Sabtu, 28 Februari 2015

Sejarah Bagelen

Di Jawa Tengah abad VIII – X, ada kerajaan besar, bernama Medang yang terletak di Poh pitu. Kerajaan ini luas, dikenal subur dan makmur. Pusat kekuasaan dibagi menjadi dua; Pertama, negara yang bersifat internasional dengan beragama Budha, diperintah oleh Dinasti Syailendra. Kedua, negara yang diperintah oleh sepupunya yang beragama Syiwa. Kedua kerajaan ini berada dalam satu istana, dan disebut Kerajaan Medang i Bhumi Mataram. 

Berdasarkan prasasti berbahasa Melayu Kuno (Desa Sojomerto, Batang) memperkuat pendapat sejarawan Purbacaraka, bahwa hanya ada satu dinasti saja di Jawa Tengah, yakni Syailendra. Raja Sanjaya yang menganut Syiwa di kemudian hari menganjurkan putranya, Rakai Panangkaran untuk memeluk Budha. Menurut catatan Boechori, epigraf dan arkeolog, Syailendra merupakan penduduk asli Indonesia. Hal ini juga diperkuat oleh prasasti Wanua Tengah III (Temanggung) yang memuat silsilah raja-raja Mataram lengkap dengan tahunnya.


ASAL-MULA RAJA SANJAYA DAN TANAH BAGELEN 

Berdasarkan prasasti Canggal (Sleman) menjelaskan: -ada sebuah pulau bernama Yawadwipa -negeri yang kaya raya akan padi, jewawut, dan tambang emas. -raja pertamanya : Raja Sanna. -setelah dia mangkat, diganti oleh ponakannya: Raja Sri Sanjaya Menurut catatan seorang sejarawan, Raja Sanjaya mendirikan kerajaan di Bagelen, satu abad kemudian dipindah ke Wonosobo. Sanjaya adalah keturunan raka-raka yang bergelar Syailendra, yang bermakna “Raja Gunung“, “Tuan yang Datang dari Gunung“. Atau, “Tuan yang Datang dari Kahyangan“, karena gunung menurut kepercayaan merupakan tempatnya para dewata.

Raja Sanjaya dikenal sebagai ahli kitab-kitab suci dan keprajuritan. Armada darat dan lautnya sangat kuat dan besar, sehingga dihormati oleh India, Irian, Tiongkok, hingga Afrika. Dia berhasil menaklukkan Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Kerajaan Melayu, Kemis (Kamboja), Keling, Barus, dan Sriwijaya, dan Tiongkok pun diperanginya (from “Cerita Parahiyangan“).

Area Kerajaan Mataram Kuno (Bagelen) berbentuk segitiga. Ledok di bagian utara, dikelilingi Pegunungan Menoreh di sisi Barat dan Pegunungan Kendeng di utara dan basisnya di pantai selatan dengan puncaknya Gunung Perahu (Dieng), di lembah Sungai Bagawanta (Sungai Watukura, kitab sejarah Dinasti Tang Kuno 618-906). Catatan dinasti Tiongkok tersebut diperkuat juga oleh Van der Meulen yang menggunakan kitab “Cerita Parahiyangan” dan “Babad Tanah Jawi“.
Bagelen merupakan hasil proses nama yang final. Bermula Galuh/Galih, menjadi Pegaluhan/Pegalihan, menjadi Medanggele, Pagelen, lalu jadilah Bagelen. Dalam prasasti Tuk Mas (Desa Dakawu, Grabag-Magelang) yang menyebut adanya sungai yang seperti sungai Gangga, maka Medang i bhumi Mataram bermakna “Medang yang terletak di suatu negeri yang menyerupai Ibu”(lembah Sungai Gangga). Dieng diasumsikan sebagai Himalaya, Perpaduan Sungai Elo dan Progo disamakan sebagai Sungai Gangga, dan pegunungan Menoreh disamakan sebagai Pegunungan Widiya.

SILSILAH RAJA-RAJA MATARAM KUNO

Pada jaman Mataram Hiindhu, tersebutlah seorang raja yang bijaksana yang bernama Prabu Sowelocolo. Ia memiliki enam orang putra, masing-masing bernama Sri Moho Punggung, Sendang Garbo, Sarungkolo, Tunggul Ametung, Sri Getayu, dan Sri Panuhun.

Sri Panuhun memiliki seorang cucu, anak dari Joko Panuhun atau Joko Pramono yang bernama Roro Dilah atau Roro Wetan yang kemudian dikenal dengan sebutan Nyai Bagelen. Roro Dilah juga dapat disebut dengan Roro Wetan karena kedudukannya di daerah timur. Sri Getayu memiliki cucu dari putra Kayu Mutu bernama Awu-Awu Langit. Ia berkedudukan di Awu-Awu (Ngombol). 
Setelah dewasa, Roro Dilah menikah dengan Raden Awu-Awu Langit dan menetap di Hargopuro atau Hargorojo.

Dari pernikahan tersebut, Roro Dilah atau Roro Wetan dan Pangeran Awu-Awu Langit dianugrahi tiga orang putra, Bagus Gentha, Roro Pitrang dan Roro Taker.

Kesibukan Roro Wetan dan Awu-Awu Langit adalah bertani padi, ketan, dan kedelai, beternak sapi, ayam dan juga menenun. Konon karena tanahnya cocok untuk ditanami kedelai dan hasilnya melimpah maka wilayah tersebut dikenal dengan nama Medang Gelih atau Padelen dan sekarang disebut dengan Bagelen.

Roro Wetan atau Nyai Ageng Bagelen sosoknya tinggi besar dengan rambut terurai dan senang memakai kemben lurik. Beliau memiliki keistimewaan berupa kemampuan spiritualnya dan juga payudaranya yang sangat panjang sehingga ketika putra-putrinya ingin ngempeng, ia tinggal menyampirkan ke belakang.

Pada suatu ketika, Nyai Ageng Bagelen sedang asik menenun. Sebagaimana biasanya, ia menyampirkan payudaranya ke belakang supaya tidak mengganggu. Tidak disangka-sangka datang anak sapi menghampirinya, Nyai Ageng Bagelen mengira itu salah satu putra-putrinya yang ingin ngempeng. Tanpa menghiraukan kedatangan anak sapi tersebut ia terus asik menenun. Terkejutlah ia ketika menoleh, ternyata yang menyusu bukanlah anaknya tetapi anak sapi.

Kejadian tersebut membuat Nyai Ageng Bagelen merasa malu dan marah, sehingga menyebabkan pertengkaran dengan Raden Awu-Awu Langit. Dan akhirnya ia menyampaikan pesan untuk semua anak cucu beserta keturunannya, agar atau jangan tidak memelihara sapi.

Peristiwa yang memilukan atau menyedihkan juga terjadi kembali pada hari Selasa Wage. Pada waktu itu masih musim panen kedelai dan padi ketan hitam. Kedua putrinya Roro Pitrang dan Roro Taker masih senang bermain-main. Namun tidak sebagaimana biasanya, hingga sore hari kedua putri itu tidak kunjung pulang.
Selesai menenun Nyai Ageng Bagelen berusaha mencari. Karena tidak menemukannya, ia menanyakan kepada suaminya. Namun jawaban Raden Awu-Awu Langit sepertinya kurang mengenakan. 

Dengan perasaan marah dan jengkel dibongkar padi ketan hitam dan kedelai di dalam lumbung sehingga isinya berhamburan terlempar jauh hingga jatuh di desa Katesan dan Wingko Tinumpuk.
Betapa terkejutnya Nyai Ageng Bagelen ketika melihat kedua putri kesayangannya terbaring lemas pada lumbung padi tersebut. Setelah didekati ternyata mereka telah meninggal.

Semenjak peristiwa tersebut kehidupan Nyai Ageng Bagelen dengan Raden Awu-Awu Langit selalu diwarnai dengan pertengkaran. Akibatnya Raden Awu-Awu Langit memutuskan untuk pulang ke daerahnya, Awu-Awu, sedangkan Nyai Ageng Bagelen tetap tinggal di Bagelen untuk memerintah negeri.

Suatu ketika terdengar kabar bahwa Raden Awu-Awu Langit meninggal di desa Awu-Awu. Mendengar berita tersebut Nyai Ageng Bagelen merasa sedih dan berpesan kepada Raden Bagus Gentha bahwa anak cucu keturunannya dilarang atau berpantangan untuk bepergian atau jual beli, mengadakan hajad pada hari pasaran Wage, karena pada hari itu saat jatuhnya bencana dan merupakan hari yang naas. Selain itu orang-orang asli Bagelen juga berpantangan untuk menanam kedelai, memelihara lembu, memakai pakaian kain lurik, kebaya gadung melati dan kemben bagau tulis.

Setelah Nyai Ageng Bagelen menyampaikan pesan tersebut kepada Raden Bagus Gentha putranya, ia kemudian masuk ke kamarnya dan lemudian menghilang tanpa meninggalkan bekas atau moksa.

Selain itu Nyai Ageng Bagelen juga mengajarkan kepada anak cucu keturunannya agar melakukan tiga hal, yaitu: bersikap jujur, berpenampilan sederhana dan lebih baik memberi dari pada meminta.
Sepeninggalan Nyai Ageng Bagelen, kedudukan dan pemerintahan Bagelen digantikan oleh Raden Bagus Gentha.



Cerita tentang Nyai Ageng Bagelen

Cerita Legenda tentang Nyai Ageng Bagelen adalah cikal bakal orang-orang / masyarakat Bagelen yang terletak di kabupaten Purworejo Jawa Tengah, Nyai Ageng Bagelen mempunyai nama asli Rara Wetan, dia adalah putri yang cantik jelita, pintar di bidan kerajinan tenun, suka bertani, dan suka bersemedi atau tapa brata, dia merupakan putri dari salah satu toko yang sangat terkenal di kukuban Bagelen yaitu Jaka Panuntun.

Diceritakan Jaka Panuntun adalah Putra dari Raden Panularan salah satu jagal dan ahli deres / mengambil sari dari buah nira, Raden Panularan putra Prabu Kandhidawa dari Negara Karipan, sedang Prabu Kandhidawa adalah Putra Prabu Daniswara dari Negara Medhangkamulan, jadi Rara Wetan adalah memang masih keturunan dari trah Kerajaan yang dihormati.

Banyak para pemuda yang kasmaran kepada kecantikan Nyai Ageng Bagelen atau Rara Wetan, dan ingin mempersuntingya, Tumenggung Wingko adalah salah satu penguasa di daerah Wingko juga tertarik untuk mempersuntingnya, maka beliau mengutus utusan untuk melamarnya, akan tetapi lamaran Tumenggun Wingko ditolak oleh Ayahnya Rara Wetan yaitu Jaka Panuntun dengan alasan Rara wetan belum siap untuk berumah tangga, Tumenggung Wingko tidak terima dengan penolakan tersebut, sehingga dengan diam-diam menculik Rara Wetan untuk dibawa ke Wingko.

Begitu tau Rara Wetan diculik, Jaka Panuntun lalu menuduh Tumenggung Wingko sehingga terjadi peprangan, dalam perang tanding Jaka Panuntun melawan Tumenggung Wingko, Jaka Panuntun mengalami kekalahan, tubuhnya terlempar dan tak sadarkan diri, dikira Jaka Panuntun sudah tewas, lalu dibuang ke sungai yang dahulu menuju ke sebuah telaga, tubuh Jaka Panuntun  terbawa arus sungai ikut aliran air.

Jaka Awu-awu Langit dan Adipat Kayumunthu saat itu dengan menggunakan sampan dari arah selatan, melihat ada sesosok tubuh hanyut lalu dengan segera memberikan pertolongan, dan selanjutnya tubuh Jaka Panuntun di angkat ke sampan dan di beri pengobatan sehingga bisa tertolong.

Jaka Panuntun lalu menceritakan semua kejadian tersebut kepada Jaka Awu-awu Langit dan Adipati Kayumunthu, mendengar cerita dari Jaka Panuntun, Jaka Awu-awu Langit lalu mempunyai sebuah siasat untuk membunuh Tumenggung Wingko yang sudah menerjang aturan, diceritakan Tumenggung Wingko memang sakti mandraguna, sehingga Jaka Awu-awu Langit perlu siasat untuk menghabisinya yaitu dengan berpura-pura mengajak sabung ayam.

Di babak pertama belum terlihat siapa yang menang dan siapa yang kalah, ayam Jaka Awu-awu Langit mempunyai jalu yang cukup tajam, diceritakan tajamnya jalu ayam Jaka Awu -awu Langit mampu membelah batu yang di hantamnya, batu tersebut sekarang tersimpan di dalam masjid di Desa Awu-awu, sesudah istirahat pertama selesai, sabung ayam kembali di lanjutkan, di babak kedua suasana sabung ayam tersebut bertambah ramai oleh sorak sorai para warga dan punggawa yang memenuhi arena sabung ayam tersebut, dan saat – saat puncak keramaian tersebut, Jaka Awu-awu Langit menyerang Tumenggung Wingko dengan tiba-tiba, sehingga tanpa perlawanan yang berarti tumenggung Wingko tewas di arena sabung ayam tersebut, dan punggawa yang lain begitu melihat Tumenggung wingko tewas meraka tidak mampu untuk memberikan perlawanan karena memang tiada persiapan.

Rara Wetan lalu dikembalikan ke Bagelen ke pangkuan Jaka Panuntun, Jaka Panuntun merasa berhutang budi kepada Jaka Awu-awu Langit, lalu Rara Wetan di nikahkan dengan Jaka Awu-aw Langit, keduanya hidup berdampingan dalam kebahagiaan rumah tangga, dan diberikan tiga orang putra, yang pertama putra di beri nama Bagus Gentho, yang kedua putri di beri nama Rara Pitrah, dan yang terakhir juga putri di beri nama Rara Taker.

Dalam ceritanya Nyai Ageng Bagelen mempunyai payudara panjang, waktu Nyai Ageng sedang bekerja ( menenun ) payudaranya di hisap oleh anak sapi ( pedhet ) piaraan Bagus Gentho dari belakang, perasaan Nyai Ageng yang menghisap adalah salah satu dari puteranya maka dibiarkan saja, akan tetapi lama kelamaan di rasa oleh Nyai Ageng tidak seperti biasanya, maka Nyai Ageng menoleh kebelakang, dan terkejut bukan kepalang Nyai Ageng ternyata yang menete ternyata adalah pedhet ( anak sapi ), akhirnya karena saking marahnya, pedhet tersebut di pukulinya sampai mati.


1 komentar:

  1. Main judi sabung ayam di BOLAVITA paling nyaman dengan presentase kemenangan tertinggi
    Untuk info lebih lanjut bisa melalui:
    whatup : 08122222995
    BBM: D8C363CA
    Wechat : Bolavita.
    Line : Cs_bolavita.
    BBM: D8C363CA

    BalasHapus