Jumat, 17 April 2015

Manaqib Syaikh Dzatul Kahfi dan Sejarah Masjid Merah Panjunan

Syekh Datuk Kahfi (dikenal juga dengan nama Syekh Idhofi atau Syekh Nurul Jati atauSyekh Nurjati atau Syekh Nurijati) adalah tokoh penyebar Islam di wilayah yang sekarang dikenal dengan Cirebon dan leluhur dari Pembesar Sumedang.
Dia pertama kali menyebarkan ajaran Islam di daerah Amparan Jati. Syekh Datuk Kahfi merupakan buyut dari Pangeran Santri (Ki Gedeng Sumedang), penerus penguasa diKerajaan Sumedang Larang, Jawa Barat, dan putera dari Syekh Datuk Ahmad. Ia juga merupakan keturunan dari Amir Abdullah Khan.

Setelah Syekh Datuk Kahfi menuntut ilmu di Mekah, Syekh Nurjati mencoba mengamalkan ilmu yang diperoleh dengan mengajarkannya di wilayah Bagdad. Di Bagdad Syekh Nurjati menikah dengan Syarifah Halimah, putri dari Ali Nurul Alim putra dari Jamaluddin Akbar al-Husaini dari Kamboja, yang merupakan putra dari Ahmad Shah Jalaludin, putra Amir Abdullah Khanudin. Jadi, Syekh Nurjati menikah dengan saudara secicit.

Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai empat orang anak, yakni :

1- Syekh Abdurrohman yang kelak di Cirebon bergelar Pangeran Panjunan (ayah Pangeran Tubagus Angke, dan Pangeran Pamelekaran kakek Pangeran Santri),
2- Syekh Abdurochim (kelak bergelar Pangeran Kejaksan),
3- Fatimah (yang bergelar Syarifah Bagdad menikah dengan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati), dan
4+ Syekh Datul Khafid (kadang-kadang disebut juga sebagai Syekh Datul Kahfi, sehingga membuat rancu dengan sosok ayahnya yaitu Syekh Datuk Kahfi, atau Syekh Nurjati di beberapa manuskrip yang lebih muda umurnya, contohnya Babad Cirebon Keraton Kasepuhan).

Keempat anak tersebut dijamin nafkahnya oleh kakak Syarifah Halimah, Syarif Sulaiman yang menjadi raja di Bagdad. Syarif Sulaiman menjadi raja di Bagdad karena menikahi putri mahkota raja Bagdad.

Keterkaitan Syekh Quro dengan Syekh Nurjati

Makam Syekh Quro yang terletak diPura Karawang

Syekh Quro merupakan utusan Raja Campa. Secara geneologis, Syekh Quro dan Syekh Nurjati adalah sama-sama saudara seketurunan dari Amir Abdullah Khanudin generasi keempat. Syekh Quro datang terlebih dahulu ke Amparan bersama rombongan dari angkatan laut Cina dari Dinasti Ming yang ketiga dengan Kaisarnya, Yung Lo (Kaisar Cheng-tu). Armada angkatan laut tersebut dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Tay Kam. Mereka mendarat di Muara Jati pada tahun 1416 M. 

Mereka semua telah masuk Islam. Armada tersebut hendak melakukan perjalanan melawat ke Majapahit dalam rangka menjalin persahabatan. Ketika armada tersebut sampai di PuraKarawang, Syekh Quro (Syekh Hasanudin) beserta pengiringnya turun. Syekh Quro pada akhirnya tinggal dan menyebarkan ajaran agama Islam di Karawang. Kedua tokoh ini dipandang sebagai tokoh yang mengajarkan Islam secara formal yang pertama kali di Jawa Barat. Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di Cirebon. Ketika armada Cheng Ho singgah di Pura Karawang, Syekh Quro dan pengiringnya turun, di antara pengiringnya adalah putranya yang bernama Syekh Bentong alias Kiyai Bah Tong alias Tan Go Wat.

Keharmonisan dakwah antara Cirebon dan Karawang

Cucu Syekh Ahmad dari Nyi Mas Kedaton, bernama Musanudin. Kelak Musanudin menjadilebai di Cirebon, memimpin Masjid Agung Sang Cipta Rasa pada masa pemerintahan Susuhunan Jati (Sunan Gunung Jati). Sedang Syekh Ahmad merupakan anak dari Syekh Quro dengan Ratna Sondari, putri Ki Gedeng Karawang.

Puteri Karawang memberikan sumbangan hartanya untuk mendirikan sebuah masjid di Gunung Sembung (Nur Giri Cipta Rengga) yang bernama Masjid Dog Jumeneng/ Masjid Sang Saka Ratu, yang sampai sekarang masih digunakan dan terawat baik.

Pengangkatan juru kunci di situs makam Syekh Quro dikuatkan oleh pihak Keraton Kanoman Cirebon.

Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang

Di kampung Pesambangan, Syekh Nurjati melakukan dakwah Islam. Karena menggunakan cara yang bijaksana dan penuh khidmat dalam mengajarkan agama Islam, maka dalam waktu relatif singkat pengikutnya semakin banyak, hingga akhirnya pengguron kedatangan Pangeran Walangsungsang beserta istrinya Nyi Indang Geulis/ Endang Ayu dan adiknya, Nyi Mas Ratu Rarasantang yang bermaksud ingin mempelajari agama Islam.

Mereka adalah cucu dari syahbandar pelabuhan Muara Jati dari jalur ibunya. Kedatangan mereka ke Gunung Jati di samping melaksanakan perintah ibundanya sebelum meninggal, juga bermaksud sungkem kepada eyangnya Ki Gedeng Tapa. Kepergian mereka ke Pangguron Gunung Jati tanpa seizin ayah mereka, Prabu Siliwangi. KarenaPrabu Siliwangi kembali memeluk agama Budha setelah Nyi Subang Larang meninggal dunia. Tetapi kedua putra-putrinya itu sudah dididik dan diberi petunjuk oleh almarhum ibunya agar memperdalam agama Islam di Pangguron Gunung Jati. Akhirnya mereka pun menuntut ilmu dan memperdalam agama Islam, menjadi santri Syekh Nurjati di Pesambangan Jati. Pada saat mereka bertiga diterima menjadi santri baru, Syekh Nurjati berdoa,  “ Wahai Tuhan kami, jadikanlah kami orang-orang yang menghidupkan agama Islam mulai hari ini hingga hari kemudian dengan selamat. Amin.”

Diantara murid-muridnya, murid yang tercatat sangat cerdas adalah Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang. Walaupun keduanya telah menjadi muslim sejak kecil, dan belajar ke Syekh Quro, tetapi ketika datang ke pesantren Syekh Nurjati keduanya dan Nyi Indang Geulis (istri Pangeran Walangsungsang), tetap diminta kembali mengucapkan kedua kalimah syahadat. Syekh Nurjati memberi pelajaran kepada mereka mulai dari yang sangat dasar (rukun Islam), tentang pelajaran tauhid sebagai dasar pondasi keimanan. 

Mengapa Syekh Nurjati melakukan metode pengajaran seperti kepada orang yang baru mengenal ajaran dasar Islam? Menururt Besta Basuki Kertawibawa, kemungkinan ada keraguan pada Syekh Nurjati terhadap kadar keimanan dan pengetahuan ketiganya tentang agama Islam. Hal ini dikarenakan Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rara Santang adalah putra-putri dari Raja Pajajaran yang beragama Hindu - Budha. Selain itu, pengalaman mereka tentang agama Islam masih dalam tahapan pemula. 

Hubungan keluarga dengan Syekh Siti Jenar dan Adipati Kuningan

Syekh Nurjati ketika lahir dikenal dengan nama Syekh Datuk Kahfi, putra dari Syekh Datuk Ahmad, seorang ulama besar. Syekh Datuk Ahmad putra dari Maulana Isa, yang juga seorang tokoh agama yang berpengaruh pada jamannya. Syekh Datuk Ahmad mempunyai adik yang bernama Syekh Datuk Sholeh, ayahanda dari Syekh Siti Jenar (Abjul Jalil). 

Syekh Datuk Kahfi memiliki dua orang adik, yaitu laki-laki Syekh Bayanullah atau Syekh Maulana Akbar yang mempunyai pondok di Mekah, yang kemudian mengikuti jejak kakaknya berdakwah di Cirebon, Syekh Bayanullah memiliki putra Syekh Maulana Arifin menikah dengan Nyai Ratu Selawati dari pernikahannya dikaruniai putri Nyi Mas Kencanawati yang menikah dengan Adipati Kuningan putra Ki Gedeng Luragung (seorang kepala daerah diLuragung) yang masih saudara sepupu Nyai Ratu Selawati (putri Pangeran Surawisesa cucu Prabu Siliwangi).

Dan seorang adik Syekh Datuk Kahfi wanitanya menikah dengan Raja Upih Malaka. Lalu dari perkawinan tersebut lahir lah seorang putri yang kelak menikah dengan Dipati Unus dari Demak.

Silsilah Syaikh
Di bawah ini merupakan silsilah Syekh Datuk Kahfi yang bersambung dengan Sayyid Alawi bin Muhammad Sohib Mirbath hingga Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi (Hadramaut,Yaman) dan seterusnya hingga Imam Husain, cucu Nabi Muhammad SAW.

Nabi Muhammad SAW, berputeri
Sayidah Fatimah az-Zahra manikah dengan Imam Ali bin Abi Thalib, berputera
Imam Husain a.s, berputera
Imam Ali Zainal Abidin, berputera
Muhammad al-Baqir, berputera
Imam Ja'far ash-Shadiq, berputera
Ali al-Uraidhi, berputera
Muhammad al-Naqib, berputera
Isa al-Rumi, berputera
Ahmad al-Muhajir, berputera
Ubaidillah, berputera
Alawi, berputera
Muhammad, berputera
Alawi, berputera
Ali Khali' Qosam, berputera
Muhammad Shahib Mirbath, berputera
Sayid Alwi, berputera
Sayid Abdul Malik, berputera
Sayid Amir Abdullah Khan (Azamat Khan), berputera
Sayid Abdul Kadir, berputera
Maulana Isa, berputera
Syekh Datuk Ahmad, berputera
Syekh Datuk Kahfi

Sebagai guru Putra Pajajaran

Syekh Datuk Kahfi merupakan guru dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai Rara Santang (Syarifah Muda'im), yaitu putera dan puteri dari Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), raja Kerajaan Pajajaran, Jawa Barat. Syekh Datuk Kahfi wafat dan dimakamkan di Gunung Jati, bersamaan dengan makam Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), Pangeran Pasarean, dan raja-raja Kesultanan Cirebon lainnya.

Syekh Nurjati adalah tokoh utama penyebar agama Islam yang pertama di Cirebon. Tokoh yang lain adalah Maulana Magribi, Pangeran Makhdum, Maulana Pangeran Panjunan, Maulana Pangeran Kejaksan, Maulana Syekh Bantah, Syekh Majagung, Maulana Syekh Lemah Abang, Mbah Kuwu Cirebon (Pangeran Cakrabuana), dan Syarif Hidayatullah. Pada suatu ketika mereka berkumpul di Pasanggrahan Amparan Jati, dibawah pimpinan Syekh Nurjati. Mereka semua muri-murid Syekh Nurjati. Dalam sidang tersebut Syekh Nurjati berfatwa kepada murid-muidnya :

“Wahai murid-murid ku, sesungguhnya masih ada suatu rencana yang sesegera mungkin kita laksanakan, ialah mewujudkan atau membentuk masyarakat Islamiyah. Bagaimana pendapat para murid semuanya dan bagaimana pula caranya kita membentuk masyarakat islamiyah itu?”.

Para murid dalam sidang mufakat atas rencana baik tersebut. Syarif Hidayatullah berpendapat bahwa untuk membentuk masyarakat islam sebaiknya diadakan usaha memperbanyak tabligh di pelosok dengan cara yang baik dan teratur. Pendapat ini mendapat dukungan penuh dari sidang, dan disepakati segera dilaksanakan. Sidang inilah yang menjadi dasar dibentuknya organisasi dakwah dewan Walisongo.

Sejarah Masjid Panjunan 


Masjid Panjunan atau Masjid Merah Panjunan adalah sebuah masjid tua yang berada di Desa Panjunan, Lemahwungkuk, Cirebon.

Masjid ini merupakan sebuah masjid berumur sangat tua yang didirikan pada tahun 1480 ole‎h Syarif Abdurrahman atau Pangeran Panjunan putra Syaikh Datuk Kahfi. Beliau datang ke Cirebon sepulang dari belajar di Tanah Arab dan ‎memimpin sekelompok imigran dari Baghdad, dan kemudian menjadi murid Sunan Gunung Jati. Masjid Merah Panjunan terletak di sebuah sudut jalan di Kampung Panjunan, kampung dimana terdapat banyak pengrajin tembikar atau jun.

Masjid Merah Panjunan merupakan salah satu masjid tua di kota Cirebon. Awalnya masjid ini bernama Al-Athya yang artinya dikasihi Disebut masjid merah karena memang hampir keseluruhan bangunan masjid ini berbalut warna merah. Dan nama Panjunan pada nama masjid ini merujuk kepada nama Pangeran Panjunan pendiri masjid ini yang dikemudian hari nama yang sama juga menjadi nama desa tempat masjid ini berada.

Pangeran Panjunan bernama asli Maulana Abdul Rahman, nama Panjunan yang disandangnya merupakan gelaran atas profesi yang digelutinya sebagai pembuat Anjun atau Gerabah porselen. Profesi yang cukup lama ditekuni oleh keturunannya yang tinggal di desa Panjunan sampai ahirnya perlahan terkikis tinggal kenangan menjadi sebuah nama desa.

Awalnya masjid ini merupakan tajug atau Mushola sederhana, karena lingkungan tersebut adalah tempat bertemunya pedagang dari berbagai suku bangsa, Pangeran Panjunan berinisiatif membangun Mushola tersebut menjadi masjid dengan perpaduan budaya dan agama sejak sebelum Islam, yaitu Hindu – Budha.

Masjid Merah Panjunan ini telah dimasukkan sebagai benda cagar budaya.

Konon pembangunan masjid tersebut di-arsiteki oleh Pangeran Losari.

Pembangunan Tajug atau Mushola sederhana tersebut sebagai tempat ibadah bagi para pedagang dari berbagai suku bangsa yang bertemu dan bertransaksi disana. Selain untuk beribadah, awalnya masjid ini juga menjadi tempat berbagi ilmu Wali Songo atau antara Wali Songo, terutama Sunan Gunung Jati, dengan Pangeran Panjunan. Gaya bangunannya sendiri merupakan perpaduan budaya dan agama sejak sebelum Islam, yaitu Hindu – Budha. Dan juga turut dipengaruhi oleh gaya Jawa dan Cina.

Pagar Kutaosod yang mengelilingi masjid ini dan terbuat dari susunan bata merah merupakan hasil pembangunan tahun 1949 oleh panembahan Ratu (Cicit Sunan Gunung Jati)berikut pembuatan pintu masuk di bangun sepasang candi bentar dan pintu panel Jati Berukir. Pada tahun 1978 masyarakat setempat membangun menara di halaman depan sebelah selatan sementara candi bentar dan pintu panel dibongkar. Renovasi terahir dilakukan oleh dinas kebudayaan dan pariwisata provinsi Jawa Barat yang melakukan penggantian atap sirap tahun 2001-2002.

Bangunan lama mushala itu berukuran 40 meter persegi saja, kemudian dibangun menjadi berukuran 150 meter persegi karena menjadi masjid.

Meskipun pendiri Masjid Merah Panjunan adalah seorang keturunan Arab, dan Kampung Panjunan adalah merupakan daerah permukiman warga keturunan Arab, namun pengaruh budaya Arab terlihat sangat sedikit pada arsitektur bangunan Masjid Merah Panjunan ini. Barangkali ini adalah sebuah pendekatan kultural yang digunakan dalam penyebaran Agama Islam pada masa itu.

Arsitektural Masjid Merah Panjunan

Masjid Merah Panjunan termasuk bangunan ukuran kecil dengan jarak antara lantai dan atap yang rendah seperti rumah-rumah tua di Jawa.Bangunan utamanya berukuran 25 x 25 m memiliki halaman yang sangat sempit. Lantai keramik berwarna merah marun, Gerbang dan dinding bata merah sangat mencolok dan tak lazim sebagai bangunan masjid, batu bata sangat lumrah dipakai untuk membuat candi.

Masjid Merah disokong 17 tiang penyangga yang melambangkan 17 rakaat dalam salat. Empat dari 17 tiang penyangga itu ada empat sokoguru yang merupakan penyangga utama sebagai simbol empat imam dalam hukum atau syariat Islam. Mereka adalah Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Syafi'i, dan Imam Hanafi.

Ujung setiap tiang penyokong itu berbentuk bintang dengan delapan bunga. Hal itu membuktikan adanya pengaruh arsitektur Arab pada masjid itu. Bintang itu melambangkan delapan lafal selawat yang diajarkan Rasulullah.

Hiasan piring keramik menempel pada dinding bagian dalam masjid baik bagian kiri, sisi kanan, maupun bagian depan. Konon, piring-piring keramik itu berasal dari Cina. Selain menandakan hubungan Kerajaan Cirebon dengan Cina pada masa lalu, itu menyimbolkan bahwa ajaran Islam tidak hanya berkembang di tanah air.

Meskipun bentuk dan tinggi pagar sama, hiasan pada dinding pagar ini beda motif. Dinding kanan pintu masuk Masjid Merah dihiasi motif batik, sedangkan dinding pagar kiri polos tanpa hiasan. Dinding itu memang sengaja dibangun demikian dan memiliki makna khusus.

"Di luar orang boleh berbeda, tetapi ketika memasuki ke masjid, semua orang satu tujuan. Di dalam masjid, setiap orang harus berhati bersih dan punya satu tujuan yang sama untuk menghadap Allah,"  Filosofi itu pun mewakili perbedaan karakter Wali Songo (sembilan wali). Namun, mereka toh tetap bersatu, berkumpul, dan berdiskusi tentang ajaran Islam.

Dinding masjid masih dipertahankan agar tetap tampak warna asli, merah tanah liat. dinding pagar dan dinding masjid merah tanah liat masjid selalu dipertahankan karena dua alasan. Pertama, merah liat itu melambangkan keberanian Pangeran Panjunan serta Wali Songo untuk mengambil keputusan.

Selain itu, merah liat sebagai ciri khas dari masjid tersebut, sehingga disebut Masjid Merah. Dari beranda masjid, ada satu pintu utama dengan ukuran kecil, hal itu mengingatkan agar orang yang masuk ke masjid menanggalkan kesombongnya dan dengan rendah hati menghadap Allah. Hal itu dipertegas dengan adanya tulisan kalimat Syahadat yang digantung sebelum pintu itu. Namun, tulisan itu baru menjadi tambahan sekitar 1980-an.

Meskipun masjid ini difungsikan hanya untuk tempat shalat sehari-hari, tidak dipakai untuk ibadah shalat Jumat. Namun pada saat bulan suci Ramadhan tiba, masjid ini banyak dikunjungi para peziarah. Selain itu, menu kopi arab dan makanan ringan khas Cirebon dan Arab menjadi suguhan wajib saat waktu berbuka tiba.

Arsitektur Masjid Panjunan merupakan perpaduan budaya Hindu, Cina, dan Islam. Sekilas masjid ini tidak seperti masjid pada umumnya karena memang bentuk bangunannya menyerupai kuil hindu, adanya mihrab yang membuat bangunan Masjid Merah Panjunan ini menjadi terlihat seperti sebuah masjid, serta adanya beberapa tulisan berhuruf Arab pada dinding. Beberapa keramik buatan Cina yang menempel pada dinding konon merupakan bagian dari hadiah ketika Sunan Gunung Jati menikah dengan Tan Hong Tien Nio.

Ruangan utama Masjid Merah Panjunan langit-langitnya ditopang oleh lebih dari lima pasang tiang kayu. Umpak pada tiang penyangga juga memperlihatkan pengaruh kebudayaan lama. Sementara keramik yang menempel pada dinding memperlihatkan pengaruh budaya Cina dan Eropa.

Pada bagian mihrab dihiasi dengan keramik yang indah. Lengkung pada mihrab pun yang berbentuk paduraksa juga memperlihatkan pengaruh budaya lama. Di Masjid Merah Panjunan ini tidak ada mimbar, karenanya hanya digunakan untuk sholat sehari-hari, tidak untuk ibadah sholat Jumat, atau sholat berjamaah di Hari Raya Islam.

Tampak muka Masjid Merah Panjunan yang terbuat dari susunan batu bata merah yang pintu gapuranya memperlihatkan pengaruh Hindu dari zaman Majapahit yang banyak bertebaran di daerah Cirebon. Gapura yang susunan batanya berwarna merah memberikan nama tengah kepada masjid ini. Adalah Panembahan Ratu yang merupakan cicit Sunan Gunung Jati yang membangun tembok keliling bata merah setinggi 1,5 m dan ketebalan 40 cm pada tahun 1949.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar