Sebagian besar masyarakat kita masih suka dan gandrung terhadap klenik, magis, dan tak jarang mereka tertipu karena yang bersangkutan secara fisik berpenampilan dengan bersorban, dan tak jarang dilakukan oleh seorang ustaz katanya.
Ahlus Sunnah wal Jamaah juga mengimani adanya karamah (keistimewaan) bagi wali-wali Allah, namun tidak setiap hal yang luar biasa dikatakan karamah, bisa saja sebagai istidraj (sebagai penangguhan azab baginya). Cara membedakan antara karamah dan istidraj adalah dengan melihat keadaan orang tersebut apakah dia di atas Akidah yang benar, di atas ibadah yang sesuai Sunnah, akhlak yang mulia atau tidak ?
Imam Syafi’i rahimahullah berkata,
إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ يَمْشِي عَلَى الْمَاءِ أَوْ يَطِيْرُ فِي الْهَوَاءِ فَلاَ تُصَدِّقُوْهُ وَلاَ تَغْتَرُّوْا بِهِ حَتَّى تَعْلَمُوْا مُتَابَعَتَهُ لِلرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Apabila kamu melihat ada seseorang yang berjalan di atas air atau terbang di udara, maka janganlah kamu membenarkannya dan jangan pula tertipu olehnya sampai kamu mengetahui bahwa ia mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.”
(Tafsiir Al-Qur’an al-‘Adziim 1/326. Perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dengan sanadnya dalam kitabnya Aadaab Asy-Syaafi’i wa Manaaqibuhu hal 184)
Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani juga menasehati:
" "Sesungguhnya yang terpatri di kalangan orang awam bahwasanya keajaiban/kesaktian menunjukkan barang siapa yang melakukannya adalah termasuk wali-wali Allah. Dan ini merupakan kesalahan dari orang yang mengatakannya. Karena sesungguhnya keajaiban/kesaktian terkadang muncul melalui tangan orang yang berada di atas kebatilan seperti tukang sihir, dukun, dan pendeta. Karenanya orang yang hendak menjadikan kesaktian sebagi bukti kewalian membutuhkan pembeda. Dan pembeda yang paling utama yang mereka sebutkan adalah dengan menguji kondisi/keadaan pemilik kesaktian/keajaiban tersebut. Jika orang tersebut berpegang teguh dengan perintah-perintah syari'at dan menjauhi larangan-larangan syari'at maka keajaiban tersebut merupakan tanda kewaliannya, dan barang siapa yang tidak demikian maka keajaiban tersebut bukanlah tanda kewalian"
(Fathul Baari 7/383)
Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi rahimahullah (wafat 792 H) mengatakan:
في الحقيقة إنما الكرامة لزوم الاستقامة ، وأن الله تعالى لم يكرم عبدا بكرامة أعظم من موافقته فيما يحبه ويرضاه وهو طاعته وطاعة رسوله
“Karomah yang sebenar-benarnya adalah seseorang tetap bisa istiqomah. Allah Ta’ala tidak memuliakan seorang hamba dengan suatu karomah yang paling besar kecuali dengan memberinya taufiq untuk tetap melaksanakan apa-apa yang Allah cintai dan ridhai, yaitu taat kepada Allah dan kepada Rasul-Nya” (Syarah Aqidah Thahawiyah, 2/ 748).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
وانما غاية الكرامة لزوم الاستقامة، فلم يكرم الله عبدا بمثل أن يعينه على ما يحبه ويرضاه، ويزيده مما يقربه اليه ويرفع به درجته
“Sesungguhnya karomah yang paling ‘sakti’ adalah seseorang tetap bisa istiqomah. Allah tidak memuliakan seorang hamba dengan kemuliaan yang lebih besar ketimbang ia diberi pertolongan untuk tetap bisa melakukan apa-apa yang Allah cintai dan ridhai, dan menambah apa-apa yang bisa mendekatkan dirinya kepada Allah dan mengangkat derajatnya di hadapan Allah” (Al Furqan baina Auliya-ir Rahman wa Auliya-isy Syaithan, 1/187).
Maka karomah yang paling sakti bukanlah hal-hal ajaib seperti bisa terbang, bisa jalan di atas air, bisa mengubah daun jadi uang, dan semisalnya. Karomah paling sakti adalah seseorang menghabiskan hari-harinya dalam keadaan bisa istiqamah di atas ketaatan dan tidak bermaksiat. Sungguh ini sangat sulit kita dapati pada diri-diri kita, dan andai ada orang yang bisa demikian, dialah wali Allah yang sejati.
Wallohu A'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar