Sabtu, 28 Februari 2015

Perkembangan Keris

Surutnya pembuatan keris tak sebatas oleh pola pewarisan yang tertutup. Ini tak luput dari datangnya kapitalisme.

Menurut perspektif Barat, pembuatan senjata khususnya pada orang-orang Timur—dengan porsi utama segi estetika—adalah salah satu pemenuhan kebutuhan manusia, yaitu pamer. Sungguh sebuah pandangan yang ganjil.

Pembuatan senjata (keris) memakan proses panjang dan teknik-teknik khusus. Selain itu, keris juga mengandung makna-makna filosofis nan simbolis dari setiap lekuknya. Dalam banyak kebudayaan di Nusantara, ia dianggap bagian integral dari pemiliknya, misalnya bagi orang-orang Bugis, Makassar, Bima, keris dianggap sebagai pengganti dari rusuk sebelah kiri yang hilang 

Pamor Keris

Bahkan senjata yang berpamor, tidak pernah ada dalam sejarah India. Bentuk senjata yang menyerupai keris pun tidak pernah dijumpai di negeri itu. Dalam kitab Mahabarata dan Ramayana yang ditulis pujangga India, tidak ditemukan satu pun senjata yang bernama keris. Jenis senjata yang ada dalam buku epos agama Hindu itu adalah gendewa dan panahnya, gada, pedang, dan cakra. Tetapi tidak keris! Keris baru dijumpai setelah kedua cerita itu diadaptasi oleh orang Jawa dan menjadi cerita wayang! Beberapa buku yang ditulis orang Barat menyebutkan bahwa di Persia (kini Iran) dulu juga pernah ada pembuatan senjata berpamor yang serupa dengan keris yang ada di Indonesia. Ini pun keliru!

Beberapa jenis senjata kuno buatan Persia memang dihiasi dengan semacam lukisan atau kaligrafi pada permukaan bilahnya. Namun penerapan teknik hiasan itu beda benar dengan pamor. Teknik menghias gambar pada permukaan yang dilakukan bilah senjata yang dilakukan di Iran adalah dengan menggores permukaan bilah itu sehingga timbul alur, kemudian ke dalam alur goresan itu dibenamkan (dijejalkan) kepingan tipis logam emas atau kuningan.

Jadi, teknik hias yang digunakan orang Iran adalah teknik inlay, yang oleh orang Jawa disebut sinarasah. Tetapi hiasan sinarasah itu sama sekali bukan pamor, melainkan hanya merupakan hiasan tambahan atau susulan. Sedangkan pamor adalah hiasan yang terjadi karena adanya lapisan-lapisan dari dua (atau lebih) jenis logam yang berbeda nuansa warna dan penampilannya, yaitu besi, baja, serta bahan pamor. Besinya berwarna kehitaman, bajanya agak abu-abu, sedangkan pamornya cemerlang keperakan. Padahal semua senjata buatan Iran, praktis hanya terbuat dari satu macam logam, yakni baja melulu.

Memang teknik pembuatan pamor pada bilah keris agak serupa dengan teknik pembuatan baja Damaskus. Pedang Damaskus atau baja Damaskus juga terbuat dari paduan dua logam yang mempunyai nuansa beda. Pedang itu pun menampilkan gambaran semacam pamor pada permukaan bilahnya.

Tetapi meskipun teknik pembuatannya hampir sama, niat dan tujuan pembuatan kedua benda itu jauh berbeda. Pedang Damaskus dibuat dengan tujuan utama membunuh lawan, senantiasa diasah tajam. Sedangkan keris dibuat untuk benda pusaka, untuk mendapat kepercayaan diri (sipat kandel - Bhs. Jawa), diharapkan manfaat gaibnya, serta tidak pernah diasah setelah keris itu jadi.

Keris berdapur Tilamsari dengan hiasan kinatah emas Di Indonesia, keris yang baik pada umumnya selain berpamor juga diberi hiasan tambahan  dari emas, perak, dan juga permata. Hiasan ini dibuat untuk memuliakan keris itu, atau sebagai penghargaan Si Pemilik terhadap kerisnya. Pemberian emas dapat juga sebagai anugrah dari raja atas penghargaan terhadap jasa Si Pemilik keris itu.

Hiasan yang dinilai paling tinggi derajatnya adalah bilamana sebilah keris diberi kinatah atau tinatah. Permukaan bilah keris dipahat dan diukir denga motif tertentu sehingga membentuk gambar timbul (relief) dan kemudian dilapisi dengan emas. Terkadang, di sela-sela motif hiasan berlapis emas itu masih ditambah lagi dengan intan atau berlian.

Jika hiasan kinatah itu menutup sepertiga bagian panjang bilah atau lebih, disebut kinatah kamarogan.
Jenis motif kinatah juga banyak ragamnya. Yang paling terkenal adalah, pada bilah keris adalah kinatah lung-lungan, dan pada ganja kinatah gajah singa.

Hiasan sinarasah emas seperti yang dilakukan orang Persia kuno, tergolong lebih sederhana dibandingkan dengan kinatah. Teknik sinarasah, selain digunakan untuk menghias permukaan bilah, juga sering digunakan untuk membuat motif rajah. Yaitu gambaran yang dianggap memiliki pengaruh gaib. Misalnya rajah Kalacakra, rajah Bintang Soleman, dll.

Ditinjau dari cara dan niat pembuatannya keris dapat dibagi atas dua golongan besar. Yaitu yang disebut keris ageman, yang hanya mementingkan keindahan lahiriah (eksoteri) keris itu. Golongan dua adalah keris tayuhan, yang lebih mementingkan tuah atau kekuatan gaibnya (isoteri atau esoteri).

Ditinjau dari bentuk dan kelengkapan bagian-bagiannya, keris terbagi atas 240 dapur keris. Dari jumlah yang ratusan itu, secara umum dapat dibagi atas dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan yang berkelok-kelok bilahnya. Yang berkelok-kelok bilahnya itu disebut keris luk. Jumlah kelokan atau luknya, mulai dari tiga sampai dengan 13. Keris yang luknya lebih dari 13, dianggap sebagai keris yang tidak normal (tetapi bukan berarti tidak baik), dan disebut keris Kalawija. Sedangkan motif hiasan pamor pada bilahnya, lebih dari 150 ragam pamor.

Keris yang dibuat dalam lingkungan keraton oleh para empu keraton, umumnya diberi gelar Kyai, Kanjeng Kyai, dan Kanjeng Kyai Ageng, Selain gelar, keris juga diberi nama. Gelar dan nama keris itu tercatat dan disimpan dalam arsip keraton. Sedangkan keris milik keraton biasanya disimpan dalam ruangan khususyang disebut Gedong Pusaka.

Keris-keris yang terkenal dan disebut-sebut dalam legenda atau cerita rakyat, yang paling terkenal adalah keris Empu Gandring pada zaman Kerajaan Singasari. Keris itu konon dibuat oleh Empu Gandring atas pesanan Ken Arok untuk membunuh Tunggul Ametung, penguasa Tumapel. Keris terkenal lainnya adalah Kanjeng Kyai Ageng Sengkelat, pusaka Keraton Majapahit yang konon pernah dicuri oleh Adipati Blambangan. Ada lagi keris Kyai Setan Kober yang dipakai oleh Arya Penangsang, sewaktu berperang melawan Danang Sutawijaya, pada awal berdirinya kerajaan Pajang.
Sedangkan di pantai timur Sumatra dan Semenanjung Malaya, yang terkenal adalah keris Si Ginje.

Cara Memakai

Cara mengenakan keris sewaktu seseorang memakai pakaian adat, berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Selain itu dalam satu daerah, kadang-kadang cara  pemakaian itu juga berbeda antara lapisan masyarakat yang satu dengan lainnya, tergantung pada tingkat sosialnya. Dan itu pun harus disesuaikan, pada situasi apa keris itu akan dikenakan. Mengenai tata cara mengenakan keris ini pada setiap daerah, setiap suku bangsa, memang ada aturannya, ada etikanya.

Di Pulau Jawa, misalnya, cara mengenakan keris pada suatu pesta, tidak sama dengan kalau keris itu dikenakan untuk menghadiri suatu acara kematian dan penguburan.

Di Pulau Jawa pada umumnya keris dikenakan orang dengan cara menyelipkannya di antara stagen sejenis ikat pinggang, di pinggang bagian belakang. Yang paling umum, keris itu diselipkan  miring ke arah tangan kanan, namun pada situasi yang lain, lain pula posisi keris itu. Umpamanya, pada situasi perang, kalau yang mengenakan keris itu seorang ulama - keris akan diselipkan di bagian dada, miring ke arah tangan kanan. Misalnya seperti yang dikenakan oleh Pangeran Diponegoro pada gambar-gambar yang dapat kita lihat di buku sejarah.

Di Pulau Bali keris dikenakan dengan cara menyelipkannya pada lipatan kain, di punggung dengan posisi tegak atau miring ke kanan. Tetapi pada situasi yang khusus, cara pemakaiannya juga lain lagi.

Di daerah Minangkabau, Bangkinang, bengkulu, Palembang, Riau, Malaysia, Brunai Darussalam, Pontianak, Sambas, Kutai, Tenggarong, Banjar, Bugis, Goa, Makassar, Luwu, dll, keris  biasanya dikenakan dengan cara menyelipkannya pada lipatan kain sarung, di bagian dada atau perut Si Pemakai, dengan kedudukan serong ke arah tangan kanan. Pada sebagian suku bangsa di Indonesia, mengenakan pakaian adat tanpa keris adalah sesuatu yang aneh, janggal, tidak masuk akal. Barangkali seperti melihat orang Eropa mengenakan jas dan dasi tetapi tanpa sepatu.

Perjodohan

Sebagai benda antik yang banyak penggemarnya, nilai sebilah keris selain ditentukan oleh keindahannya, mutu, dan jenis bahan bakunya, juga oleh umurnya. Pada umumnya, makin tua keris itu, senjata pusaka itu akan makin dihargai. Namun penilaian terhadap mutu sebilah keris bukan hanya berdasar umur, juga keutuhan, serta beberapa faktor lainnya.

Para penggemar keris pada umumnya mempunyai pedoman umum dalam menilai sebuah keris. Pedoman itu adalah tangguh, sepuh, dan wutuh. Yang dimaksudkan adalah, perkiraan asal pembuatan keris itu (tangguh), relatif sudah tua (sepuh), dan belum ada cacat, gripis, aus, atau lepas salah satu bagiannya (wutuh). Selain itu ada pula penggemar keris yang menambah tiga kriteria di atas dengan memperhatikan bahan besinya, bahan pamornya, keindahan bentuknya, serta kebenaran pakem pembuatannya dan wibawa atau pengaruh yang terpancar dari bilah keris itu.

Di beberapa kota di Pulau Jawa ada perhimpunan penggemar dan pecinta tosan aji, terutama keris. Di Surakarta, namanya Boworoso Tosan Aji, setelah itu ada Boworoso Panitikadga. Di Yogyakarta dan Jakarta ada Pametri Wiji, singkatan dari Paheman Memetri Wesi Aji. Kemudian pada tahun 1990, di Jakarta, ada lagi Damartaji, singkatan Persaudaraan Penggemar Tosan Aji. Secara berkala, para pecinta tosan aji dan keris itu mengadakan sarasehan dan diskusi untuk membahas budaya keris dari berbagai segi.

Jual beli dalam dunia perkerisan biasanya diistilahkan dengan perjodohan. Sedangkan harganya, pada umumnya disebut mas kawin. Bilamana sebilah keris diberikan kepada seseorang tanpa mas kawin, Si Penerima keris itu harus memberikan petukan atau jemputan kepada Si Pemberi. Di Malaysia dan Brunai Darussalam, tradisi yang demikian disebut mahar atau imbal, sedangkan di Riau dan Kalimantan Barat juga menggunakan istilah jemputan.

Istilah perjodohan dalam dunia perkerisan timbul karena anggapan sebagian besar pecinta keris bahwa tidak sembarang keris dapat cocok dengan seseorang. Keris yang dianggap sesuai dan cocok bagi Si A, mungkin tidak cocok dipakai oleh si B. Keris yang cocok dan sesuai tuah atau isoterinya, disebut jodoh. Sedangkan istilah mas kawin, timbul karena anggapan bahwa istilah jual beli terlalu rendah dan kasar bila digunakan untuk menyebut adanya transaksi pada sebilah keris. Jadi, jika seseorang akan menanyakan berapa harga sebilah keris, maka ia harus berkata: "Boleh saya tahu berapa mas kawinnya?".

Bahkan, dulu bilamana seseorang menginginkan keris milik orang lain, ia bukan menyatakan hasratnya ingin membeli, melainkan mengatakan ingin melamar keris itu. "Jika diperkenankan, saya ingin melamar keris bapak yang ber-dapur Jalak Sangu Tumpeng dan berpamor Wos Wutah itu..."

Itu semua dilakukan oleh orang yang hidup pada masa dulu, yakni nenek moyang kita, sebagai suatu etika, pengakuan dan penghargaan masyarakat atas tingginya kedudukan di mata masyarakat itu sendiri.

Persinggungan Religi

 Dalam kepercayaan masyarakat Jawa terdapat 5 hal yang menjadi pegangan yaitu:Turangga (kuda), Wanita (perempuan),Curiga (senjata), Wisma (rumah) dan Kukila(burung perkutut). Kesemua hal tersebut mewakili prinsip hidup yang menjadi pegangan dalam budaya Jawa.

Keris—dalam konsep curiga—dipandang mempunyai suatu daya mistis yang lebih besar dari pada jenis senjata yang lain, sehingga memerlukan perlakuan yang berbeda pula. Keris dan senjata lain keramat lainnya atau sebagai pusaka harus dibersihkan (jamasan) setiap periode tertentu dengan upacara-upacara yang khusus pula. Senjata keramat tersebut dianggap mempunyai suatu daya magis, mempunyai roh yang dapat mempengaruhi kehidupan sang pemilik dan bahkan lingkungan sosial di lingkup kekuatan benda keramat tersebut.

Hampir tiap keris sebagai senjata keramat mempunyai kesejarahannya masing-masing. Legenda Si Ginje, dua buah keris yang dijadikan sebagai pengikat perjanjian hubungan antara Mataram dan Kesultanan Jambi. Di masa itu, Kesultanan Jambi harus memberi upeti kepada Mataram. Keris Si Ginje harus terbuat dari besi yang bersumber dari sembilan benda dan tempat yang berbeda yang namanya harus diawali huruf P. Besi, bahan untuk keris harus didapatkan dari hasil curian dan pada saat pembuatannya hanya boleh ditempa setiap Jum’at pertama

G.A.J. Hazeu dalam tulisannya tentang legenda keris mencatat tentang Kyai Tjondong, salah satu pusaka kerajaan Majapahit yang setiap malam keluar sendiri dari sarungnya untuk meminum darah manusia. Sampai pada akhirnya perbuatan keris tersebut diketahui oleh tiga keris pusaka lainnya. Atas titah Raja, para Mpu kemudian dikembalikan ke asalnya. Setelah itu, keris tersebut menyatu dengan lintang kemukus (bintang berekor). Dalam kepercayaan Jawa munculnya lintang kemukus adalah tanda akan terjadinyapageblug (bencana).

Lalu tentang keris Mpu Gandring, ditulis oleh J. Brandes, yang merupakan cikal-bakal hegemoni keris sebagai suatu legitimasi atas sebuah kekuasaan. Keris yang digunakan Ken Arok (pendiri Singosari) untuk membunuh Akuwu Tunggul Ametung dari Tumapel dan merebut istrinya (Ken Dedes). Diawali kejadian Ken arok saat melihat pancaran sinar dari yoni Ken Dedes sebagai pertanda bahwa Ken Dedes bakal menurunkan raja-raja di Jawa. Dari sini terlihat bahwa keris berperanan penting dalam pembentukan falsafah dan kepercayaan Jawa yang pada era Majapahit menguasai hampir seluruh wilayah di Nusantara sehingga falsafah ini kemudian menyebar pula di berbagai wilayah Nusantara lainnya.

Sepeninggal Mpu 

Pada perkembangannya, seni membuat keris kian berkurang sebab para Mpu kebanyakan tidak mewariskan ilmunya. Di Yogyakarta dan Solo, sebenarnya masih terdapat beberapa Mpu yang ahli dalam membuat keris, tapi mereka hanya membuat keris hanya ketika raja atau bangsawan yang memesannya. Di Madura, empo (mpu) juga telah punah. Mpu terakhir di sana adalah Mpu Bratama dari Sumenep yang meninggal sekitar 50 tahun yang lalu (dihitung dari tahun 1930an).

Para bupati sebelum masa itu banyak yang mempunyai pandai besi maupun Mpu yang dikhususkan untuk membuat keris yang akan dipersembahkan pada raja. Tapi akhirnya, mereka beralih profesi menjadi pembuat perkakas di bidang pertanian sebab dibutuhkan banyak orang dan pembuatannya pun cenderung lebih praktis.

Di Magetan Jawa Timur, terdapat Mpu terakhir yang terkenal yakni Mpu Kyai Guna dengan ciri khas mempunyai banyak garis dalam pamornya. Di Madiun, masih terdapat Mpu yang dapat memperbaiki pamor, tepatnya dari Desa Batoe di wilayah Tjaruban, tapi sebagaimana di Yogyakarta dan Solo, ia bergantung pesanan. Demikian juga yang terjadi di Jawa Tengah, kantong-kantong pembuat keris seperti Tegal, Pemalang, dan Banyumas, perlahan memunah.

Begitupun di luar Jawa. Berbagai kemunduran merupakan hal yang menggejala, antara lain di daerah Tulangbawang (kala itu berada di residen Lampung). Di Jambi gejala ini melanda di Dusun Merlung (bagian wilayah Tungkal) yang terkenal dengan seni tempanya. Sementara di Palembang di mana pada masa itu paling tidak masih terdapat dua orang yang ahli dalam tempa pamor, yakni Akim dari kampnng 21 Ilir dan Anang dari kampung 18 Ilir yang pada akhirnya juga mengalami kemunduran. Juga di daerah Malaka, Aceh, maupun Celebes (Sulawesi).

Setidaknya pada era awal abad ke-19 sampai masa tahun 30an inilah kemungkinan terjadi transisi dan tranformasi keris yang cukup mendasar. Revolusi industri di Eropa dan Amerika yang memunculkan era kapitalis membawa pengaruh yang cukup signifikan dalam mengubah paradigma kehidupan masyarakat Hindia Timur yang kala itu berada di bawah pemerintahan Belanda. Perubahan iklim dari tradisional ke modern otomatis mempengaruhi paradigma masyarakat tak terkecuali para pandai besi maupan para mpu yang kemudian lebih berorientasi ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar