Senin, 15 Mei 2017
MENGHINA ROSULULLOH MATI HUKUMANNYA
Menghina Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan syari’at yang dibawanya merupakan tabiat orang-orang kuffaar yang telah mentradisi semenjak dulu kala. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah banyak menerima banyak tuduhan dan hinaan/cacian. Diantaranya, mereka menghina beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai tukang sihir yang banyak berdusta, sebagaimana terdapat dalam ayat :
وَعَجِبُوا أَنْ جَاءَهُمْ مُنْذِرٌ مِنْهُمْ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ
“Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: "Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta" [QS. Shaad : 4].
Menghina beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang penyair gila, sebagaimana terdapat dalam ayat :
وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ
“Dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" [QS. Ash-Shaaffat : 36].
Menghina beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai pengarang atau plagiator kitab suci, sebagaimana terdapat dalam ayat :
وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا بَيِّنَاتٍ قَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُمْ هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ * أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang menjelaskan, berkatalah orang-orang yang mengingkari kebenaran ketika kebenaran itu datang kepada mereka: "Ini adalah sihir yang nyata". Bahkan mereka mengatakan: "Dia (Muhammad) telah mengada-adakannya (Al Qur'an)" [QS. Al-Ahqaaf : 7-8].
أَنَّى لَهُمُ الذِّكْرَى وَقَدْ جَاءَهُمْ رَسُولٌ مُبِينٌ * ثُمَّ تَوَلَّوْا عَنْهُ وَقَالُوا مُعَلَّمٌ مَجْنُونٌ
“Bagaimanakah mereka dapat menerima peringatan, padahal telah datang kepada mereka seorang rasul yang memberi penjelasan, kemudian mereka berpaling daripadanya dan berkata: "Dia adalah seorang yang menerima ajaran (dari orang lain) lagi pula seorang yang gila” [QS. Ad-Dukhaan : 13-14].
Dan yang lainnya.....
Menyakiti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan menghina, mencaci, atau menuduh dengan tuduhan-tuduhan yang tidak pantas lagi keji merupakan sesuatu yang besar dalam Islam. Haram hukumnya. Allah ta’ala berfirman :
وَمِنْهُمُ الَّذِينَ يُؤْذُونَ النَّبِيَّ وَيَقُولُونَ هُوَ أُذُنٌ قُلْ أُذُنُ خَيْرٍ لَكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَيُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَرَحْمَةٌ لِلَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ رَسُولَ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ * يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ لَكُمْ لِيُرْضُوكُمْ وَاللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَقُّ أَنْ يُرْضُوهُ إِنْ كَانُوا مُؤْمِنِينَ * أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّهُ مَنْ يُحَادِدِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَأَنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا ذَلِكَ الْخِزْيُ الْعَظِيمُ * يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَنْ تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُمْ بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَا تَحْذَرُونَ * وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ * لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
“Di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan: "Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya". Katakanlah: "Ia mempercayai semua yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu". Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih. Mereka bersumpah kepada kamu dengan (nama) Allah untuk mencari keridaanmu, padahal Allah dan Rasul-Nya itulah yang lebih patut mereka cari keridaannya jika mereka adalah orang-orang yang mukmin”. Tidakkah mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui bahwasanya Barang siapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya neraka Jahanamlah baginya, dia kekal di dalamnya. Itu adalah kehinaan yang besar. Orang-orang yang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: "Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)". Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?". Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa” [QS. At-Taubah : 61-66].
إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِينًا
“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan” [QS. Al-Ahzaab : 57].
Para ulama mengambil istinbath dengan ayat-ayat di atas tentang kafirnya orang yang menghina/mencaci/mencela Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, halal darahnya. Ini jika pelakunya muslim, maka ia kafir dengan sebab celaan/caciannya tersebut dan halal dibunuh sesuai dengan syari’at Islam yang berlaku padanya.
Lantas bagaimana dengan orang kafir yang mencela/mencaci Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam?. Al-Mundziriy rahimahullah berkata setelah menyebutkan ijma’ wajib dihukum bunuh bagi muslim yang mencela/mencaci Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
وَإِنَّمَا الْخِلَاف إِذَا كَانَ ذِمِّيًّا ، فَقَالَ الشَّافِعِيّ يُقْتَل وَتَبْرَأ مِنْهُ الذِّمَّة ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَة لَا يُقْتَل مَا هُمْ عَلَيْهِ مِنْ الشِّرْك أَعْظَم ، وَقَالَ مَالِك مَنْ شَتَمَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْيَهُود وَالنَّصَارَى قُتِلَ إِلَّا أَنْ يُسْلِم
“Perbedaan pendapat yang ada hanyalah jika orang yang mencela itu berstatus dzimmiy. Asy-Syaafi’iy berpendapat pelakunya dibunuh dan lepas darinya jaminan (dengan sebab perbuatannya tersebut). Abu Haniifah berpendapat pelakunya tidak dibunuh, karena kesyirikan yang ada padanya lebih besar. Maalik berkata : Barangsiapa yang mencaci Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan Yahudi dan Nashara, maka dibunuh kecuali jika kemudian ia masuk Islam” [‘Aunul-Ma’buud, 9/394].
Yang raajih – wallaahu a’lam - , maka dirinci sebagaimana pendapat Maalik rahimahullah :
a. Orang kafir mencela/mencaci Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara terang-terangan dan tidak bertaubat dengan masuk Islam, maka ia boleh dibunuh. Dalilnya adalah kisah pembunuhan Ka’b bin Al-Asyraf, dimana dalam riwayat di sebutkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ لِكَعْبِ بْنِ الْأَشْرَفِ، فَإِنَّهُ قَدْ آذَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Siapakah yang akan (mencari) Ka’b bin Al-Asyraf. Sesungguhnya ia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya ?......”
Juga riwayat berikut :
عَنِ ابْن عَبَّاسٍ، أَنَّ أَعْمَى كَانَتْ لَهُ أُمُّ وَلَدٍ تَشْتُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقَعُ فِيهِ فَيَنْهَاهَا فَلَا تَنْتَهِي وَيَزْجُرُهَا فَلَا تَنْزَجِرُ، قَالَ: فَلَمَّا كَانَتْ ذَاتَ لَيْلَةٍ جَعَلَتْ تَقَعُ فِي النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَشْتُمُهُ، فَأَخَذَ الْمِغْوَلَ فَوَضَعَهُ فِي بَطْنِهَا وَاتَّكَأَ عَلَيْهَا فَقَتَلَهَا فَوَقَعَ بَيْنَ رِجْلَيْهَا طِفْلٌ، فَلَطَّخَتْ مَا هُنَاكَ بِالدَّمِ فَلَمَّا أَصْبَحَ ذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَمَعَ النَّاسَ فَقَالَ: أَنْشُدُ اللَّهَ رَجُلًا فَعَلَ مَا فَعَلَ لِي عَلَيْهِ حَقٌّ إِلَّا قَامَ فَقَامَ الْأَعْمَى يَتَخَطَّى النَّاسَ وَهُوَ يَتَزَلْزَلُ حَتَّى قَعَدَ بَيْنَ يَدَيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا صَاحِبُهَا كَانَتْ تَشْتُمُكَ وَتَقَعُ فِيكَ فَأَنْهَاهَا فَلَا تَنْتَهِي وَأَزْجُرُهَا فَلَا تَنْزَجِرُ وَلِي مِنْهَا ابْنَانِ مِثْلُ اللُّؤْلُؤَتَيْنِ وَكَانَتْ بِي رَفِيقَةً فَلَمَّا كَانَ الْبَارِحَةَ جَعَلَتْ تَشْتُمُكَ وَتَقَعُ فِيكَ فَأَخَذْتُ الْمِغْوَلَ فَوَضَعْتُهُ فِي بَطْنِهَا وَاتَّكَأْتُ عَلَيْهَا حَتَّى قَتَلْتُهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَلَا اشْهَدُوا أَنَّ دَمَهَا هَدَرٌ "
Dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya ada seorang laki-laki buta yang mempunyai ummu walad (budak wanita yang melahirkan anak dari tuannya) yang biasa mencaci Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan merendahkannya. Laki-laki tersebut telah mencegahnya, namun ia (ummu walad) tidak mau berhenti. Laki-laki itu juga telah melarangnya, namun tetap saja tidak mau. Hingga pada satu malam,ummu walad itu kembali mencaci dan merendahkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Laki-laki itu lalu mengambil pedang dan meletakkan di perut budaknya, dan kemudian ia menekannya hingga membunuhnya. Akibatnya, keluarlah dua orang janin dari antara kedua kakinya. Darahnya menodai tempat tidurnya. Di pagi harinya, peristiwa itu disebutkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan orang-orang dan bersabda : “Aku bersumpah dengan nama Allah agar laki-laki yang melakukan perbuatan itu berdiri sekarang juga di hadapanku”. Lalu, laki-laki buta itu berdiri dan berjalan melewati orang-orang dengan gemetar hingga kemudian duduk di hadapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata : “Wahai Rasulullah, akulah pembunuhnya. Wanita itu biasa mencaci dan merendahkanmu. Aku sudah mencegahnya, namun ia tidak mau berhenti. Dan aku pun telah melarangnya, namun tetap saja tidak mau. Aku mempunyai anak darinya yang sangat cantik laksana dua buah mutiara. Wanita itu adalah teman hidupku. Namun kemarin, ia kembali mencaci dan merendahkanmu. Kemudian aku pun mengambil pedang lalu aku letakkan di perutnya dan aku tekan hingga aku membunuhnya”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Saksikanlah bahwa darah wanita itu sia-sia” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4361, An-Nasaa’iy no. 4070, dan yang lainnya; shahih].
Para ulama mengatakan bahwa ummul-walad tersebut adalah seorang kafir dzimmiy.
b. Jika orang yang mencela tersebut kafir, dan kemudian bertaubat dan masuk Islam, maka ia tidak dibunuh dengan dasar keumuman firman Allah ta’ala :
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الأوَّلِينَ
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunah (Allah terhadap) orang-orang dahulu" [QS. Al-Anfaal : 38].
Mereka menetapkan adanya ijma’ akan hal tersebut.
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata :
لا يُقْتَلُ أَحَدٌ بِسَبِّ أَحَدٍ، إِلا مَنْ سَبَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Seseorang tidaklah dibunuh karena mencela/mencaci orang lain, kecuali orang yang mencela/mencaci Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam Ad-Diyaat no. 340; sanadnya hasan].
Ishaaq bin Raahawaih rahimahullah (w. 238 H) berkata :
أجمع المسلمون على أن من سبَّ الله ، أو سبَّ رسولَه صلى الله عليه وسلم ، أو دفع شيئاً مما أنزل الله عزَّ وجلَّ ، أو قتل نبيَّاً من أنبياء الله، أَنَّه كافر بذلك وإِنْ كان مُقِرَّاً بكلِّ ما أنزل الله
“Kaum muslimin bersepakat bahwa orang yang mencaci Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, atau menolak sesuatu dari yang diturunkan Allah ‘azza wa jalla, atau membunuh nabi dari nabi-nabi Allah; maka ia kafir dengan sebab itu, meskipun ia mengakui semua (syari’at) yang diturunkan Allah” [Ash-Shaarimul-Masluul oleh Ibnu Taimiyyah, 2/15. Juga dalam Al-Istidzkaar oleh Ibnu ‘Abdil-Barr, 4/226].
Muhammad bin Sahnuun Al-Maalikiy rahimahullah (w. 265 H) berkata :
أجمع العلماء أَنَّ شاتمَ النبيِّ صلى الله عليه وسلم لمتنقِّصَ له كافرٌ ، والوعيدُ جارٍ عليه بعذاب الله له، وحكمه عند الأمَّة : القتل ، ومن شكَّ في كفرِه وعذابِه كفَر
“Para ulama bersepakat bahwa orang yang mencaci Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk merendahkan beliau adalah kafir. Dan ancamannya adalah adzab Allah, hukumnya di sisi umat adalah dibunuh. Barangsiapa yang ragu akan kekafirannya dan adzabnya (kelak di akhirat), maka kafir” [Asy-Syifaa’ oleh Al-Qaadliy ‘Iyaadl, 2/312].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
ونقل أبو بكرٍ الفارسيّ أحد أئمَّة الشافعيَّة في كتاب الإجماع أَنَّ من سبَّ النّبيَّ صلى الله عليه وسلم ممَّا هو قذفٌ صريحٌ كفر باتِّفاق العلماء
“Dan Abu Bakr Al-Faarisiy – salah seorang imam madzhab Asy-Syaafi’iyyah – menukil dalam kitab Al-Ijmaa’ bahwasannya siapa saja yang mencela/mencaci Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan tuduhan-tuduhan palsu secara terang-terangan adalah kekufuran berdasarkan kesepakatan ulama” [Fathul-Baariy, 12/282].
Allah ta’ala telah memerintahkan kaum muslimin menghormati beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menjaga adab-adab.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ * إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari. Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar” [QS. Al-Hujuraat : 2-3].
Tentang sebab turunnya ayat, Al-Bukhaariy rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ، أَخْبَرَنَا وَكِيعٌ، أَخْبَرَنَا نَافِعُ بْنُ عُمَرَ، عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، قَالَ: كَادَ الْخَيِّرَانِ أَنْ يَهْلِكَا أَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ لَمَّا قَدِمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفْدُ بَنِي تَمِيمٍ أَشَارَ أَحَدُهُمَا بِالْأَقْرَعِ بْنِ حَابِسٍ التَّمِيمِيِّ الْحَنْظَلِيِّ أَخِي بَنِي مُجَاشِعٍ وَأَشَارَ الْآخَرُ بِغَيْرِهِ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ لِعُمَرَ: إِنَّمَا أَرَدْتَ خِلَافِي، فَقَالَ عُمَرُ: مَا أَرَدْتُ خِلَافَكَ، فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَزَلَتْ: يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ إِلَى قَوْلِهِ عَظِيمٌ "، قَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ: قَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ: فَكَانَ عُمَرُ بَعْدُ وَلَمْ يَذْكُرْ ذَلِكَ عَنْ أَبِيهِ يَعْنِي أَبَا بَكْرٍ إِذَا حَدَّثَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِيثٍ حَدَّثَهُ كَأَخِي السِّرَارِ لَمْ يُسْمِعْهُ حَتَّى يَسْتَفْهِمَهُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqaatil : Telah mengkhabarkan kepada kami Wakii’ : Telah mengkhabarkan kepada kami Naafi’ bin ‘Umar, dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata : Hampir-hampir dua orang manusia terbaik binasa, yaitu Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa. Ketika delegasi Bani Tamiim datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, salah seorang di antara keduanya mengisyaratkan agar Al-Aqra’ bin Haabis At-Tamiimiy Al-Handhaliy saudara Bani Mujaasyi’ (untuk menjadi pimpinan mereka), sedangkan yang lainnya mengisyaratkan orang yang lain. Abu Bakr berkata kepada ‘Umar : “Engkau hanyalah ingin menyelisihiku saja !”. ‘Umar berkata : “Aku tidak ingin menyelisihimu !”. Suara keduanya pun meninggi di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu turunlah ayat : ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari. Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar’ (QS. Al-Hujuraat : 2-3). Ibnu Abi Mulaikah berkata : Ibnuz-Zubair berkata : “Setelah itu ‘Umar – dan ia tidak menyebut dari ayahnya, yaitu Abu Bakr – apabila berbicara kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan satu pembicaraan, ia berbicara dengan berbisik sehingga beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam meminta kejelasan darinya (dikarenakan saking pelannya suara ‘Umar)” [Shahiih Al-Bukhaariy no. 7302].
Masih berkaitan dengan ayat ini, ada kisah menarik tentang Tsaabit bin Qais radliyallaahu ‘anhu :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّهُ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ: يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ إِلَى آخِرِ الآيَةِ، جَلَسَ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ فِي بَيْتِهِ، وَقَالَ: " أَنَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَاحْتَبَسَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَعْدَ بْنَ مُعَاذٍ، فَقَالَ: يَا أَبَا عَمْرٍو، مَا شَأْنُ ثَابِتٍ، اشْتَكَى؟ قَالَ سَعْدٌ: إِنَّهُ لَجَارِي، وَمَا عَلِمْتُ لَهُ بِشَكْوَى، قَالَ: فَأَتَاهُ سَعْدٌ، فَذَكَرَ لَهُ قَوْلَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ثَابِتٌ: أُنْزِلَتْ هَذِهِ الآيَةُ وَلَقَدْ عَلِمْتُمْ أَنِّي مِنْ أَرْفَعِكُمْ صَوْتًا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنَا مِنَ أَهْلِ النَّارِ، فَذَكَرَ ذَلِكَ سَعْدٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " بَلْ هُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّة ".
Dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Ketika turun ayat : ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi... hingga akhir ayat (QS. Al-Hujuraat : 2), maka Tsaabit bin Qais duduk di rumahnya dan berkata : “Aku termasuk penduduk nereka”. Setelah itu, ia pun berhenti bicara kepada Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam. (Karena tidak melihat Tsaabit), lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Sa’d bin Mu’aadz : “Wahai Abu ‘Amru, bagaimana keadaan Tsaabit. Apakah ia sakit ?”. Sa’d berkata : “Sesungguhnya ia baik-baik saja, dan aku tidak mengetahui kalau ia sedang sakit”. Lalu Sa’d menemui Tsaabit dan menyebutkan perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamtadi. Tsaabit berkata : “Ayat ini (QS. Al-Hujuraat : 2) telah diturunkan, sedangkan kalian mengetahui bahwa aku adalah orang yang paling keras suaranya di antara kalian ketika berbicara dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sehingga aku termasuk penduduk neraka”. Sa’d menyebutkan perkataan Tsaabit itu kepada Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda : “Bahkan ia termasuk penduduk surga” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 119].
Dua riwayat di atas menjelaskan kepada kita bagaimana adab para shahabat di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang tidak mengeraskan suaranya di hadapan beliau. Dan QS. Al-Hujuraat ayat 2-3 merupakan dalil terlarangnya untuk mengeraskan suara di hadapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, para ulama memakruhkan meninggikan suara ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah wafat di samping makam beliau. Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
وقال العلماء: يكره رفع الصوت عند قبره، كما كان يكره في حياته؛ لأنه محترم حيا وفي قبره، صلوات الله وسلامه عليه، دائما. ثم نهى عن الجهر له بالقول كما يجهر الرجل لمخاطبه ممن عداه، بل يخاطب بسكينة ووقار وتعظيم؛ ولهذا قال: { وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ } ، كما قال: { لا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا } [النور : 63] .
“Para ulama berkata : Dimakruhkan meninggikan (mengeraskan) suara di sisi kubur beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dimakruhkan saat beliau masih hidup, karena beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang terhormat baik ketika masih hidup atau setelah meninggalnya. Dan setelah itu, dilarang untuk mengeraskan suara saat berbicara dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam seperti kerasnya suara seseorang ketika berbicara dengan selain beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, hendaklah ia berbicara dengan pelan, tenang, dan penuh penghormatan. Oleh karena itu Allah ta’ala berfirman : ‘dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain’ (QS. Al-Hujuraat : 2), sebagaimana firman-Nya yang lain : ‘Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain)’ (QS. An-Nuur : 63)” [Tafsiir Ibni Katsiir, 7/368].
Ibnu Katsiir rahimahullah berdalil dengan riwayat :
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ، قَالَ: كُنْتُ قَائِمًا فِي الْمَسْجِدِ فَحَصَبَنِي رَجُلٌ فَنَظَرْتُ، فَإِذَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، فَقَالَ: اذْهَبْ فَأْتِنِي بِهَذَيْنِ، فَجِئْتُهُ بِهِمَا، قَالَ: مَنْ أَنْتُمَا أَوْ مِنْ أَيْنَ أَنْتُمَا؟ قَالَا: مِنْ أَهْلِ الطَّائِفِ، قَالَ: " لَوْ كُنْتُمَا مِنْ أَهْلِ الْبَلَدِ لَأَوْجَعْتُكُمَا تَرْفَعَانِ أَصْوَاتَكُمَا فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "
Dari As-Saaib bin Yaziid, ia berkata : “Aku pernah berdiri di masjid, lalu tiba-tiba ada orang yang melempar batu kerikil kepadaku. Lalu aku melihat, dan ternyata orang yang melempar itu adalah ‘Umar bin Al-Khaththaab. Ia berkata : “Pergilah, dan bawa kedua orang itu kepadaku”. Aku pun datang kepadanya dengan membawa kedua orang tersebut. Ia (Umar) bertanya : “Siapa nama kalian berdua ?” - atau - “Dari mana kalian berdua berasal?”. Keduanya menjawab : “Dari penduduk Thaa’if”. ‘Umar berkata : “Kalau kamu berdua berasal dari penduduk negeri ini (Madiinah), niscaya kalian berdua akan aku hukum. Kalian telah mengeraskan suara di masjid Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 740].
Jika sekedar mengeraskan suara saja tidak boleh meski tanpa bermaksud menentang atau mencela, lantas bagaimana keadaannya dengan orang yang terang-terangan mencela, menghina, mencaci, dan merendahkan kehormatan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?.
Marah ?. Tentu saja. Kemarahan itu sebuah keniscayaan dari keimanan seorang muslim karena melihat kehormatan Allah ta’ala dilanggar.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا، قَالَتْ: مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ بِهَا
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, bahwasannya ia pernah berkata : “Tidaklah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dihadapkan dua pilihan, kecuali beliau akan mengambil yang paling mudah selama hal itu tidak terkandung dosa. Namun jika ia terkandung dosa, maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling jauh darinya. Dan tidaklah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam membalas karena dirinya, kecuali apabila kehormatan Allah dilanggar, maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam marah karenanya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3560 & 6126 & 6786 & 6853, Muslim no. 2327, dan yang lainnya].
Sungguh sangat disayangkan apabila kemarahan kita kemudian tersalurkan pada media yang tidak benar.
Ketika marah, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berlaku dhalim. Misalnya, kemarahan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam terhadap Kisraa (penguasa Persia) yang merobek surat yang beliau kirimkan, tidaklah ditimpakan kepada Heraklius (penguasa Romawi), meski keduanya sama-sama kafir dan tidak menerima dakwah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya mendoakan kebinasaan secara khusus kepada Kisraa’ atas sikap dan kesombongannya tersebut.
Kemarahan kita mesti tersalurkan secara cerdas dan bermartabat. Harus tegas, namun tidak kasar dan berandal. Tidakkah kita sadar bahwa kaum muslimin tidak semuanya berkumpul di negeri berpenduduk mayoritas beragama Islam ?. Bukankah berbagai penghinaan dan pelecahan tersebut muncul dari negeri yang dihuni oleh mayoritas beragama kafir ?. Tidakkah kita sadar bahwa tindakan-tindakan itu merupakan bentuk intimidasi terselubung terhadap saudara-saudara kita yang tinggal di negeri mereka ?.
Namun dibalik itu, tidakkah kita sadar segala macam tindakan itu menggambarkan betapa galaunya mereka melihat perkembangan Islam yang cukup pesat di negeri mereka ?. Jika di atas kita membaca berbagai nash yang menyatakan halalnya darah orang yang menghina/mencaci Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka perhatikan pula nash berikut :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي يُونُسُ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُرْوَةُ، أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَتْهُ أَنَّهَا قَالَتْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ أَتَى عَلَيْكَ يَوْمٌ كَانَ أَشَدَّ مِنْ يَوْمِ أُحُدٍ؟، قَالَ: " لَقَدْ لَقِيتُ مِنْ قَوْمِكِ مَا لَقِيتُ وَكَانَ أَشَدَّ مَا لَقِيتُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْعَقَبَةِ إِذْ عَرَضْتُ نَفْسِي عَلَى ابْنِ عَبْدِ يَالِيلَ بْنِ عَبْدِ كُلَالٍ فَلَمْ يُجِبْنِي إِلَى مَا أَرَدْتُ فَانْطَلَقْتُ، وَأَنَا مَهْمُومٌ عَلَى وَجْهِي فَلَمْ أَسْتَفِقْ إِلَّا وَأَنَا بِقَرْنِ الثَّعَالِبِ فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا أَنَا بِسَحَابَةٍ قَدْ أَظَلَّتْنِي فَنَظَرْتُ، فَإِذَا فِيهَا جِبْرِيلُ فَنَادَانِي، فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَمَا رَدُّوا عَلَيْكَ وَقَدْ بَعَثَ إِلَيْكَ مَلَكَ الْجِبَالِ لِتَأْمُرَهُ بِمَا شِئْتَ فِيهِمْ فَنَادَانِي مَلَكُ الْجِبَالِ فَسَلَّمَ عَلَيَّ، ثُمَّ قَالَ: يَا مُحَمَّدُ، فَقَالَ: ذَلِكَ فِيمَا شِئْتَ إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمُ الْأَخْشَبَيْنِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Yuunus, dari Ibnu Syihaab, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Urwah, bahwasannya ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa istri Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menceritakan kepadanya, bahwasannya ia berkata kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Pernahkah engkau mengalami hari yang lebih pedih dari hari Perang Uhud?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Aku sering mendapatkan (gangguan) dari kaummu. Yang paling menyakitkan dari mereka adalah pada waktu hari ‘Aqabah, saat aku mengajak Ibnu ‘Abdi Yaaliil bin ‘Abdi Kulaal masuk Islam namun ia tidak menyambut ajakan yang kuinginkan. Aku pun beranjak pergi dengan hati yang sedih. Aku tidak tersadar kecuali setelah tiba di Qarnul-Tsa’aalib. Aku angkat kepalaku ke langit, tiba-tiba ada segumpal awan menaungiku. Aku pun melihatnya. Ternyata padanya terdapat Jibriil, lalu ia memanggilku. Ia berkata : ‘Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan tentang penolakan mereka terhadapmu. Dan Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung kepadamu agar engkau memerintahkan apa yang engkau kehendaki (terhadap kaummu itu)’. Lalu malaikat penjaga gunung memanggilku dan mengucapkan salam kepadaku. Kemudian ia berkata : ‘Wahai Muhammad, itu terserah padamu. Jika engkau menginginkan, aku akan menimpakan dua gunung kepada mereka”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bahkan aku berharap Allah mengeluarkan dari tulang-tulang sulbi mereka keturunan yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya sedikitpun” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3231].
Seandainya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sangat menginginkan orang-orang yang mentauhidkan Allah meski bapak-bapak mereka kafir dan menyakiti beliau; salahkah kita berharap hal yang serupa ?. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersikap seperti itu ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam belum mempunyai kekuatan, pendukung, dan sangat mengharapkan keislaman kaumnya. Mungkin keadaan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sama halnya dengan keadaan kaum muslimin saat ini. Lemah dan belum punya kekuatan.
WALLOHUL WALIYYUT TAUFIQ ILA SABILUL HUDA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar