Nabi Muhammad ﷺ pernah menginstruksikan agar wabah penyakit menular diisolasi sehingga tidak menyebar. Caranya adalah dengan menjaga agar masyarakat yang berada di daerah wabah tidak keluar ke daerah lain sedangkan masyarakat yang berada di daerah lain agar tidak masuk ke dalam.
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمُ الطَّاعُونَ بِأَرْضٍ، فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأرْضٍ، وأنْتُمْ فِيهَا، فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا
“Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian ada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri itu.” (HR. Bukhari, no. 5728 dan Muslim, no. 2218)
Orang yang diputuskan oleh instansi khusus untuk diisolasi, maka dia harus berkomitmen akan hal itu dan tidak menghadiri shalat berjamaah dan shalat Jumat, dia menunaikan shalatnya di rumah atau di tempat isolasinya. Sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Amr bin Asy-Syarid dari bapaknya, ia berkata,
كَانَ فِى وَفْدِ ثَقِيفٍ رَجُلٌ مَجْذُومٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّا قَدْ بَايَعْنَاكَفَارْجِعْ »
“Dahulu ada utusan dari Tsaqif ada yang terkena kusta. Maka Nabi shallallahu alihi wa sallam mengirim pesan ‘Sungguh kami telah membaiat Anda, maka pulanglah.” (HR. Muslim, no. 328).
Yang khawatir terkena virus (karena sudah menyebar di daerahnya) atau ia dapat mencelakai orang lain, maka dia diberi keringanan tidak menghadiri shalat Jumat dan shalat berjamaah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh memberikan mudarat tanpa disengaja atau pun disengaja.”(Hadits hasan, HR. Ibnu Majah, no. 2340; Ad-Daraquthni no. 4540, dan selain keduanya dengan sanadnya, serta diriwayatkan pula oleh Malik dalam Al-Muwaththa’ no. 31 secara mursal dari Amr bin Yahya dari ayahnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menyebutkan Abu Sa’id, tetapi ia memiliki banyak jalan periwayatan yang saling menguatkan satu sama lain)
Shalat Jumat merupakan kewajiban yang diperintahkan dalam Al-Qur’an dalam Surat Al-Jumu’ah. Ulama kemudian membahas orang-orang yang terkena kewajiban shalat Jumat, yaitu laki-laki, baligh, aqil, merdeka, penduduk setempat, dan seterusnya. Selain kewajiban, shalat Jumat mengandung keutamaan. Di dalamnya terdapat waktu yang sangat mustajabah.
Lalu bagaimana dengan shalat Jumat saat terjadi wabah? Ini menjadi pertanyaan yang banyak ditanyakan, terutama saat terjadi wabah Corona seperti saat ini. Dalam hal ini para ulama fiqih sebenarnya menetapkan larangan bagi mereka yang terkena penyakit menular untuk beribadah di masjid sebab masjid merupakan salah satu pusat keramaian.
Namun demikian, dalam situasi uzur yang bersifat umum atau kolektif seperti wabah Covid-19 yang mewabah di Indonesia pada 2020 ini kewajiban shalat Jumat menjadi gugur.
Imam An-Nawawi mengawali pembahasan masalah ini dari pandangannya terhadap shalat berjamaah karena shalat Jumat dan shalat berjamaah memiliki kesamaan, yaitu dikerjakan secara kolektif. Menurutnya, uzur terbagi dua, umum yang bersifat kolektif-objektif dan khusus yang bersifat individual-subjektif.
فصل لا رخصة في ترك الجماعة سواء قلنا سنة أو فرض كفاية إلا من عذر عام أو خاص فمن العام المطر ليلا كان أو نهارا ومنه الريح العاصفة في الليل دون النهار وبعض الأصحاب يقول الريح العاصفة في الليلة المظلمة وليس ذلك على سبيل اشتراط الظلمة ومنه الوحل الشديد وسيأتي في الجمعة إن شاء الله تعالى
“Fasal. Tidak ada rukhshah (keringanan) dalam meninggalkan shalat berjamaah–baik ia dihukumi sunnah maupun dihukumi fardhu kifayah–kecuali karena uzur umum dan uzur khusus. Salah satu uzur umum adalah hujan baik malam maupun siang hari. Uzur umum lainnya angin badai pada malam, bukan siang hari. Sebagian ulama Mazhab Syafi’i, angin badai pada malam yang sangat gelap meski itu bukan jalan mensyaratkan kegelapan. Uzur umum lainnya adalah hujan yang nanti insya Allah adakan diterangkan pada Bab Jumat,” (Imam An-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa Umadatul Muftiyyin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425-1426 H] juz I, halaman 342).
Menurut Imam An-Nawawi, uzur yang dapat menggugurkan shalat berjamaah dapat juga menggugurkan kewajiban shalat Jumat baik itu uzur umum maupun uzur khusus. Ia juga membawa pelbagai pandangan ulama syafi’iyah perihal kedudukan tanah berlumpur sebagai uzur.
فرع كل ما أمكن تصوره في الجمعة من الأعذار المرخصة في ترك الجماعة يرخص في ترك الجمعة أما الوحل الشديد ففيه ثلاثة أوجه الصحيح أنه عذر في ترك الجمعة والجماعة والثاني لا والثالث في الجماعة دون الجمعة حكاه صاحب العدة وقال به أفتى أئمة طبرستان
“Satu cabang masalah. Segala jenis uzur yang meringankan (membolehkan seseorang) untuk meninggalkan shalat berjamaah–yang mungkin juga terbayangkan pada kasus shalat Jumat–dapat menjadi uzur yang meringankannya untuk meninggalkan shalat Jumat. Adapun perihal (uzur) tanah yang sangat berlumpur, terdapat tiga pendapat ulama. Pertama, ini pendapat shahih tanah berlumpur ini merupakan uzur dalam meninggalkan Jumat dan shalat berjamaah. Kedua, ia bukan uzur (atas gugurnya kewajiban Jumat dan berjamaah). Ketiga, ia uzur hanya untuk meninggalkan shalat berjamaah, tidak pada Jumat seperti dihikayatkan penulis Kitab Al-Uddah. Pendapat ini juga dipegang dan menjadi fatwa ulama Thabaristan,” (An-Nawawi, 2005 M/1425-1426 H: I/426).
Pandangan Mazhab Syafi’i, sebagaimana keterangan An-Nawawi berikut ini, menyatakan bahwa hujan dan sebab lain dapat menjadi uzur yang dapat mengugurkan kewajiban shalat Jumat. Pandangan ini dikemukakan saat ia menguraikan (syarah) hadits riwayat Muslim.
وفي هذا الحديث دليل على سقوط الجمعة بعذر المطر ونحوه وهو مذهبنا ومذهب آخرين وعن مالك رحمه الله تعالى خلافه والله تعالى أعلم بالصواب
“Pada hadits ini terdapat dalil atas gugurnya (kewajiban shalat) Jumat sebab uzur hujan dan uzur lainnya. Ini pandangan mazhab kami (Syafi’i) dan mazhab lainnya. Namun riwayat lain menyebutkan Imam Malik rahimahullah memiliki pandangan berbeda. Wallahu a’lam bis shawab,” (Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, [Kairo, Darul Hadits: 2001 M/1422 H], juz III, halaman 225).
Adapun berikut ini adalah salah satu kutipan hadits riwayat Imam Muslim dari sahabat Ibnu Abbas RA yang disyarahkan oleh Imam An-Nawawi sebagai dalil atas gugurnya kewajiban shalat Jumat:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلَا تَقُلْ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ قُلْ صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ قَالَ فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ فَقَالَ أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِي الطِّينِ وَالدَّحْضِ
Artinya, “Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata kepada muazinnya pada hari hujan, ‘Bila kau sudah membaca ‘Asyhadu an lā ilāha illallāhu, asyhadu anna muhammadan rasūlullāh,’ jangan kau teruskan dengan seruan ‘hayya ‘alas shalāh,’ tetapi serulah ‘shallū fi buyūtikum.’’ Orang-orang seolah mengingkari perintah Ibnu Abbas RA. Ia lalu mengatakan, ‘Apakah kalian heran dengan masalah ini? Padahal ini telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku. Sungguh Jumat itu wajib. Tetapi aku tidak suka menyulitkanmu sehingga kamu berjalan di tanah dan licin.’” (HR Muslim).
Syekh Zakariya al-Anshari dalam Asna al-Mathalib dan Syaikh al-Khatib asy-Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj tentang hal ini menulis sebagai berikut:
وَقَدْ نَقَلَ الْقَاضِي عِيَاضٌ عَن الْعُلَمَاءِ أَنَّ الْمَجْذُومَ وَالْأَبْرَصَ يُمْنَعَانِ مِنْ الْمَسْجِدِ وَمِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ، وَمِنْ اخْتِلَاطِهِمَا بِالنَّاسِ
“Qadli Iyadh menukil dari para ulama bahwasanya orang yang terkena penyakit judzam (kusta) dan barash (sopak) dilarang mendatangi masjid, shalat Jumat dan dari bercampur baur dengan masyarakat.” (al-Khatib asy-Syirbini,Mughni al-Muhtaj, I: 360).
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan alasan larangan tersebut sebagai berikut:
سَبَبَ الْمَنْعِ فِي نَحْوِ الْمَجْذُومِ، خَشْيَةَ ضَرَرِهِ، وَحِينَئِذٍ فَيَكُونُ الْمَنْعُ وَاجِبًا فِيهِ
“Sebab pelarangan bagi penderita penyakit semisal kusta adalah khawatir bahaya darinya. Karena itu, maka pelarangan ini menjadi hal wajib dalam konteks kusta tersebut”. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, I: 212).
Larangan di atas sesuai dengan instruksi Nabi Muhammad ﷺ di atas dan sesuai pula dengan peristiwa saat Nabi menginstruksikan agar seorang penderita penyakit kusta berbaiat dari jauh sebagaimana dalam hadits berikut:
عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ فِي وَفْدِ ثَقِيفٍ رَجُلٌ مَجْذُومٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّا قَدْ بَايَعْنَاكَ فَارْجِعْ
“Dari Ya'la bin 'Atha dari 'Amru bin Asy-Syarid dari bapaknya dia berkata; "Dalam delegasi Tsaqif (yang akan dibai'at Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) terdapat seorang laki-laki berpenyakit judzam (kusta). Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengirim seorang utusan supaya mengatakan kepadanya: ‘Kami telah menerima baiat Anda. Karena itu Anda dipersilakan pulang’" (HR. Muslim).
Sebagaimana diketahui, baiat adalah sesuatu yang wajib dilakukan kepada Rasulullah ﷺ dan lumrahnya dilakukan dengan cara berjabat tangan secara langsung dengan beliau (kecuali untuk perempuan). Akan tetapi dalam kasus penderita kusta ternyata beliau memberikan solusi berbaiat dari jarak jauh yang nampaknya dilakukan agar kehadiran orang itu tidak mendatangkan potensi bahaya bagi hadirin lainnya. Dari hal ini juga dapat dikiaskan tidak wajibnya menghadiri shalat Jumat saat ada kekhawatiran terjangkit penyakit.
Hanya saja perlu dicatat bahwa illat(alasan hukum) pelarangan di atas adalah menjaga masyarakat dari penyakit menular. Dengan demikian, apabila kosongnya masjid atau terdapatnya ruang isolasi di masjid belum bisa menjaga terjaminnya masyarakat dari penularan penyakit sebab virusnya dapat hidup dengan menempel di benda-benda fasilitas publik di masjid lalu menulari orang yang menyentuhnya, maka pelarangan tetap berlaku hingga para ahli yang kompeten menyatakan bahwa kondisi sudah aman.
Semoga beberapa keterangan ini menjawab keraguan sebagian masyarakat, khususnya para pengurus masjid. Kami berharap mereka dapat mau mengerti dan memahami imbauan pemerintah yang menjadi kepentingan bersama dalam rangka pencegahan dan pemberantasan Covid-19 di Indonesia dengan menghentikan sementara ritual bersama di rumah ibadah, yaitu shalat Jumat, shalat berjamaah, tabligh akbar, haul, dan lain sebagainya di tengah situasi kritis seperti ini.
Sekian Semoga Bisa Dipahami
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar