Kamis, 21 Mei 2020

Sejarah Permainan Catur Dan Hukum Bermain Catur Dalam Islam


Pemain catur identik dengan orang yang cerdas, sabar dan penuh strategi. Selain itu, pecatur juga memiliki IQ yang lebih tinggi dari orang kebanyakan. Namun, tahukah kamu kapan dan di mana catur diciptakan?

Konon, catur berasal dari India bagian utara dan diciptakan selama periode kekaisaran Gupta. Catur tercipta pada abad ke-6 dan awalnya bernama chaturanga. Kata ini diterjemahkan sebagai empat divisi dalam militer yang berisi infanteri, kavaleri, gajah dan kereta. Lalu, bentuknya disempurnakan menjadi pion, ksatria, uskup dan benteng.

Permainan chaturangga dikembangkan mula-mula di masa Kerajaan Gupta sekitar abad ke-6 M. 
Formasi 4 jenis pion pada chaturangga mengacu pada formasi pasukan "ratha" (kereta perang) dalam Epos Mahabharata, yang disebut "Akhsyauhini" (अक्षौहिणी) dimana dalam Mahabharata (Adi Parva 2.15-23), formasi ini terdiri atas:
1- 21.870 ratha (pasukan kereta) - राथा rāthā
2- 21.870 gaja (pasukan bergajah) - गाजा gājā
3- 65.610 asyva (pasukan berkuda/kavaleri) - एकशवा aśvā/ēkaśvā
4- 109.350 padhatta (pasukan darat/infantri) - पाडाआटा pādā'ṭā

Sejarah Permainan Catur

Sejarah permainan ini bermula pada abad ke-6, di India. Selama masa pemerintahan raja-raja Gupta, permainan ini disebut caturaṅga. Dari India, catur menyebar ke Persia dan disebut sebagai shatranj di Sassanid. Aturan permainan ini lantas dikembangkan lebih lanjut, dan segera, Shatranj menjadi aktivitas rekreasi kerajaan favorit di dunia muslim. Dari Persia, catur kemudian menyebar ke Arab. Catur selanjutnya dikenal di seluruh Spanyol dengan nama ajedrez dan sebagai xadrez di Portugal.

Perlahan-lahan, caturanga menjadi zatrikion dalam bahasa Yunani, dan akhirnya menyebar di Eropa. Pada masa-masa kemudian, papan permainan catur didistribusikan dalam bentuk souvenir dan cinderamata di keluarga kerajaan dan masyarakat umum. Penelitian sejarah menunjukkan bahwa catur mencapai Eropa Barat dan Rusia pada abad ke-9.

Teori Awal
Buku yang menulis teori awal catur ditulis pada abad ke-15. Buku ‘Repetición de Amores y Arte de Ajedrez’ atau ‘Pengulangan Cinta dan Seni Bermain Catur’ diterbitkan pada tahun 1497, dan ditulis oleh Luis Ramirez de Lucena.
Sementara itu, di Eropa, banyak aturan awal ditentukan oleh Lucena, Pedro Damiano, Giovanni Leonardo Di Bona, Giulio Cesare Polerio, Gioachino Greco, dan Ruy López de Segura. Pada abad ke-18, catur menjadi sangat terkenal di Eropa Selatan dan Perancis. François-André Danican Philidor, Louis-Charles de Mahé La Bourdonnais, dan Alexander McDonnell adalah di antara beberapa grandmaster catur pertama. Turnamen catur modern pertama kali dimenangkan oleh Adolf Anderssen, di London, pada tahun 1851.
Beberapa pemain catur ternama di era modern diantaranya adalah Paul Morphy, Wilhelm Steinitz, Johannes Zukertort, Emanuel Lasker, José Raúl Capablanca, Gary Kasparov, Anatoly Karpov, dan Viswanathan Anand.

Skakmat!!!
Istilah Skakmat (Checkmate) diambil dari kata "Syah Mat" (شاه مات shāh māt) yang artinya (secara harfiah): "Sang Syah Tak Tertolong". Namun demikian, istilah "checkmate" dalam Bahasa Inggris merupakan padanan dari "stalemate" (jalan buntu). Dalam chaturangga dikenal dengan istilah "chakamatti" atau "chakrammatti" (चकमाटी çakāmāṭī "cakra/putaran habis" - knockout). Sedangkan istilah "skakmat" dalam Bahasa Indonesia adalah serapan dari kata "schaakmat" Bahasa Belanda, mat sendiri berasal dari kata ματ (mat) dalam Bahasa Yunani yang berarti "terkepung". Sebagian antropolog berpendapat baik "checkmate" atau "schaakmat" adalah gabungan serapan dari kata rex (Latin: raja) dan mat (Yunani: terkepung).

Sebenarnya, ketika catur dikenal sebagai permainan tua – termasuk di dunia arab – sangat wajar ketika mereka bisa menemukan kosakatanya di dalam bahasa Arab. Sebagai permainan tua, catur dikenal oleh para Sahabat Rasulullah Saw. Beberapa atsar dari para Sahabat ditemukan menyebutkan mengenal permainan ini, lalu mereka meresponnya dengan pertanyaan bagaimana hukumnya. Dari respon para sahabat tersebut, lahirlah beberapa pendapat tentang hukum permainan catur. 

Hukum Bermain Catur

Perihal permainan catur, ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama mengharamkannya. Sebagian lagi memakruhkannya. Ada juga ulama yang membolehkannya.

 قوله (وهو) أي لعب الشطرنج (وقوله حرام) عند الأئمة الثلاثة وهم أبو حنيفة ومالك وأحمد بن حنبل رضي الله عنهم وإنما قالوا بالحرمة للأحاديث الكثيرة التي جاءت في ذمه قال في التحفة لكن قال الحافظ لم يثبت منها حديث من طريق صحيح ولا حسن وقد لعبه جماعة من أكابر الصحابة ومن لا يحصى من التابعين ومن بعدهم وممن كان يلعبه غبا سعيد بن جبير رضي الله عنه  

Artinya, “(Permainan itu) main catur (haram) menurut tiga imam, yaitu Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka menyatakan haram atas dasar sejumlah hadits yang mencela permainan catur. Tetapi penulis At-Tuhfah (Ibnu Hajar) dari Mazhab Syafi’I mengutip Imam Al-Hafiz Al-Asqalani mengatakan bahwa kualitas hadits yang mengecam permainan catur tidak diriwayatkan berdasarkan jalan yang sahih dan hasan. Bahkan sejumlah sahabat terkemuka Rasulullah dan banyak tabi’in sepeninggal mereka juga bermain catur. Salah seorang yang bermain catur adalah Sa’id bin Jubair,” (Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathi, I'anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], juz IV, halaman 286).

Jika bermain catur sampai meninggalkan kewajiban dan berisi perbuatan yang haram, maka hukumnya haram berdasarkan kesepakatan para ulama.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وَكَذَلِكَ يَحْرُمُ بِالْإِجْمَاعِ إذَا اشْتَمَلَتْ عَلَى مُحَرَّمٍ : مِنْ كَذِبٍ وَيَمِينٍ فَاجِرَةٍ أَوْ ظُلْمٍ أَوْ جِنَايَةٍ أَوْ حَدِيثٍ غَيْرِ وَاجِبٍ وَنَحْوِهَا

“(Bermain catur) itu diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama) jika di dalamnya terdapat keharaman seperti dusta, sumpa palsu, kezholiman, tindak kejahatan, pembicaraan yang bukan wajib” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 245).

Jika demikian, jika bermain catur sampai melalaikan dari shalat lima waktu dan berjama’ah di masjid –bagi pria-, dalam kondisi ini permainan catur dihukumi haram. Dan inilah kebanyakan yang terjadi. Karena sibuk memikirkan strategi, pikirannya dihabiskan berjam-jam sehingga akhirnya meninggalkan shalat.

Dalil ulama yang mengharamkan adalah sebagai berikut.

ملعون من لعب بالشطرنج والناظر إليها كالآكل لحم الخنزير

“Sungguh terlaknat siapa yang bermain catur dan memperhatikannya, ia seperti orang yang memakan daging babi” (Disebutkan dalam Kunuzul ‘Amal 15: 215) Namun hadits ini mengandung cacat dari dua sisi: (1) mursal dan (2) majhulnya satu orang perowi yaitu Habbah bin Muslim. Sehingga hadits ini dho’if. Begitu pula hadits-hadits yang membicarakan haramnya catur tidak keluar dari hadits yang dho’if dan palsu (Demikian disebutkan oleh Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri dalam kitab beliau Al Musabaqot hal. 227).

Dalil yang lain adalah perkataan ‘Ali bin Abu Tholib berikut:

عَنْ مَيْسَرَةَ بْنِ حَبِيبٍ قَالَ : مَرَّ عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى قَوْمٍ يَلْعَبُونَ بِالشَّطْرَنْجِ فَقَالَ (مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِى أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ)

Dari Maysaroh bin Habib, ia berkata, “’Ali bin Abu Tholib radhiyallahu ‘anhu pernah melewati suatu kaum yang sedang bermain catur. Lantas ia berkata, “Apa geragangan dengan patung-patung yang kalian i’tikaf –atau berdiam lama- di depannya?” (HR. Al Baihaqi 10: 212). Imam Ahmad berkata bahwa inilah hadits yang paling shahih dalam bab ini.

Adapun ulama yang membolehkannya mendasarkan pandangannya pada kaidah hukum Islam, yaitu segala sesuatu pada prinsipnya adalah mubah sebagaimana dikemukakan oleh Syekh Abu Zakaria Al-Anshari berikut ini:

وَاحْتُجَّ لِإِبَاحَةِ اللَّعِبِ بِهِ بِأَنَّ الْأَصْلَ الْإِبَاحَةُ وَبِأَنَّ فِيهِ تَدْبِيرُ الْحُرُوبِ وَلِلْكَرَاهَةِ بِأَنَّ صَرْفَ الْعُمْرِ إلَى مَا لَا يُجْدِي وَبِأَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَرَّ بِقَوْمٍ يَلْعَبُونَ بِهِ فَقَالَ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ

Artinya, “Hujjah atas kebolehan permainan catur ini didasarkan pada kaidah hukum Islam bahwa segala sesuatu pada dasarnya adalah mubah; dan pada unsur maslahat permainan catur yang mengasah otak dalam bersiasat perang. Sedangkan hujjah atas kemakruhan permainan ini didasarkan pada unsur penyia-nyiaan umur pada hal yang tidak bermanfaat; dan pada ucapan sayyidina Ali saat melewati mereka yang sedang bermain catur, ‘Apakah ini patung-patung yang kalian sembah?’” (Syekh Abu Zakaria Al-Anshari, Asnal Mathalib, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun]).

Mazhab Syafi’i menyatakan bahwa permainan catur pada prinsipnya mubah dalam Islam. Tetapi permainan ini dapat menjadi haram karena unsur lain atau dengan catatan, yaitu bila melalaikan para pemainnya dari kewajiban atau menyertainya dengan hal yang diharamkan (taruhan, judi, sambil minum khamr, dan lain sebagainya). Sedangkan main catur sesekali tidak masalah (Ibnu Hajar Al-Haitami: Tuhfatul Muhtaj).

Pada zamannya, permainan catur merupakan aib seperti permainan kartu, menurut Ibnu Hajar Al-Haitami, sehingga kita dapat memainkannya di tempat sepi atau tertutup, bukan di tepi jalan (publik) yang dapat menjatuhkan muruah.

Sementara Al-Bujairimi (Al-Bujairimi, At-Tajrid li Naf’il Abid) mengutip fatwa ulama yang membolehkan permainan catur yang mengandung unsur hiburan bagi saudara kita lainnya dengan catatan tidak membuat harta berkurang (kurang penghasilan) dan tidak melalaikan sembahyang lima waktu seperti pendapat Syekh Sahal bin Sulaiman.

Syekh Ahmad Khatib As-Syarbini dalam Mughnil Muhtaj sebagaimana ulama Mazhab Syafi’I pada umumnya memandang permainan catur mengandung kemaslahatan. Permainan catur mengasah pikiran dan logika yang membantu dalam mengatur strategi perang dan perhitungan.

Dari sini, dapat disimpulkan bahwa ulama berbeda pendapat perihal permainan catur. Jika mengacu pada pandangan mazhab Syafi’i yang juga tidak tunggal (karena sebagian menyatakan makruh dan yang lainnya menyatakan mubah), permainan catur pada dasarnya mubah. Kalau pun haram atau makruh, mesti ada faktor lain yang menyertainya, yaitu pelalaian atas kewajiban sembahyang lima waktu, pelalaian atas aktivitas ekonomi dan faktor lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar