Allah ta’ala berfirman :
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui” [QS. Al-Baqarah : 102].
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قالت: سَحَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَهُودِيٌّ مِنْ يَهُودِ بَنِي زُرَيْقٍ يُقَالُ لَهُ لَبِيدُ بْنُ الْأَعْصَمِ، قَالَتْ: حَتَّى كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَفْعَلُ الشَّيْءَ وَمَا يَفْعَلُهُ، حَتَّى إِذَا كَانَ ذَاتَ يَوْمٍ أَوْ ذَاتَ لَيْلَةٍ دَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ دَعَا ثُمَّ دَعَا، ثُمَّ قَالَ يَا عَائِشَةُ: " أَشَعَرْتِ أَنَّ اللَّهَ أَفْتَانِي فِيمَا اسْتَفْتَيْتُهُ فِيهِ؟ "، جَاءَنِي رَجُلَانِ، فَقَعَدَ أَحَدُهُمَا عِنْدَ رَأْسِي وَالْآخَرُ عِنْدَ رِجْلَيَّ، فَقَالَ: الَّذِي عِنْدَ رَأْسِي لِلَّذِي عِنْدَ رِجْلَيَّ أَوِ الَّذِي عِنْدَ رِجْلَيَّ لِلَّذِي عِنْدَ رَأْسِي مَا وَجَعُ الرَّجُلِ، قَالَ: مَطْبُوبٌ، قَالَ: مَنْ طَبَّهُ؟، قَالَ: لَبِيدُ بْنُ الْأَعْصَمِ، قَالَ: فِي أَيِّ شَيْءٍ؟، قَالَ: فِي مُشْطٍ وَمُشَاطَةٍ، قَالَ: وَجُفِّ طَلْعَةِ ذَكَرٍ، قَالَ: فَأَيْنَ هُوَ؟، قَالَ: فِي بِئْرِ ذِي أَرْوَانَ، قَالَتْ: فَأَتَاهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أُنَاسٍ مِنْ أَصْحَابِهِ، ثُمَّ قَالَ يَا عَائِشَةُ: " وَاللَّهِ لَكَأَنَّ مَاءَهَا نُقَاعَةُ الْحِنَّاءِ، وَلَكَأَنَّ نَخْلَهَا رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ "، قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَلَا أَحْرَقْتَهُ؟، قَالَ: " لَا، أَمَّا أَنَا فَقَدْ عَافَانِي اللَّهُ، وَكَرِهْتُ أَنْ أُثِيرَ عَلَى النَّاسِ شَرًّا، فَأَمَرْتُ بِهَا فَدُفِنَتْ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair, dari Hisyaam, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah disihir oleg seorang laki-laki Yahudi dari Bani Zuraiq yang bernama Labiid bin Al-A’sham. (Dalam sihir tersebut), Terbayangkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melakukan sesuatu, padahal tidak melakukannya. Hingga pada suatu hari atau suatu malam, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdoa, lalu berdoa, doa, dan berdoa; dan kemudian bersabda : “Wahai ‘Aaisyah, apakah engkau mengetahui bahwa Allah telah memberi fatwa atas apa yang aku minta fatwa kepada-Nya ?. Telah datang kepadaku dua orang laki-laki, lalu salah satu di antara keduanya duduk di dekat kepalaku dan yang lain di dekat kedua kakiku. Laki-laki yang di dekat kepalaku berkata kepada laki-laki yang ada di dekat dua kakiku – atau laki-laki yang di dekat kedua kakiku berkata kepada laki-laki yang ada di kepalaku - : ‘Sakit apa laki-laki ini ?’. Temannya menjawab : ‘Disihir’. Laki-laki itu bertanya : ‘Siapa yang telah menyihirnya ?’. Temannya menjawab : ‘Labiib bin Al-A’sham’. Laki-laki itu berkata : ‘Pada apa ia berada ?’. Temannya menjawab : ‘Pada sisir, rambut, dan serbuk sari kurma jantan’. Laki-laki itu bertanya : ‘Dimanakah ia berada ?’. Temannya menjawab : ‘Di sumur Dzu-Arwaan”. ‘Aaisyah berkata : “Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendatangi sumur itu bersama para shahabatnya. Kemudian beliau datang dan berkata : ‘Wahai ‘Aaisyah, demi Allah, seakan-akan airnya seperti celupan daun hinaa, dan kepala kurmanya seperti kepala syaithaan’. Aku (‘Aaisyah) berkata : ‘Wahai Rasulullah, tidakkah engkau membakarnya ?’. Beliau menjawab : ‘Tidak. Adapun aku, sungguh Allah telah menyembuhkanku, dan aku tidak suka menimpakan kejelekan pada manusia. Lalu aku perintahkan untuk menguburnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2189].
حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الأَيْلِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ، عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ أَبِي الْغَيْثِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ "، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: " الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصِنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ "
Telah menceritakan kepadaku Haaruun bin Sa’iid Al-Ailiy : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Sulaimaan bin Bilaal, dari Tsaur bin Zaid, dari Abul-Ghaits, dari Abu Hurairah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan”. Dikatakan : “Wahai Rasulullah, apakah itu ?”. Beliau menjawab : “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan harta anak yatim, memakan riba, melarikan diri dari peperangan, dan menuduh wanita mukminah baik-baik lagi suci telah berbuat zina”[Diriwayatkan oleh Muslim no. 89].
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَمُسَدَّدٌ الْمَعْنَى، قَالَا: حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الأَخْنَسِ، عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنِ اقْتَبَسَ عِلْمًا مِنَ النُّجُومِ، اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Musaddad secara makna, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari ‘Ubaidullah bin Al-Akhnas, dari Al-Waliid bin ‘Abdillah, dari Yuusuf bin Maahak, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa mempelajari ilmu nujuum (perbintangan), sungguh ia telah mempelajari sebagian dari (ilmu) sihir. Bertambah dari ilmu sihir apa yang bertambah dari ilmu nujuum” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3905; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud, 2/473].
Al-Khaththaabiy rahimahullah berkata :
أَنَّ السِّحْرَ ثَابِتٌ، وَحَقِيقَتُهُ مَوْجُودَةٌ، اتَّفَقَ أَكْثَرُ الأُمَمِ مِنَ الْعَرَبِ، وَالْفُرْسِ، وَالْهِنْدِ، وَبَعْضِ الرُّومِ عَلَى إِثْبَاتِهِ، وَهَؤُلاءِ أَفْضَلُ سُكَّانِ أَهْلِ الأَرْضِ، وَأَكْثَرُهُمْ عِلْمًا وَحِكْمَةً، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ، وَأَمَرَ بِالاسْتِعَاذَةِ مِنْهُ، فَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ: وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ، وَوَرَدَ فِي ذَلِكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَارٌ لا يُنْكِرُهَا إِلا منْ أَنْكَرَ الْعِيَانَ وَالضَّرُورَةَ، وَفَرَّعَ الْفُقَهَاءُ فِيمَا يَلْزَمِ السَّاحِرِ مِنَ الْعُقُوبَةِ، وَمَا لا أَصْلَ لَهُ لا يَبْلُغُ هَذَا الْمَبْلَغُ فِي الشُّهْرَةِ وَالاسْتِفَاضَةِ، فَنَفْيُ السِّحْرِ جَهْلٌ، وَالرَّدُّ عَلَى منْ نَفَاهُ لَغْوٌ وَفَضْلٌ.
“Bahwasannya sihir itu tsaabit, hakekatnya benar-benar ada. Kebanyakan umat dari bangsa ‘Arab, Persia, India, dan sebagian bangsa Romawi telah bersepakat dalam penetapannya. Mereka semua itu adalah penduduk bumi yang utama, dan paing banyak mempunyai ilmu dan hikmah. Allah ta’ala telah berfirman : ‘Mereka mengajarkan sihir kepada manusia’ (QS. Al-Baqarah : 102), dan memerintahkan untuk meminta perlindungan darinya. Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul’(QS. Al-Falaq : 4). Dan telah datang riwayat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu (sihir) dimana tidak ada yang mengingkarinya, kecuali orang yang mengingkari sesuatu yang jelas dan aksiomatik. Para fuqahaa’ telah menyebutkan beberapa bentuk hukuman yang mesti dijatuhkan kepada tukang sihir. Sesuatu yang tidak ada asalnya biasanya tidak dapat terkenal dan tersebar luas (dalam pembicaraannya). Sehingga menafikkan keberadaan sihir adalah kebodohan, dan membantah orang yang menafikkannya adalah kesia-siaan belaka” [Syarhus-Sunnah, 12/187-188].
Al-Maziiriy rahimahullah berkata :
وجمهور علماء الأمة على اثبات السحر وأن له حقيقة كحقيقة غيره من الأشياء الثابتة خلافا لمن أنكر ذلك ونفى حقيقته واضاف ما يقع منه إلى خيالات باطلة لاحقائق لها وقد ذكره الله تعالى فى كتابه وذكر أنه مما يتعلم وذكر ما فيه اشارة إلى أنه مما يكفر به وأنه يفرق بين المرء وزوجه وهذا كله لا يمكن فيما لاحقيقة له وهذا الحديث أيضا مصرح باثباته وأنه أشياء دفنت وأخرجت وهذا كله يبطل ما قالوه فإحالة كونه من الحقائق محال
“Jumhur ulama umat menetapkan keberadaan sihir dan ia mempunyai hakekat sebagaimana hakekat dari perkara-perkara lain yang telah tetap. Berbeda halnya dengan orang yang mengingkarinya dan menafikkan hakekatnya, dimana mereka menyandarkan apa yang terjadi dari sihir sebagai khayalan/halusinasi belaka, tanpa hakekat. Allah ta’ala telah menyebutkan dalam kitab-Nya dan menyebutkan bahwasannya sihir termasuk sesuatu yang dapat dipelajari. Dan Allah pun menyebutkan bahwa sihir merupakan perkara yang dapat mengkafirkan pelakunya, dan ia dapat memisahkan pasangan suami istri. Semuanya ini tidaklah mungkin jika tidak ada hakekatnya. Dan hadits ini (yaitu dalam bab sihir) juga menegaskan tentang penetapannya dan ia merupakan sesuatu yang terkubur dan kemudian muncul kembali. Dan semuanya ini membatalkan apa yang mereka katakan. Oleh karena itu, meniadakan keberadaan hakekatnya adalah mustahil...” [Syarh Shahih Muslim lin-Nawaawiy, 4/174].
Hukum Sihir
Sulaimaan bin ‘Abdillah rahimahullah berkata :
السحر محرم في جميع أديان الرسل عليهم السلام، كما قال تعالى : وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى
“Sihir diharamkan dalam seluruh agama yang dibawa para Rasul ‘alaihimis-salaam, sebagaimana firman Allah ta’ala :‘Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang’ (QS. Thaha : 69)” [Taisirul-‘Aziizil-Hamiid, hal. 386].
Para ulama sepakat bahwa mempelajari, mengajarkan, dan mengamalkan sihir adalah haram, dan ia termasuk di antara dosa-dosa besar (al-kabaair). Kaum muslimin juga sepakat bahwa sihir tidaklah muncul kecuali dari orang-orang fasiq [Mausu’ah Al-Ijmaa’ fil-Fiqhil-Islaamiy oleh Sa’diy Abu Jaib, hal. 554 no. 1910-1911].
Akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang kekafiran pelaku sihir.
Pertama; Abu Haniifah, Maalik, Ahmad dalam satu riwayat, dan sekelompok salaf berpendapat akan kekafiran pelaku sihir secara mutlak. Mereka berdalil dengan firman Allahta’ala :
وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا
“Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir)”[QS. Al-Baqarah : 102].
Sisi pendalilan : Allah ta’ala telah menamai sihir dalam ayat di atas dengan kekafiran [Tafsir Al-Qurthubiy, 2/47].
Kedua; Asy-Syaafi’iy, Ahmad dalam satu riwayat, dan Daawud Adh-Dhaahiriy merinci keadaan pelaku sihir tersebut. Apabila pelaku sihir itu melakukan sesuatu yang mengkafirkan seperti peribadahan kepada syaithaan dan sejenisnya selain Allah, maka kafir. Jika tidak, maka tidak kafir. Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :
فَيُقَالُ لِلسَّاحِرِ: صِفِ السِّحْرَ الَّذِي تَسْحَرُ بِهِ، فَإِنْ كَانَ مَا يَسْحَرُ بِهِ كَلَامَ كُفْرٍ صَرِيحٍ اسْتُتِيبَ مِنْهُ، فَإِنْ تَابَ وَإِلَّا قُتِلَ، وَأُخِذَ مَالُهُ فَيْئًا، وَإِنْ كَانَ مَا يَسْحَرُ بِهِ كَلَامًا لَا يَكُونُ كُفْرًا، وَكَانَ غَيْرَ مَعْرُوفٍ، وَلَمْ يَضُرَّ بِهِ أَحَدًا نُهِيَ عَنْهُ، فَإِنْ عَادَ عُزِّرَ، وَإِنْ كَانَ يَعْلَمُ أَنَّهُ يَضُرُّ بِهِ أَحَدًا مِنْ غَيْرِ قَتْلٍ، فَعَمَدَ أَنْ يَعْمَلَهُ عُزِّرَ
“Dan dikatakan kepada pelaku sihir : ‘Sifatkan sihir yang engkau menyihir dengannya’. Apabila sesuatu yang ia pakai untuk menyihir berupa perkataan kufur yang jelas, maka ia diminta bertaubat. Jika ia bertaubat, taubatnya diterima; dan jika tidak, ia dibunuh, diambil hartanya sebagai fai’. Namun apabila sesuatu yang ia pakai untuk menyihir berupa perkataan yang tidak mengandung kekufuran, tidak ma’ruuf, dan tidak menyebabkan bahaya bagi seseorang, maka ia dilarang darinya. Jika ia mengulangi, ia dihukum ta’zir. Jika ia mengetahui bahwasannya sihir itu menyebabkan bahaya bagi orang lain tanpa membunuhnya, lalu ia sengaja melakukannya, maka ia dihukum ta’zir” [Al-Umm, 1/256-257].
Dalil yang dipakai oleh pendapat kedua adalah perbuatan ‘Aaisyah yang tidak membunuh budak wanita yang menyihirnya karena menginginkan kemerdekaannya. Atsar ini diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 10/183 dengan sanad shahih.
Yang raajih – wallaahu a’lam – adalah pendapat kedua yang memerincinya. Seandainya perbuatan sihir yang dilakukan budak wanitanya itu termasuk sihir yang mengandung kesyirikan (akbar), niscaya ‘Aaisyah tidak akan meninggalkan hukum untuk membunuhnya (karena ia telah murtad).
Asy-Syinqithiy rahimahullah berkata :
التحقيق في هذه المسألة هو التفصيل. فإن كان السحر مما يعظم فيه غير الله كالكواكب والجنّ وغير ذلك مما يؤدي إلى الكفر فهو كفر بلا نزاع، ومن هذا النوع سحر هاروت وماروت المذكور في سورة "البقرة" فإنه كفر بلا نزاع. كما دل عليه قوله تعالى: {وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ} ، وقوله تعالى: {وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ} ، وقوله: {وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ} ، وقوله تعالى: {وَلا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى}, كما تقدّم إيضاحه. وإن كان السحر لا يقتضي الكفر كالاستعانة بخواص بعض الأشياء من دهانات وغيرها فهو حرام حرمة شديدة ولكنه لا يبلغ بصاحبه الكفر. هذا هو التحقيق إن شاء الله تعالى في هذه المسألة التي اختلف فيها العلماء.
“Dan tahqiiq dalam permasalahan ini adalah adanya perincian. Apabila sihir tersebut termasuk pengagungan terhadap selain Allah seperti pengagungan kepada bintang, jin, dan lainnya yang sampai pada derajat kekafiran, maka hukumnya kafir tanpa perselisihan. Dan yang termasuk sihir macam ini adalah sihir Haaruut dan Maaruut yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah, maka ia adalah kufur tanpa perselisihan. Sebagaimana ditunjukkan oleh firman-Nya ta’ala : ‘Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia’ (QS. Al-Baqarah : 102); dan firman-Nya ta’ala : ‘Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir’(QS. Al-Baqarah : 102); dan firman-Nya ta’ala : ‘Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang’ (QS. Thaha : 69), sebagaimana telah lalu penjelasannya. Dan bila sihir tersebut tidak menuntut adanya kekafiran seperti meminta bantuan pada kekhususan sebagian benda semisal cat atau selainnya, maka ia haram dengan keharaman yang keras, akan tetapi pelakunya tidak sampai pada kekafiran. Inilah tahqiq, insya Allah ta’ala, dalam permasalahan ini yang diperselisihkan para ulama” [Adlwaaul-Bayaan, 5/50].
Hukuman Bagi Penyihir
Para ulama berbeda pendapat tentang hukuman seseorang yang telah terbukti melakukan sihir, dan ini kembali pada pokok perbedaan pendapat hukum kafir tidaknya pelaku sihir di atas. Jika pelaku sihir tersebut melakukan sihir yang tidak mengandung kekufuran, maka ia tidak dijatuhi hukuman hadd bunuh, akan tetapi dijatuhi hukum ta’zir. Kecuali jika sihir yang dilakukan itu menyebabkan kematian seseorang, maka ditegakkan hadd bunuh kepadanya.
Jika sihir yang dilakukannya itu mengandung kekafiran (yang menyebabkannya kafir), maka dijatuhi hukuman hadd bunuh atas kekafirannya itu. Al-Qurthubiy rahimahullah berkata :
واختلف الفقهاء في حكم الساحر المسلم والذمي، فذهب مالك إلى أن المسلم إذا سحر بنفسه بكلام يكون كفرا يقتل ولا يستتاب ولا تقبل توبته، لأنه أمر يستسر به كالزنديق والزاني، ولأن الله تعالى سمى السحر كفرا بقوله: {وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ} وهو قول أحمد بن حنبل وأبي ثور وإسحاق والشافعي وأبي حنيفة
“Dan para fuqahaa’ telah berselisih pendapat tentang hukum pelaku sihir muslim dan dzimmiy. Maalik berpendapat apabila ia berbuat sihir sendiri dengan perkataan yang mengandung kekufuran, maka ia dibunuh tanpa dimintai bertaubat terlebih dahulu, (dan seandainya bertaubat) tidak diterima taubatnya; karena ia (sihir) merupakan perkara yang dilakukan dengan senang hati seperti orang zindiiq dan pezina. Dan karena Allah ta’alamenamakan sihir dengan kekufuran dengan firman-Nya : ‘Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan : Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir’ (QS. Al-Baqarah : 102). Hal itu merupakan pendapat Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Ishaaq, Asy-Syaafi’iy, dan Abu Haniifah” [Tafsir Al-Qurthubiy, 2/47-48].
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْحَضْرَمِيُّ، قَالَ: ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَبُو مَعْمَرٍ الْقَطِيعِيُّ، ثنا هُشَيْمٌ، ثنا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْرِيِّ، " أَنَّ سَاحِرًا كَانَ يَلْعَبُ عِنْدَ الْوَلِيدِ بْنِ عُقْبَةَ، فَكَانَ يَأْخُذُ السَّيْفَ فَيَذْبَحُ نَفْسَهُ، وَيَعْمَلُ كَذَا، وَلا يَضُرُّهُ، فَقَامَ جُنْدُبُ إِلَى السَّيْفِ فَأَخَذَهُ، فَضَرَبَ عُنُقَهُ، ثُمَّ قَرَأَ: أَفَتَأْتُونَ السِّحْرَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ ".
Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Ahmad : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah Al-Hadlramiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim Abu Ma’mar Al-Qathii’iy : Telah menceritakan kepada kami Husyaim : Telah menceritakan kepada kami Khaalid Al-Kadzdzaa’, dari Abu ‘Utsmaan An-Nahriy : Bahwasannya ada seorang penyihir yang sedang bermain-main di sisi Al-Waliid bin ‘Uqbah. Penyihir itu memegang sebilah pedang, lalu menyembelih dirinya sendiri, namun sama sekali tidak melukainya.Berdirilah Jundab mengambil pedang, lalu memukulkan ke lehernya. Kemudian ia membaca ayat : ‘Maka, apakah kamu menerima sihir itu, padahal kamu menyaksikannya ?’ (QS. Al-Anbiyaa’ : 3)” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim 1/471-472 no. 1594 dengan sanad shahih lemah karena Khaalid tidak pernah mendengar riwayat dari Abu 'Utsmaan An-Nahdiy sebagaimana dikatakan oleh Ahmad].
حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، سَمِعَ بَجَالَةَ، يُحَدِّثُ عَمْرَو بْنَ أَوْسٍ، وَأَبَا الشَّعْثَاءِ، قَالَ: كُنْتُ كَاتِبًا لِجَزْءِ بْنِ مُعَاوِيَةَ عَمِّ الأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ إِذْ جَاءَنَا كِتَابُ عُمَرَ قَبْلَ مَوْتِهِ بِسَنَةٍ اقْتُلُوا كُلَّ سَاحِرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَ كُلِّ ذِي مَحْرَمٍ مِنْ الْمَجُوسِ وَانْهَوْهُمْ عَنِ الزَّمْزَمَةِ، فَقَتَلْنَا فِي يَوْمٍ ثَلَاثَةَ سَوَاحِرَ، وَفَرَّقْنَا بَيْنَ كُلِّ رَجُلٍ مِنْ الْمَجُوسِ وَحَرِيمِهِ فِي كِتَابِ اللَّهِ
Telah menceritakan kepada kami Musaddad bin Musarhad : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ‘Amru bin Diinaar, ia mendengar Bajaalah menceritakan kepada ‘Amru bin Aus dan Abusy-Sya’tsaa’; ia (Bajaalah) berkata : “Dahulu aku adalah seorang sekretaris Jaz` bin Mu'aawiyah paman Al Ahnaf bin Qais. Tiba-tiba datang kepada kami surat ‘Umar satu tahun sebelum ia meninggal. Ia berkata : ‘Bunuhlah seluruh tukang sihir, dan pisahkan antara setiap orang yang memiliki mahram dari kalangan orang-orang Majusi, dan laranglah mereka dari zamzamah'. Maka kami dalam sehari telah membunuh tiga orang tukang sihir, dan memisahkan antara setiap laki-laki majusi dan mahramnya dalam kitab Allah....” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3043; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud, 2/260].
WALLOHUL WALIYYUT TAUFIQ ILA SABILUL HUDA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar