Memakan Daging qurbannya Sendiri
Dianjurkan bagi shahibul kurban untuk ikut memakan hewan qurbannya. Bahkan ada sebagian ulama menyatakan shahibul kurban wajib makan bagian hewan qurbannya. Ini berdasarkan firman Allah:
فَكُلُواْ مِنْهَا وَأَطْعِمُواْ الْبَآئِسَ الْفَقِيرَ
“Makanlah darinya dan berikan kepada orang yang sangat membutuhkan.” (Qs. Al-Haj: 28)
Al-Qurthubi mengatakan, “Kalimat ‘Makanlah darinya’ merupakan perintah yang maknanya anjuran, menurut mayoritas ulama. Dianjurkan bagi seseorang untuk makan sebagian dari kurbannya dan memberikan yang lebih banyak sebagai sedekah. Mereka juga membolehkan untuk menyedekahkan semuanya… Sebagian ulama ada yang memiliki pendapat aneh, dimana mereka mewajibkan makan hewan kurban dan menyedekahkannya sesuai dengan makna tekstual ayat.” (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 12:44).
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini mengatakan,
“Sebagian ulama berdalil dengan hadis ini untuk menyatakan wajibnya makan daging kurban. Namun ini adalah pendapat yang aneh. Adapun mayoritas ulama berpendapat bahwa perintah di atas hanyalah rukhshah (keringanan) dan sifatnya anjuran. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang sahih dari Jabir bin Abdillah
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما نحر هديه أمر من كل بدنة ببضعة فتطبخ، فأكل من لحمها، وحسا من مرقها
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah menyembelih hewannya, ia meminta sebagian daging dari untanya dan dimasak. Kemudian memakan dagingnya dan mencicipi kuahnya. (HR. Muslim).
Abdullah bin Wahb menyatakan bahwa Imam Malik pernah berkata kepadanya,
أحب أن يأكل من أضحيته؛ لأن الله يقول: فَكُلُوا مِنْهَا
“Saya senang jika sohibul kurban makan daging kurbannya. Karena Allah berfirman, yang artinya: ‘Makanlah bagian hewan kurban’.” Ibnu Wahb mengatakan, Saya bertanya kepada Al-Laits dan ia menjawab dengan jawaban yang sama. (Tafsir Ibn Katsir, 5:416).
Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa Nabi Saw. makan bagian hati dari hewan kurbannya sendiri. dalam hadis riwayat Imam Albaihaqi disebutkan;
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْفِطْرِ لَمْ يَخْرُجْ حَتَّى يَأْكُلَ شَيْئًا , وَإِذَا كَانَ الْأَضْحَى لَمْ يَأْكُلْ شَيْئًا حَتَّى يَرْجِعَ , وَكَانَ إِذَا رَجَعَ أَكَلَ مِنْ كَبِدِ أُضْحِيَّتِهِ
“Rasulullah Saw. ketika hari Idul Fitri tidak kelur dulu sebelum makan sesuatu. Ketika Idul Adha tidak makan sesuatu hingga beliau kembali ke rumah. Saat kembali, beliau makan hati dari hewan kurbannya.”
Namun berapa jatah maksimal yang boleh dimakan oleh sohibul kurban?Tidak ada ketentuan pasti yang disepakati di antara para ulama terkait berapa jatah maksimal sohibul kurban dianjurkan makan dari daging hewan kurbannya.
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah menganjurkan agar tidak melebihi dari sepertiga dari daging hewan kurban. Mereka mengatakan bahwa daging hewan kurban sebaiknya dibagi tiga; sepertiga dimakan sohibul kurban dan kelurganya, sepertiga dihadiahkan kepada kerabat, tetangga dan teman-temannya meskipun mereka kaya, dan sepertiga yang lain disedekahkan kepada fakir miskin.
Sedangkan Imam Nawawi dalam kitab Syarhu Shahih Muslim mengatakan, sebaiknya jumlah yang disedekahkan lebih banyak dibanding jumlah yang dimakan oleh sohibul kurban dan kelurganya.
فاما الصدقة منها اذا كانت اضحية تطوع فواجبة على الصحيح عند اصحابنا بما يقع عليه الاسم منها ويستحب ان تكون بمعظمها
“Adapun menyedekahkan daging hewan kurban, jika itu kurban sunah, maka hukumnya wajib menurut pendapat yang paling sahih dari mazhab kami. Disedekahkan dengan ukuran yang layak untuk disebut sedekah. Dan dianjurkan yang disedekahkan lebih banyak.”
Bagaimana dengan akikah?
Setiap orangtua pasti menginginkan setiap anaknya dapat diakikahi saat terlahir di dunia. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi yang diriwayatkan dari sayidah ‘Aisyah. Nabi saw bersabda:
الْغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ فِي الْيَوِم السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى
“Anak digadaikan dengan aqiqahnya yang (idealnya) disembelih dari hari ketujuh (kelahirannya) dan dipotong rambut kepalanya serta diberi nama.”
Pada dasarnya kesunahan mengaqiqahi anak yang belum dewasa (baligh) dibebankan kepada seorang ayah dan di balik pembebanan ini ayah mendapat keuntungan yang kembali kepada dirinya yaitu kelak anak akan bisa mensyafaatinya. Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawa al-Kubra menjelaskan:
بخلاف العقيقة فإن نفعها من كون الولد بسببها يشفع لأبيه كما قاله أئمة مجتهدون
“Berbeda dengan aqiqah, maka sesungguhnya kemanfaatan aqiqah menyebabkan anak dapat mensyafaati ayahnya. Seperti yang dikatakan para mujtahid.”
Seorang ayah yang mengaqiqahi anaknya oleh agama distatuskan seperti qurban untuk dirinya sendiri. Ibnu hajar al-Haitami dalam Fatawa al-Kubro (juz.4. vol.256) menjelaskan:
لأن الأب مخاطب بها أصالة فهي بالنسبة إليه كضحية نفسه
“Karena sesungguhnya seorang ayah dikhitobi (dibebani) dengan aqiqah (mengaqiqahi anaknya), maka mengaqikahi anak baginya seperti qurban untuk dirinya sendiri.”
Para ulama menjelaskan bahwa cara penanganan akikah sama dengan cara penanganan kurban. Artinya, boleh dimakan sendiri dan disedekahkan kepada orang lain.
Ibnu Qudamah mengatakan,
وسبيلها في الأكل والهدية والصدقة سبيلها ـ يعني سبيل العقيقة كسبيل الأضحية .. وبهذا قال الشافعي .
Aturan aqiqah terkait jatah boleh dimakan, dihadiahkan, disedekahkan, sama seperti aturan qurban… dan ini pendapat as-Syafii.
Kemudian beliau menyebutkan khilaf ulama dalam masalah ini. Lalu beliau menyimpulkan,
والأشبه قياسها على الأضحية لأنها نسيكة مشروعة غير واجبة فأشبهت الأضحية ولأنها أشبهتها في صفاتها وسنها وقدرها وشروطها فأشبهتها في مصرفها
Yang lebih mendekati, aqiqah diqiyaskan dengan berqurban. Karena ini ibadah yang disyariatkan dan tidak wajib. Seperti qurban. Karena sama dengan qurban terkait sifatnya, sunah-sunahnya, ukurannya, dan syaratnya. Sehingga dalam aturan penyalurannya juga disamakan. (al-Mughni, 11/120).
Terdapat keterangan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha terkait aqiqah,
السُنّةُ عَنِ الغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَان وَعَنِ الجَارِيَةِ شَاةٌ يُطْبَخُ جُدُولًا وَلَا يُكسَرُ لَهَا عَظْمٌ فَيَأكُلُ وَيُطْعِمُ وَيَتَصَدَّقُ
Aqiqah yang sesuai sunah, untuk anak lelaki 2 kambing, anak perempuan seekor kambing. Dimasak utuh tulangnya, tidak dipecah tulangnya, dimakan sendiri, diberikan ke orang lain, dan disedekahkan.
(Musnad Ishaq bin Rahuyah, no. 1292)
Dan satu hal penting bahwa aqiqah hukumnya sama dengan qurban dalam berbagai aspek, sebagaimana fatwa Abu Bakar bin Muhammad Syatho al-Dimyati dalam karyanya I’anah al-Tholibin ( juz 2, vol.560 ):
وهي (العقيقة) قوله (كضحية) اي في معظم الأحكام وهو الجنس، والسن، والسلامة من العيوب والنية والأكل والتصدق والإهداء والتعين بالنذر او بالجعل
“Aqiqah seperti qurban dalam mayoritas hukumnya, meliputi dalam jenis, umur, tidak memiliki aib, niat, memakanya, mensedekahkanya, wajib sebab nadzar atau sebab menjadikanya sebagai kesanggupan”.
Berdasarkan ketetapan di atas, seorang ayah yang mengaqiqahi anak hukumnya sama dengan menyembelih qurban untuk dirinya sendiri. Serta berlaku konsekuensi hukum qurban dalam aqiqah. Dengan demikian hukum memakan daging binatang yang digunakan untuk beraqiqah berikut:
Pertama, apabila kategori aqiqah sunah seperti mengaqiqahi anak, maka siapapun boleh memakan daging binatang yang dibuat untuk aqiqah, termasuk ayah dan ibu dari anak tersebut. Seperti halnya hukum dalam qurban sunah. Ibnu hajar al-Haitami dalam Fatawa al-Kubra menjelaskan:
ومن ثم صرحوا بأنه يجوز له الأكل من العقيقة كما له الأكل من أضحية نفسه
“Dari ketentuan ini (mengaqiqahi anak seperti berqurban untuk dirinya sendiri), maka diperbolehkan baginya (ayah) memakan daging aqikah tersebut seperti halnya diperbolehkan memakan daging qurban dari dirinya sendiri.”
سن له أكل من أضحية تطوع ضحى بها عن نفسه
“Disunahkan memakan dari qurban sunah, yang digunakan untuk qurban dari dirinya (Hasyiyah al-Jamal juz.5, vol.257 7)
Kedua, apabila aqiqah tersebut adalah kewajiban berdasarkan nadzar atau kesanggupanya menentukan bahwa binatang tersebut akan digunakan untuk mengaqiqahi anaknya, maka dia dan orang yang wajib dinafkahinya (termasuk ibu dari anak yang diaqikahi) dilarang memakan daging tersebut, seperti halnya dalam permasalahan qurban. Abu Bakar bin Muhammad Syatho al-Dimyati dalam karyanya I’anah al-Thalibin ( juz 2, vol.560 )
والتعين بالنذر او بالجعل كأن قال لله علي أن أعق بهذا الشاة او قال جعلت هذه عقيقة عن ولدي فتتعين فى ذلك ولا يجوزحينئذ الأكل منها رأسا
Dan aqiqah yang wajib ( ta’yin ) sebab nadzar maupun kesanggupan, seperti berkata “ Bagi alloh atasku, saya beraqikah dengan kambing ini” atau berkata “ saya jadikan binatang ini sebagai aqikah dari anaku “maka menjadi wajib ( ta’yin ) dan tidak boleh sama sekali memakan binatang aqiqah tersebut.
Dalam Tausyek Ibnu Qosim vol.271 dijelaskan:
(ولا يأكل المضحى) ولا من تلزمه نفقته (شيئاً من الأضحية المنذورة)
“Dan orang yang berqurban serta orang yang wajib dinafkahi olehnya tidak boleh memakan sedikitpun dari qurban wajib sebab nadzar tersebut”
Ketiga, apabila aqiqah dari seorang yang meninggal dunia berdasarkan wasiyat kepadanya, maka dia (orang yang diwasiati) dan orang-orang kaya dilarang memakan daging aqiqah tersebut, sebagaimana hukum dalam qurban.
Ibnu Hajar al-Haitami dalam karyanya Tuhfah al-Muhtaj ( juz.9, vol.369 ) menjelaskan:
فلو ضحى عن غيره بإذنه كميت أوصى بذلك فليس له ولا لغيره من الأغنياء الأكل منها وبه صرح القفال في الميتة وعلله بأن الأضحية وقعت عنه فلا يحل الأكل منها إلا بإذنه فقد تعذر
“Apabila dia berqurban dari orang lain, seperti halnya mayat yang berwasiyah kepadanya untuk berqurban atas nama dirinya simayat, maka dia (orang yang diwasiati ) dan orang-orang kaya tidak boleh memakan daging tersebut. Imam Qaffal mengalasi sebab sesungguhnya qurban diperuntukan untuk si mayat maka tidak halal memakan (bagi orang yang diwasiati dan orang kaya) kecuali dengan idzin, dan meminta izdin pasti sebuah udzur (tidak mungkin ).”
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar