Minggu, 22 Februari 2015

KH Hasyim Asy'ary dan KH Achmad Dahlan

Pernahkah selama ini kita mendapatkan nasehat dan cerita tentang 2 tokoh besar berdirinya NU dan Muhammadiyah? Dengan kisah ini semoga membuka hati kita komunitas NU dan Muhammadiyah. Subhanallah....ternyata mereka adalah 2 teman yang sangat baik, 2 sahabat sejati, 2 sisi mata uang, ibarat air dan tanah, tidak saja kenal, bukan saja sering bertemu, tetapi mereka "ngliwet" bersama selam bertahun-tahun. Mereka tidur bersama dalam satu bilik kecil di pesantren tempat mereka menggali dan mendalami lautan ilmu Allah swt.......


Hadratus Syaikh KH M. Hasyim Asy'ari Jun 23 

 Jombang l933. Terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy'ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. "Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan," kata Mbah Cholil, begitu kiai dari Madura ini populer dipanggil. Kiai Hasyim menjawab, "Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya." Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. "Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan," katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kiai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri. 


Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya. 
Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kiai Hasyim juga Kiai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.

Mbah Cholil adalah kiai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan Madura ini. Sedangkan Kiai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, kakek Abdurrahman Wachid (Gus Dur) ini terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kiai Hasyim punya 'tradisi' menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam. 

Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kiai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kiai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kiai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. R. As'ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kiai Hasyim. 

Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku 'Tradisi Pesantren', mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syekh (tuan guru besar) kepada Kiai Hasyim. 

Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kiai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kiai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. 
Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. 
Kedua, Kiai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. 
Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya. 

Namun sempat juga Kiai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kiai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama kiainya itu. 

Mendirikan NU 

Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi darigurunya, Syekh Mahfudh at-Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syekh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syekh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru. 

Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah 
pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. 
Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan 
ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan 
keempat, mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. 

Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syekh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syekh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. 
Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. 
Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al-Qur'an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan al-Qur'an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. 

Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah. 

Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kiai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama. 

Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada l937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia) Kiai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia. Keturunan Raja Pajang 

Lahir 24 Dzul Qaidah 1287 Hijriah atau 14 Februari l871 Masehi, Hasyim adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis ibu, Halimah, Hasyim masih terhitung keturunan ke delapan dari Jaka Tingkir alias Sultan Pajang, raja Pajang. Namun keluarga Hasyim adalah keluarga kiai. Kakeknya, Kiai Utsman memimpin Pesantren Nggedang, sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kiai Asy'ari, memimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh kepada Hasyim. 

Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kiai Cholil. 

Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kiai Ya'qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kiai Ya'qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama --lima tahun-- Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kiai Ya'qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kiai Ya'qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal. 

Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun. Tahun 1899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kiai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kiai Hasyim bukan saja kiai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kiai Hasyim istirahat tidak mengajar. 

Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kiai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya. Dari perkawinannya dengan Mafiqah, putri Kiai Ilyas, Kiai Hasyim dikarunia 10 putra: Hannah, Khoriyah, Aisyah, Ummu Abdul Hak (istri Kiai Idris), Abdul Wahid, Abdul Kholik, Abdul Karim, Ubaidillah, Masrurah dan Muhammad Yusuf. Wafat 25 Juli 1947. Atas jasa-jasanya pemerintah mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional. 

Semoga Allah SWT mensucikan ruhnya dan menempatkannya di tempat mulia di sisi-Nya. Amin.

DAHLAN ASY'ARY

Wahai saudaraku Muhammadiyah-NU.... Ketahuilah. KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari adalah sama-sama keturunan Sunan Giri (Syekh Maulana ‘Ainul Yaqin), yang apabila ditarik garis ke atas, nasabnya sampai kepada Rasulullah Saw. Ketika keduanya lahir, oleh orang tua mereka masing-masing diberi nama depan yang sama, yaitu Muhammad. Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis, sedangkan nama kecil KH. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim. Keduanya pernah berguru kepada ulama besar yang sama, yaitu kepada KH. Saleh Darat al-Samarangi, Syekh Mahfud al-Tarmasy, dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Selama puluhan tahun mereka selalu bersama, hidup dalam pusaran lautan ilmu yang luas, dibimbing bersama, mengenyam ilmu bersama, hidup dalam jalinan kasih sayang yang tulus karena Gusti Allah semata. Tak pernah ada dalam kisah atau sejarah mereka berdua bertengkar, sama sekali tidak pernah. Subhanallah... 

KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah yang berlambang matahari,  KH. Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdhatul Ulama (NU) yang berlambang bumi dan bintang. Muhammadiyah banyak dijiwai oleh semangat QS. Ali Imran ayat 104, sedangkan NU, QS. Ali Imran ayat 103. Dan, K.H. Hasyim Asy’ari mendirikan NU tidak lama setelah K.H. Ahmad Dahlan wafat. Apakah ini juga sekadar kebetulan?

UBUDIYAH KH.AHMAD DAHLAN=KH.HASYIM ASY'ARY

KH Ahmad Dahlan sebelum menunaikan ibadah haji ke tanah suci bernama ‘’Muhammad Darwis’’.  Seusai menunaikan ibadah haji, beliau diganti namanya oleh Sayyid Abu Bakar Syata, ulama besar yang bermadhab Syafii. Jauh sebelum menunaikan ibadah haji, dan belajar mendalami ilmu agama. KH Ahmad Dahlan telah belajar agama kepada Syeh Sholeh Darat. KH Sholih Darat adalah ulama’ besar yang telah bertahun-tahun ngaji dan mengajar di Masjidilharam. Di Pondok pesantren milik KH Murtadho (sang mertua), KH Sholih darat mengajar santri-santri beragama ilmu agama, seperti; Alhilam (tasawof), Kitab Al-Munjiyah (Karya Syeh Sholih Darat), Fikih (Kitab Lataif Al-Taharah), serta beragam ilmu agama lainnya. Di pesantren ini, Mohammad Darwis ditemukan dengan Hasyim As’ary. Kedunaya sama-sama mendalami ilmu agama dari ulama besar Syekh Sholih Darat. 

Waktu itu, Mohmmad Darwis berusia 16 tahun sementara, Hasyim As’ary berusia 14 tahun. Dalam keseharian, Mohamamd Darwis memanggil Hasyim dengan sebutan ‘’Adi Hasyim’’. Sementara, Hasyim As’ary memanggil Mohamamd Darwis dengan panggilan ‘’Mas Darwis’’. Konon, semasa di Pesantren, keduanya sekamar. Keduannya menjadi santri Syekh Sholih darat sekitar 2 tahun penuh. Selepas nyantri di Pesantren Syekh Sholih Darat. Keduanya mendalami ilmu agamanya di Makkah, dimana Sang Guru Syekh Sholih Darat pernah menimba ilmu bertahun-tahun lamanya. Tentu saja, sang Guru sudah membekali akidah dan ilmu fikih yang cukup. Sekaligus telah memberikan referensi ulama-ulama mana yang harus didatangi dan diserap ilmunya selama di Makkah. Puluhan ulama-ulama Makkah waktu itu berdarah nusantara. Praktek ibadah waktu, seperti; tasawuf, wirid, tahlil, membaca barzanzi (diba’) menjadi bagian dari kehidupan ulama-ulama nusantara. Hampir semua karya-karya Syekh Muhmmad Yasin Al-Fadani, Syekh Muhammad Mahfud Al-Turmusi menceritakan tentang madhab al-Syafii dan As’aryiyah sebagai akidahnya. Tentu saja, itu pula yang di ajarkan kepada murid-muridnya, seperti; KH Ahmad Dahlan, Hasyim As’ary, Wahab Hasbullah, Syekh Abdul Kadir Mandailing dll (lihat: Profil Pendidikan dan Ulama’ Indonesia di Makkah: Abd. Adzim Irsad). 

Seusai pulang dari Makkah, masing-masing mengamalkan ilmu yang telah diperoleh dari guru-gurunya di Makkah. Mohammad Darwis yang telah di ubah namanya menjadi Ahmad Dahlan mendirikan persarikatan Muhamamdiyah. Sedangkan Hasyim As’ary mendirikan NU (Nahdhotul Ulama’). Begitulah persaudaraan sejati yang dibangun sejak menjadi santri Syekh Sholih Darat hingga menjadi santri di Tanah Suci Makkah. Keduanya juga membuktikan, kalau dirinya tidak ada perbedaan di dalam urusan  akidah, dan madhabnya. Saat itu di Makkah memang mayoritas bermadhab Syafii dan berakidah Asary. Wajar, jika praktek ibadah sehari-hari KH Ahmad Dahlan persis dengan guru-gurunya di tanah suci. Semisal sholat subuh, KH Ahmad Dahan tetap menggunakan Qunut, dan tidah pernah berpendapat bahwa Qunut sholat subuh Nabi Muhammad Saw adalah Qunut Nazilah. Karena beliau sangat memahami ilmu hadis dan juga memahami ilmu fikih. Begitu Tarawihnya, KH Ahmad Dahlan praktek Tarawihnya 20 rakaat. Penduduk Makkah sejak ber-abad-abad, sejak masa Umar Ibn Al-Khttab, telah menjalankan Tarawih 20 rakaat dengan tiga witir, hingga sekarang. Jumlah ini telah disepakati oleh sahabat-sahabat Nabi Saw. 

Bagi penduduk Makkah, tarawih 20 rakaat merupakan Ijmak Sahabat. Sedangkan penduduk Madinah melaksanakan 36 rakaat. Penduduk Madinah ber-anggapan, setiap pelaksanaan 2 X salaman, semua beristirahat. Pada waktu istirahat, mereka mengisi dengan thowaf sunnah. Nyaris, pelaksanaan sholat tarawih hingga malam, bahkan menjelang shubuh.  Di sela-sela tarawih itulah keuntungan penduduk Makkah, karena bisa menambah pahala ibadah. Bagi penduduk Madinah, untuk mengimbangi pahala, mereka melaksanakan tarawih dengan jumlah lebih banyak. Jika di lihat dari pengertiannya, sebagaimana di dijelaskan oleh al-HafizIbn Hajar al-A’sqallâniy dalam kitab Fath al-Bâriy Syarh al-Bukhâriy sebagai berikut: سُمِّيَتْ الصَّلَاة فِي الْجَمَاعَة فِي لَيَالِي رَمَضَان التَّرَاوِيحَ لِأَنَّهُمْ أَوَّلَ مَا  ِجْتَمَعُوا عَلَيْهَا كَانُوا يَسْتَرِيحُونَ بَيْنَ كُلّ تَسْلِيمَتَيْنِ (فتح البارى في كتاب صلاة التراويح) “Shalat jamaah yang dilaksanakan pada setiap malam bulan Ramadhan dinamai Tarawih karena para sahabat pertama kali melaksanakannya, beristirahat pada setiap dua kali salam. Istilah Shalat Tarawih disebut juga shalat Qiyam Ramadhan, yang populer pada masa Umar Ibn Al-Khattab ra. Dengan tujuan utamanya ialah, menghidupkan malam-malam bulan Ramadhan dengan ibadah sholat. Shalat Tarawih termasuk salah satu ibadah yang utama dan efektif guna mendekatkan diri kepada Allah. Sebenarnya, menghidupkan malam Ramadhan, bukan saja tarawih. Namun, sholat merupakan ibadah paling utama, dan ini telah dilakukan oleh jumhur (sebagian sahabat Nabi Muhammmad Saw). Sesuai dengan penuturan Nabi Saw yang artinya:’’ barang siapa menghidupkan Ramadhan dengan Qiyam atas dasar Iman dan semata-mata karena mengharap pahala Allah Swt, maka dosa-dosa akan mendapat ampunan (HR Bukhori).            

 Jadi, baik KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asary tidak pernah ada perbedaan di dalam pelaksanaan ubudiyah. Ketua PP. Muhammdiyah, Yanuar Ilyas ini menuturkan, KH. Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqh mahzab Syafi’i, termasuk mengamalkan qunut dalam shalat subuh dan shalat tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdirinya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan Kyai Haji Mas Mansyur, terjadilah revisi – revisi, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktikkannya doa qunut didalam shalat subuh dan jumlah rakaat shalat tarawih yang sebelas rakaat (Taqiyuddin Al-Baghdady: Mutiara Sejarah Islam di Indonesia KH Ahmad Dahlan). Sedangkan alasan yang dikemukan oleh dewan tarjih, karena Muhamamdiyah bukan Dahlaniyah.             

Jadi, hakekat sholat Tarawih yang diajarkan oleh ulama sekaliber KH Ahmad Dahlan sudah sesuai dengan ajaran Nabi Saw dan sahabatnya (Ijma’ Sahabat). Praktek di Makkah dan Madinah hingga sekarang juga tetap 20 rakaat dan 3 witir. Jadi, melaksanakan Tarawih 20 rakaat ditambah dengan 3 wirit berarti melaksanakan kesepakatan ratusan sahabat Nabi Muhamamd Saw, sekaligus bentuk kesetiaan terhadap Nabi Saw. Bagi pengikut Muhammadiyah, menjadi bukti kesetiaan terhadap perintis dan penggagas Muhamamdiyah sejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar