Belakangan ini istilah nikah misyar begitu merebak di Indonesia. Dari berbagai media dan situs yang kami baca, istilah nikah misyar ini merebak di Indonesia seiring dengan menjamur model praktek nikah yang dilakukan orang-orang Arab kaya yang suka melancong ke manca negara, semisal Indonesia.
Biasanya dalam prakteknya, nikah model ini dilakukan sebagaimana layaknya sebuah pernikahan biasanya, yaitu pernikahan yang memenuhi segala rukun dan syaratnya, dilakukan karena suka sama suka, ada walinya, ada saksinya, dan ada maharnya. Hanya saja, sang istri merelakan beberapa haknya tidak dipenuhi oleh suaminya, misalnya hak nafkah, atau hak gilir, atau tempat tinggal. Ada juga mengistilahkan nikah misyar ini dengan “nikah dengan niat talak” (al-nikâh bi-niyyah al-thalâq). Disebut dengan nikah dengan niat talak, karena biasanya pria yang melakukan praktek nikah ini tidak ada tujuan pernikahan yang lestari dan untuk waktu selamanya, tetapi hanya untuk tempo tertentu saja seperti satu malam, seminggu dan sebagainya, tetapi keinginan mentalaq dalam tempo tertentu tersebut tidak diucapkan secara verbal dalam akad nikah. Biasanya mereka melakukan kesepakatan dulu sebelum akad, tetapi kesepakatan yang telah dibuat tersebut tidak disebut dalam akad nikah.
Istilah nikah misyar ini merebak di Indonesia seiring dengan menjamur model praktek nikah yang dilakukan orang-orang Arab Saudi karena fatwa dari Ulama mereka (wahabiyah ) yang memperbolehkan Nikah Misyar sebagaimana Fatwa Abdul Aziz bin baz ini :
فتوى فضيلة الشيخ عبدالعزيز بن باز - رحمه الله - فحين سئل عن زواج المسيار والذي فيه يتزوج الرجل بالثانية او الرابعة، وتبقى المرأة عند والديها، ويذهب اليها زوجهافي اوقات مختلفة تخضع لظروف كل منهما.
‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz ditanya mengenai hukum nikah misyar, yaitu seorang pria menikah lagi dengan istri kedua, ketiga atau keempat, dan ia katakan pada istri tersebut untuk tetap tinggal di rumah orang tuanya, lantas si pria pergi ke rumah si istri ini pada waktu yang berbeda dari istri lainnya. Apa hukum dari nikah semacam ini
اجاب رحمه الله: «لا حرج في ذلك اذا استوفى العقد الشروط المعتبرة شرعاً، وهي وجود الولي ورضا الزوجين، وحضور شاهدين عدلين على اجراء العقد وسلامة الزوجين من الموانع، لعموم قول النبي صلى الله عليه وسلم: «احق ما اوفيتم من الشروط ان توفوا به ما استحللتم به الفروج» (رواه البخاري). وقوله صلى الله عليه وسلم: «المسلمون على شروطهم». فإن اتفق الزوجان على ان المرأة تبقى عند اهلها او على ان القسم يكون لها نهاراً لا ليلاً او في ايام معينة او ليالٍ معينة، فلا بأس بذلك بشرط إعلان النكاح وعدم إخفائه».
Beliau rahimahullah menjawab, “Nikah misyar semacam ini tidaklah masalah asalkan terpenuhi syarat-syarat nikah, yaitu harus adanya wali ketika nikah dan ridho keduany pasangan, serta hadirnya saksi yang adil ketika akad berlangsung. Juga tidak adanya yang cacat yang membuat nikahnya tidak sah. Dalil akan bolehnya bentuk nikah semacam ini adalah keumuman dalil
أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ
"Syarat yang paling berhak untuk ditunaikan adalah persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (para wanita)" (HR. Bukhari no 2721 dan Muslim no 1418)
Begitu pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ
"Dan kaum muslimin tetap berada diatas persyaratan mereka (tidak menyelishinya-pen)." (HR. Tirmidzi no. 1352 dan Abu Daud no. 3596)
Jika kedua pasangan sepakat jika si istri tetap di rumah bapaknya, atau si suami hanya bisa melayani istri di siang hari saja atau pada hari tertentu, atau pada malam tertentu, maka nikah semacam ini tidak bermasalah. Namun dengan syarat nikah ini dilakukan terang-terangan (diumumkan ke khalayak ramai), bukan sembunyi-sembunyi.
Diatas adalah Hukum Versi Bin baz, namun hukum menurut Ulama Wahabi lainnya yaitu Syekh Albani berbeda yaitu:
Dalam Kitab Ahkaamut-Ta’addud fii Dlauil-Kitaab was-Sunnah oleh Ihsaan Al-‘Utaibi, hal. 28-29
ثم التقيت بشيخنا الألباني رحمه الله في 17 محرم /1418هـ في بيته وطرحتُ عليه بعض المسائل من هذا لكتاب ، ومنها هذه المسألة ، فأفتى بحرمة هذا الزواج لسببين :
Syaikh Ihsaan bin Muhammad bin ‘Ayisy Al-‘Utaibi pernah berkunjung ke rumah Syaikh Al-Albani pada tanggal 17 Muharram 1418 dan bertanya tentang nikah mis-yaar yang dilakukan oleh banyak orang dewasa ini. Maka beliau rahimahullah memfatwakan keHARAMan Nikah Misyar dengan dua sebab :
1. أن المقصود من النكاح هو " السكن " كما قال تعالى : ( وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ ) الروم/21 ، وهذا الزواج لا يتحقق فيه هذا الأمر
“Maksud dari pernikahan adalah tercapainya ketentraman sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang” (QS. Ar-Ruum : 21). Sedangkan pernikahan semacam ini tidak mewujudkan demikian.
2. أنه قد يقدَّر للزوج أولاد من هذه المرأة ، وبسبب البعد عنها وقلة مجيئه إليها سينعكس ذلك سلباً على أولاده في تربيتهم وخلقهم
“Boleh jadi Allah ta’ala mentaqdirkan si suami mendapatkan anak dari istrinya sebagai hasil dari pernikahan ini, lalu dengan sebab jauh dan jarangnya bertemu, maka akan menyebabkan dampak buruk bagi anak-anaknya di dalam urusan pendidikan dan akhlaq.
Diatas adalah Hukum nikah Misyar versi wahabiyah, kemudian bagaimana hukumnya versi Ahlusunnah Waljamaah?
Untuk menjawab apakah nikah misyar ini sah atau tidak ?, mari kita simak keterangan para ulama berikut ini :
Imam al-Nawawi mengatakan dalam Syarah Muslim :
وَأَمَّا شَرْطٌ يُخَالِفُ مُقْتَضَاهُ كَشَرْطِ أنْ لَا يَقْسِمَ لَهَا وَلَا يَتَسَرَّى عَلَيْهَا وَلَا يُنْفِقُ عَلَيْهَا وَلَا يُسَافِرُ بِهَا وَنَحْوِ ذَلِكَ فَلَا يَجِبُ الْوَفَاءُ بِهِ بَلْ يَلْغُو الشَّرْطُ وَيَصِحُّ النِّكَاحُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ
“Adapun syarat yang menyalahi kehendaki akad nikah seperti syarat tidak memberikan jatah pembagian malam bagi isteri, tidak mengunjungi pada waktu malam, tidak memberikan nafkah atau tidak melakukan musafir bersamanya ataupun lainnya, maka tidak wajib memenuhinya, bahkan lagha (ada penyebutannya seperti tidak ada) syarat tersebut dan sah nikahnya dengan mahar mitsil, karena sabda Nabi SAW : “Setiap syarat yang tidak pada kitab Allah, maka itu adalah batal.”
Syaikh Syairazi mengatakan dalam kitabnya, al-Muhazzab sebagai berikut :
وان شرط أن لا يتسرى عليها أو لا ينقلها من بلدها بطل الشرط لانه يخالف مقتضى العقد ولا يبطل العقد لانه لا يمنع مقصود العقد وهو الاستمتاع، فإن شرط أن لا يطأها ليلا بطل الشرط لقوله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (الْمُؤْمِنُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إلَّا شَرْطًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حلالا) فإن كان الشرط من جهة المرأة بطل العقد، وان كان من جهة الزوج لم يبطل، لان الزوج يملك الوطئ ليلا ونهارا وله أن يترك، فإذا شرط أن لا يطأها فقد شرط ترك ماله تركه والمرأة يستحق عليها الوطئ ليلا ونهارا، فإذا شرطت أن لا يطأها فقد شرطت منع الزوج من حقه، وذلك ينافى مقصود العقد فبطل.
"Seandainya disyaratkan (dalam akad nikah) tidak mengunjungi isterinya pada waktu malam hari atau tidak memindahkan isterinya dari negerinya, maka syaratnya itu batal, karena syarat tersebut menyalahi kehendaki akad dan tidak batal akad nikah, karena tidak mencegah maksud akad, yaitu bermesraan dengan isteri. Karena itu, seandainya disyaratkan tidak menyetubuhinya pada waktu malam, maka batal syaratnya, karena sabda Nabi SAW : “Orang-orang beriman atas syarat mereka kecuali syarat yang menghalalkan yang haram dan yang mengharamkan yang halal.” Maka jika syarat itu dari pihak isteri, maka batal akadnya dan jika dari pihak suami, maka tidak batal akadnya, karena suami memiliki hak menyetubuhi pada waktu malam dan siang, sedangkan suami boleh meninggalkan haknya itu, karena itu jika suami mensyaratkan tidak menyetubuhi isterinya, maka suami tersebut mensyaratkan meninggalkan sesuatu yang boleh baginya meninggalkannya. Adapun si isteri berkewajiban atasnya untuk menerima disetubuhi pada waktu malam dan siang, karena itu jika isteri mensyaratkan tidak menyetubuhinya, maka isteri tersebut sudah mensyaratkan mencegah suami dari haknya, sedangkan yang demikian itu menafikan maksud akad, karena itu batal akadnya.
Hadits yang dikutip Syeikh Syairazi di atas riwayat Abu Daud dan al-Hakim dari Abu Hurairah dan riwayat al-Hakim dari Anas, Thabrani dari Aisyah dan Rafi’ bin Khadij.
Dalam Bughyatul Mustarsyidin disebutkan :
“Masalah ش : Apabila seorang perempuan menikah dengan syarat suaminya tidak mengeluarkannya dari rumah ayahnya, jika syarat tersebut bukan dalam diri akad, maka tidak ada pengaruh apapun, baik syaratnya itu disebut sebelum akad ataupun sesudahnya. Maka tidak melazimkan sesuatupun. Atau syarat tersebut disebut dalam akad, seperti “Aku kawinkan kamu dengan anakku dengan syarat tidak kamu keluarkannya dari rumahku, maka sah akad nikah dan lagha syaratnya, tetapi fasid musamma maharnya (penyebutan maharnya), karena itu lazim mahar mitsil. Hal ini juga berlaku sama pada setiap syarat yang tidak mencederai maksud nikah.”
Imam al-Nawawi berkata :
قَالَ الْقَاضِي وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ نَكَحَ نِكَاحًا مُطْلَقًا وَنِيَّته أَلَّا يَمْكُث مَعَهَا إِلَّا مُدَّة نَوَاهَا فَنِكَاحه صَحِيح حَلال ، وَلَيْسَ نِكَاح مُتْعَة ، وَإِنَّمَا نِكَاح الْمُتْعَة مَا وَقَعَ بِالشَّرْطِ الْمَذْكُور ، وَلَكِنْ قَالَ مَالِك : لَيْسَ هَذَا مِنْ أَخْلَاق النَّاس ، وَشَذَّ الْأَوْزَاعِيُّ فَقَالَ : هُوَ نِكَاح مُتْعَة ، وَلَا خَيْر فِيهِ . وَاَللَّه أَعْلَم .
“Al-Qaadli berkata : Para ulama telah bersepakat bahwa siapa saja yang melakukan nikah secara mutlaq dengan niat (dalam hati) hanya akan bersamanya dalam waktu terbatas, maka nikahnya sah dan halal. Ini bukan nikah mut’ah. Nikah mut’ah adalah nikah yang dilaksanakan disertai syarat yang disebutkan. Akan tetapi Malik berkata : ‘Ini tidak termasuk akhlaq manusia (generasi salaf)’. Sedangkan Al-Auza’i mempunyai pendapat yang berbeda, dimana ia berkata : ‘Hal itu adalah nikah mut’ah dan tidak ada kebaikan di dalamnya’. Wallaahu a’lam”
Berdasarkan keterangan-keterangan ulama di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Apabila dalam sebuah akad nikah disebut syarat, tetapi penyebutannya dilakukan di luar akad, baik sebelum atau sesudah akad, maka syarat tersebut tidak mengikat siapapun dan tidak ada dampak hukumnya. Karena syarat yang disebut di luar sebuah akad tidak lazim dipenuhi.
2. Apabila syarat tersebut disebut dalam diri akad, maka ini ada tafsilnya, yakni apabila syarat yang disebutkan itu menyalahi maqtazha akad, tetapi tidak menafikan maksud akad, seperti suami tidak boleh membawa isteri meninggalkan rumah ayahnya, maka lagha syaratnya, namun sah akadnya. Adapun apabila syaratnya menafikan maksud akad seperti bermesraan atau bersetubuh dengan isteri, maka tidak sah akadnya. Namun demikian apabila persyaratan tidak bermesraan atau bersetubuh dengan isteri dilakukan oleh pihak suami, maka akadnya sah, karena bermesraan atau bersetubuh merupakan hak suami, karena itu suami boleh menggunakan haknya dan boleh juga meninggalkannya. Adapun apabila dilakukan oleh pihak isteri, maka akadnya tidak sah. Karena isteri tidak boleh mencegah hak suami.
3. Sebuah akad nikah dengan niat (dalam hati) hanya akan bersamanya dalam waktu terbatas, maka nikahnya sah dan halal. Demikian juga sah akad nikah apabilabersepakat keduanya sebelum melaksanakan akad untuk bercerai dalam dalam waktu tertentu, namun kesepakatan tersebut tidak disebut dalam akad
Sesuai dengan kesimpulan di atas, maka di sini dapat dijawab hukum nikah misyar sebagai berikut :
a. Nikah misyar selama dengan pengertiannya yang kami sebutkan di atas, maka sah akadnya. Kalau persyaratan yang dibuat itu disebut di luar akad, maka persyaratan tersebut tidak wajib dipenuhi. Kalau disebut di dalam akad, maka persyaratan tersebut lagha (sia-sia, adanya persyaratan tersebut seperti tidak ada) dan akadnya tetap sah. Mahar pernikahan itu kembali kepada mahar mitsil (bukan mahar yang disebut dalam akad, tetapi kembali kepada jenis dan ukuran yang sesuai dengan status dan kedudukan isteri)
b. Kalau nikah misyar dimaknai dengan nikah dengan niat talaq, maka pernikahan dengan makna ini juga sah juga, karena niat saja tidak memberi pengaruh terhadap keabsahan suatu pernikahan
c. Nikah misyar bukanlah nikah mut’ah yang disepakati ulama keharaman dan tidak sahnya. Karena nikah mut’ah adalah nikah yang dalam akadnya disebut batasan waktu berlakunya pernikahan sebagaimana banyak dijelaskan ulama.
Catatan
Meskipun demikian,menurut hemat kami apabila pernikahan misyar ini banyak mendatangkan kemudharatan, karena dalam prakteknya banyak orang memanfaatkan nikah misyar ini hanya sekedar menggumbar nafsu syahwatnya dan ujung-ujungnya yang menjadi korban adalah pihak perempuan, maka pihak pemerintah harus melarangnya. Qaidah fiqh mengatakan :
تصرف الامام على رعيته منوط بالمصلحة
”Kebijakan pemerintah kepada rakyatnya berdasar kemaslahatan”
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
ayo segera bergabung dengan kami hanya dengan minimal deposit 20.000
BalasHapusdapatkan bonus rollingan dana refferal ditunggu apa lagi
segera bergabung dengan kami di i*o*n*n*q*q