Pesantren Lengkong yang dipimpin Kyai Haji Hasan Maulani ini bahkan disebut-sebut sebagai cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren lainnya di Kabupaten Kuningan. Tentu saja hal ini berkat kegiatan-kegiatan yang dilakukan Kyai Haji Hasan Maulani yang pada waktu itu secara intensif terus mengamalkan ilmu-ilmu agama yang dimilikinya.
Pondok Pesantren Salaf Raudlatut Thalibin atau Al-Ma’hadud Dini As-salafi Raudlatut Thalibin, adalah Pondok Pesantren yang menganut aqidah ahlussunnah waljama’ah bermadzhabkan Imam Syafi’i, yang terletak di Jln. Eyang Hasan Maolani Dsn Wage Ds Lengkong Rt 24. Rw. 10 Desa Lengkong Kecamatan Garawangi Kabupaten Kuningan Jawa Barat.
Sejarah KH Hasan Maolani (Eyang Menado)
Kiai Haji Hasan Maolani (1779-1874) dari Desa Lengkong. Masyarakat mengenalnya sebagai “Eyang Menado” karena ia diasingkan ke Menado (meskipun sesungguhnya diasingkan ke Tondano, sebelah selatan Menado), selama 32 tahun hingga meninggal dunia di sana. Sumber-sumber yang memberitakan adanya gerakan ini sangat terbatas. Pertama sekali dilaporkan dalam Laporan Politik Pemerintah Kolonial tahun 1839-1849 (Exhibitum, 31 Januari 1851, no. 27). Kemudian disebutkan pula dalam tulisan E. de Waal, yang berjudul Onze Indische Financien, 1876, secara sangat singkat. Selanjutnya, diuraikan cukup panjang, dalam disertasi D.W.J. Drewes, yang berjudul Drie Javaansche Goeroe’s (1925).
Sosok yang paling ditakuti Belanda bukanlah pejuang tangguh berotot besi, bukan pula perwira gagah yang berkali-kali memenangkan peperangan. Ulama. Ya, ternyata kolonialis Belanda itu takutnya dengan seorang ulama.
Tak disangka memang. Tapi itulah kenyataannya. Sosok ulama yang lahir di tanah Lengkong kabupaten Kuningan, Jawa Barat ini adalah salah satu dari sosok yang ditakuti. Namanya Hasan Maolani, sekarang dikenang dengan sebutan “Eyang Menado” gara-gara dirinya diasingkan ke tanah sebelah Selatan Menado. Ini juga akibat ketakutan Belanda tarhadap pengaruh ajaran Islam yang diajarkannya pada masyarakat sekitar.
Padahal Kiai Hasan Maolani hanyalah mengajarkan apa yang ada dalam Alquran. Tidak ada yang melenceng dari syariat. Bahkan pendidikan agama yang dilakukan Hasan Maolani semata-mata karena tugasnya sebagai pendakwah, sebagai ulama yang ditakdirkan menjadi pewaris ajaran para nabi.
Namun kata-kata “jihad” yang banyak ditulis Alquran tiba-tiba menjadi momok yang sangat menakutkan penjajah. Ajaran jihad ini oleh ulama pituin Kuningan sempat dituliskan dalam fathul qorib 40 jilid, karyanya.
“Jika sekiranya para orang kafir memasuki negeri muslimin atau mereka bertempat yang dekat dengan letaknya negeri orang Islam, maka dalam keadaan yang demikian itu hukum jihad adalah fardhu ain bagi kaum muslimin. Wajib bagi ahli negeri untuk menolak (menghalau) para orang kafir dengan sesuatu yang dapat dipergunakan oleh kaum muslimin untuk menolak.”
Saat itu boleh jadi KH Hasan Maolani sudah memiliki kesadaran bahwa negerinya tengah dijajah. Lalu kesadaran itu coba ditularkan kepada masyarakat dengan berbagai jalan, ceramah dan surat-suratnya.
Ketika sebuah pesantren di Lengkong ia dirikan, dengan serta merta orang berduyun-duyun datang mengabdikan diri menjadi santri ulama yang sempat belajar di Pesantren Kedung Panjang (Majalengka) dan Pesantren Ciwaringin (Cirebon). 40 pondok yang disediakan ternyata tidak mencukupi untuk menampung para santri. Belum lagi hampir setiap hari orang datang menemuinya untuk meminta saran dan nasihat mengenai permasalahan kehidupan.
K.H. HASAN MAOLANI (1779-1874). Masyarakat setempat menyebutnya “eyang Manado,” karena di akhir hidupnya diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara oleh pemerintah Hindia Belanda. Hasan Maolani lahir di Lengkong, Garawangi, Kuningan Jawa Barat pada 1779. Ayahnya bernama Tb. Loekman. Menurut daftar silsilah yang ditulis dalam huruf Arab Pegon, berbahasa Jawa, Hasan Maolani masih keturunan ke-11 dari Sunan Gunung Jati. Hasan Maolani kecil mula-mula mendapatkan pendidikan agama Islam dari ayahnya. Setelah usianya cukup ia masuk ke pesantren mbah Padang. Di pesantren itu, ia menjadi santri kesayangan, karena kecerdasannya jauh melebihi teman-teman seusianya. Setelah itu, Hasan Maolani melanjutkan pendidikan agamanya ke pesantren Kedung Rajagaluh. Setelah dinyatakan lulus oleh gurunya, ia melanjutkan pelajaran agamanya ke pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon. Setelah itu ia masuk ke beberapa pesantren di wilayah Cirebon.
Setelah dewasa, Hasan Maolani tertarik untuk memelajari tarekat (ilmu thariqat). Mula-mula ia memelajari tarekat Syatariyah. Selanjutnya memelajari tarekat Qodiriyah. Tidak puas sampai di situ, ia memelajari tarekat Naqsabandiyah, dan tarekat-tarekat lainnya. Namun demikian, dari pencarian terhadap sejumlah ajaran tarekat tersebut, Hasan Maolani lebih tertarik dan memilih ajaran tarekat Syatariyah. Kelak, ia pun dikenal sebagai pengamal dan pengembang ajaran tarekat Syatariyah dari Lengkong Kuningan.
Setelah berguru ke beberapa pesantren, Hasan Maolani kembali ke tempat kelahirannya, Lengkong. Di sini ia menjadi penerus kepemimpinan pesantren yang telah didirikan oleh Panembahan Dako (Syekh Moechammad Dako), seorang panatagama utusan dari kesultanan Cirebon pada akhir abad ke-18. Setelah Panembahan Dako wafat, berturut-turut pesantren Lengkong dipimpin oleh kyai Absori, kyai Simoeroeboel, dan kyai Arip. Setelah ketiganya wafat, kemudian dilanjutkan oleh kyai Abdoel Karim dan kyai Fakih Tolab. Hasan Maolani sendiri baru memimpin pesantren Lengkong pada 1842-1874 setelah kyai Abdoel Karim dan kyai Fakih Tolab wafat.
Pada masa kepemimpinan Hasan Maolani, pesantren Lengkong berkembang pesat. Berduyun-duyun orang datang ingin menjadi santrinya. Jumlah santri yang masuk ke pesantren Lengkong cukup banyak, hingga seluruh kobong yang jumlahnya (menurut sebagian pendapat 40, dan sebagian lainnya 50) tidak mampu menampungnya. Gaya hidup dan kepemimpinan Hasan Maolani yang sangat sederhana (zuhud), menjadi daya tarik bagi para santri untuk berguru kepadanya. Menurut Nina Herlina Lubis, sebagai bukti kesederhanaan Hasan Maolani, ia tidak pernah mempunyai pakaian lebih dari 3 stel. Bila ada lebih, maka ia akan segera memberikannya kepada yang membutuhkan. Hasan Maolani juga senang menjamu orang. Apa saja yang ia miliki, tidak pernah disembunyikan apabila ada orang yang memerlukannya. Selain itu, masih menurut Nina Herlina Lubis, Hasan Maolani tidak pernah menghina dan menggunjingkan orang lain. Ia selalu tirakat, tidak makan berlebihan, serta menghindari makanan dari jenis yang bernyawa. Para santri yang datang ke pesantren Lengkong umumnya mereka yang akan melanjutkan pendidikan agamanya ke daerah Timur Jawa. Di pesantren ini selain dipelajari ilmu-ilmu agama Islam secara umum, juga dipelajari ilmu tarekat, terutama Syatariyah. Selain para santri, mereka yang datang ke pesantren Lengkong dengan berbagai keperluan, mulai dari yang mau berobat hingga meminta tolong untuk menyelesaikan persoalan hidup sehari-hari.
Kuat dugaan, adanya orang berkumpul setiap hari dalam jumlah banyak mengundang kecurigaan pemerintah Hindia Belanda yang baru saja selesai menghadapi Perang Diponegoro (1825-1830). Selain itu, para jawara dan tokoh setempat yang semula menjadi tujuan orang-orang merasa terusik dengan kehadiran Hasan Maolani. Mereka mulai mencoba mengganggunya baik secara spiritual, maupun melalui fitnah. Hal yang disebut terakhir, diduga, semakin menambah kecurigaan pemerintah Hindia Belanda. Kecurigaan itu tertuang dalam Laporan Politik Pemerintah Kolonial tahun 1839-1849 (Exhibitum, 31 Januari 1851, no. 27)., dan dalam tulisan E. de Waal, Onze Indische Financien, 1876, sebagaimana dikutif Nina Herlina Lubis, tentang adanya gerakan Kiyai Hasan Maolani. Pada laporan itu dijelaskan, bahwa pada 1841 memang banyak orang berdatangan ke pesantren Hasan Maolani di Lengkong, tetapi tidak bermaksud untuk mengatur siasat dalam rangka menentang pemerintah Kolonial. Mereka datang hanya untuk mendapatkan ilmu dan ajaran agama.
Adalah suatu hal yang wajar, bahwa Hasan Maolani sebagai guru agama dan pemimpin pesantren Lengkong mempunyai banyak santri. Ia pun sangat disegani masyarakat. Kehadiran maupun nasihat-nasihatnya, bahkan sampai pada upacara kenduri, selamatan (sedekah), dan persoalan-persoalan lain yang keluar dari mulutnya senantiasa dipatuhi oleh para pengikutnya, termasuk hal-hal yang bersifat takhayul. Dalam laporan itu disebutkan pula, bahwa pada 1842 Hasan Maolani mengangkat dirinya sebagai “pembaharu agama” di Keresidenan Cirebon dan sekitarnya, yang kemudian diikuti dengan pengiriman utusan-utusan serta pembuatan surat-surat selebaran mengenai ajaran-ajarannya. Dalam pengamatan pemerintah Hindia Belanda, surat-surat itu membawa akibat dan pengaruh besar bagi penduduk dan pemerintah.
Temuan lainnya, dalam kitab Fathul Qorib yang merupakan karya tulisnya, kini tersimpan di rumah peninggalan Hasan Maolani di Lengkong, Hasan Maolani secara khusus membahas Bab Jihad. Disebutkan, ada dua jenis jihad, yaitu jihad akbar (berperang melawan hawa nafsu sendiri), dan jihad asghar (berperang melawan musuh). Salah satu ajaran Hasan Maolani tentang jihad yang dianggap membahayakan eksistensi pemerintah Hindia Belanda, sebagai berikut:
”Jika sekiranya para orang kafir memasuki negeri Muslimin atau mereka bertempat yang dekat letaknya dengan negeri orang Islam, maka dalam keadaan yang demikian itu hukum jihad adalah fardlu ‘ain bagi kaum Muslimin. Wajib bagi ahli negeri itu untuk menolak (menghalau) para orang kafir dengan sesuatu yang dapat dipergunakan oleh kaum Muslimin untuk menolak.”
Dalam beberapa pengajiannya, Hasan Maolani juga selalu berpesan agar membaca al-Qur’an, salawat, sodaqoh, dzikir, bersilaturahim, melaksanakan sholat dan berpuasa, baik yang wajib maupun yang sunah, serta jangan melakukan hal yang dilarang oleh Syari’ah. Pesan lainnya yang juga dituliskan dalam surat-surat dari Tondano adalah agar sabar, taubat dan banyak berdo’a, membangun mesjid dan menghidupkannya, hendaklah mencari ilmu dan tawadhu dalam hidup, jangan sombong, takabur dan riya, amanah, ikhlas, jangan makan yang berlebihan, dan makanlah yang halal.
Informasi selanjutnya tentang Hasan Maolani diperoleh dari Drie Javansche Goeroe’s, disertasi yang ditulis oleh G.W.J. Drewes (1925). Diinformasikan, bahwa pada awal 1842 di bagian Timur Keresidenan Priangan beredar surat selebaran yang menurut kata orang, berasal dari Pangsor. Di antara isi surat selebaran tersebut dinyatakan, bahwa Hasan Maolani pada suatu ketika pernah mendengar suara gaib yang bertanya: “Kyai apakah anda mau diperturutkan dengan Iblis?” Atas pertanyaan itu, lalu Kyai menjawab, “Bukankah aku menjunjung Allah dan utusannya?” Sekali lagi suara gaib berkata, bahwa jika kyai tidak ingin diperturutkan lblis, maka ada keharusan untuk melaksanakan “selamatan” (sedekah). Waktu selamatan ialah pada malam Jum’at setelah selesai shalat, atau dapat juga dilakukan pada hari Selasa, atau hari Kamis. Dalam melaksanakan upacara selamatan gunakanlah piring tembikar yang sudah tidak terpakai lagi, demikian juga sisa makanan, nasi, lauk pauk, dan lain-lainnya janganlah diambil kembali. Tentu saja laporan itu harus diperlakukan secara kritis. Sebab, ajaran-ajaran Hasan Maolani, seperti yang terdapat dalam kitab Fathul Qorib, tidak ada yang berbunyi seperti itu, meskipun memang sedekah sangat dianjurkan. Hal itu boleh dilakukan kapan saja, bukan seperti yang disebutkan dalam laporan Kolonial.
Dengan adanya surat selebaran itu, pemerintah Hindia Belanda berpendapat, bahwa telah terjadi keresahan di kalangan masyarakat pribumi yang mendapat surat-surat yang berisi ajaran dari Hasan Maolani. Orang berduyun-duyun datang ke Lengkong untuk meminta nasihat, untuk berbagai masalah yang dihadapainya, meminta kesembuhan dari penyakitnya. Orang-orang yang berdatangan itu mulai dari Banten, Cianjur, Sukabumi, Sukapura (Tasikmalaya), Limbangan (Garut), hingga Banyumas, bahkan ada juga yang datang dari Ponorogo.
Selanjutnya Residen Priangan dalam surat itu memberikan saran, agar kerusuhan itu harus diselidiki di Lengkong. Penugasannya diserahkan kepada Residen Cirebon untuk diminta pendapatnya dengan mempersoalkan, apakah pengaruh Hasan Maolani mempunyai unsur yang berlawanan dengan kepentingan dan kewibawaan (policy) pemerintah?
Disebutkan, pengaruh Hasan Maolani semakin mendalam di kalangan penduduk, bahkan sampai merembet kepada para pemimpin pribumi. Hal itu dijadikan alasan oleh Residen untuk menangkap Hasan Maolani. Residen Priangan menulis surat ke Batavia yang menyatakan, bahwa rakyat lebih menghargai dan patuh kepada Hasan Maolani, daripada kepada Bupati Kuningan. Residen juga melaporkan bahwa Hasan Maolani akan melawan gubernemen (pemerintah Hindia Belanda) dan ajarannya bertentangan dengan ajaran Islam. Hasan Maolani yang sederhana dengan kata-katanya yang dibuat sedemikian rupa, hingga dipandang sebagai orang yang mempunyai kekuatan luar biasa dan dilebihkan dari keistimewaan ulama lainnya, sungguh membahayakan masyarakat serta mengganggu ketenteraman, jika kepentingan kiyai tersebut mendapat angin. Pada bagian akhir suratnya, Residen Priangan menulis kata-kata: “Saya berharap bahwa Paduka Yang Mulia akan mendapat alasan, juga dengan laporan yang telah diberikan oleh para Bupati mengenai orang tersebut, untuk mengasingkan kyai Lengkong dari Pulau Jawa”.
Dalam catatan keluarga, Hasan Maolani dibawa oleh petugas pemerintah Hindia Belanda, pada Kamis, 12 Safar 1257 H./1837 M., waktu ‘asar. Dikatakan, bahwa Hasan Maolani akan dibawa menghadap kepada Residen Cirebon untuk dimintai keterangan. Ternyata, Hasan Maolani tidak pernah kembali. Ia langsung ditahan di Cirebon. Setelah berada dalam tahanan di Cirebon, para murid, santri, masyarakat datang berduyun-duyun tiap hari menjenguk Hasan Maolani. Hal itu membuat pemerintah Hindia Belanda kewalahan. Oleh karena itu, diputuskanlah untuk memindahkan Hasan Maolani ke Batavia. Di Batavia, Hasan Maolani tetap saja mendapat kunjungan para murid dan santrinya dalam jumlah yang mengkhawatirkan. Karena itu, setelah ditahan selama 9 bulan dengan mempertimbangkan seluruh laporan yang masuk, Hasan Maolani diasingkan ke Manado dengan status sebagai tahanan negara. Sebelum ke Manado, Hasan Maolani dibawa terlebih dahulu ke Ternate, dari sini kemudian dibawa ke Kaema. 100 hari kemudian dipindahkan ke Tondano. Pada 29 April 1874 tersiar kabar Hasan Maolani wafat. Ia dimakamkan di Kompleks Pemakaman Kiai Mojo, Tondano.
Hingga sekarang masih ada peninggalan K.H. Hasan Maolani, berupa bangunan rumah panggung berdinding anyaman bambu dan benda-benda milik pribadi. Selain itu, masih ada tinggalan berupa naskah yang ditulis di atas kertas dengan tinta hitam dan merah. Naskah berjudul Fathul Qorib, ini ditulis dalam huruf Arab pegon, berbahasa Jawa campur Sunda. Peninggalan berharga lainnya adalah kumpulan surat-surat yang dikirim Kiai Hasan dari pengasingannya. K.H. Hasan Maolani dilahirkan pada 1199 Hijriah atau 1779 Masehi di Desa Lengkong, sekarang termasuk Kecamatan Garawangi Kabupaten Kuningan.
Menurut silsilahnya, Kiai Hasan Maolani, memiliki leluhur hingga kepada Sunan Gunung Jati. Ketika Hasan Maolani dilahirkan, Panembahan Dako, seorang kiai yang makamnya banyak diziarahi orang karena kekeramatannya, mengatakan bahwa anak ini benar-benar cakap dan memiliki “bulu kenabian”. Maksudnya, memiliki tanda-tanda akan menjadi ulama. Sejak kecil anak ini dikenal memiliki sifat-sifat yang baik. Hatinya lembut berbudi luhur, sayang kepada sesama makhluk, termasuk binatang. Sejak kecil, Hasan Maolani suka menyepi (uzlah) di tempat-tempat yang jarang dikunjungi orang, setelah dewasa ia sering menyepi di Gunung Ciremai. Hasan mula-mula menimba ilmu di Pesantren Embah Padang. Setelah itu, ia menimba ilmu di Pesantren Kedung Rajagaluh (Majalengka) dan Pesantren Ciwaringin, Cirebon. Selain itu, Hasan masih belajar lagi di beberapa pesantren lain. Setelah dewasa, Hasan Maolani, belajar tarekat: Satariyah, Qodariyah, Naksabandiyah, dst. Namun, akhirnya Hasan Maolani menganut tarekat Satariyah. Sekembali dari berguru di beberapa pesantren, Hasan Maolani kembali ke desa asalnya di Lengkong dan membuka pesantren.
Sejak ia membuka pesantren, berduyun-duyun orang yang datang ingin menjadi santrinya. Jumlah santri yang mondok cukup banyak hingga 40 pondok yang disediakan tidak mampu menampungnya. Selain itu, makin hari makin banyak orang datang kepada K.H. Hasan Maolani untuk berbagai keperluan, mulai dari berobat hingga meminta tolong untuk menyelesaikan berbagai persoalan hidup. Tentu saja, adanya orang berkumpul setiap hari, dalam jumlah banyak mengundang kecurigaan pemerintah kolonial, yang baru saja usai menghadapi Perang Diponegoro (1825-1830). Salah satu ajaran Kiai Hasan Maolani, yang penting dan dianggap membahayakan pemerintah kolonial adalah tentang “jihad”. Ajaran yang ditulisnya dalam Fathul Qorib demikian: “Jika sekiranya para orang kafir memasuki negeri Muslimin atau mereka bertempat yang dekat letaknya dengan negeri orang Islam, maka dalam keadaan yang demikian itu hukum jihad adalah fardlu ain bagi kaum Muslimin. Wajib bagi ahli negeri itu untuk menolak (menghalau) para orang kafir dengan sesuatu yang dapat dipergunakan oleh kaum Muslimin untuk menolak.” Jelas, bahwa Kiai Hasan Maolani memiliki kesadaran bahwa negerinya sedang dijajah. Kesadaran ini disampaikan kepada masyarakat, yang datang maupun yang jauh melalui surat-suratnya. Perang Diponegoro menyisakan pelajaran bagi pemerintah kolonial untuk segera meredam ajaran-ajaran yang dianggap membangkitkan kesadaran rakyat untuk menentang orang kafir (dalam hal ini pemerintah jajahan). Itulah sebabnya, pemerintah kolonial melalui kaki tangannya di Kabupaten Kuningan segera melancarkan tudingan bahwa Kiai Hasan Maolani dituduh menyebarkan ajaran yang tidak sesuai dengan syariah, menghasut rakyat untuk melakukan perlawanan. Padahal, ajaran-ajarannya seperti yang disebutkan di atas, tidak ada yang tidak sesuai dengan syariah. Dalam hal ini, kita bisa menduga apa motif pemerintah kolonial dalam melancarkan tuduhan kepada Kiai Hasan, tidak lain hanya untuk menjatuhkan nama Kiai Hasan di mata masyarakat pribumi dan mencari-cari kesalahannya. Residen Priangan setelah mendapat informasi mengenai surat edaran dan akibat yang ditimbulkannya, segera mengirim surat kepada Gubernur Jenderal di Batavia, menyampaikan usul agar kerusuhan itu harus diselidiki di Lengkong, Kabupaten Kuningan (Cirebon). Pengaruh Kiai Hasan Maolani semakin mendalam di kalangan penduduk, bahkan sampai merembet kepada para pemimpin pribumi. Hal ini dijadikan alasan oleh residen untuk menangkap Kiai Hasan. Residen Priangan menulis surat keBatavia yang menyatakan bahwa rakyat lebih menghargai dan patuh kepada Kiai Hasan Maolani daripada kepada Bupati Kuningan. Residen juga melaporkan bahwa Kiai Hasan akan melawan “gubernemen” (pemerintah Hindia Belanda) dan ajarannya bertentangan dengan ajaran Islam. Kiai Hasan Maolani yang sederhana itu dengan kata-katanya yang dibuat sedemikian rupa, hingga dipandang sebagai orang yang mempunyai kekuatan luar biasa dan dilebihkan dari keistimewaan ulama lainnya, sungguh membahayakan masyarakat serta mengganggu ketenteraman jika kepentingan kiai tersebut mendapat angin.
Pada bagian akhir suratnya, Residen Priangan menulis kata-kata “Saya berharap bahwa Paduka Yang Mulia akan mendapat alasan, juga dengan laporan yang telah diberikan oleh para bupati. mengenai orang tersebut, untuk mengasingkan Kiai Lengkong dari Pulau Jawa.” Melihat gerakan Kiai Hasan Maolani, yang semakin hari dianggap semakin berbahaya, pemerintah kolonial akhirnya mengambil tindakan Kiai Hasan harus ditangkap. Dalam catatan keluarga, Kiai Hasan Maolani dibawa oleh petugas pemerintah kolonial, pada Hari Kamis, tanggal 12 Safar 1257 H (1837 Masehi) waktu asar. Dikatakan bahwa kiai akan dibawa menghadap kepada Residen Cirebon untuk dimintai keterangan. Namun ternyata, Kiai Hasan tidak pernah kembali. Ia ditahan diCirebon. Ternyata setelah berada dalam tahanan di Cirebon, para murid, santri, dan masyarakat umum datang berduyun-duyun tiap hari menjenguk Kiai Hasan Maolani. Hal ini membuat pemerintah kolonial kewalahan. Oleh karena itu, diputuskanlah untuk memindahkan Kiai Hasan ke Bataviadengan diangkut kapal laut. Di Batavia, Kiai Hasan Maolani tetap saja mendapat kunjungan para murid dan santrinya dalam jumlah yang mengkhawatirkan. Oleh karena itu, setelah ditahan selama 9 bulan diBatavia, diambil tindakan lain: Dengan suratkeputusan tanggal 6 Juni 1842, Kiai Hasan Maolani diasingkan ke Menado dengan status sebagai tahanan negara. Kiai Hasan ternyata dibawa terlebih dahulu ke Ternate, dari sini kemudian dibawa ke Kaema. Seratus hari kemudian, ia dipindahkan ke Tondano. Di sini Kiai Hasan tinggal di Kampung Jawa bersama pasukan Kiai Mojo (panglima pasukan Diponegoro) yang diasingkan dari Jawa Tengah. Ternyata selama di pengasingan, Kiai Hasan Maolani tidak tinggal diam. Di Kampung Jawa, ia mengajar bekas pasukan Diponegoro yang ingin mendalami agama Islam. Lama-kelamaan, makin banyak muridnya, termasuk orang sekitar. Banyak orang yang tadinya non-Islam berhasil diislamkan.
Akhirnya, Kiai Hasan membuka pesantren, yang dikenal sebagai “Pesantren Rama Kiai Lengkong”. Semakin lama namanya tambah terkenal bukan karena kekeramatannya, namun juga karena ajarannya yang mudah dimengerti. Kiai Hasan juga menaruh perhatian besar terhadap pengembangan pertanian dan perikanan sebagaimana dilakukannya di Desa Lengkong dahulu. Putra kiai yang bernama Mohamad Hakim pernah mengajukan suatu permohonan kepada pemerintah agar ayahnya dikembalikan dari tempat pengasingannya. Namun, Residen Priangan yang dimintai pendapatnya tentang hal ini tetap berpegang pada pendiriannya. Ia tidak mau mengambil risiko dengan mengatakan bahwa seorang yang diasingkan belum tentu akan jera dengan hukuman yang ditimpakan kepadanya. Kemudian keempat orang putranya kembali mengajukan permohonan kepada pemerintah pada bulan Desember 1868, yang isinya menyatakan bahwa ayah mereka yang sudah berusia 90 tahun itu supaya dikembalikan ke Jawa. Semua permintaan ini ditolak karena Kiai Hasan dianggap terlalu berbahaya meskipun sudah diasingkan, pengaruhnya masih terasa. Paramurid, santri, dan rakyat tetap menjalankan anjuran-anjurannya baik dalam beribadah ritual maupun ibadah sosial.Untuk ketiga kalinya, salah seorang putra Kiai Hasan Maolani mengajukan permohonan untuk menengok ayahnya di Menado. Semula Residen Cirebon menolak permohonan itu, tetapi setelah mendapat saran dari gubernur jenderal, barulah putra kiai yang bernama Kiai Absori diizinkan menengoknya ke Menado. Pada tanggal 29 April 1874 Kiai Hasan Maolani meninggal dunia dan dimakamkan di Kompleks Pemakaman Kiai Mojo di Tondano. Kiai Hasan diasingkan begitu lama, namun namanya tetap melekat di hati rakyat Kuningan. Orang mengenangnya sebagai “Eyang Menado”. Makamnya banyak diziarahi orang, baik orang Kuningan maupun masyarakat setempat. Namun, yang perlu dilakukan sekarang adalah bagaimana kita memberikan penghargaan atas perjuangannya. Rasanya bukan hanya masyarakat Kuningan yang setuju agar K.H. Hasan Maolani diangkat sebagai pahlawan nasional.
Sejarah
Cikal bakal dari Pondok Pesantren Salaf Raudlatut Thalibin ini adalah berupa pondokan kecil yang dihuni oleh beberapa santri mukim dan kalong. Beliaulah Eyang Idrus yang menjadi peletak batu pertama dari pesantren ini. Estafet kepemimpinan selanjutnya turun kepada putra menantu beliau yaitu KH. Kholil yang mempersunting putri beliau Nyai Muthma’innah. Pernikahan kedua insan mulia ini dikaruniai empat orang putra. Yaitu: Nyai Uhat (tinggal di Ciawi), KH. Uung Abdus Syukur (Ponpes. Cihideung), KH. Syarifuddin, dan KH. Harun Al Rosyid.
Perjalanan pondokan kecil tersebut selanjutnya beralih kepada putra ketiga dan keempat KH. Kholil dan Nyai Mutma’innah yaitu KH. Syarifuddin dan KH. Harun Al Rosyid. Dan pada masa kepemimpinan beliau berdua inilah banyak dilakukan perubahan-perubahan demi kerapian system dan pembelajaran. Dan tepatnya pada tahun 1970 M. pesantren ini resmi diberi nama “Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin“.
Alkisah, penggunaan nama “Roudlotut Tholibin” ini adalah untuk melaksanakan amanat yang diberikan oleh Kyai beliau KH. Syarifuddin ketika nyantri di daerah Ciwaringin, Cirebon. Kyai beliau berpesan agar pondoknya nanti diberi nama yang sama dengan pondoknya saat beliau ngaji yaitu “ Raudlatut Thalibin”.
Seiring dengan perjalanan waktu kedatangan santri untuk menimbah ilmu di pesantren ini pun terus bertambah. Terhitung dalam kurun waktu antara tahun 1973 sampai tahun 1978 M. bangunan yang tersedia sudah tidak bisa menampung lagi jumlah santri. Maka dibangunlah asrama baru 2 lantai di sebelah timur dari bangunan induk. Dan bangunan batu ini kemudian nama Ribath Hasan Maulani (HM) dan Ribath Al-Kholil (AK).
Penambahan sarana dan prasarana terus dilakukan demi menunjang proses belajar mengajara. Dan kemudian pada tahun 1980 M. dibangun kembali 2 asrama di bagian barat dan kemudian diberi nama Ribath Al-Idrus (ADS) dan Ribath An-Nawawi (AN).
Adapun sistem tarbiyah, ta’lim, wat taa’llum yang diterapkan pada pada awal periode ini adalah menggunakan sistem klasikal. Dan untuk mempermudah penjenjangan dalam pengajaran maka santri dikelompokkan sesuai dengan kemampuan yang dimilki dengan menggunakan standart ilmu alat mereka. Maka terbentuklah beberapa jenjang kelas pengajaran, yaitu:
Kelas Ajurumiyah
Kelas ‘Imrithi
Kelas Al-Fiyah, dan
Kelas Jauharul Maknun
Salah satu alasan yang melatar belakangi pemberian nama-nama tersebut adalah maqolah
” من لا يعرف الاعراب لا يعرف المراد ”
(Barangsiapa yang tidak mengerti ilmu I’rob (nahwu), maka tidak akan mengerti apa yang dimaksud). Mengedepankan Nahwu sebagai pelajaran inti dan identitas pesantren bukan berarti melalaikan ilmu-ilmu yang lain. Beliau juga mengajarkan fan-fan lain seperti fiqih, tauhid, tafsir, Hadits dan lain sebagainya.
Dalam mengajar beliau menerapkan prinsip
“قليل قر خير من كثير فر”
(sedikit tapi mengena lebih baik daripada banyak tapi lepas)
sehingga beliau sering mengevalusi santri secara individual bahkan dalam beberapa pengajian sema’an beliau melaksanakannya dalam suasana gelap gulita agar santri bisa menguasai akan pelajaran sebelum berangkat ke majlis ta’allum bersama beliau.
Sejalan dengan bertambahnya usia Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin pun terus berupaya menyempurnakan methode dan cara pengajaran. Maka dengan dasar agar para santri semakin berwawasan luas system pembelajaran pun sedikit dimoderenisasi. Dan tepatnya pada tahun 1993 dibangunlah gedung madrasah untuk pengajian manhaj madrosiyah.
Dan pada masa ini pun tonggak sejarah baru di Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin terukir indah. Di mana pesantren mulai melebarkan sayapnya dengan membuka Taman Pendidikan Al Qur’an (TKA) bagi masyarakat sekitar khususnya anak-anak usia mulai 5 tahun ke atas dengan penekanan pembelajaran Al Qur’an, Ubudiyah, dan Akhlaqul Karimah. Gayung bersambut. Respon masyarakat sangat positif dan antusias dengan pendidikan model seperti ini yang memang tergolong ‘baru’ untuk daerah Lengkong dan sekitarnya. Sehingga dalam kurun satu dekade jumlah peserta didik di TKA ini mencapai ratusan siswa bahkan sampai ribuan pada periode-periode berikutnya. Waktu pembelajaran tingkatan ini dimulai pada pukul 13.00 WIB sampai 17.00 WIB.
Sedangkan untuk santri yang mukim diwajibkan belajar di Madrasah Salafiyah Syafi’iyah Al-Idrus ketika pagi hari mulai pukul 08.00 WIS sampai 10.00 WIS. Pada awalnya pembelajaran satri di madrasah ini di kelompokkan menjadi 9 tingkat pendidikan. Kemudian setelah beberapa tahun selanjutnya tingkatan pengajian untuk santri dilebur dalam sistem 6 tahun tingkat pendidikan yang terdiri dari 3 tahun untuk Tingkat Tsanawiyah dan 3 tahun tingkat ‘Aliyah. Dan pada tahun 1428 H. mulai dibuka kelas Isti’dadiyah bagi siswa siswa yang belum dianggap mampu untuk memulai ta’allum di tingkat Tsanawiyah.
Bisa dikatakan bahwa pada periode KH. Syarifuddin dan KH. Harun Al Rosyid ini adalah periode emas dalam perjalanan pesantren ini. Hingga pada tanggal 13 Jumadil Awwal 1426 H berpulanglah KH. Syarifuddin ke rahmatulloh. Dan pada beberapa tahun berikutnya tepatnya pada tanggal 13 Shofar 1433 H. adik beliau KH. Harun Al Rosyid menyusul pulang ke haribaan rahmat-Nya.
Tongkat estafet kepengasuhan berikutnya beralih kepada putra-putra beliau berdua, yaitu: KH. Didin Misbahuddin dan KH. Ahmad Saefulloh. Namun duet kepemimpinan beliau berdua tidak berjalan lama. Dan karena KH. Didin Misbahuddin sudah memiliki lembaga pendidikan sendiri tepatnya di dusun Pahing, Lengkong. Di samping itu pula beliau banyak berkecimpung dalam organisasi sosial kemasyarakatan di luar pesantren. Sehingga beliau kurang cukup waktu untuk terlibat langsung dalam kepengasuhan. Maka pada tahun 2015 dengan kesepakatan keluarga jabatan Pengasuh diamanatkan kepada pengasuh tunggal yaitu: KH. Ahmad Saifulloh.
Pada periode ini berbagai perbaikan dan pelengkapan berbagai fasilitas dan kebutuhan fisik pesantren terus dilakukan. Seperti revitalisasi kamar mandi, tempat mencuci, dapur umum, aula, kantor pusat, kamar tamu, dan kantor keamanan. Semua dimaksudkan sebagai penunjang dalam kelancaran proses tarbiyah, ta’lim wat ta’allum.
Perubahan waktu belajar di Madrasah Al Idrus pada periode ini juga dilakukan. Khusus untuk santri mukim kegiatan ta’lim wat ta’allum di Madrasah Salafiyah Syafi’iyah Al-Idrus dirubah menjadi mulai pukul 06.00 WIS sampai pukul 09.00 WIS.
Kedepan, perbaikan dan penyempurnaan agan diupayakan dalam berbagai sisi. Demi terus memajukan dan dalam rangka ikhtiyar menciptakan anak didik yang memiliki kualitas dan kapabilas. Yang kafi dan wafi. Amin yaa robbal ‘alamin.
Astaghfirullah...mas andi afandi perbanyak istighfar dan sholawat mas apapun ceritanya namanya pesugihan ga ada maslahatnya sama dengan anda tidak yakin kpada Gusti Allah..
BalasHapus