعَلَى قَارِئَ اْلقُرآنِ اَنْ يَأْخُذَ قِرَائَتُهُ عَلَى طَرِيْقِ التَّلَقِّى وَ اْلإِسْنَادِ عَنِ الشُّيُوْخِ اْلآخِذِيْنَ عَنْ شُيُوْخِهِمْ كَى يَصِلَ اِلَى تَأْكِدٍ مِنْ أَنَّ تِلاَوَتَهُ تُطَابِقُ مَا جَاءَ عَنِ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه و سلم

Bagi orang yang belajar membaca al-Qur’an di(syaratkan) untuk belajar cara membaca dari (guru) yang guru tersebut mendapat ajaran dari gurunya, agar kebenaran dari bacaan tersebut sesuai dengan apa yang di ajarkan rasulullah saw.
(Haqqu al-Tilawaah, hal: 46)

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda