Dalam literatur kitab fikih madzhab Syafi‘i dijelaskan bahwa jika ada seseorang yang tidak disukai orang banyak atau di lingkungan sekitar, maka ia dimakruh menjadi imam.
Sedangkan salah satu dalil yang dikemukakan untuk mendukung pendapat ini adalah riwayat Ibnu Abbas RA yang menyatakan bahwa Nabi SAW pernah mengatakan bahwa ada tiga orang di mana Allah tidak mengangkat shalat mereka ke atas kepalanya, salah satunya adalah seseorang yang menjadi imam shalat padahal jamaahnya tidak menyukainya.
وَيُكْرَهُ أَنْ يُصَلَّيِ الرَّجُلُ بِقَوْمٍ وَأَكْثَرُهُمْ لَهُ كَارِهُونَ لِمَا رَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ثَلَاثَةٌ لَا يَرْفَعُ اللهُ صَلَاتَهُمْ فَوْقَ رُؤُوسِهِمْ فَذَكَرَ فِيْهِمْ رُجُلًا أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ
Artinya, “Dimakruhkan seseorang shalat menjadi imam bagi suatu kaum, sedangkan mayoritas dari kaum itu tidak menyukainya. Pandangan ini didasarkan pada riwayat Ibnu Abbas RA yang menyatakan bahwa Nabi SAW pernah mengatakan bahwa ada tiga orang yang Allah tidak mengangkat shalat mereka ke atas kepalanya, salah satunya yang disebutkan dalam riwayat tersebut adalah seseorang yang mengimami suatu kaum padahal kaum tersebut tidak menyukainya,” (Lihat Abu Ishaq Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab fi Fiqhil Imamis Syafi’i, Beirut, Darul Fikr, juz II, halaman 98).
Lain halnya apabila yang tidak menyukainya hanya sebagian kecil orang. Dalam konteks yang kedua ini, maka ia tidak makruh menjadi imam, sebab tidak ada seorang pun yang sama sekali disukai semua orang.
فَإِنْ كَانَ الَّذَي يَكْرَهُهُ الْأَقَلُّ لَمْ يُكْرَهْ أَنْ يَؤُمَّهُمْ لِاَنَّ أَحَدًا لَا يَخْلُو مِمَّنْ يَكْرُهُهُ
Artinya, “Karenanya apabila orang tersebut tidak disukai oleh sedikit orang maka ia tidak makruh menjadi imam mereka, karena tidak ada seorang pun yang semua orang menyukainya,” (Lihat, Abu Ishaq As-Syirazi, Al-Muhadzdzab fi Fiqhil Imamis Syafi’i, juz II, halaman 98).
Sampai di sini terlihat jelas kemakruhan menjadi imam bagi orang yang tidak disukai oleh kebanyakan orang atau lingkungan sekitar. Jika dikatakan bahwa orang yang tidak disukai kebanyakan orang makruh menjadi imam bagi mereka, lantas apakah mereka juga makruh bermakmum dengan orang tersebut?
Ketidaksukaan kebanyakan orang terhadap imam tersebut ternyata tidak dengan serta memakrukan mereka untuk bermakmun dengannya. Jadi yang terkena hukum makruh adalah seseorang yang menjadi imam padahal ia tidak disukai oleh mayoritas jamaahnya sehingga jamaah yang bermakmun kepadanya tidak terkena hukum makruh. Demikian sebagaimana yang dipahami dari penjelasan Sulaiman Al-Jamal berikut ini.
أَمَّا الْمُقْتَدُونَ اَلَّذِينَ يَكْرَهُونَهُ فَلَا تُكْرَهُ لَهُمُ الصَّلَاةُ خَلْفَهُ
Artinya, “Adapun orang-orang yang bermakmum kepada (imam) yang mereka tidak sukai maka tidak makruh bagi mereka untuk shalat di belakangnya,” (Lihat Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyatul Jamal, Beirut, Darul Fikr, juz II, halaman 767).
Imam Syaukani dalam Nailul Author (3/211) berkata :
وَقَدْ قَيَّدَ ذَلِكَ جَمَاعَة مِنْ أَهْل الْعِلْم بِالْكَرَاهَةِ الدِّينِيَّة لِسَبَبٍ شَرْعِيِّ، فَأَمَّا الْكَرَاهَة لِغَيْرِ الدِّين فَلَا عِبْرَة بِهَا
Kebanyakan ulama mempersyaratkan bahwa ketidaksukaan diatas terkait dengan perkara syar’i, adapun jika ketidaksukaannya bukan karena masalah agama, maka tidak dianggap.
Imam tirmidzi dalam Sunannya setelah meriwayatkan hadits diatas, menukil perkataan Imam Manshuur bin al-Mu’tamir (w. 132 H), salah satu Aimahnya Tabi’in di Kufah, kata beliau :
قَالَ جَرِيرٌ: قَالَ مَنْصُورٌ: فَسَأَلْنَا عَنْ أَمْرِ الإِمَامِ؟ فَقِيلَ لَنَا: «إِنَّمَا عَنَى بِهَذَا الْأَئِمَّةَ الظَّلَمَةَ، فَأَمَّا مَنْ أَقَامَ السُّنَّةَ فَإِنَّمَا الإِثْمُ عَلَى مَنْ كَرِهَهُ»
Kami bertanya tentang masalah Imam diatas?, lalu ada yang menjawab, bahwa yang dimaksud adalah Imam yang dholim, adapun Imam yang menegakkan sunnah, maka dosanya akan ditanggung orang yang membencinya.
Namun sebagian ulama memandang seandainya memang terjadi kondisi seperti diatas, yakni mayoritas jama’ah tidak menyukainya, hendaknya sang Imam tidak memaksakan diri untuk mengimami mereka. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam al-Ikhtiyaroot berkata :
وإذا كان بين الإمام والمأمومين معاداة من جنس معاداة أهل الأهواء ، أو المذاهب ، لم ينبغ أن يؤمهم لأن المقصود بالصلاة جماعة الائتلاف ولهذا قال النبي صلى الله عليه وسلم : لا تختلفوا فتختلف قلوبكم
Jika antara Imam dan makmum terdapat permusuhan, semacam permusuhan yang terjadi dikalangan ahlu bid’ah atau fanatikus madzhab, maka hendaknya sang Imam tidak mengimami mereka, karena maksud dari sholat berjama’ah adalah persatuan, berdasarkan hadits Nabi sholallahu alaihi wa salam : “janganlah kalian berselisih, niscaya hati-hati kalian akan berselisih”.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar