Ponpes Mifthahul Falah, dimana temuan struktur bangunan kuno itu ditemukan, lebih dikenal sebagai Ponpes Bungkuk. Ponpes Bungkuk sendiri memang tak lepas dari sosok legenda, Mbah Chamimuddin. Mbah Chamimudin adalah eks laskar Pangeran Diponegoro yang tersisa dan lari ke daerah Malang Utara (Singosari dan sekitarnya). Perang Diponegoro antara tahun 1825 sampai 1830 memang membuat laskar Pangeran Diponegoro tercerai-berai di tahun 1830 seiring kematian Pangeran Diponegoro.
“Laskar-laskar Pangeran semburat dan tercecer di bagian selatan Jawa Timur seperti Malang, Trenggalek, Tulungagung bagian selatan. Makanya, jangan heran sampeyan banyak mengenal makam waliyullah di daerah Malang selatan seperti Gondanglegi ataupun Eyang Jugo di Gunung Kawi yang dikenal sebagai laskar Pangeran Diponegoro,”
“Laskar Pangeran Diponegoro tetap gerilya dan mencari dukungan penguasa-penguasa lokal, pesantren-pesantren, salah satunya adalah dukungan dari Kiai Maja. Kekuatan laskar Pangeran Diponegoro di Jawa Timur tidak melemah berbeda dengan di Solo atau Jogjakarta,”
Lantas mengapa Chamimuddin memilih ke Malang utara? Ini tak lepas dari aura Singosari yang memiliki citra kuat sebagai kerajaan besar di masa lalu. “Setelah Majapahit berdiri, Kerajaan Singosari tetap diakui keberadaannya dan menjadi daerah fasal (semacam negara bagian) Kerajaan Majapahit. Tentu saja di situ beranak pinak keturunannya,”
Dengan berpulangnya Pangeran Diponegoro dan pasukannya tercerai-berai, Chamimuddin datang ke Malang dari arah selatan Malang. Kiai Chamimuddin masuk wilayah Singosari sekitar tahun 1830-1835. Tapi, menurut H. Munsyif, salah satu anggota keluarga Ponpes Bungkuk bahwa Kiai Chamimuddin mulai mendirikan pesantren dan langgar (musala) sekitar tahun 1850.
“Musala itu dari bambu biasa. Saat itu, tentu saja masih aneh kehadiran Mbah Chamimuddin di lingkungan yang masih banyak pemeluk agama Hindu dan abangan,“ terang H. Munsyif. Saat itu tentu saja Mbah Chamimuddin tidak melakukan siar dengan cara langsung mendirikan pondok pesantren.
“Ia merintisnya sejak lama tentu saja dengan menetap dan melakukan pengajian kecil-kecilan. Datang ke rumah penduduk, siar Islam. Dan mungkin benar juga akhirnya ia mendirikan musala di tahun 1850 itu,” Melihat santri Mbah Chamimuddin salat dengan gerakan membungkuk itulah, sehingga masyarakat Singosari di masa itu menyebutnya komunitas Bungkuk. Dan diwarisi turun temurun sampai ponpes itu disebut Ponpes Bungkuk.
Islam di zaman Mbah Chamimuddin masih berwajah Islam abangan. Mbah Chamimuddin yang menetap di Singosari kemudian diambil menantu oleh orang Singosari. “Agar Islamnya makin putih, Mbah Chamimuddin lantas menikahkan anak perempuannya dengan Kiai Tohir dari Bangil,”
Hal ini juga dibenarkan H. Munsyif yang masih cucu langsung dari Mbah Tohir. “Beliau dikenal dan Mbah Chamimuddin menjadi kiai besar setelah mengambil mantu Kiai Tohir dari Bangil yang masih memiliki trah Ampel. Alhasil, waliyullah yang dikenal di Bungkuk dan sekitarnya sampai sekarang adalah Mbah Tohir,” terang H Munsyif.
Dengan demikian, maka Mbah Tohir sebagai embrional Ponpes Miftahul Falah dan Masjid At-Thohiriyah yang saat ini sedang direnovasi. Otomatis, setelah Mbah Chamimuddin berpulang, pemangku ponpes dan masjid adalah Mbah Tohir. “Masjid dan Ponpes Bungkuk sangat dikenal, sangat Nahdliyin, dan sangat diperhitungkan di Nahdlatul Ulama. Mereka juga bertarekat, Qodiriyah-Naqsyabandiah. Hal ini tak lepas dari sosok Kiai Tohir,”
Menggantikan Mbah Chamimuddin, Mbah Tohir menikah dan memiliki lima orang anak. Salah satu putranya, Nahchowi Tohir yang menikah dengan M. Rukoiyah, memiliki sepuluh orang anak, dan salah satunya adalah H. Munsyif. Mbah Tohir berpulang tahun 1933, kini pemangku ponpes dipegang oleh Kiai Ahmad Hilmy, saudara Munsyif.
KH Masykur
KH Masykur lahir di Singosari pada tahun 30 Desember 1900 M dan ada yang menyebut tahun 1904. Ketika ibunda KH Masykur mengandung dia melaksanakan haji ke tanah suci meskipun begitu dia tetap melakasanakan haji dengan khidmat. Oleh karenanya beliau sudah merasakan naik Haji bahkan ketika masih di dalam kandungan. Pada usia sepuluh tahun beliau sudah menunaikan rukun Islam yang ke-5. Ayahanda beliau sangat anti terhadap penajajah belanda. Oleh karena itu beliau menghabiskan masa muda beliau di lingkungan pesantren.
Sepulang dari tanah suci beliau di masukkan ke Pesantren Bungkuk di daerah Singosari, Malang. Setelah menamatkan pendidikan di pesantren Bungkuk, beliau melanjutkan nyantri dan mendalami ilmu nahwu sharaf di pesantren Sono, Sidoarjo, lalu empat tahun kemudian melanjutkan di Pesantren Siwalanpanji, Sidoarjo khusus dalam bidang fiqih, lalu ke Pesantren Tebuireng, Jombang. Dari Jombang beliau melanjutkan nyantri ke Mbah Kholil di Bangkalan, untuk belajar qiraat Al-Qur’an. Dan terakhir mondok di Pesantren Jamsaren, Solo. Pada usia ke-27 tahun, KH Masykur menikah dengan cucu Kiai Thohir, Pengasuh Pesantren Bungkuk. Dari pernikahan tersebut, beliau hanya mempunyai satu orang putra yang bernama Syariful Islam.
Peranan beliau di masa kemerdekaan dan pasca kemerdekaan
Keaktifan beliau dalam bidang politik tidak bisa dipandang sebelah mata. Sudah banyak jabatan dan posisi penting yang pernah dijabatnya. Karir beliau dimulai di jajaran Jam’iyah NU, dia terlibat mulai dari bawah, dengan menjadi Ketua NU Cabang Malang, sebagai cabang ke-6, yang pada waktu itu merupakan kurun awal berdirinya organisasi kaum ulama sekitar 1926.
Panglima Sabilillah
Keterlibatannya dalam upacara keprajuritan juga dimulai dari bawah, yaitu menjadi anggota Barisan Pelajar (Sim Sim Tai). KH. Masykur juga tercatat selaku pendiri Pembela Tanah Air (Peta) (yang kemudian menjadi unsur laskar rakyat dan TNI) di seluruh Jawa. Ketika pertempuran 10 November 1945, namanya muncul sebagai pemimpin Barisan Sabilillah, yaitu sebuah pergerakan militer dalam melawan kolonial Belanda yang beranggotakan kiai-kiai muda. KH. Masykur adalah pendiri sekaligus sebagai Panglima Barisan Sabilillah yang memiliki divisi di 14 provinsi.. Beliau juga pernah bertempur secara gerilya di bawah komando Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Karier Politik
Beliau pernah diangkat oleh pemerintahan Jepang sebagai Syu Sang Kai (semacam DPRD). Lalu menjelang kemerdekaan RI, ia terpilih menjadi anggota sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Di sidang ini, ia dengan tegas menyatakan bahwa dasar negara Indonesia harus berpijak pada ajaran Islam karena negara ini memiliki mayoritas penduduk Muslim. Pada November 1947 beliau di panggil ke ibu kota negara pada saat itu Yogyakarta oleh presiden Ir. Soekarno. Bung Karno menawari posisi sebagai menteri agama, yang ia terima di masa Kabinet Amir Syarifuddin ke-2. Sejak saat itu, KH. Masykur pindah dari Singosari untuk menetap di Yogyakarta. Beliau menjadi menteri agama ke-5.
Dalam Kabinet Hatta-2, KH. Masykur kemudian diangkat kembali menjadi menteri agama. Namun kabinet ini tidak berlangsung lama, karena pada akhir tahun 1949, terbentuk kabinet baru yang bernama Kabinet RI peralihan. Sekali lagi, pada pemerintahan kabinet ini, KH. Masykur kembali terpilih menjadi menteri agama.
Lalu pada tahun 1952, KH. Masykur kemudian dipilih sebagai ketua Dewan Presidium Pengurus Besar NU. Beliau kemudian ditetapkan sebagai ketua umum tanfiziyah PBNU. Sebagai organisasi partai, terpilihnya KH. Masykur serta merta menjadikannya sebagai ketua partai. Karena itu, pada masa kabinet Ali Wongso Arifin, ia terpilih kembali menjadi menteri agama dari NU. Di organisasi NU, pernah menjadi Ketua Umum PBNU, menggantikan posisi KH. Abdul Wahid Hasyim, ayahanda Gus Dur, yang wafat karena kecelakaan.
Salah satu hasil karya KH. Masykur saat menjabat menteri agama adalah pembuatan Alquran raksasa yang menjadi Alquran pusaka. Untuk mewujudkan gagasannya, KH. Masykur meminta bantuan Haji Abu Bakar Atjeh, Haji Syamsiar, dan Salim Fahmi Langkat. Dengan dukungan Presiden Soekarno dan Wapres Muhammad Hatta, akhirnya keinginan tersebut terwujud. Kini Alquran pusaka tersebut tersimpan di Masjid Baiturrahim, Istana Negara, Jakarta.
Karier Politik Zaman Orba
Setelah masa presiden Ir. Soekarno berakhir KH. Masykur masih menunjukan eksitensinya di dunia politik. Ini terbukti ketika di masa pemerintahan Orde Baru, KH. Masykur terpilih menjadi Ketua Sarekat Buruh Muslimin Indonesia atau Sarbumusi. Lembaga ini merupakan salah satu lembaga yang berada di bawah naungan NU. Kepemimpinan KH. Masykur membuat lembaga ini maju pesat hingga pernah mengunjungi Uni Soviet (kala itu) untuk meninjau kegiatan kaum buruh sekaligus perkembangan Islam di negara komunis tersebut.
Saat NU kemudian bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), KH. Masykur terpilih menjadi ketua fraksi PPP di DPR yang saat itu sedang membahas RUU Perkawinan. Meski usianya tak lagi muda, namun KH. Masykur terus aktif berkarya. Beliau tetap menjadi rekomendasi para pengurus besar NU (PBNU) yang meminta saran dan nasihatnya. Karya terakhir yang dirintisnya adalah mendirikan Universitas Islam Sunan Giri Malang (Unisma). Lembaga pendidikannya ini berada di bawah naungan Lembaga Pendidikan Ma’arif Pusat yang merupakan lembaga pendidikan milik NU.
Pada 19 Desember 1992, KH. Masykur, salah satu ulama besar, tokoh perjuangan, dan cendikiawan Muslim Indonesia ini berpulang ke pangkuan Yang Mahakuasa. Beliau dimakamkan di pemakaman keluarga pondok Bungkuk, Singosari.
Oleh majalah AULA Edisi November 2012 hal. 58-59, beliau termasuk 9 komandan perang NU, yang daftar lengkapnya sebagai berikut :
1. KH. Zainul Arifin
2. KH. Masjkur
3. KH. Munasir Ali
4. KH. Sullam Syamsun
5. KH. Iskandar Sulaiman
6. KH. Hasyim Latief
7. KH. Zainal Mustofa
8. H. Abdul Manan Widjaya
9. Hamid Roesdi
Salah satu pernyataan beliau yang dianggap penulis postingan ini sangat mulia adalah “Kerjakan sesuatu sampai tuntas. Sekecil apapun pekerjaan, jika ditangani secara tuntas akan sangat berarti.” Pernyataan beliau sangatlah bijak, ini membuat motivasi bagi kita agar giat dan tekun dalam hal apa pun agar bisa mendapatkan hasil yang maksimal dan juga jangan pernah memandang remeh sebuah pekerjaan.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Sangat Bermanfaat sekali....
BalasHapus