Dalam iman dan sejarah Islam, berhala merupakan benda yang sangat buruk. Benda ini dianggap sumber dosa karena dijadikan sesembahan.
Berhala pertama yang dijadikan sesembahan bukanlah benda langit, alam, atau hewan, melainkan penyembahan terhadap orang-orang shalih, yakni lima pemuka agama dari umat Nabi Nuh bernama Wadd, Suwa, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.
Awalnya, sejak Nabi adam sampai Nabi Nuh berjarak 10 generasi (ingat umur mereka dahulu bisa mencapai 900 tahun), selama ini mereka semuanya berada di atas tauhid dan tidak menyekutukan Allah sama sekali, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu
Ibnu Abbas berkata,
كان بين نوح وآدم عشرة قرون، كلهم على شريعة من الحق، فاختلفوا، فبعث الله النبيين مبشرين ومنذرين
”Antara Nuh dan Adam ada 10 generasi. Mereka semua berada di atas syariat yang benar. Kemudian mereka saling berselisih. Kemudian Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi gambar gembira dan kabar peringatan. (Tafsir At-Thabari 4/275, Mu’assasah Risalah, syamilah).
NABI Nuh diminta Jibril menyadarkan musuh Allah, Duramsyil bin Fumail bin Jaij bin Qabil bin Adam. Dia adalah seorang raja yang sewenang-wenang dan kejam. Dia juga orang pertama yang memeras anggur dan meminumnya, orang pertama yang bermain undian, dan orang pertama yang membuat pakaian yang ditenun dengan emas.
Dia bersama kaumnya menyembah 5 berhala yaitu, Wud, Siwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr yang disinggung oleh Allah di dalam al-Qur’an.
Di sekitar 5 berhala tersebut terdapat 1.700 berhala yang mempunyai ruangan khusus yang terbuat dari batu marmer. Setiap ruangan itu tinggi dan lebarnya sekitar 1.000 siku.
Berhala-berhala ini diletakkan di atas kursi yang terbuat dari emas yang berisikan bermacam-macam permata yang indah.
Berhala ini juga mempunyai para pelayan yang mengurusinya siang malam dan tiap tahunnya ada hari raya khusus untuk berhala tersebut; mereka (Duramsyil dan kaumnya) berkumpul di tempat itu untuk merayakannya.
Telah masyhur para ulama ketika menukil penafsiran Firman Allah Ta’ala :
وَ قَالُوْا لَا تَذَرُنَّ اٰلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَّلَا سُوَاعًا ۙ وَّ لَا يَغُوْثَ وَيَعُوْقَ وَنَسْرًا
“Dan mereka berkata, Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yagus, Ya’uq, dan Nasr.” (QS. Nuh 71: Ayat 23).
Mereka membawakan perkataan shohabi yang merupakan penerjemah Al Qur’an, yaitu Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab Shahihnya (no. 4920) :
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى، أَخْبَرَنَا هِشَامٌ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، وَقَالَ عَطَاءٌ: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، «صَارَتِ الأَوْثَانُ الَّتِي كَانَتْ فِي قَوْمِ نُوحٍ فِي العَرَبِ بَعْدُ أَمَّا وَدٌّ كَانَتْ لِكَلْبٍ بِدَوْمَةِ الجَنْدَلِ، وَأَمَّا سُوَاعٌ كَانَتْ لِهُذَيْلٍ، وَأَمَّا يَغُوثُ فَكَانَتْ لِمُرَادٍ، ثُمَّ لِبَنِي غُطَيْفٍ بِالْجَوْفِ، عِنْدَ سَبَإٍ، وَأَمَّا يَعُوقُ فَكَانَتْ لِهَمْدَانَ، وَأَمَّا نَسْرٌ فَكَانَتْ لِحِمْيَرَ لِآلِ ذِي الكَلاَعِ، أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِينَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ، فَلَمَّا هَلَكُوا أَوْحَى الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ، أَنِ انْصِبُوا إِلَى مَجَالِسِهِمُ الَّتِي كَانُوا يَجْلِسُونَ أَنْصَابًا وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ، فَفَعَلُوا، فَلَمْ تُعْبَدْ، حَتَّى إِذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ العِلْمُ عُبِدَتْ»
“Talah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa, telah mengabarkan kepada kami Hisyaam, dari Ibnu Juraij, dan ‘Athaa` berkata, dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhumaa : …. (Berhala-berhala tersebut) adalah nama-nama orang sholih dari kaumnya Nabi Nuh, setelah mereka wafat, setan membisiki kaumnya untuk membuat patung-patung sebagai perwujudan mereka didalam tempat berkumpulnya mereka yang biasa mereka berkumpul pasanya lalu menamakan patung-patung tersebut dengan nama-nama mereka, lalu mereka pun mengerjakan apa yang dibisikkan setan tersebut dan (awalnya) belum disembah, hingga generasi ini sudah habis dan ilmu sudah dicabut (datanglah generasi) yang menyembah (berhala-berhala tersebut)”.
“Penafsiran ini mengandung kerancuan tatkala Ibnu Abbas radhiyallahu anhumaa mengatakan :
هذه أسماء رجال صالحين من قوم نوح
“Ini adalah nama-nama orang sholih dari kaumnya Nabi Nuh”.
Karena zhohirnya Al Qur’an bahwa mereka itu sebelum diutusnya Nuh alaihis salam. Allah Ta’ala berfirman :
Allah SWT berfirman:
قَالَ نُوْحٌ رَّبِّ اِنَّهُمْ عَصَوْنِيْ وَاتَّبَعُوْا مَنْ لَّمْ يَزِدْهُ مَالُهٗ وَوَلَدُهٗۤ اِلَّا خَسَارًا # وَمَكَرُوْا مَكْرًا كُبَّارًا # وَ قَالُوْا لَا تَذَرُنَّ اٰلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَّلَا سُوَاعًا ۙ وَّ لَا يَغُوْثَ وَيَعُوْقَ وَنَسْرًا
“Nuh berkata, Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka durhaka kepadaku, dan mereka mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya hanya menambah kerugian baginya, dan mereka melakukan tipu daya yang sangat besar. Dan mereka berkata, Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yagus, Ya’uq, dan Nasr (QS. Nuh 71: Ayat 21-23).
Zhahirnya ayat menunjukkan apa yang disebutkan oleh Ibnu Abbas, namun konteksnya bahwa mereka adalah orang-orang sholih sebelum Nabiyullah Nuh alaihis Salaam. Wallahu a’lam -selesai-.
Kemudian saya coba luaskan pembahasan dan saya mendapatkan Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari juga menyebutkan kritikan untuk sanadnya. Berikut ulasannya :
Dikatakan bahwa sanad yang dibawakan oleh Imam Bukhori adalah terputus. ‘Athaa’ yang dimaksud dalam sanad diatas adalah al-Khurasaaniy, yang mana beliau tidak pernah berjumpa dengan Ibnu Abbas.
Imam Abdur Razaq meriwayatkan atsar yang senada dari jalannya :
عَن بن جريج فَقَالَ أَخْبرنِي عَطاء الخرساني عَن بن عَبَّاسٍ
“Dari Ibnu Juraij ia berkata, telah mengabariku ‘Athaa’ al-Khurasaaniy dari Ibnu abbas : “al-Atsar”.
Imam Abu Mas’ud bahkan mengatakan :
ثَبَتَ هَذَا الْحَدِيثُ فِي تَفْسِير بن جريج عَن عَطاء الخرساني عَن بن عَبَّاس وبن جريج لم يسمع التَّفْسِير من عَطاء الخرساني وَإِنَّمَا أَخَذَهُ مِنَ ابْنِهِ عُثْمَانَ بْنِ عَطَاءٍ فَنَظَرَ فِيهِ
“Telah tsabit hadits ini dalam tafsirnya Ibnu juraij dari ‘Athaa’ al-Khurasaaniy dari Ibnu Abbas. Ibnu Juraij tidak pernah mendengar tafsir dari ‘Athaa’ al-Khurasaaniy, beliau hanyalah mengambil dari anaknya yang bernama Utsman bin ‘Athaa’, sehingga perlu dipertimbangkan”.
Kemudian Al Hafidz menukil illat haditsnya Ibnu Juraij dalam meriwayatkan dari ‘Athaa’ dari Imam Ali ibnul Madiniy yang didokumentasikan oleh Imam Sholih bin Imam Ahmad bin Hanbal, Ali bin Al-Madiniy berkata :
سَأَلت يحيى الْقطَّان عَن حَدِيث بن جريج عَن عَطاء الخرساني فَقَالَ ضَعِيفٌ فَقُلْتُ إِنَّهُ يَقُولُ أَخْبَرَنَا قَالَ لَا شَيْءَ إِنَّمَا هُوَ كِتَابٌ دَفَعَهُ إِلَيْهِ
“aku pernah bertanya kepada Yahya al-Qoththaan terkait haditsnya Ibnu Juraij dari ‘Athaa’ al-Khurasaaniy?, beliau menjawab : “dhoif”. Lanjutku : “namun ia mengatakan akhbaronaa?”, beliau menjawab : “jangan dianggap, hanyalah ia mendapatkan kitab darinya”.
Maksudnya Ibnu Juraij adalah ulama yang membolehkan secara mutlak mengatakan “akhbatonaa” untuk munawalah dan Mukatabah.
Imam Ali bin al-Madiniy sengaja menjelaskan hal ini bahkan beliau menulis berlembar-lembar untuk membuktikan bahwa Ibnu Juraij dalam banyak haditsnya ketika meriwayatkan dari ‘Athaa’ maka yang dimaksud adalah ‘Athaa’ al-Khurasaaniy bukan ‘Athaa` bin Abi Rabaah, sebagaimana kesalahan yang dilakukan oleh Muhammad bin Tsaur ketika meriwayatkan dari Ibnu Juraij dari ‘Athaa` dari Ibnu Abbas, maka beliau menduga Athaa yang dimaksud adalah Athaa bin Abi Rabaah.
Namun yang menakjubkan Al Hafidz memiliki ketsiqohan yang tinggi kepada Imam Bukhori sehingga beliau masih berprasangka bahwa jalannya Imam Bukhori ini adalah Athaa` bin Abi Rabaah, bukan hanya al-Khurasaaniy.
Alaa Kulli Haal, sesungguhnya riwayat yang tepat sebagaimana zhahirnya Al Qur’an adalah atsar dari Muhammad bin Qois sebagaimana ditulis oleh Imam ibnu Katsir dalam tafsirnya dengan sanadnya dari Imam ath-Thabariy rahimahullah dimana Muhammad bin Qois berkata :
كَانُوا قَوْمًا صَالِحِينَ بَيْنَ آدَمَ وَنُوحٍ
“Mereka adalah orang-orang sholih antara Adam dengan Nuh…”.
Dalam hadits riwayat Imam Al-Bukhari dijelaskan bahwa berhala menjadi sesembahan pertama kali adalah pada masa Nabi Nuh AS. Pada masa itu, kaum Nabi Nuh telah memiliki berhala. Bahkan berhala tersebut telah tersebar di kalangan orang Arab yang dipusatkan di setiap kaum.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا صَارَتْ الْأَوْثَانُ الَّتِي كَانَتْ فِي قَوْمِ نُوحٍ فِي الْعَرَبِ بَعْدُ أَمَّا وَدٌّ كَانَتْ لِكَلْبٍ بِدَوْمَةِ الْجَنْدَلِ وَأَمَّا سُوَاعٌ كَانَتْ لِهُذَيْلٍ وَأَمَّا يَغُوثُ فَكَانَتْ لِمُرَادٍ ثُمَّ لِبَنِي غُطَيْفٍ بِالْجَوْفِ عِنْدَ سَبَإٍ وَأَمَّا يَعُوقُ فَكَانَتْ لِهَمْدَانَ وَأَمَّا نَسْرٌ فَكَانَتْ لِحِمْيَرَ لِآلِ ذِي الْكَلَاعِ أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِينَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ فَلَمَّا هَلَكُوا أَوْحَى الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ أَنْ انْصِبُوا إِلَى مَجَالِسِهِمْ الَّتِي كَانُوا يَجْلِسُونَ أَنْصَابًا وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ فَفَعَلُوا فَلَمْ تُعْبَدْ حَتَّى إِذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ الْعِلْمُ عُبِدَتْ
Artinya, “Dari Ibnu Abbas RA bahwanya, berhala-berhala yang dahulu diagungkan oleh kaum Nabi Nuh, di kemudian hari tersebar di bangsa 'Arab. Wadd menjadi berhala untuk kamu Kalb di Daumatul Jandal. Suwa' untuk Bani Hudzail. Yaquts untuk Murad dan Bani Ghuthaif di Jauf tepatnya di Saba`. Adapun Ya'uq adalah untuk Bani Hamdan. Sedangkan Nashr untuk Himyar keluarga Dzul Kala'. Itulah nama-nama orang saleh dari kaum Nabi Nuh. Ketika mereka wafat, setan membisikkan kaum itu untuk mendirikan berhala pada majelis mereka dan menamakannya dengan nama orang-orang saleh itu. Maka mereka pun melakukan hal itu, dan saat itu berhala-berhala itu belum disembah hingga mereka wafat, sesudah itu, setelah ilmu tiada, maka berhala-berhala itu pun disembah," (Lihat Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Sahihul Bukhari, [Kairo, Dāru Thauqin Najah: 1422 H), juz XII, halaman 261).
Hadits ini sedikitnya telah membukakan informasi kepada kita terkait kapan berhala-berhala itu ada. Hal ini diperkuat dengan pendapat Al-Faqihi yang menyebutkan bahwa berhala pertama kali dibuat pada masa Nabi Nuh As.
Al-Faqihi sebagaimana dikutip As-Suyuthi dalam Ad-Durarul Mantsur menyebutkan bahwa pada masa itu seorang anak yang rindu kepada orang tuanya yang meninggal mulai membuat patung-patung yang mirip dengan wajah orang tuanya.
Patung-patung tersebut dibuat karena anak dan keluarganya tidak mampu memupuk sifat sabar saat ditinggal mati oleh ayahnya. Ketika rindu, anak-anak tersebut memandangi patung-patung yang mirip orang tuanya tersebut hingga keturunan itu meninggal.
Peristiwa seperti ini berlangsung secara turun-temurun hingga anak cucunya menganggap bahwa patung-patung itu disembah sebagai Tuhan, (Lihat As-Suyūṭī, Ad-Durarul Mantsur, [Beirut, Dārul Fikr, tanpa catatan tahun], juz VI, halaman 269).
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar