Minggu, 22 Februari 2015

Sejarah Ulama

Syekh Fadludin Jalalain

Penyebaran Islam di wilayah Malang dan sekitarnya tentu merupaan bagian dari Islamisasi  Indonesia ini. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, Syekh Fadludin Jalalain atau lebih dikenal dengan Mbah Muhammad adalah salah seorang ulama besar pada jamannya yang turut berjasa menyebarkan dakwah Islam di Malang Raya. Namun, banyak masyarakat Malang yang belum mengetahui apalagi mengenal sosok beliau.

Mbah Muhammad berasal dari tanah Banten yang menyebarkan agama Islam di di daerah malang dan sekitarnya atas perintah dari kakak kandungnya yaitu Pangeran Muhammad Thohir Tasmiddin atau Kyai Muchtar.Mbah Muhammad memiliki garis keturunan dari raja-raja di Banten.
Satu-satunya peninggalan beliau dan saksi bisu perjuangannya adalah makam beliau yang berada di depan mihrab Masjid Al Mukarromah, Kasin Kota Malang.

Setiap harinya makam itu tidak pernah sepi dari kunjungan para peziarah, baik dari Malang raya maupun luar kota Malang, apalagi jika hari Kamis malam Jum'at para peziarah bahan harus mengantri saat akan mendekat ke makamnya. Untuk mengenang jasa-jasa beliau, warga Kasin dan sekitarnya rutin mengadakan haulnya setiap tahun yang biasanya dilaksanakan setiap Minggu ke tiga bulan Robi'utsani atau bakdho mulud.

Syeikh Fadlluddin ( Mbah Muhammad Djalalain ), nama aslinya adalah Pangeran Fadlluddin as Syeikh Muhammad Djalalain, bin Sultan Hajji Abun Nasri Abdul Qohar Maulana Manshur Ruddin Banten, bin Sultan Agung Abul Fatih Abul Fatah, Tirtayasa Banten, bin Sultan Abul Maa'ali Achmad Kanari, bin Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qodier, bin Muhammad Asiruddin Pangeran Ratu Banten, bin Sultan Maulana Yusuf, Sultan Hasanuddin Banten, bin Syarief Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, Cirebon. 

Pangeran Fadlluddin atau Mbah Muhammad Djalalain adalah putra keEmpat dari sepuluh bersaudara Sultan Hajji Abun Nasri Abdul Qohar Maulana Manshur Ruddin Banten. Kesepuluh putra- putri beliau adalah: 
1. Adipati Ishaq, Sultan Abul Fadhol, 
2. Sultan Abul Machasin Zainul Abidin.
3. Pangeran Muhammad Thohir Tasmiddin atau Kyai Muchtar, 
4. Pangeran Fadlluddin Samiluddin atau Syech Muhammad Djalalain, 
5. Pangeran Dja'faruddin Syaifuddin,
6. Pangeran Muhammad 'Alim Syamsuddin,
7. Nyai Ratu Rochimah, 
8. Nyai Chamimah, 
9. Ksatrian Muhammad Sholeh dan 
10.Nyai Ratu Mumby

Dari kesepuluh putra-putri beliau, dua orang memilih meneruskan kesultanan Banten dan delapan orang memilih menjadi ulama untuk menyebarkan agama Islam. Pada tahun 1773, kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliyuddin, beliau bersama kakak dan adik-adiknya meninggalkan Banten dan pergi ke arah Timur. 

Dalam perjalanan selama 4 tahun ini, akhirnya sampai di suatu tempat yang sampai sekarang dikenal dengan Desa Tebusaren, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Ketika Mbah Muhammad Djalalain meninggalkan Banten beliau disertai oleh ketiga putranya yaitu Haji Arief, Tubagus Kidam dan Tubagus Djakram, serta seorang cucunya bernama Nyai Sarinten binti Tubagus Kidam.

Pada akhir tahun 1777, Pangeran Muhammad Thohir menugaskan 3 (tiga) orang adiknya yaitu Pangeran Djakfaruddin, Pangeran Fadlluddin ( Mbah Muhammad Djalalain ) dan Pangeran Muhammad 'Alim untuk berdakwah menyebarkan agama Islam dan membagi wilayah dakwahnya. 

Pangeran Djakfaruddin ke daerah Timur ( Pasuruan dan sekitarnya), Pangeran Fadlluddin / Mbah Muhammad Djalalain ke daerah Malang dan Pangeran Muhammad 'Alim akhirnya mengikuti kakaknya ke Malang

Akhirnya pada tahun 1779 Pangeran Fadlluddin ( Mbah Muhammad Djalalain ) menetap di Kasin, Kota Malang. Salah satu diantara murid beliau ialah Kanjeng Surgi Bupati Malang, yang dikenal sampai sekarang dengan sebutan Ki Ageng Gribig.
Mbah Muhammad Djalalain wafat pada tahun 1821 dan dimakamkan tepat di belakang Masjid Al-Mukarromah Kasin Malang. Wallahu'alam bishowab


Syekh Husien
Inilah kisah yang meluruskan tentang animo masyarakat akan kebenaran silsilah keturunan Auliya/Pemuka agama dilingkungan Buju’ Batu Ampar. Semata-mata untuk mengembalikan kesadaran kita tentang nilai kebesaran Allah SWT. Seperti yang terdapat di Pesarean Buju’ Batu ampar ini adalah kekasih-kekasih Allah yang telah mendapatkan karomah atas kemurahan rahmat dan hidayah-Nya.

Kisah ini semoga menjadi teladan serta penuntun bagi kaum muslimin dan muslimat dalam sebuah perjalanan menuju cita-cita mulia, guna menjadi INSAN KAMIL yang memegang teguh, menjaga serta memelihara kemurnian islam hingga hari yang dijanjikan ( kiamat ).
Wallahu a’lam Bisshawab.

Silsilah Auliya’ Batu Ampar, Madura
Sayyid Husein, berputra :
Syekh Abdul Manan / Buju’ Kosambi
Syekh Abdul Rohim / Buju’ Bire
Syekh Abdul manan / Buju’ Kosambi, berputra…
Syekh Basyaniah / Buju’Tumpeng, berputra…
Syekh Abu Syamsudin ( Su’adi ) / Buju’ Latthong, berputra 3 :
Syekh Husein, berputra : ( ket. Dibawah )
Syekh Lukman berputra : Syekh Muhammad Yasin
Syekh Syamsudin, berputra : Syekh Buddih
Syekh Husein, berputra…
Syekh Muhammad Ramly, berputra..
KH. Damanhuri, berputra/ putri 10 :
KH. Amar Fadli
KH. Mukhlis
KH. Romli
KH. Mahalli
KH. Kholil
KH. Abdul Qodir
KH.Ach. Fauzy Damanhuri
KH. Ainul Yaqin
Nyai Hasanah
Nyai Zubaidah
Sayyid Husein

Disuatu desa diwilayah Bangkalan, tersebutlah seorang pemuka agama Islam yang bernama Sayyid Husein. Beliau mempunyai banyak pengikut karena ketinggian ilmu Agamanya. Selain akhlaknya yang berbudi luhur, beliau juga memilikibanyak karomah karena kedekatannya dengan sang Kholiq.Beliau sangatdihormati pengikutnya dan semua penduduk disekitar bangkalan.

Namun bukan berarti beliau lepas dari orang yang membencinya.Disebabkan karena mereka iri dengan kedudukan beliau dimata masyarakat saat itu.Hingga suatu hari ada seseorang penduduk yangiri dengki dan berniat buruk mencelakai dan menghancurkan kedudukan Sayyid Husein.Orang itu merekayasa cerita fitnah, bahwa Sayyid Husein bersama pengikutnya telah merencanakan pemberontakan dan ingin menggulingkan kekuasaan raja Madura.

Alhasil cerita fitnah ini sampai ditelinga sang Raja. Mendengar kabar itu Raja kalang-kabut dan tanpa pikir panjang mengutus panglima perang bersama pasukan untuk menuju kediaman Sayyid Husein.Sayyid Husein yang saat itu sedang beristirahat langsung dikepung dan dibunuh secara kejam oleh prajurit kerajaan.Mereka melakukan hal itu tanpa pikir panjang dan disertai bukti yang kuat. Akhirnya Sayyid Husein yang tidak bersalah itu wafat seketika itu juga dan konon jenazahnya dikebumikan diperkampungan tersebut.

Selang beberapa hari dari wafatnya Sayyid Husein, Raja mendapat berita yang mengejutkan dan sungguh mengecewakan, serta menyesali keputusannya yang samasekali tidak didasari bukti-bukti yang kuat. Berita tadi mengabarkan bahwa sebenarnya SayyidHusein tidak bersalah, karena sesungguhnya beliau telah difitnah.Karena sangat menyesali perbuatannya, Raja Bangkalan memberikan gelar kepada beliau dengan sebutan Buju’ Banyu Sangkah ( Buyut Banyu Sangkah ). Dan tempat peristirahatan beliau terletak dikawasan Tanjung Bumi, Bangkalan.

Sayyid Husein wafat dengan meninggalkan duaorang putra. Yang pertama bernama Abdul Manan dan yang kedua bernama Abdul Rohiim. Kedua putra beliau ini sepakat untuk pergi menghindari keadaan dikampung tersebut. Syekh Abdul Rohim lari menuju Desa Bire ( Kabupaten Bangkalan ), dan menetap disana sampai akhir hayat beliau. Dan akhirnya beliau terkenal sebagai Buju’ Bire ( Buyut Bire ). Wallahu a’lam

Syekh Abdul Manan ( Buju’ Kosambi )
Lain halnya dengan SyekhAbdul Manan. Beliau pergi mengasingkan diri dan menjauh dari kekuasaan Raja Bangkalan. Hari demi hari dilaluinya dengan sengsara dan penuh penderitaan. Beliau sangat terpukul sekali kehilangan orang yang sangat dikasihinya.Hingga akhirnya beliau sampai disebuah hutan lebat ditengah perbukitan diwilayah Batu ampar ( Kabupaten Pamekasan ). 

Dihutan inilah akhirnya beliau bertapa / bertirakat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.Dalam melaksanakan hajatnya beliau memilih tempat dibawah Pohon Kosambi. Syahdan tapa beliau ini berlangsung selama 41 tahun. Saat memulai tapaitu beliau berumur 21 tahun. Hingga akhirnya beliau ditemukan anak seorang penduduk desa ( Wanita ) yang sedang mencari kayu dihutan.

Singkat cerita akhirnya Syekh abdul Manan dibawa kerumahnya. Dari hubungan tersebut, timbullah kesepakan antara orang tua si anak tersebut untuk menjodohkan Syekh abdulManan dengan salah seorang putrinya. Sebagaitanda terima kasih, beliau memilih si sulung sebagai istrinya, walaupun dalam kenyataannya sisulung menderita penyakit kulit. Anehnya terjadi keajaiban di hari ke 41 pernikahan mereka. Saat itu juga sang istri yang semula menderita penyakit kulit tiba-tiba sembuh seketika. Dan bukan hanya itu kulitnya bertambah putih bersih dan cantik jelita, sampai-sampai kecantikannya tersiar kemana-mana.

Dan konon kabarnya pula bahwa Raja Sumenep mengagumi dan tertarik akan kecantikan istri Syekh Abdul manan ini.
Dari pernikahan ini, beliau dikarunia seorang putra yang bernama Taqihul Muqadam , setelah itu menyusul pula puta kedua yang diberi nama Basyaniah . Setelah bertahun-tahun menjalankan tugasnya sebagai Khalifah, akhirnya beliau wafat dengan meninggalkan duaorang putra. Jenazahnya dimaqamkan di Batu Ampar dan terkenal dengan julukan Buju’ Kosambi. Dan putra pertama beliau juga saat wafat jenazahnya dikebumikan didekat pusaranya. Wallahu a’lam.

Syekh Basyaniah ( Buju’ Tumpeng )

Putra kedua Syekh Abdul manan yang bernama Basyaniah inilah yang mengikuti jejak ayahanda. Beliau senang bertapa dan cenderung menjauhkan diri dari pergaulan dengan masyarakat. Dan beliau juga selalu menutupi karomahnya.Ketertutupan beliau ini semata-mata bertujuan untuk menjaga keturunannya kelak dikemudian hari agar menjadi insan kamil atau manusia sempurna dan sholeh melebihi diri beliauserta menjadi khalifah yang arif dimuka bumi.

Dalam menjalani hajatnyabeliau bertapa dan memilih tempat disuatu perbukitan yang terkenal dengan nama Gunung Tompeng yakni suatu bukit sepi dan sunyi yang penuh dengan tanda-tanda kebesaran Illahi. Bukit tersebut terletak kurang lebih 500 m arah barat daya ( antara Barat-Selatan ) dari Desa batu Ampar.

Saat wafatnya beliau meninggalkan seorang putra yang bernama Su’adi atau terkenal dengan sebutan Syekh Abu Syamsudin dan mendapat julukan Buju’ Latthong. Sedang jenazah Syekh Basyaniah dikebumikan berdekatan dengan pusara Ayahanda. Beliau akhirnya mendapatjulukan Buju’ Tumpeng .
Wallahu a’lam

Syekh Abu Syamsudin ( Buju’ Latthong )

Kisah hidup putra tunggalSyekh Basyaniah ini tidak berbeda dengan perjalanan hidup yang pernah ditempuh oleh ayahanda dan buyutnya yakni gemar bertapa dan selalu menyendiri bertirakat serta selalu berpindah-pindah dalam melakukan tapanya.Misalnya salah satu tempat pertapaanyayang ditemukan didekat kampung Aeng Nyono’ . Wilayah tempat tersebut ada ditengah hutan yang lebat. Karena seringnya tempat tersebut dipergunakan sebagai lokasi tirakat / bertapa, oleh penduduk setempat dinamakan Kampung Pertapaan.

Begitu juga bukit yang ada dikampung Aeng Nyono’ yang menjadi tempat bertapanya Syekh Syamsudin. Disana terdapat sebuah kebesaran Allah yang diperlihatkan kepada manusia sampai sekarang. Tepat disebelah barat tempat beliau bertapa terdapat sumber mata air yang mengalir ke atas Bukit Pertapaan. Konon Syekh Syamsudin mencelupkan tongkatnya sampai akhirnya mengalir ke atasbukit hingga kini. Masya Allah…sungguh merupakan karunia yang besar dan jauh diluar akal manusia. Atas dasar keajaiban itulah yang menjadi asal-usul nama kampung Aeng Nyono’ ( Bahasa Madura ) artinya air yang menyelinap/mengalir ke atas. Dan konon dengan air inilah beliau berwudhu dan bersuci.

Asal usul sebutan Buju’ Latthong

Keramat itu muncul karena disebabkan keluarnya sinar dari dada beliau. Apabila sinar itu dilihat oleh orang yang berdosa dan belum bertaubat, maka orang tersebut akan pingsan atau tewas.

Kisah lain menceritakan karena seorang yang berjuluk Buju’ Sarabe yang bertabiat buruk berniat menghabisi beliau. Banyak penduduk desa yang dibunuhnya. Tetapi ketika akan menghabisi Syekh Syamsudin, ketika Buju’ Sarabe dan anak buahnya mencabut senjata, mendadak senjata itu lenyap dan tinggal warangkannya.Setelah mengaku kalah dan memohon agar senjatanya dikembalikan, Syekh Syamsudin menunjukkan letak senjata tersebut yang berada dalam Latthong ( Bahasa madura yang berarti kotoran sapi ).

Sebab itulah karena khawatir tentang hal itu, maka beliau menutupi dadanya dengan cara mengoleskan Latthong disekitar dada beliau. Banyak sekali kisah kekeramatan beliau. Setelah cukup menjalani darma baktinya sebagai Khalifah, akhirnya beliau wafat dengan meninggalkan tiga orang putra. Dan dikebumikan diBatu ampar, madura. Wallahu a’lam

Syekh Husein

Sepeerti halnya pendahulunya, syekh Husein inipun senang menjalani laku tirakat. Selain itu beliau ini terkenal akan kecerdasanpikirannya. Beliau hapal Kitab Ihya Ulumuddin Imam Ghozaly. Bahkan hapalannya sedemikian akurat sampai titik dan baris dikitab itu beliau mengetahuinya. Masa bertapa Syekh Husein ini tidaklah selama pendahulunya. Disebabkan perobahan zaman, maka tempat tinggal dan daerah sekitar telah menjadi ramai oleh pendatang. 

Beliau banyak bergaul danmenjadi pemuka masyarakat dan tokoh agama yang disegani. Danbeliau adalah keturunan terakhir dari Sayyid Husein yang mempunyai kegemaran bertapa dan menjalankan laku tirakat.Keturunan sesudahnya cenderung untuk merantau dan mencari guru untuk menuntut ilmu. Wallahu a’lam

Syekh Muhammad Ramly

Putera tunggal Syekh Husein ini sejak kecil senang sekali menuntut ilmu. Hingga menjelang dewasannya beliau pergi menuntut ilmu dan menuju Kabupaten bangkalan. Disana beliau berguru dan menuntut ilmu kepada seorang Waliyullah yang bernama Syaikhona Kholil, Bangkalan. Setelah cukupmenimba ilmu dengan sang Waliyullah, beliau menuju ke Saudi Arabia. Dan menetap disana selama 10 tahun.

Setelah cukup 10 tahun, akhirnya beliau kembali dan menetap ditanah asal, batu ampar. Beliau menjadi panutan masyarakat dalam kehidupan beragama. Setelah berkeluarga, beliau dikaruniai seorang putra yang diberi nama Damanhuri . Sayang sekali kehidupan beliau sangat singkat. Saat puteranya masih membutuhkan kaih sayangnya, beliau akhirnya wafat dan dimaqamkan dipesarean Batu ampar. Wallahu a’lam

Syekh Damanhuri

Semasa hidupnya Syekh Damanhuri tidak banyak mendapatkan belaian kasih sayang dari Ayahandanya. Hingga akhirnya beliau di asuh sendiri oleh sang kakek ( Syekh Husein ).Beliau mendapatkan bimbingan dan tuntunan beragama secara langsung dari Syekh Husein. Akhirnya setelah cukup umur, beliau pergi menuntut ilmu ditempat Ayahandanya dahulu belajar. Yaitu ditempat Syaikhona Kholil, Bangkalan.

Singkat cerita setelah cukup menimba ilmu di pesantren Syaikhona Kholil, beliau akhirnya kembali ke kampung halaman.Seperti halnya para pendahulu, beliaupunmenjadi Tokoh masyarakat di batu Ampar. Syekh Damanhuri mempunyai 2 orang istri. Dari istri pertamanya dikaruniai 2 orang anak ( KH.Umar Fadli dan Nyai Hasanah ) dan bersama istri yang kedua dikaruniai 8 orang putra/putri ( KH.Romli, KH.Mahalli, KH.Ach.Fauzy, KH.Mukhlis, Nyai Zubaidah, KH.Kholil, KH. Abdul Qodir dan KH.’Ainul Yaqin )

Dan diantara putranya yang masih ada itulah, yang menjadi generasi penerusnya. Sebagai panutan dan pembimbing serta kholifah dimuka bumi ini demi terpeliharanya kesucian dan kemurnian Islam untuk masa yang kita tidak ketahui batasnya.

Demikianlah sekilas kisah Para Buju’ Batu Ampar. Semoga kisah ini bermanfaat bagi pembaca dan pewaris Ilmu-ilmu Raje. Jadikanlah beliau diatas sebagai teladan dan hikmah. Wallahu a’lam
Wassalamu’alaikum, wr.wb. Jazakumullah bi ahsanal jaza. 

Syekh Gentaru, Kabupaten Tuban

Makam Syekh Gentaru berada di Dusun Kedungsari, Desa Tuwiri Wetan, Kecamatan Merakurak, Tuban.Menurut cerita yang ada di masyarakat,Syekh Rifa’i adalah ulama kondang di jaman Islam mulai masuk ke tanah Jawa yang dibawa para wali. Nama SyekhRifa’i sendiri memang tak setenar nama-nama para wali yang banyak tersebar di Tuban. Seperti Sunan Bonang, Maulana Ibrahim Asmoroqondi, Sunan Kalijaga, Sunan Bejagung maupun Sunan Geseng.

Akan tetapi keberadaan syiar Islam yang dilakukannya telah diketahui warga.Bahkan, Syekh ini pula dalam syiarnya acap memasuki daerah yang dikenal sebagai kawasan merah.Kawasan yang dihuni para gembong rampok dan begal.Karena ilmu kanuragan yang dimilikinya pula, Syekh ini dikenal sebagai tokoh penakluk. Apalagi konon, Syekh Rifa’i memiliki ilmu Rawa Rontek, yang bisa hidup kembali setelah jasadnya menyentuh tanah. 

Bahkan jika kepala dipenggal akan menyatu kembali jika tak dimakamkan secara terpisah.
Syeh Rifa’iselalu berpindah-pindah tempat semasa hidupnya. Setelah pengikutnya banyak dan mulai tersebar, Syekh kelahiran jazirah Arab ini akhirnya memutuskan uzlah (laku menyendiri) di Goa Yung Yang. Meski telah bertahun-tahun berkontemplasi dengan Sang Khaliq di dalam goa, namun ajaran dan syiarnya diteruskan para pengikutnya.

Alkisah, kala itu Tuban dipimpin Bupati Wilwatikta. Bupati yang juga orangtua Raden Said, termasuk penguasa yang gigih mempertahankan kekuasaannya.Tokoh ini pula yang dikenal se- bagai bupati yang tegas.Kompleks Goa Srunggo memang acap didatangi Bupati Wilwatikta, selepas berburu hewan buas di hutan jati wilayah setempat. Tak jarang pula ia mengajak istrinya dalam perburuan tersebut. Namun, sang istri selalu mendirikan kemah menunggu suami berburu di sekitar Goa Srunggo. Apalagi Srunggo merupakan goa yang mengeluarkan air bersih yang mengalir kesana kemari.Rindangnya pepohonan menjadikan lokasi ini pilihan penguasa Kabupaten Tuban untuk berwisata.

Di samping Goa Srunggo terdapat goa lain. Yakni Goa Yung Yang.Tempat Syekh Rifa’i bersemedi.Ia berniat mengakhiri hidupnya di goa tersebut sambil melakukan kontemplasi dengan Sang Khaliq. Karena kelebihan yang dimilikinya ia mampu bertahan hingga bertahun-tahun di dalam goa. Hanya sesekali ia ke luar untuk menemui para pengikutnya. Menurut keterangan warga setempat, dinding Goa Yung Yang dulu selalu muncul penampakan Syekh Rifa’i. Warga meyakini itu terjadi karena karomah dan kesaktian sang Syekh.

Istri Wilwatikta sempat menengok dalam goa Yung Yang. Hingga mengetahui di dinding ada penampakan pria ganteng yang santun tersebut.Bahkan, perempuan nomor satu di jajaran Kabupaten Tuban itu meminta suaminya agar sering berburu. Dengan cara itu ia bisa sering bertemu dengan Syekh Rifa’i, sekalipun sekadar melihat wajahnya di dinding goa. Wilwatikta pun akhirnya mencium keanehan dari permaisurinya. Ia pun memerintahkan aparatnyauntuk menelisik dan menyusuri lorong Goa Yung Yang.Disitulah ditemukan Syekh Rifa’i yang masih terlihat sebagai lelaki muda dan gagah.Sosok yang sering hadir dalam mimpi dan igauan istrinya.

Syekh Rifa’i pun akhirnya diseret ke luar goa.Ia diadili oleh Wilwatikta dengan tudingan telah membuat istrinya terpikat. Di tengah amuk api cemburu, Wilwatikta pun menjatuhkan hukuman pancung pada Syekh Rifa’i. Sekalipun Sang Syekh tetap ngotot tidak pernah sengaja menggoda istri penguasa Bumi Ranggalawe tersebut.

Akhirnya Syekh Rifa’i mengajukan syarat untuk membuktikan tidaksalahnya. Jika setelah dipancung darah yang ke luar dari tubuhnya berwarna merah, berarti dia memang bersalah.Akan tetapi jika yang ke luar darah putih berarti dirinya tidak bersalah. Syarat itu disetujui oleh Wilwatikta.Hukuman pancung pun dilakukan.Setelah kepalanya terpenggal yang keluar adalah darah putih.Cairan darah putih tersebut juga memunculkan aroma harum bunga. Selain itu setelah raganya menyentuh tanah, kepalanya kembali menyatu dengan badan, sang jasad pun kembali hidup. Beberapa kali hal itu terjadi, hingga akhirnya setelah kepalanya terpisah dimakamkan berjauhan, meski masih dalam kompleks sumber air Goa Srunggo.

Wilwatikta menyesali keputusannya.Dalam rasa sesal mendalam, penguasa Tuban itu meminta jasad Syekh Rifa’i dimakamkan secara baik.Bukan sebagai pesakitan yang telah melakukan tindak pidana. Sesuai pesan yang disampaikan para pengikutnya, badan Syekh Rifa’i pun akhirnya dimakamkan di wilayah Sidomukti, kini masuk wilayah Kecamatan Kota, Tuban. Sedangkan kepalanya dimakamkan di kompleks Goa Srunggo.Pusara kepala itu yang hingga kini masih banyak didatangi peziarah.Usai pemakaman Wilwatikta mengajak para prajuritnya kembali ke Pendapa Kabupaten Tuban yang berada di Desa Prunggahan Wetan, Kecamatan Semanding, Tuban.

Namun sebelum beranjak terdengar suara tanpa rupa. Yang menyebut, “Siapapun pejabat di Tuban akan lengser jika menginjakkan kakinya di Goa Srunggo.” Sejak saat itu, namaSyekh Rifa’i telah tiada, oleh pengikutnya namanya diganti Syekh Gentaru, yang diambil dari darah putih dari badan beliau yang berbau harum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar