Sabtu, 22 April 2017

MENDOAKAN ORANG NON MUSLIM

Dalam kitab sirah Nabawiyyah terdapat kisah masuk Islamnya mantan gembong musyrikin Umar bin Khattab Radhiyallahu ’anhu. Ternyata sebelum beliau memperoleh hidayah iman dan Islam Rasulullah Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam pernah memohon kepada Allah ta’aala agar salah seorang dari dua gembong musyrikin kota Makkah memperoleh hidayah. Doanya diabadikan dalam hadits di bawah ini:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامَ

بِأَحَبِّ هَذَيْنِ الرَّجُلَيْنِ إِلَيْكَ بِأَبِي جَهْلٍ أَوْ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ’anhu bahwa sesungguhnya Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam berdoa: “Ya Allah, muliakanlah Islam dengan sebab kecintaan dua lelaki kepadaMu, yaitu dengan sebab ‘Amr bin Hisyam (Abu Jahl) atau dengan sebab ‘Umar bin Khattab.” (Sunan At-Tirmidzi 12/141)

’Amr bin Hisyam atau Abu Jahal dan Umar bin Khattab Radhiyallahu ’anhu keduanya merupakan pimpinan musyrikin Quraisy di Makkah. Saat kaum muslimin masih lemah dan berjumlah sedikit di Makkah kedua tokoh ini terkenal sering menganiaya para pengikut da’wah Nabi shollallahu ’alaih wa sallam. Sebab mereka sangat fanatik membela agama nenek moyang Abdul Muthallib, yaitu agama menyembah berhala alias kemusyrikan. Dan keduanya sangat resah dan marah melihat kian hari kian banyak orang di Makkah yang meninggalkan kemusyrikan dan memeluk agama tauhid Al-Islam.

Menghadapi keadaan ini Nabishollallahu ’alaih wa sallam malah mendoakan agar Allah ta’aala membalikkan hati salah seorang di antara mereka berdua. Dengan harapan jika salah satunya masuk Islam tentu mereka justru akan menjadi pembela dan pejuang Islam di baris terdepan. Mengingat bagaimana aktif dan semangatnya mereka membela kemusyrikan, alangkah baiknya seandainya semangat itu diarahkan untuk menguatkan barisan Islam. Maka Nabi-pun mengajukan permintaan itu kepada Allahta’aala. Dan ternyata dikabulkan. Panah doa Nabishollallahu ’alaih wa sallam melesat dan menghunjam ke dada Umar bin Khattab Radhiyallahu ’anhu. Dan selanjutnya kitapun tahu bahwa sejak keIslaman beliau ummat Islam untuk pertama kalinya berani menyatakan keIslaman mereka secara terbuka. Sebelum itu mereka senantiasa menyembunyikan keimanan dan keIslaman mereka.Subhanallah, alangkah besarnya jasa dan peranan Umar bin Khattab Radhiyallahu ’anhu…!

Pelajaran penting yang bisa kita petik dari kejadian ini ialah bahwa ternyata Islam tidak melarang secara mutlak seorang muslim mendoakan kaum kafir non-muslim. Namun sudah tentu ada syaratnya. Syaratnya ada dua: pertama, hendaknya isi doa seorang muslim untuk orang kafir hanya berisi satu permohonan saja kepada Allah ta’aala. Yaitu permohonan agar si kafir mendapat hidayah iman dan Islam. Dan kedua, hendaknya seorang muslim mendoakan orang kafir hanya ketika mereka masih hidup. Jangan berfikir untuk mendoakan seorang manusia yang telah meninggal dalam kekafiran.

Mendoakan orang kafir, bisa diperinci menjadi empat:

PERTAMA: Mendoakan agar mereka mendapatkan hidayah.

Para Ulama telah sepakat (Ijma’) akan bolehnya hal ini, diantara dalilnya adalah hadits berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَدِمَ الطُّفَيْلُ وَأَصْحَابُهُ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ دَوْسًا قَدْ كَفَرَتْ وَأَبَتْ، فَادْعُ اللَّهَ عَلَيْهَا! فَقِيلَ: هَلَكَتْ دَوْسٌ! فَقَالَ: اللَّهُمَّ اهْدِ دَوْسًا وَائْتِ بِهِمْ!ـ

Abu Huroirah -rodliallohu anhu- mengatakan: (Suatu hari) At-Thufail dan para sahabatnya datang, mereka mengatakan: “ya Rosululloh, Kabilah Daus benar-benar telah kufur dan menolak (dakwah Islam), maka doakanlah keburukan untuk mereka! Maka ada yg mengatakan: “Mampuslah kabilah Daus”. Lalu beliau mengatakan: “Ya Allah, berikanlah hidayah kepada Kabilah Daus, dan datangkanlah mereka (kepadaku). (HR. Bukhori 2937 dan Muslim 2524, dg redaksi dari Imam Muslim)

Hadits berikut juga menunjukkan bolehnya mendoakan agar mereka mendapatkan hidayah:

عَنْ أَبِي مُوسَى رضي الله عنه، قَالَ: كَانَ الْيَهُودُ يَتَعَاطَسُونَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْجُونَ أَنْ يَقُولَ لَهُمْ يَرْحَمُكُم اللَّهُ، فَيَقُولُ: يَهْدِيكُمُ اللَّهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ

Abu Musa -rodliallohu anhu- mengatakan: “Dahulu Kaum Yahudi biasa berpura-pura bersin di dekat Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, mereka berharap beliau mau mengucapkan doa untuk mereka “yarhamukalloh (semoga Allah merahmati kalian)”, maka beliau mengatakan doa: “yahdikumulloh wa yushlihabalakum (semoga Allah memberi hidayah kepada kalian, dan memperbaiki keadaan kalian)” (HR. Tirmidzi 2739 , dan yg lainnya)

KEDUA: Mendoakan kebaikan dalam perkara dunia.

Hal ini dibolehkan karena adanya contoh dari Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-… lihatlah dalam hadits di atas, beliau mendoakan kepada Kaum Yahudi:

يَهْدِيكُمُ اللَّهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ

“Semoga Allah memberi kalian hidayah, dan memperbaiki keadaan kalian”

Ada juga ikrar (persetujuan) Rosulullah –shollallohu alaihi wasallam– dalam hal ini:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ قَالَ: بَعَثَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَرِيَّةٍ فَنَزَلْنَا بِقَوْمٍ، فَسَأَلْنَاهُمُ القِرَى فَلَمْ يَقْرُونَا، فَلُدِغَ سَيِّدُهُمْ فَأَتَوْنَا فَقَالُوا: هَلْ فِيكُمْ مَنْ يَرْقِي مِنَ العَقْرَبِ؟ قُلْتُ: نَعَمْ أَنَا، وَلَكِنْ لاَ أَرْقِيهِ حَتَّى تُعْطُونَا غَنَمًا، قَالُوا: فَإِنَّا نُعْطِيكُمْ ثَلاَثِينَ شَاةً، فَقَبِلْنَا فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ: الحَمْدُ لِلَّهِ سَبْعَ مَرَّاتٍ، فَبَرَأَ وَقَبَضْنَا الغَنَمَ، قَالَ: فَعَرَضَ فِي أَنْفُسِنَا مِنْهَا شَيْءٌ فَقُلْنَا: لاَ تَعْجَلُوا حَتَّى تَأْتُوا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَيْهِ ذَكَرْتُ لَهُ الَّذِي صَنَعْتُ، قَالَ: وَمَا عَلِمْتَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ؟ اقْبِضُوا الغَنَمَ وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ بِسَهْمٍ

Abu Said al-Khudri mengatakan: (Suatu saat) Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- menugaskan kami dalam Sariyyah (pasukan kecil), lalu kami singgah di suatu kaum, dan kami meminta mereka agar menjamu kami tapi mereka menolaknya. Lalu pemimpin mereka terkena sengatan hewan, maka mereka mendatangi kami, dan mengatakan: “Adakah diantara kalian yg bisa meruqyah sakit karena sengatan Kalajengking?”. Maka ku jawab: “Ya, aku bisa, tapi aku tidak akan meruqyahnya kecuali kalian memberi kami kambing”. Mereka mengatakan: “Kami akan memberikan 30 kambing kepada kalian”. Maka kami menerima tawaran itu, dan aku bacakan kepada (pemimpin)nya surat Alhamdulilah sebanyak 7 kali, maka ia pun sembuh, dan kami terima imbalan (30) kambing.

Abu Sa’id mengatakan: Lalu ada sesuatu yg mengganjal di hati kami (dari langkah ini), maka kami mengatakan: “Jangan tergesa-gesa (dg imbalan kambing ini), sampai kalian mendatangi Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-.

Abu sa’id mengatakan: Maka ketika kami mendatangi beliau, aku menyebutkan apa yg telah kulakukan. Beliau mengatakan: “Dari mana kau tahu, bahwa (Alfatihah) itu Ruqyah?, ambillah kambingnya dan berilah aku bagian darinya”. (HR. Tirmidzi [2063] dg redaksi ini, kisah ini juga diriwayatkan di dalam shohih Bukhori [2276] dan shohih Muslim [2201]).

Hadits ini menjelaskan bolehnya kita me-ruqyah orang kafir agar sakitnya sembuh, dan ini merupakan bentuk dari tindakan mendoakan kebaikan untuk mereka dalam urusan dunia.

Diantara dalil dalam masalah ini adalah dibolehkannya kita menjawab salamnya orang kafir, walaupun bolehnya hanya sebatas “wa’alaikum“, sebagaimana sabda Nabi –shollallohu alaihi wasallam-:

إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الكِتَابِ فَقُولُوا: وَعَلَيْكُمْ

“Jika seorang Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) mengucapkan salam kepada kalian, maka jawablah dg ucapan: “Wa’alaikum“. (HR. Bukhori [5788], dan Muslim [4024])

Ada juga contoh dari salah seorang Sahabat Nabi dalam masalah ini:

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِيِّ: أَنَّهُ مَرَّ بِرَجُلٍ هَيْئَتُهُ هَيْئَةُ مُسْلِمٍ، فَسَلَّمَ فَرَدَّ عَلَيْهِ: وَعَلَيْكَ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ. فَقَالَ لَهُ الْغُلَامُ: إِنَّهُ نَصْرَانِيٌّ! فَقَامَ عُقْبَةُ فَتَبِعَهُ حَتَّى أَدْرَكَهُ. فَقَالَ: إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ وَبَرَكَاتَهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ، لَكِنْ أَطَالَ اللَّهُ حَيَاتَكَ، وَأَكْثَرَ مالك، وولدك

Uqbah bin Amir al-Juhani -rodhiallohu anhu- menceritakan: bahwa dia pernah berpapasan dg seseorang yg gayanya seperti muslim, lalu orang tersebut memberi salam kepadanya, maka ia pun menjawabnya dengan ucapan: “wa’alaika wa rohmatulloh wabarokatuh”… Maka pelayannya mengatakan padanya: Dia itu seorang nasrani!… Lalu Uqbah pun beranjak dan mengikutinya hingga ia mendapatkannya, maka ia mengatakan: “Sesungguhnya rahmat dan berkah Allah itu untuk Kaum Mukminin, akan tetapi semoga Allah memanjangkan umurmu, dan memperbanyak harta dan anakmu” (HR. Bukhori dalam kitabnya Adabul Mufrod 1/430,)

Banyak ulama yg memberi batasan: bahwa orang kafir yg didoakan kebaikan, harus bukan dalam kategorikafir harbi (yakni kafir yg memerangi Kaum Muslimin)… Dan ini sangatlah tepat… Syeikh Albani -rohimahulloh-mengatakan:

ولكن لا بد أن يلاحظ الداعي أن لا يكون الكافر عدواً للمسلمين

Akan tetapi, orang yg mendoakan kebaikan harus memperhatikan, bahwa orang kafir tersebut bukanlah musuh (perang) bagi Kaum Muslimin. (Ta’liq Kitab Adab Mufrod 1/430).

KETIGA: Mendoakan agar dosa mereka diampuni, setelah mereka mati dalam keadaan kafir.

Para ulama telah sepakat (Ijma’) bahwa hal ini diharamkan:

قال النووي رحمه الله : وأما الصلاة على الكافر والدعاء له بالمغفرة فحرام بنص القرآن والإجماع

Imam Nawawi -rohimahulloh- mengatakan: “Adapun menyolati orang kafir, dan mendoakan agar diampuni dosanya, maka ini merupakan perbuatan haram, berdasarkan nash Alqur’an dan Ijma’. (al-Majmu’ 5/120).

وقال ابن تيمية رحمه الله: إن الاستغفار للكفار لا يجوز بالكتاب والسنَّة والإجماع

Ibnu Taimiyah -rohimahulloh- juga mengatakan: Sesungguhnya memintakan maghfiroh untuk orang-orang kafir tidak dibolehkan, berdasarkan Alqur’an, Hadits, dan Ijma’. (Majmu’ul Fatawa 12/489)

Dan dalil paling tegas dalam masalah ini adalah firman Allah ta’ala:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman, memintakan ampun (kepada Allah) untuk orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni (neraka) Jahim. (at-Taubah: 113)

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، حَدَّثَنَا مَعْمَر، عَنِ الزَّهْرِيِّ، عَنِ ابْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: لَمَّا حَضَرت أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ دَخَلَ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ أَبُو جَهْلٍ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ، فَقَالَ: "أيْ عَمّ، قُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ. كَلِمَةٌ أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ". فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ: يَا أَبَا طَالِبٍ، أَتَرْغَبُ عَنْ ملَّة عَبْدِ الْمُطَّلِبِ؟ [قَالَ: فَلَمْ يَزَالَا يُكَلِّمَانِهِ، حَتَّى قَالَ آخَرُ شَيْءٍ كَلَّمَهُمْ بِهِ: عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ] . فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ". فَنَزَلَتْ: {مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ} قَالَ: وَنَزَلَتْ فِيهِ: {إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ}

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Ibnul Musayyab, dari ayahnya yang mengatakan bahwa ketika Abu Talib sedang menjelang ajalnya, Nabi Saw. masuk menemuinya; saat itu di sisi Abu Talib terdapat Abu Jahal dan Abdullah ibnu Abu Umayyah. Maka Nabi Saw. bersabda: Hai paman, ucapkanlah, "Tidak ada Tuhan selain Allah!" sebagai suatu kalimat yang kelak aku akan membelamu dengannya di hadapan Allah Swt. Maka Abu Jahal dan Abdullah ibnu Abu Umayyah berkata, "Hai Abu Talib apakah engkau tidak suka dengan agama Abdul Muttalib?" Abu Talib menjawab.”Saya berada pada agama Abdul Muttalib." Maka Nabi Saw. bersabda: Sungguh aku benar-benar akan memohonkan ampun buatmu selagi aku tidak dilarang untuk mendoakanmu. Maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun(kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahim. (At-Taubah: 113);  Imam Ahmad mengatakan bahwa sehubungan dengan peristiwa ini diturunkan pula firman Allah Swt.: Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. (Al-Qashash: 56)

Imam Bukhari dan Imam Muslim telah mengetengahkan hadis ini.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, telah menceritakan kepada kami Sufyan. dari Abu Ishaq, dari Abul Khalil, dari Ali r.a. yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar seorang lelaki memohonkan ampun bagi kedua orang tuanya, padahal kedua orang tuanya itu musyrik. Maka aku (Ali) berkata, "Apakah lelaki itu memohonkan ampun bagi kedua orang tuanya, padahal kedua orang tuanya musyrik?" Lelaki itu menjawab, "Bukankah Ibrahim telah memohonkan ampun bagi ayahnya?" Ali r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia menceritakan hal itu kepada Nabi Saw. Maka turunlah ayat ini: Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun(kepada Allah) bagi orang-orang musyrik. (At-Taubah: 113), hingga akhir ayat.

Imam Ahmad mengatakan, "Kalimat 'ketika menjelang kematiannya' saya tidak tahu apakah Sufyan yang mengatakannya ataukah dikatakan oleh Israil, atau memang dalam hadisnya disebutkan kalimat ini." Menurut kami (penulis), hal ini telah dibuktikan melalui riwayat dari Mujahid, bahwa Mujahid mengatakan 'bahwa ketika Abu Talib menjelang kematiannya'.

Firman Allah Swt.:

{فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ}

Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. (At-Taubah: 114)

Ibnu Abbas mengatakan bahwa Nabi Ibrahim masih terus memohonkan ampun kepada Allah untuk bapaknya hingga bapaknya meninggal dunia. Setelah nyata bagi Nabi Ibrahim bahwa bapaknya adalah musuh Allah, maka berlepas dirilah ia dari ayahnya. Riwayat lain menyebutkan bahwa setelah ayahnya itu mati, jelaslah bagi Ibrahim a.s. bahwa ayahnya itu adalah musuh Allah. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ad-Dahhak, Qatadah, serta lain-lainnya.

Ubaid ibnu Umair dan Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa Nabi Ibrahim berlepas diri dari bapaknya kelak di hari kiamat, yaitu di saat ia bersua dengan bapaknya yang wajahnya hitam legam. Lalu bapaknya berkata, "Hai Ibrahim, sesungguhnya dahulu aku mendurhakaimu, tetapi sekarang aku tidak akan mendurhakaimu lagi." Maka Ibrahim berkata, "Wahai Tuhanku, bukankah Engkau telah berjanji kepadaku bahwa Engkau tidak akan membuatku terhina di hari manusia dibangkitkan. Maka kehinaan apalagi yang lebih berat daripada mempunyai seorang bapak yang dijauhkan dari rahmat." Maka dikatakan, "Lihatlah ke belakangmu." Maka tiba-tiba terdapat hewan kurban yang berlumuran darah yang telah diubah wujudnya menjadi dubuk. Kemudian dubuk itu ditarik dan diseret kakinya, lalu dilemparkan ke dalam neraka.

Firman Allah Swt.:

{إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لأوَّاهٌ حَلِيمٌ}

Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (At-Taubah: 114)

Sufyan As-Sauri dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang telah meriwayatkan dari Asim ibnu Bahdalah, dari Zur ibnu Hubaisy, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa makna al-awwah ialah banyak berdoa. Hal yang sama telah diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Ibnu Mas'ud.

وَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي الْمُثَنَّى: حَدَّثَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ مِنْهال، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ بَهْرام، حَدَّثَنَا شَهْر بْنُ حَوشب، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَدَّادِ بْنِ الْهَادِ قَالَ: بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْأَوَّاهُ؟ قَالَ: "الْمُتَضَرِّعُ"، قَالَ: {إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لأوَّاهٌ حَلِيمٌ}

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj ibnu Minhal, telah menceritakan kepadaku Abdul Hamid ibnu Bahram, telah menceritakan kepada kami Syahr ibnu Hausyab, dari Abdullah ibnu Syaddad ibnul Had yang mengatakan bahwa ketika Nabi Saw. sedang duduk, seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah makna al-awwah?'Rasulullah Saw. menjawab bahwa al-awwah artinya orang yang sangat lembut hatinya. Allah Swt. telah berfirman: Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun (At Taubah : 114)

Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui hadis Ibnul Mubarak, dari Abdul Hamid ibnu Bahram dengan sanad yang sama, yang lafaznya berbunyi seperti berikut: Al-awwah artinya sangat lembut hatinya lagi banyak berdoa.

As-Sauri telah meriwayatkan dari Salamah ibnu Kahil, dari Mus­lim Al-Batin, dari Abul Gadir, bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Mas'ud tentang makna al-awwah. Maka ia menjawab bahwa al-awwah artinya penyayang.

Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Abu Maisarah Umar ibnu Syurahbil, Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, dan lain-lainnya, bahwa makna al-awwah ialah penyayang terhadap hamba-hamba Allah.

Ibnul Mubarak telah meriwayatkan dari Khalid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa al-awwah artinya orang yang mempunyai keyakinan menurut bahasa Habsyah (Etiopia).

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, bahwa al-awwah artinya orang yang berkeyakinan. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid dan Ad-Dahhak.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan —begitu pula Mujahid— dari Ibnu Abbas, bahwa al-awwah artinya orang yang beriman. Menurut riwayat Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, ditambahkan bahwa al-awwah artinya orang yang beriman lagi banyak bertobat.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa al-awwah menurut bahasa Habsyah artinya orang yang mukmin. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ibnu Juraij, bahwa al-awwah menurut bahasa Habsyah artinya orang mukmin.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi 'ah, dari Al-Hari s ibnu Yazid, dari Ali ibnu Rabah, dari Uqbah ibnu Amir, bahwa Rasulullah Saw. bersabda kepada seorang lelaki yang dikenal dengan julukan "Zun Nijddain' (orang yang memiliki dua pedang), bahwa sesungguhnya dia adalah orang yang lembut hatinya. Dikatakan demikian karena lelaki itu setiap disebutkan nama Allah di dalam Al-Qur'an, maka ia berdoa dengan suara yang keras. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir.

Sa'id ibnu Jubair dan Asy-Sya'bi mengatakan bahwaal-awwah artinya orang yang suka bertasbih (salat)

Ibnu Wahb telah meriwayatkan dari Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Abuz Zahiriyyah, dari Jubair ibnu Nafir, dari Abu Darda r.a. yang mengatakan, "Tiada yang dapat memelihara salat duha kecuali hanya orang yang berhati lemah lembut."

Syafi ibnu Mati', dari Ayyub, menyebutkan bahwa al-awwah artinya 'orang yang apabila teringat akan kesalahan-kesalahannya, maka ia memohon ampun kepada Allah darinya'.

Dari Mujahid, disebutkan bahwa al-awwah ialah orang yang memelihara diri, yakni seseorang yang berbuat dosa secara sembunyi-sembunyi, lalu ia bertobat dari dosanya itu dengan sembunyi-sembunyi pula. Semua riwayat di atas diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim.

قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ وَكِيع، حَدَّثَنَا الْمُحَارِبِيُّ، عَنْ حَجَّاجٍ، عَنِ الْحَكَمِ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ مُسْلِمِ بْنِ يَنَّاقٍ: أَنَّ رَجُلًا كَانَ يُكْثِرُ ذِكْرَ اللَّهِ وَيُسَبِّحُ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: "إِنَّهُ أَوَّاهٌ"

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki', telah menceritakan kepada kami Al-Muharibi, dari Hajjaj, dari Al-Hakam, dari Al-Hasan ibnu Muslim ibnu Bayan, bahwa pernah ada seorang lelaki yang banyak berzikir dan bertasbih kepada Allah. Kemudian perihalnya diceritakan kepada Nabi Saw. Maka Rasul Saw. bersabda: Sesungguhnya dia orang yang berhati lemah lembut.

قَالَ أَيْضًا حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيب، حَدَّثَنَا ابْنُ يَمَانٍ، حَدَّثَنَا المِنْهَال بْنُ خَلِيفَةَ، عَنْ حَجّاج بْنِ أَرْطَأَةَ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ؛ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَفَنَ مَيِّتًا، فَقَالَ: "رَحِمَكَ اللَّهُ إِنْ كنتَ لَأَوَّاهًا"! يَعْنِي: تَلاءً لِلْقُرْآنِ

Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ibnu Hani, telah menceritakan kepada kami Al-Minhal ibnu Khalifah, dari Hajjaj ibnu Artah, dari Ata, dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah mengubur jenazah seseorang, lalu beliau bersabda: Semoga Allah merahmati engkau, sesungguhnya engkau adalah orang yang awwah. Yakni banyak membaca Al-Qur'an.

Syu'bah telah meriwayatkan dari Abu Yunus Al-Bahili yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar seorang laki-laki dari Mekkah yang  aslinya berasal dari Romawi, dia ahli cerita. Dia menceritakan hadis ini dari Abu Zar yang telah mengatakan bahwa pernah ada seorang lelaki tawaf di Baitullah seraya berdoa, dalam doanya itu ia selalu mengucapkan kata-kata, "Aduh. aduh." Ketika disebutkan hal itu kepada Nabi Saw., maka Nabi Saw. bersabda bahwa dia adalah orang yang banyak mengaduh, Abu Zar melanjutkan kisahnya.”Lalu ia keluar di suatu malam, tiba-tiba ia menjumpai Rasulullah Saw. sedang mengebumikan jenazah lelaki tersebut di malam hari seraya membawa pelita." Hadis ini garib. diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.

Telah diriwayatkan dari Ka'bul Ahbar, bahwa ia mengatakan bahwa ia telah mendengar firman-Nya:Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (At-Taubah: 114) Perawi mengatakan, tersebutlah apabila Ka'bul Ahbar teringat kepada neraka, maka ia selalu mengatakan, "Aduh, semoga dijauhkan dari neraka."

Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (At-Taubah: 114) Yang dimaksud dengan awwah ialah faqih, yakni ahli fiqih.

Imam Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat yang paling utama ialah yang mengatakan bahwa al-awwah artinya banyak berdoa, ini sesuai dengan konteks, karena Allah Swt. telah menyebutkan bahwa Ibrahim a.s. tidak sekali-kali memintakan ampun kepada Allah untuk bapaknya, melainkan karena dia telah berjanji akan melakukannya buat bapaknya. Nabi Ibrahim adalah orang yang banyak berdoa lagi penyantun terhadap orang yang berbuat aniaya dan orang yang menimpakan hal-hal yang tidak disukai terhadap dirinya. Karena itulah maka Nabi Ibrahim memohonkan ampun kepada Allah untuk bapaknya, sekalipun bapaknya itu sangat menyakitinya, seperti yang dikisahkan oleh firman-Nya:

{أَرَاغِبٌ أَنْتَ عَنْ آلِهَتِي يَا إِبْرَاهِيمُ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ لأرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا. قَالَ سَلامٌ عَلَيْكَ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا}

Berkata bapaknya, "Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama.” Berkata Ibrahim, "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (Maryam: 46-47)

Ternyata Nabi Ibrahim bersikap penyantun terhadap bapaknya, sekalipun bapaknya menyakitinya. Beliau bahkan berdoa dan memohonkan ampun untuknya. Karena itulah dalam akhir ayat ini disebutkan:

{إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لأوَّاهٌ حَلِيمٌ}

Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (At-Taubah: 114)

KEEMPAT: Mendoakan agar diampuni dosanya ketika mereka masih hidup.

Hal ini dibolehkan dg Dalil hadits berikut:

قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بن مسعود: كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْكِي نَبِيًّا مِنْ الْأَنْبِيَاءِ ضَرَبَهُ قَوْمُهُ فَأَدْمَوْهُ وَهُوَ يَمْسَحُ الدَّمَ عَنْ وَجْهِهِ وَيَقُولُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

Abdullah bin Mas’ud mengatakan: “Seakan-akan aku sekarang melihat Nabi -shollallohu alaihi wasallam- bercerita tentang seorang Nabi, yg dipukul oleh kaumnya hingga bercucur darah, dan ia mengusap darah tersebut dari wajahnya, tp ia tetap mengatakan: “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka itu tidak tahu”. (HR. Bukhori 3477).

Memang Hadits ini tidak tegas mengatakan bahwa Nabi yg mendoakan ampunan tersebut adalah Nabi Muhammad –shollallohu alaihi wasallam-… Namun ada riwayat lain yg tegas mengatakan bahwa doa tersebut juga diucapkan oleh Nabi kita Muhammad –shollallohu alaihi wasallam– kepada kaumnya yg masih kafir:

عن سهل بن سعد قال: شهدت النبي – صلى الله عليه وسلم – حين كُسِرت رباعِيتُهُ وجُرح وجهه وهُشمت البيضة على رأسه، وإني لأعرف من يغسل الدم عن وجهه، ومن ينقل عليه الماء، وماذا جعل على جرحه حتى رقأ الدم؛ كانت فاطمة بنت محمد رسول الله – صلى الله عليه وسلم – له تغسل الدم عن وجهه، وعلي- رضي الله عنه- ينقل الماء إليها في مِجنَّةٍ، فلما غسلت الدم عن وجه أبيها أحرقت حصيراً، حتى إذا صارت رماداً أخذت من ذلك الرماد، فوضعته على وجهه حتى رقأ الدم، ثم قال يومئذ: اشتد غضب الله على قوم كلموا وجه رسول الله – صلى الله عليه وسلم. ثم مكث ساعة، ثم قال: اللهم! اغفر لقومي؛ فإنهم لا يعلمون

Sahal bin sa’ad mengatakan: Aku telah menyaksikan Nabi -shollallohu alaihi wasallam- saat gigi serinya patah, wajahnya terluka, dan helm perang di kepalanya pecah… sungguh aku juga tahu siapa yg mencuci darah dari wajahnya, siapa yg mendatangkan air kepadanya, dan apa yg ditempatkan dilukanya hingga darahnya mampet… Adalah Fatimah putri Muhammad utusan Allah yg mencuci darah dari wajah, dan Ali -rodliallohu anhu- yg mendatangkan air dalam perisai… maka ketika Fatimah mencuci darah dari wajah ayahnya, dia membakar tikar, sehingga ketika telah menjadi abu, ia mengambil abu itu, lalu menaruhnya di wajah beliau, hingga darahnya mampet… ketika itu beliau mengatakan: “Telah memuncak kemurkaan Allah atas kaum yg melukai wajah Rosulullah”… lalu beliau diam sebentar, dan mengatakan: “Ya Allah ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka itu tidak tahu”. (HR. Tobaroni, dan Syeikh Albani dalam Silsilah Shohihah [7/531] mengatakan: Sanadnya Hasan atau Shohih).

Diantara dalil dalam masalah ini adalahMafhum Mukholafah dari firman Allah berikut:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ (*) وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ

Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman, memintakan ampun (kepada Allah) untuk orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya),sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni (neraka) jahim. Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (at-Taubah: 113-114)

Ayat ini mengaitkan “larangan memintakan ampun untuk Kaum Musyrikin”, dg keadaan “sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka”. Sehingga sebelum jelas menjadi penghuni neraka, boleh di mintakan ampun… Dan telah shohih dari Ibnu Abbas, bahwa maksud dari firman Allah yg artinya: “Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah” adalah “setelah mati dalam keadaan kufur”. Sehingga sebelum kematiannya, masih boleh dimintakan ampun.

Berikut Atsar dari Ibnu Abbas tersebut:

عن سعيد بن جبير قال : توفى أبو رجل ، وكان يهوديا ، فلم يتبعه ابنه ، فذكر ذلك لابن عباس ، فقال ابن عباس : وما عليه، لو غسله ، واتبعه ، واستغفر له ما كان حيا… ثم قرأ ابن عباس (فلما تبين له أنه عدو لله تبرأ منه) * يقول : لما مات على كفره

Sa’id bin Jubair mengatakan: Ada salah seorang ayah meninggal, dan dia seorang yahudi, sehingga putranya (yg muslim) tidak mengikuti (jenazah)nya, lalu hal itu diceritakan kepada Ibnu Abbas, maka beliau mengatakan: “Tidak sepatutnya ia melakukannya, (alangkah baiknya) apabila ia memandikannya, mengikuti (jenazah)nya, danmemintakan ampun baginya ketika masih hidup… kemudian Ibnu Abbas membaca ayat (yg artinya): “Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, ia pun berlepas diri darinya”, maksudnya: “ketika ia mati dalam keadaan kafir”. (Mushonnaf Abdurrozzaq 6/39).

Dan kesimpulan bolehnya memintakan ampun bagi orang-orang kafir selama masih hidup ini, juga banyak dinyatakan oleh para ulama, diantaranya:

Imam At-Thobari –rohimahulloh-, beliau mengatakan dalam tafsirnya:

وقد تأول قوم قول الله: {ما كان للنبي والذين آمنوا أن يستغفروا للمشركين ولو كانوا أولى قربى}… الآية، أن النهي من الله عن الاستغفار للمشركين بعد مماتهم، لقوله: {من بعد ما تبين لهم أنهم أصحاب الجحيم} وقالوا: ذلك لا يتبينه أحد إلا بأن يموت على كفره، وأما هو حي فلا سبيل إلى علم ذلك، فللمؤمنين أن يستغفروا لهم

Sekelompok ulama’ telah menafsiri firman Allah (yg artinya): Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman, memintakan ampun (kepada Allah) untuk orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya)… -hingga akhir ayat-; bahwa larangan dari Allah untuk memintakan ampun bagi kaum musyrikin adalah setelah matinya mereka (dalam keadaan kafir), karena firman-Nya (yg artinya): “sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni (neraka) jahim”. Mereka mengatakan: “alasannya, karena tidak ada yg bisa memastikan (bahwa dia ahli neraka), kecuali setelah ia mati dalam kekafirannya, adapun saat ia masih hidup, maka tidak ada yg bisa mengetahui hal itu, sehingga dibolehkan bagi Kaum Mukminin untuk memintakan ampun bagi mereka. (Tafsir Thobari 12/26)

Dan inilah pendapat yg dipilih oleh beliau dalam tafsirnya. (lihat Tafsir Thobari 12/28)

Imam Al-Qurtubi juga mengatakan dalam tafsirnya:

وَقَدْ قَالَ كَثِيرٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ: لَا بَأْسَ أَنْ يَدْعُوَ الرَّجُلُ لِأَبَوَيْهِ الْكَافِرَيْنِ وَيَسْتَغْفِرَ لَهُمَا مَا دَامَا حَيَّيْنِ. فَأَمَّا مَنْ مَاتَ فَقَدِ انْقَطَعَ عَنْهُ الرَّجَاءُ فَلَا يُدْعَى لَهُ. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: كَانُوا يَسْتَغْفِرُونَ لِمَوْتَاهُمْ فَنَزَلَتْ فَأَمْسَكُوا عَنِ الِاسْتِغْفَارِ وَلَمْ يَنْهَهُمْ أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْأَحْيَاءِ حَتَّى يَمُوتُوا

Banyak ulama mengatakan: Tidak mengapa bagi seorang (muslim) mendoakan kedua orang tuanya yg kafir, dan memintakan ampun bagi keduanya selama mereka masih hidup. Adapun orang yg sudah meninggal, maka telah terputus harapan (untuk diampuni dosanya). Ibnu Abbas mengatakan: “Dahulu orang-orang memintakan ampun untuk orang-orang mati mereka, lalu turunlah ayat, maka mereka berhenti dari memintakan ampun. Namun mereka tidak dilarang untuk memintakan ampun bagi orang-orang yg masih hidup hingga mereka meninggal”. (Tafsir Qurtubi 10/400)

Inilah pendapat paling kuat dalam masalah ini, karena bersandarkan dalil dari Alqur’an, Hadits, dan Perkataan Shahabat… Karenanya banyak dari kalangan ulama, memilih pendapat ini…Namun ada dua hal yg perlu digaris bawahi di sini:

– Bahwa yg lebih afdhol adalah mendoakan orang yg kafir agar diberikan hidayah masuk Islam… Karena inilah yg sering dilakukan oleh Nabi –shollallohu alaihi wasallam-, dan inilah yg telah disepakati bolehnya oleh para ulama.

– Ampunan yg sempurna tidak akan diberikan kepada orang kafir, selama dia masih kafir… Sehingga arti dari doa meminta ampunan untuk mereka adalah: ampunan dari sebagian dosa selain kesyirikan dan kekafirannya, atau ampunan untuk semua dosanya dengan jalan diberi hidayah dahulu untuk masuk Islam.

WALLOHUL WALIYYUT TAUFIQ ILA SABILUL HUDA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar