Kamis, 11 Juli 2019

Sanad Fiqih Kaum Nahdliyin Bersambung Sampai Rosululloh saw

Perkembangan teknologi informasi yang pesat belakangan ini, semakin memudahkan orang untuk mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan baik ilmu agama maupun ilmu umum. Disatu sisi keberadaan teknologi informasi baik internet, aplikasi media sosial dan sebagainya dapat mempermudah pencarian informasi maupun mendapatkannya namun disisi lain juga dapat menjerumuskan orang bila tidak dengan bijaksana mencerna dan mengolah informasi atau ilmu yang didapatkan. Sehingga memunculkan “orang-orang pintar” baru yang sesungguhnya tidak memahami ilmu yang didapatkan.
Fenomena semacam ini pernah diwanti-wantikan atau diperingatkan oleh Hadhrotusyeikh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab beliau Risaalatu Ahli as Sunnah wal Jama’ah dimana beliau berkata: “Hendaknya berhati-hati dalam mengambil suatu ilmu (informasi), dan seyogyanya untuk tidak mengambil ilmu dari orang yang bukan ahlinya.” (1418: 17)
Kemudian Syeikh Hasyim Asy’ari menegaskan hal tersebut dengan menukil perkataan Imam Malik r.a. sebagai berikut:
لا تحمل العلم عن أهل البدع، ولا تحمله عمن لا يعرف بالطلب، ولا عمن يكذب في حديث الناس وإن كان لا يكذب في حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم.
_”Jangan mengambil ilmu dari orang ahli bid’ah, serta janganlah menukilnya dari orang yang tak diketahui darimana ia mendapatkannya, dan tidak pula dari siapapun yang dalam perkataannya ada kebohongan, meskipun ia tidak berbohong dalam menyebutkan hadits Rasulullah saw.
Ilmu sanad adalah sebuah tradisi ilmiah yang hanya dimiliki oleh umat Islam. Tidak ada umat, dari agama dan ras manapun yang memiliki tradisi ilmiah ini. Ahli hadits menyusun rumusan keilmuan ini dengan kaidah-kaidah detil yang mengagumkan.
Isnad atau sanad adalah silsilah nama-nama perawi (pewarta) yang membawakan suatu berita tentang hadits Nabi ﷺ atau kejadian-kejadian sejarah. Dinamakan sanad, karena para penghafal menjadikannya acuan dalam menilai kualitas suatu berita atau ucapan. Apakah ucapan tersebut shahih (valid) atau dha’if (tidak valid).
Dalam tradisi Islam sejarah Islam, kita harus membaca sejarah sebagaimana halnya membaca hadits-hadits Rasulullah ﷺ. Tidak mungkin riwayat dari Rasulullah ﷺ diketahui benar atau tidaknya tanpa melalui proses penelitian sanad (silsilah pewarta) dan matannya (teks berita). Para ulama kita memperhatikan nama-nama periwayat dan redaksi ucapan yang mereka riwayatkan. Mereka mengumpulkan setiap redaksi hadits yang diriwayatkan oleh perawi, memilah-milahnya, menghukuminya, dan memisahkan mana yang shahih dan mana yang dha’if. Dengan metode ini, hadits-hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah ﷺ bisa dibersihkan dari kebohongan dan hal-hal buruk yang disisipkan padanya.
Ironisnya, sekarang ini kaum muslimin tidak lagi memperdulikan kualitas kabar, cerita, dan berita yang mereka baca. Mereka lupa tradisi emas yang disusun oleh ulama-ulama mereka. Sebagian umat Islam gandrung dengan tulisan-tulisan modern dan mengenyampingkan karya ulama-ulama mereka. Mereka membaca sejarah dengan mengedepankan keindahan bahasa dan runut alurnya. Tak lagi memperhatikan apakah riwayat yang dinukil buku-buku tersebut benar atau tidak. Padahal Islam memiliki standar yang tinggi dalam menerima berita.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS:Al-Hujuraat | Ayat: 6).
Sanad Adalah Harta Istimewa Kaum Muslimin
Terjaganya hadits Nabi ﷺ hingga saat ini –setelah karunia Allah ﷻ- karena adanya sanad yang bersambung kepada beliau ﷺ. Metodologi ini, Allah ﷻ berikan hanya kepada umat Islam, tidak pada umat yang lain. Kita lihat sejarah-sejarah umat, selain umat Islam, kualitas berita yang mereka kabarkan rapuh sekali. Mereka tidak punya metodologi yang dapat diandalkan untuk menerima ucapan-ucapan nabi mereka. Sehingga terputuslah hubungan mereka dengan para nabi itu, secara ilmiah dan sejarah.
Umat Islam berbeda. Umat ini pemilik tunggal metodologi periwayatan. Berita yang didapat umat ini, diriwayatkan oleh pewarta yang kuat daya ingatnya, jujur, dan amanah dalam menyampaikan berita. Nabi ﷺ telah memberi isyarat bahwa ilmu ini akan kekal di tengah-tengah umatnya. Beliau ﷺ bersabda,
تَسْمَعُونَ وَيُسْمَعُ مِنْكُمْ، وَيُسْمَعُ مِمَّنْ سَمِعَ مِنْكُمْ
“Kalian mendengar dan didengar dari kalian. Dan orang-orang yang mendegar dari kalian akan didengarkan.” (HR. Abu Dawud, Bab Fadhl Nasyrul Ilmi 3659).
Urgensi Sanad atau Isnad
Para ulama telah menjelaskan tentang urgensi sanad. Mereka menjelaskan pentingnya ilmu ini dengan pemisalan yang tinggi. Seperti ucapan ulama tabi’in, Muhammad bin Sirin rahimahullah,
إِنَّ هَذَا العِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Karena itu, perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” (Riwayat Muslim).
Sufyan ats-Tsaury (ulama tabi’ at-tabi’in) rahimahullah mengatakan,
اَلإِسْنَادُ هُوَ سِلَاحُ المُؤْمِنِ. فَإِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ سِلَاحٌ فَبِأَيِّ شَيْءٍ يُقَاتِلُ؟
“Sanad adalah senjatanya orang-orang beriman. Kalau bukan dengan senjata itu, lalu dengan apa mereka berperang?” (al-Majruhin oleh Ibnu Hibban)
Berperang maksudnya, perang argumentasi. Mengkritik orang yang menyampaikan kabar bohong dan membela agama ini dari kepalsuan.
Abdullah bin al-Mubarak (ulama tabi’ at-tabi’in) rahimahullah mengatakan,
اَلإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ وَلَوْلَا الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Sanad itu bagian dari agama. Kalau bukan karena Isnad, pasti siapaun bisa berkata apa yang dia kehendaki.” (Riwayat Muslim).
Sanad Ilmu Fikih Nahdlatul Ulama – Sanad Imam Syafi’i (w. 204 H) kepada Rasulullah Shalla Allahu Alaihi wa Sallama memiliki 2 Jalur, Jalur Imam Malik dan Jalur Imam Abu Hanifah.
1. Jalur Imam Malik
Imam Malik bin Anas (w. 179 H, Pendiri Madzhab Malikiyah) berguru kepada ①Ibnu Syihab al-Zuhri (w. 124 H), ② Nafi’ Maula Abdillah bin Umar (w. 117 H), ③Abu Zunad (w. 136 H), ④ Rabiah al-Ra’y (w. 136H), dan ⑤ Yahya bin Said (w. 143 H)
Kesemuanya berguru kepada ①Abdullah bin Abdullah bin Mas’ud (w. 94 H), ② Urwah bin Zubair (w. 94 H), ③ al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar (w. 106 H), ④ Said bin Musayyab (w. 94 H), ⑤ Sulaiman bin Yasar (w. 107 H), ⑥Kharihaj bin Zaid bin Tsabit (w.100 H), ⑦ dan Salim bin Abdullah bin Umar (w.106 H).
Kesemuanya berguru kepada ① Umar bin Khattab (w. 22 H), ② Utsman bin Affan (w. 35 H),③ Abdullah bin Umar (w. 73 H), ④ Abdullah bin Abbas (w. 68 H), dan ⑤ Zaid bin Tsabit (w. 45 H).
Kesemua Sahabat dari Rasulullah Shalla Allahu Alaihi wa Sallama
2. Jalur Imam Abu Hanifah
Imam Syafii berguru kepada Muhammad bin al-Hasan (w. 189 H), berguru kepada Abu Hanifah (w. 150 H, Pendiri Madzhab Hanafiyah), berguru kepada Hammad bin Abi Sulaiman (w. 120 H).
Berguru kepada ① Ibrahim bin Yazid al-Nakhai (w. 95 H), ② al-Hasan al-Basri (w. 110 H), dan ③ Amir bin Syarahbil (w. 104 H).
Kesemuanya berguru kepada ① Syuraih bin al-Haris al-Kindi (w. 78 H), ②Alqamah bin Qais al-Nakhai (w. 62 H), ③ Masruq bin al-Ajda’ al-Hamdani (w. 62 H), ④ al-Aswad bin Yazid bin Qais al-Nakhai (w. 95 H).
Kesemuanya berguru kepada ①Abdullah bin Mas’ud (w. 32 H) dan ② Ali bin Abi Thalib (w. 40 H)
Kesemua Sahabat dari Rasulullah Shalla Allahu Alaihi wa Sallama
Madzhab Syafiiyah terdiri dari beberapa generasi (Thabqah).
Thabqah I Murid-Murid Imam Syafi’i
Abdullah bin Zubair Abu Bakar al-Humaidi (w. 219 H), Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya al-Buwaithi (w. 231 H), Ishaq bin Rahuwaih (w. 238 H), Abu Utsman al-Qadhi Muhammad bin Syafi’i (w. 240 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H, Pendiri Madzhab Hanbali), Harmalah bin Yahya bin Abdullah al-Tajibi (w. 243 H), Abu Ali al-Husain bin Ali bin Yazid al-Karabisi (w. 245 H), Abu Tsaur al-Kulabi al-Baghdadi (w. 246 H), Ahmad bin Yahya bin Wazir bin Sulaiman al-Tajibi (w. 250 H), al-Bukhari (w. 256 H), al-Hasan bin Muhammad bin al-Shabbah al-Za’farani (w. 260 H).
Thabqah II
Abu Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H), Ahmad bin al-Sayyar (w. 268 H), al-Rabi’ bin Sulaiman (w. 270 H), Abu Dawud (w. 275 H), Abu Hatim (w. 277 H), al-Darimi (w. 280 H), Ibnu Abi al-Dunya (w. 281 H), Abu Abdillah al-Marwazi (w. 294 H), Abu Ja’far al-Tirmidzi (w. 295 H), Al-Junaid al-Baghdadi (w. 298 H).
Thabqah III
al-Nasai (w. 303 H), Ibnu Suraij (w. 306 H), Ibnu al-Mundzir (w. 318 H), Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H, Imam Ahlissunah Dalam Aqidah), Ibnu al-Qash (w. 335 H), Abu Ishaq al-Marwazi (w. 340 H), al-Mas’udi (w. 346 H), Abu Ali al-Thabari (w. 350 H), al-Qaffal al-Kabir al-Syasyi (w. 366 H), Ibnu Abi Hatim (w. 381 H), Al-Daruquthni (w. 385 H).
Thabqah IV
al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani (w. 403 H), Ibnu al-Mahamili (w. 415 H), Mahmud bin Sabaktakin (w. 422 H), Abu Muhammad al-Juwaini (w. 438 H), al-Mawardi (w. 458 H), Ahmad bin Husain al-Baihaqi (w. 458 H), al-Qadhi al-Marwazi (w. 462 H), Abu al-Qasim al-Qusyairi (w. 465 H), Abu Ishaq al-Syairazi (w. 476 H), Imam al-Haramain (w. 478 H), Al-Karmani (w. 500 H).
Thabqah V
al-Ghazali (w. 505 H), Abu Bakar al-Syasyi (w. 507 H), al-Baghawi (w. 516 H), al-Hamdzani (w. 521 H), al-Syahrastani (w. 548 H), al-Amudi (w. 551 H), Ibnu Asakir (w. 576 H), Ibnu al-Anbari (w. 577 H), Abu Syuja’ al-Ashbihani (w. 593 H).
Thabqah VI
Ibnu al-Atsir (w. 606 H), Fakhruddin al-Razi (w. 606 H), Aminuddin Abu al-Khair al-Tibrizi (w. 621 H), al-Rafii (w. 623 H), Ali al-Sakhawi (w. 643 H), Izzuddin bin Abdissalam (w. 660 H), Ibnu Malik (w. 672 H), Muhyiddin Syaraf al-Nawawi (w. 676 H), Al-Baidhawi (w. 691 H).
Thabqah VII
Ibnu Daqiq al-Id (w. 702 H), Quthbuddin al-Syairazi (w. 710 H), Najmuddin al-Qamuli (w. 727 H), Taqiyuddin al-Subki (w. 756 H), Tajuddin al-Subki (w. 771 H), Jamaluddin al-Asnawi (w. 772 H), Ibnu Katsir (w. 774 H), Ibnu al-Mulaqqin (w. 804 H), al-Zarkasyi (w. 780 H).
Thabqah VIII
Sirajuddin al-Bulqini (w. 805 H), Zainuddin al-Iraqi (w. 806 H), Ibnu al-Muqri (w. 837 H), Syihabuddin al-Ramli (w. 844 H), Ibnu Ruslan (w. 844 H), Ibnu Zahrah (w. 848 H), Ibnu Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H), Jalaluddin al-Mahalli (w. 864 H), Kamaluddin Ibnu Imam al-Kamiliyah (w. 874 H).
Thabqah IX
Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H), al-Qasthalani (w. 923 H), Zakariya al-Anshari (w. 928 H), Zainuddin al-Malibari (w. 972 H), Abdul Wahhab al-Sya’rani (w. 973 H), Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H), al-Khatib al-Syirbini (w. 977 H), Ibnu al-Qasim al-Ubbadi (w. 994 H).
Thabqah X
Syamsuddin al-Ramli (w. 1004 H), Abu Bakar al-Syinwani (w. 1019 H), Syihabuddin al-Subki (w. 1032 H), Ibnu ‘Alan al-Makki (w. 1057 H), al-Raniri (w. 1068 H), Syihabuddin al-Qulyubi (w. 1070 H), Muhammad al-Kaurani (w. 1078 H), Ibrahim al-Maimuni (w. 1079 H), Ali al-Syibramalisi (w. 1078 H), Abdurrauf aS-Sinkili al-Fanshuri (w. 1094 H).
Thabqah XI
Najmuddin al-Hifni (w. 1101 H), Ibrahim al-Kaurani (w. 1101 H), Ilyas al-Kurdi (w. 1138 H), Abdul Karim al-Syarabati (w. 1178 H), Jamaluddin al-Hifni (w. 1178 H), Isa al-Barmawi (w. 1178 H), Athiyah al-Ajhuri (w. 1190 H), Ahmad al-Syuja’i (w. 1197 H).
Thabqah XII
Abdushomad al-Palimbani (w. 1203 H), Sulaiman al-Jamal (w. 1204 H), Sulaiman al-Bujairimi (w. 1221 H), Arsyad al-Banjari (w. 1227 H), Muhammad al-Syinwani (w. 1233 H), Muhammad al-Fudhali (w. 1236 H), Khalid al-Naqsyabandi (w. 1242 H), Abdurrahman Ba’alawi al-Hadhrami (w. 1254 H), Khatib al-Sanbasi (w. 1289 H), Ibrahim al-Bajuri (w. 1276 H).
Thabqah XIII
Achmad Zaini Dahlan (w. 1303 H), al-Bakri Muhammad Syatha (w. 1310 H), Nawawi al-Bantani (w. 1315 H), Shalih Darat (w. 1321 H), Muhammad Amin al-Kurdi (w. 1332 H), Ahmad Khatib al-Minangkabawi (w. 1334 H), Mahfudz al-Tarmasi (w. 1338 H), Muhammad Khalil al-Bangkalani (w. 1345 H), Yusuf bin Ismail al-Nabhani (w. 1350 H).

Thabqah XIV
KH Hasyim Asy’ari (w. 1367 H), Pendiri Jamiyah Nahdlatul Ulama 

1 komentar:

  1. Main judi bola dengan presentase kemenangan tertinggi

    Perkembangan teknologi informasi yang pesat belakangan ini, semakin memudahkan orang untuk mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan baik ilmu agama maupun ilmu umum

    BalasHapus