Jumat, 17 April 2015

Jejak Sultan Banten Di Gunung Karang

Gunung Karang terletak di Pandeglang, Banten, Indonesia. Gunung ini masuk kedalam kelompok Stratovolcano yang memiliki potensi meletus. Gunung Karang memiliki ketinggian 1778 Mdpl dengan Puncaknya yang bernama Sumur Tujuh, dan gunung ini juga menjadi lokasi wisata ziarah favorit di Provinsi Banten.

Pendakian Gunung Karang 

Gunung Karang saat ini telah dilirik oleh banyak orang untuk melakukan kegiatan pendakian, walau gunung ini terbilang tidak terlalu tinggi namun tantangan dalam menyusuri jalan menuju puncak menjadi tantangan tersendiri. Pada umumnya jalur pendakian Gunung Karang yang diketahui ada 2 jalur, yang pertama melewati Desa Kaduengang, yang kedua Jalur Pagerwatu/Ciekek. Namun apabila melihat pendakian dalam rangka wisata ziarah, ada jalur lain yaitu Jalur Curug Nangka/Ciomas.

Kaduengang, Jalur Barat
Jalur Kaduengang merupakan jalur pendakian paling digemari oleh para pendaki karena trek menuju puncak lebih pendek namun memiliki trek begitu menantang. Di dusun ini juga para pendaki dapat melihat indahnya gemerlap kota Serang dan Pelabuhan Merak. Waktu tempuh dari Kaduengang biasanya akan mengahabiskan 4 - 6 jam untuk mencapai Puncak Sumur Tujuh tergantung kondisi cuacanya. Setelah anda datang ke Dusun Kaduengang, pendakian dimulai dengan jalan desa yang menanjak, pos 1 ditandai dengan adanya menara tower dekat rumah salah satu sesepuh yang dapat pendaki minta untuk memimpin berziarah, karena sebelum melanjutkan pendakian disarankan agar berziarah terlebih dahulu ke makam Pangeran TB. Jaya Raksa, makam tersebut berada tepat di sebelah kanan jalur pendakian.

Pos 1 (Menara)
Pos 2 (Hutan 1)
Pos 3 (Tanah Gelap)
Pos 4 (Tanah Petir)
Pos 5 (Hutan 2/Anggrek) akan ada persimpangan di pos ini, arah kanan menuju Curug Nangka/Ciomas dan arah kiri menuju Puncak.

Gunung Karang memiliki hutan hujan tropis, di Jalur Kaduengang ini kawasan hutan terbagi menjadi 2, Hutan 1 dan Hutan 2. Hutan 1 merupakan hutan yang tidak terlalu lebat, letaknya masih disekitar ladang penduduk. Sedangkan Hutan 2, merupakan kawasan hutann lindung, dalam hutan ini banyak ditemui tumbuhan anggrek hampir sepanjang jalan, dan juga di hutan ini sering tertutup kabut tebal, keadaan yang lembab dan dipenuhi akar-akar pohon besar menghiasi perjalanan ketika memasuki hutan 2 ini.

Pagerwatu/Ciekek, Jalur Selatan
Jalur Pagerwatu/Ciekek tidak terlalu menjadi favorit bagi para pendaki, walaupun kondisi trek dari jalur ini cukup lebih landai daripada via Kaduengang namun membutuhkan waktu yang lebih lama sekitar 7 - 8 jam untuk menuju puncak.

Curug Nangka/Ciomas
Jalur ini sangat tidak populer bagi para pendaki, karena jalur ini merupakan jalur para peziarah yang akan menuju Puncak Gunung Karang. jalur ini cukup jauh karena dimulai dari bawah lereng dan memerlukan waktu sekitar 20 jam - 1 hari perjalanan untuk mencapai puncak.

Sejak terbentuknya Provinsi Banten, pemerintah setempat menggalakkan promosi wisata. Dan, Gunung Karang menjadi salah satu objek wisata yang diharapkan mampu menarik wisatawan dengan potensi wisata spiritual yang dimilikinya. Sebelumnya, wisata Banten bertumpu pada kawasan wisata spiritual peninggalan Sultan Banten yang terletak di Banten Lama, Kabupaten Serang. Di tempat itu, para wisatawan biasanya mengunjungi Benteng Surosowan, Mesjid Agung, Klenteng Kuno, dan kompleks makam keluarga Sultan Hasanudin.

Legenda Gunung Karang 

Di atas Gunung Karang ini ada keajaiban alam yang mungkin jarang di temukan di tempat-tempat yang lain. Pada umumnya sebuah mata air sering kita jumpai di kawasan lereng atau di kaki sebuah gunung, namun sungguh kuasa Allah Swt di Gunung Karang mata air itu benar-benar muncul di puncang gunung tersebut. Mata air tersebut muncul menjadi 7 (tujuh) sumber, yang oleh penduduk sekitar disebut dengan nama “sumur tujuh”.
Ada keyakinan yang muncul dalam masyarakat, bahwa air sumur tujuh mempunyai khasiat  yaitu untuk membersihkan diri dari gangguan energi-energi negative. Caranya adalah dengan berdoa dan mandi keramas di sumber air tersebut. 

Usul punya usul, sejarah sumur tujuh gunung karang adalah bermula dari pada penaklukan Batara Pucuk Umun oleh Sultan Banten Maulana Hasanudin. Pada Suatu hari Syarif Hidayatullah yang terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati berucap kepada putranya “Hai Anakku Hasanuddin, sekarang pergilah engkau dari Cirebon dan carilah negeri yang penduduknya belum memeluk Islam”. Lalu setelah mendengar titah orang tua beliau, maka berangkatlah beliau seorang diri ke arah barat.

Setelah setengah perjalanan beliaupun mendaki gunung Munara yang terletak diantara Bogor dan Jasinga. Dan beliau bermunajat selama 14 hari meminta kepada Allah SWT supaya mendapat petunjuk. Dalam munajatnya datanglah sang ayah Sunan Gunung Jati lalu berucap “Hai anakku Hasanuddin, turunlah engkau dari Gunung Munara dan berjalanlah engkau ke arah barat ke Gunung Pulosari, yaitu negeri Azar. Negeri Azar adalah negerinya Pucuk Umun yang dinamai Ratu Azar Domas. Lalu pergilah ke Gunung Karang yaitu negerinya Azar”. Setelah berbicara ayahanda beliau kembali ke Cirebon.

Setelah mendapat petunjuk, akhirnya beliaupun turun gunung dan akhirnya berhenti di negeri Banten Girang yakni di sungai Dalung. Disana adalah tempat bersemedinya Ki Ajar Jong dan Ki Ajar Ju, beliau berdua adalah saudara Ratu Pakuan dan Ratu Pajajaran. Ratu Pakuan dinamai Dewa Ratu dan Ratu Pajajaran dinamai Prabu Siliwangi. Sebelumnya Ki Ajar Ju dan Ki Ajar Jong telah diberi mimpi bertemu dengan Maulana Hasanuddin dan kemudian memeluk Islam dalam mimpi mereka berdua. Maka, sesampainya Maulana Hasanuddin di Banten Girang dan duduk disisi sungai Dalung, keluarlah Ki Ajar Jong dan Ki Ajar Ju dari dalam Gua tempat pertapaan beliau berdua, lalu bersalaman dan mencium tangan Maulana Hasanuddin setelah bercerita akhirnya beliau berdua diajari membaca syahadat oleh Maulana Hasanuddin dan keduanya bertekad bulat memeluk Islam.

Akhirnya oleh Maulana Hasanuddin kedua santrinya ini diganti namanya dari Ajar Jong menjadi Mas Jong dan Ajar Ju diganti menjadi Agus Ju dan Maulana Hasanuddinpun memberikan arahan kapada keduanya apabila memiliki keturunan maka diharapkan keduanya memberikan ciri dalam nama keturunan keduanya. Kepada Mas Jong, Maulana Hasanuddin berkata “Apabila suatu saat kamu mempunyai anak, maka berilah nama anak laki-lakimu yang tertua dengan tambahan Mas dan yang termuda Entul dan apabila memiliki anak perempuan berilah nama Nyi Mas”. Dan kepada Agus Ju, Maulana Hasanuddin berkata “Apabila kelak satu saat kamu mempunyai anak, maka berilah tambahan pada nama anak laki-lakimu yang tertua Ki Agus dan yang termuda Ki Entul dan apabila memiliki anak perempuan berilah nama Nyi Ayu”. Demikianlah sejarah keturunan nyi mas, nyi ayu, entul, ki agus dan mas yang berasal dari keturunan santri Maulana Hasanuddin ini.

Selanjutnya Mas Jong dan Agus Ju diperintah oleh Maulana Hasanuddin untuk menaklukkan Ratu Pakuan dan Ratu Pajajaran, maka berangkatlah Mas Jong dan Agus Ju sesuai titah Maulana Hasanuddin.

Ditempat berbeda Ratu Pakuan dan Ratu Pajajaran telah mengetahui akan kedatangan saudara-saudara mereka yang akan menaklukkan mereka, maka sebelum Mas Jong dan Agus Ju datang, Ratu Pakuan dan Ratu Pajajaran kabur dari tempat semedi dan berkumpul ke Gunung Pulosari tempat Pucuk Umun berada. Setibanya ditempat semedinya Ratu Pakuan dan Ratu Pajajaran, Mas Jong dan Agus Ju-pun tidak mendapati Ratu Pakuan atau Ratu Pajajaran berada di tempat semedi keduanya, maka Mas Jong dan Agus Ju-pun kembali ke Banten Girang untuk menemui Maulana Hasanuddin dan melaporkan bahwa Ratu Pakuan atau Ratu Pajajaran tidak ada dan telah menghilang dari tempat semedi keduanya. Mendengar laporan dari keduanya tentang keberadaan Ratu Pakuan atau Ratu Pajajaran yang tidak di ketahui. Maulana Hasanuddin pun berkata kepada santri beliau ini “Mari kita datangi saja ke Gunung Pulosari, kalian ikuti langkahku”. Maka keduanyapun mengikuti seperti apa yang disarankan Maulana Hasanuddin kepada mereka bedua.

Maka berangkatlah mereka bertiga menuju Gunung Pulosari, Di Gunung Pulosari ditempat Pucuk Umun berada,  Pucuk Umun telah mengetahui bahwa Maulana Hasanuddin dan santrinya berencana mengislamkan Pucuk Umun dan teman-teman. Maka bermusyawarahlah Pucuk Umun bersama rekan-rekannya, setelah bermusyawarah Pucuk Umun pun duduk di atas batu putih tempat bersemedinya di Kandang Kurung yang ditemani oleh Ajar Domas Kurung Dua. 

Maka tibalah Maulana Hasanuddin ke Kandang Kurung dan menemui Pucuk Umun yang sedang duduk, berkatalah Maulana Hasanuddin “Hai Pucuk Umun, Saya datang kemari mau menaklukan kamu, sekarang kamu semua Islamlah, masuklah kamu ke agama  Nabi (Muhammad SAW), berucaplah kalian semua Dua Kalimat (Syahadat)”. Lalu berkatalah Pucuk Umun “Tuan, Saya belum tunduk ke agama Nabi (Muhammad SAW) dan saya belum takluk kepada tuan apabila belum kalah dalam tarung kesaktian, sehingga apabila saya kalah kesaktian maka saya baru takluk kepada tuan”. Mendengar tantangan Pucuk Umun tersebut, Mualana Hasanuddin-pun berkata “Silahkan engkau pilih tarung kesaktian apa yang engkau inginkan?”. “baiklah, saya ingin tarung kesaktian dengan tarung ayam” ujar Pucuk Umun. Akhirnya disetujuilah permintaan Pucuk Umun tersebut oleh Maulana Hasanuddin, akhirnya mereka-pun mencari arena yang luas untuk tarung kesaktian, dan didapatilah suatu lahan yang berada di wilayah Waringinkurung yaitu disuatu kebon yang rata yang disebut Tegal Papak.

Selanjutnya Pucuk Umun dan para Ajar istidroj dan membuat ayam jago yang terbuat dari besi, baja, dan pamor yang terbuat dari sari baja dan rosa. Akhirnya jadilah barang-barang tersebut seekor ayam jago yang memiliki raut mirip jalak rawa. Dilain tempat Maulana Hasanuddin bermunajat kepada Allah SWT. Memohon pertolongan untuk mengalahkan dan menaklukkan Pucuk Umun, agar Pucuk Umun dan para Ajarnya memeluk agama Nabi Muhammad SAW. Dengan kekuasaan Allah SWT. Maka datanglah jin dan atas keinginan Maulana Hasanuddin berubahlah jin tersebut menjadi seekor ayam jago dan memiliki raut mirip jalak putih.

Setelah siap maka Maulana Hasanuddin yang diikuti kedua muridnya Mas Jong dan Agus Ju serta para jin yang membawa palu yang terbuat dari besi magnet berangkat menuju tempat pertandingan. akhirnya rombongan Maulana Hasanuddin-pun sampai di Tegal Papak pada hari Selasa, disana rombongan dan pengikut Pucuk Umun telah berada ditempat menunggu kedatangan Maulana Hasanuddin. Setelah berjumpa keduanya, maka Pucuk Umun berkata kepada Maulana Hasanuddin “Tuan, inilah ayam jago saya, apabila kalah kami sanggup takluk kepada tuan”. “Saya pun demikian, apabila kalah dengan ayam jago mu, saya akan menghamba kepadamu” balas Maulana Hasanuddin.

Lalu bertarunglah ayam jago Pucuk Umun dan ayam jago Maulana Hasanuddin, gemuruh senangpun datang dari Pucuk Umun dan Ajarnya. Serangan ayam jago Pucuk Umun seperti suara guntur, tepuk tangan dan rasa riang menyelimuti rombongan Pucuk Umun yang meyakini bahwa ayam jago mereka bakal memenangkan pertarungan. namun meski serangan bertubi-tubi dilancarkan oleh ayam jago Pucuk Umun kepada ayam jago Maulana Hasanuddin,  ayam jago Maulana Hasanuddin tidak surut dan terus berusaha mengalahkan ayam jago Pucuk Umun. Disatu waktu akhirnya ayam jago Maulana Hasanuddin mampu menghancurkan ayam jago Pucuk Umun menjadi debu. Melihat kekalahan ayam jago Pucuk Umun, gemuruh senang dan tepuk tanganpun berhenti menjadi sepi senyap. Selanjutnya kembali pulanglah Ajar dan juga ayam jago yang hancur tadi mewujud seperti asalnya menjadi besi pamor dan baja. Sementara para Ajar Domas masuk Islam dihadapan Maulana Hasanuddin dan membaca dua kalimat syahadat disaksikan Maulana Hasanuddin.

Sementara itu, Pucuk Umun yang telah dikalahkan berkata kepada Maulana Hasanuddin “Tuan, saya belum takluk kepada tuan karena masih banyak kesaktian saya, apabila telah habis barulah saya takluk”. mendengar tantangan Pucuk Umun, Maulana Hasanuddinpun membalas “keluarkan semua kesaktianmu saat ini, saya ingin tahu kemampuanmu”. akhirnya Pucuk Umun pun terbang dan hilang dari penglihatan Maulana Hasanuddin. selanjutnya dari balik mega Pucuk Umun memanggil nama Maulana Hasanuddin. mendengar panggilan Pucuk Umun, Maulana Hasanuddin berkata kepada kedua santrinya “Hai Mas Jong dan Agus Ju, datangilah Pucuk Umun yang berada di balik mega dan pukullah sekalian” lalu berangkatlah Mas Jong dan Agus Ju ke atas awan, saat akan dipukul oleh Mas Jong dan Agus Ju, Pucuk Umun pun menjerit dan menghilang lagi. Melihat hal demikian, Maulana Hasanuddin berkata kepada kedua santrinya  “Dengan ridho Allah SWT. Pucuk Umun jadilah kafir iblis laknaktullah, tidak ingin masuk Islam, kamu berdua pulanglah”. maka turunlah kedua santri tersebut dari langit, setelah berkumpul berangkatlah rombongan Maulana Hasanuddin, Mas Jong dan Agus Ju yang diikuti juga oleh para Ajar Domas dari Tegal Papak menuju Gunung Pulosari.

Ada kisah lain, bahwa setelah pucuk umun dikalahkan dalam adu ayam dengan sultan Hasanudin, pucuk umun kemudian tidak mau menepati janjinya untuk tunduk dan memeluk agama Islam, akan tetapi kabur ke gunung karang, kemudian di kejar oleh sultan Hasanudin dan dalam pegejarannya, sultan Hasanudin beristirahat di sebuah tempat yang dinamakan Pandohokan (panohokan)  yang terletak di Desa Kaduengang.

Alkisah, pengejaran pucuk umun sampai ke puncak gunung karang dan akhirnya pucuk umun mengaku kalah adu kesaktian dengan sultan Hasanudin, dan Pucuk Umun juga tetap tidak mau memeluk agama Islam tetap mempertahankan keyakinan pada ajaran nenek moyang (sunda wiwitan), akhirnya Pucuk Umun undur pamit setelah mengaku kalah dan kemudian bermukim di Ujung Kulon sampai akhir hayatnya. Adapun pengikutnya yang loyal, memutuskan untuk memisahkan diri dari masyarakat Islam. Mereka menetap di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak sampai sekarang sebagai satu komunitas yang melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan.

Hikayat munculnya sumur tujuh tersebut di Gunung Karang merupakan tempat peristirahatan sultan Hasanudin setelah mengejar dan menaklukan Pucuk Umun, air pada sumur tersebut dijadikan sebagai air minum sultan Hasanudin.

Itulah hikayat sumur tujuh yang masih ada kaitannya dengan sultan Hasanudin ketika menaklukan Pucuk Umun, bagi masyarakat muslim yang hendak mendaki gunung karang dengan tujuan akhir yaitu puncak gunung karang yang terdapat sumur tujuh, hendaknya tidak mengkultuskan sumur tersebut dikhawatirkan akan membawa pada kemusyrikan.

Legenda Putri Badriyah

Dahulu ada seorang gadis. Namanya Badariah. Ia adalah putri sulung seorang saudagar kaya. Wajahnya cantik. Sikapnya sopan dan rendah hati.

Kurang empat puluh hari lagi ia akan menikah. Seminggu yang lalu orang tuannya telah menerima lamaran dari seorang hartawan untuk anaknya yang bungsu.

Hari itu Badariah nampak gelisah. Sejak pagi burung-burung perenjak berkicau-kicauan dihalaman rumahnya. Itu pertanda rumahnya bakal kedatangan tamu penting.

Menjelang tengah hari firasat gadis itu terbukti, ada serombongan orang turun dari kuda. Langkah mereka tampak berwibawa saat memasuki rumahnya.

Badariah tak berani ikut menemui para tamu itu. Ia hanya mengintip dari balik dinding kayu rumahnya sembari mencuri dengar pembicaraan ayahnya dengan para tamu yang datang. 

Beberapa saat ia mendengar perdebatan antara ayahnya dan para tamu. Nampaknya mereka sedang membicarakan dirinya.

Hati Badariah berdebar kencang. Benar! Beberapa saat setelah para tamu itu pergi ayahnya memanggilnya keruang tamu.

“Badariah anakku, entah nasib apa yang sedang menimpa kita. Mereka tadi adalah utusan dari calon suamimu. Mereka datang untuk membatalkan rencana perkawinanmu dengan Raden Sambada.”

Badariah kaget, tapi tak sampai membuatnya pingsan. Ia sudah sering mendapat kabar seperti ini. Entah sudah berapa kali para lelaki yang meminangnya ternyata pada akhirnya menggagalkan sendiri pinangan itu.

“Sudahlah ayah, saya tabah menjalani hidup ini. Biarkan saja. Bukankah tidak sekali ini lelaki yang menggagalkan rencana pernikahan yang sudah disepakati?”

Ayahnya terharu mendengar sikap anaknya itu. Pada suatu malam, Badariah bermimpi. Seorang kakek yang penuh wibawa mendatanginya dan berkata, “Hai Badariah, jika engkau ingin mendapat jodoh segera, pergilah engkau seorang diri ke puncak Gunung Pabeasan. Di sebuah batu besar cekung yang engkau temukan disana lakukanlah tapa. Tapa itu harus engkau lakukan empat puluh hari empat puluh malam. Selesai itu, pergilah engkau ke kaki gunung. Cari sebuah pohon lame besar. Di bawah pohon itu, engkau akan mendapatkan tujuh buah mata air. Mandilah engkau pada ketujuh mata air itu. Jodohmu akan datang setelah itu. Pesanku, rawatlah ketujuh mata air itu. Bila kelak ada gadis yang kesulitan mendapat jodoh, suruh mandi ditempat itu. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa segera mendatangkan jodohnya.”

Badariah menceritakan mimpinya kepada orang tuanya. “Ayah dan Ibu,“ katanya, “Izinkanlah saya membuktikan mimpi saya, dan doakanlah.“ Dengan sangat berat, orang tuanya melepasnya. Seorang diri Badariah lalu berangkat ke puncak Gunung Pabeasan. Di atas batu cekung besar yang ditemukannya, ia pun melakukan tapa.

Tapa itu sungguh berat. Banyak godaan yang bisa membuyarkan tapa. Ada ular besar yang melilit tubuh Badariah. Ada harimau yang hendak menerkamnya. Lalu, ada makhluk-makhluk seram menakutinya. Penuh ketabahan Badariah terus bertapa. Akhirnya, ia dapat menyelesaikannya selama empat puluh hari empat puluh malam. Setelah itu dituruninya gunung. Di kaki gunung dicarinya pohon lamean besar. Ia berhasil menemukannya. Dan benar. Di bawah pohon itu ada tujuh mata air. Badariah lalu mandi di ketujuh buah mata air itu. Setelah itu ia pun pulang.

Aneh, tak lama kemudian, Badariah mendapatkan jodoh. Seorang pangeran dari Kesultanan Banten menjadi suaminya. Sesuai pesan Kakek dalam mimpinya, Badariah lalu merawat ketujuh mata air. Dibuatnya bangunan mengelilingi ketujuh mata air. Lalu dibuat pula penampungan air yang keluar. Seorang pembantu kepercayaannya diperintahkannya menjaga tempat itu. 

Kini tempat ketujuh mata air itu berada dikenal sebagai Sumur Tujuh, terletak di Kampung Gintung, Desa Banjarsari, Kabupaten Pandeglang . Keturunan si pembantu, hingga saat ini, menjadi juru kunci, tugas juru kunci adalah sebagai penjaga dan perawat, serta pemberi petunjuk pada orang-orang yang datang untuk mandi dan meminta berkah tempat itu. Para orang tua punya pendapat sendiri tentang kisah yang dituturkan di bawah ini. Jika seorang gadis berasal dari keluarga kaya biasanya bertubuh gemuk dan gendut, kalau sudah begitu tentu saja tidak menarik pemuda atau lelaki. Dengan dianjurkan bertapa (maksudnya berpuasa) maka tubuh menjadi ceking, dengan mandi di tujuh mata air berarti tubuhnya menjadi bersih seolah-olah sehari si gadis mandi sebanyak tujuh kali. Tujuh mata air artinya tujuh macam jenis cairan untuk menghaluskan dan menyegakan kulit. Kalau sudah begitu tentu banyak lelaki yang tertarik kepadanya.

Peninggalan-peninggalan yang memperkuat cerita tersebut dan dipercaya kebenarannya oleh masyarakat yaitu berupa Sumur dimana Nyi Putri sering mandi disitu, tempat pertapaan Ki Lamuafi yang berupa batu datar ukuran 1 X 1 meter, sebuah Goa tempat dimana Ki Lenggangjaya bertapa, Kuburan Nyi Putri serta sebuah batu yang berbentuk sesosok manusia yang sedang bersujud.

Petilasan-petilasan tersebut sampai saat ini sering dikunjungi oleh orang-orang dari luar kota dengan berbagai maksud dan tujuan yang beragam. Biasanya mereka yang datang secara berombongan ini adalah untuk mencari karomah dari petilasan tersebut, mereka biasanya berharap karomah untuk peruntungan, dagang dan perjodohan.‎

Cerita ini adalah cerita yang diturunkan secara turun temurun oleh masyarakat. Awalnya tempat itu berupa semak belukar yang tidak terurus, karena seringnya penziarah yang mendatangi tempat itu, akhirnya ada warga yang putuskan untuk memelihara tempat itu. Dengan modal sendiri ia mulai membersihkan dan membangun sebuah tempat peristirahatan dilokasi ini.

“Meskipun ini sebuah legenda yang mungkin sulit dibuktikan dan jauh dari fakta sejarah, sampai  kini, tempat ini bisa dijadikan sebuah kekayaan potensi budaya, yang mau tidak mau itu harus diakui sebagai potensi yang perlu digali”,

“Saya berharap, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Pandeglang dapat memperhatikan lokasi ini, karena bukan tidak mungkin lokasi ini menjadi sebuah objek wisata ziarah yang cukup menarik seperti tempat-tempat lainnya yang berada di Pandeglang”‎

Sejarah Sumur Domas

Silsilah Keramat Sumur Domas yang lokasinya terletak di Cibaru Kp. Garokeg Rt.05/03 Desa Campaka Kecamatan Kaduhejo Perbatasan dengan Desa Bayu Mundu Kec.Cimanuk Kabuapten Pandeglang Propinsi Banten tepatnya dibawah lereng Kaki Gunung Karang.

Konon Ceritanya ada Tiga Wali yang diutus dari Tanah Suci Makkah. Bermaksud untuk menyebarkan Agama Islam Dulu Memang Tanah Banten Masih Menganut Agama Budha, dan diantara Tiga Wali yang Paling tercepat/lebih dulu Sampai melalui jalur lewat Air Tanah Suci Mekah Al Mukaromah dan muncul di mata air Keramat Sumur Domas Kaki Gunung Karang adalah Syceh Malulana Mansur.

Karena yang terlebih Awal datang adalah Syceh Malulana Mansur dari 3 Wali yang diutus Ke Banten melaui Air Zam-zam dan akn diberi hadiah Emas lalu ditolak oleh Syceh Malulana Mansur, Sebaliknya Syceh Malulana Mansur Melaksanakan Sholat Sunat 2 (dua) Rokaat dan Ber Dzikir, yang sampai saat ini Bekas Sholatnya dan Dzikirnya pun di tinggalkan di atas batu dan masih di jaga dan dirawat dengan baik.

Dalam Perjalanan Penyebaran Islam Tanah Banten selain Syceh Malulana Mansur ada Juga Syceh Sancang Lodaya yang mana kakinya terjepit sebuah batu dan meminta pertolongan kepada Syceh Malulana Mansur, sebelum ditolong oleh Syceh Malulana Mansur telebih dahulu Syceh Sancang Lodaya di minta untuk berjanji atau Sumpah agar Syceh Sancang Lodaya tidak mengganggu Keturunan Anak dan cucu-cucunya Syceh Malulana Mansur, untuk itu Syceh Sancang Lodaya Menyanggupinya dan sebagai Bukti Sumpah/Janji Syceh Sancang Lodaya di Tinggalkanya Bekas Telapak Kakinya di sebuah Batu dekat Sumur Keramat. 

Pada saat itu Disaksikan Oleh 3 para Wali yang Menjadi Utusan Tanah Suci Mekah diantaranya :
1. Syceh Malulana Mansur.
2. Syceh Sancang Lodaya
3. Nyi Mas Melati, Siti Fatimah Keluarga Rosulullah ( yang mana mereka mendapatkan Amnat di Tugasknya untuk menjaga air Ke Cantikan ( yang Kahasiatnya Menurut Cerita Orang Sunda Cai Kageulisan)

Setelah Syceh Malulana Mansur Membagikan Tugas, lalu melanjutkan Perjalanan/Silulup lagi Muncul Di Cibulakan karena Kemalaman Lalu Syceh Malulana Mansur Membaca/Mengaji Kitab Suci Al’quran, maka Patilsan tersebut di namakan Keramat Batu Qur’an yang buktinya pun di tinggalkan/yang dituliskan oleh Syceh Maulana Mansur di sebuah batu yang bertuliskan huruf Al-Qur’an, dari Batu Qur’an Syceh Malulana Mansur melanjutkan perjalanan dan timbul di Ciwasiat Cikadueun dan Menetap Wafat di Makamkan di Cikadueun.

Keberadaan Letak dan Lokasi Keramat Sumur Domas mungkin masih banyak yang belum mengetahuinya baik manfaat dan Kahasiat Kegunaan Air Tersebut dari Sejarah Budaya dan Penyebaran Islam di Banten, dari Nama Arti Sumur Domas dan Riwayat Silsilah Sumur Sampai Penjaga yang Turun-temurun masih Memelihara Ke Aslian Sumur Keramat Sampai Saat Sekarang, 

Nama-nama Buyut yang menjaga dan Mengurus/Merawat Keramat Sumur Domas Sebelum di serahkan Ke Almarhum Abah Karim.
1. Buyut Abah Arkani
2. Buyut Abah Aseh
3. Buyut Abah Bendung
4. Buyut Abah Zafir
5. Buyut Abah Samala
6. Buyut Abah Dive
7. Buyut Abah Tegal
8. Buyut Abah Gede
9. Abah A.Karim Wafat Pada Tangal 10 Romadhan 2005.

Yang selanjutnya Perawatan dan Pemeliharanya deserahkan Amanat dari A.Karim Kepada Putrinya Euis Komala Sarry dan Dibantu Suami Herri Satiri untuk membantu dan Mengarahkan Para Pengunjung yang Berjarah di Keramat Sumur Domas sampai Sekarang. Semoga tulisan ini Bisa Bermanfaat bagi Saudara-saudaraku Pembaca Muslimin dan Muslimat Wallahualam Bisowabbi.

Sejarah Batu Qur'an 

Situs Batu Qur`an adalah salah satu jejak peninggalan Sultan VII Kesultanan Banten yaitu Sultan Maulana Mansyur yang sekarang makamnya sering diziarahi oleh para penziarah di daerah Cikadueun Kabupaten Pandeglang yang sekarang lebih di kenal dengan gelar Syeh Maulana Mansyur atau Syeh Cikaduen. Sebagaimana halnya situ- situs sejarah lainnya yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia, sarat dengan mitos dan cerita kebesaran para peninggalnya di tambah lagi jika situs tersebut adalah peninggalan para ulama besar penyebar agama Islam.

Mitos atau cerita yang berkaiatan dengan situs tersebut juga mempunyai daya imajinatif yang besar pula, terlepas dari itu mitos atau cerita secara hukum kebenaran benar atau tidaknya cukup bisa menambah keunikan suatu situs peninggalan sejarah tersebut. Situs Batu Qur`an sekarang di kelola oleh beberapa keluarga yang kemungkinan masih berkaitan dengan cerita ditemukannya situs tersebut oleh Syeh Mansyur. 

Berdasarkan penuturan masyarakat setempat dan salah seorang pengelola situs Batu Qur`an, berawala dari karomah yang di miliki oleh Syeh Maulana Mansyur. Setiap kali beliau akan menunaikan ibadah haji, beliau hanya dengan mengucap kalimat Basmalah, maka dengan seijin Allah beliau langsung berada di tanah suci Mekah dan prosesi itu di lakukan tepatnya di atas tanah Batu Qur`an sekarang berada. 

Cerita punya cerita suatu saat beliau setelah selesai menunaikan ibah haji dari tanah suci, beliau pulang sebagaimana halnya beliau berangkat tetapi entah karena apa beliau muncul bersamaan dengan air yang memancur dari dalam tanah dengan derasnya. Menurut penuturan pengelola air yang memancur tersebut adalah air dari sumur zamzam. Karena air itu memancur dengan derasnya dan tidak terkendali dimana air tersebut sudah mulai menggenangi darerah sekitarnya, Syeh Maulan Mansyur bermunajat kepada Allah dengan melakukan shalat 2 rakaan di dekat memancurnya air di atas sebuah batu yang sekarang disebut dengan nama Batu Sajadah. Batu tersebut dapat kita jumpai di situs Batu Qur`an di sebelah Barat Kolam pemandian untuk laki-laki. Selesai Syeh Mansyur shalat 2 rakaat, beliau mendapat isyarah untuk menutup tempat keluarnya air dengan kitab suci al-Qur`an. 

Dengan izin Allah air yang memancur berhenti dan kitab suci al-Qur`an yang di gunakan untuk menutup sumber keluarnya air tadi berubah menjadi batu, berdasar dari rangkaian kejadian itulah batu tadi disebut dengan nama Batu Qur`an. 
Terletak di Kp. Cibulakan Desa Kadu Bumbang Kec. Cimanuk Kabupatan Pandeglang. 

Nama Cibulakan di ambil dari “Ci“ asal kata Cai dari bahasa sunda yang berarti “Air“ dan “Bulak“ asal kata bahasa daerah yaitu “Embulak“ yang artinya air yang membulak/memancar keluar dengan deras. Bagi pengunjung yang akan berkunjung ke sana tidak di kenakan biaya secara pasti, tetapi hanya di harapkan keihkalannya memberikan sumbangan untuk pembangunana tempat ziarah Batu Qur`an. 

Batu Qur`an dapat ditempuh melalui alun-alun Pandeglang menuju arah pertigaan jalan ke Labuan terus lurus dan melanjutkan ke arah cimanuk, pada pertigaan cimanuk berjarak 7 KM. Dan berjarak 300 M sebelah kiri jalan sebelum pemandian dan sumber air Cikoromoy.

‎Para peziarah yang datang meyakini air dari kolam Batu Qur’an memiliki khasiat sebagai obat. Kemudian, bagi yang bisa menyelam dan berenang sambil mengitari batu Qur’an sebanyak tujuh kali, permintaannya akan terkabul. Masih banyak hal-hal lain yang diyakini para peziarah. Namun, yang paling meyakinkan adalah Batu Qur’an berkaitan erat dengan nama Syekh Maulana Mansyur, seorang ulama terkenal di jaman kesultanan Banten abad ke-15.

Tapi sebenarnya, Batu Qur’an di Cibulakan adalah replika dari Batu Qur’an yang ada di Sanghyang Sirah, Taman Nasional Ujung Kulon. Batu Quran di Sanghyang Sirah berkaitan erat dengan sejarah Sayidina Ali, Prabu Kian Santang dan Prabu Munding Wangi. Prabu Kian Santang “diislamkan” oleh Sayidina Ali (Imam Masjid Al Harom saat itu) ketika beliau melakukan perjalanan ke jazirah Arab.

Singkat kisah, Sayidina Ali ingin menemui Prabu Kian Santang di Godog Suci, Garut, untuk mengajarkan Islam dan menyerahkan Kitab Suci al-Quran. Sayangnya, Prabu Kian Santang telah pergi ke Sanghyang Sirah, Ujung Kulon, untuk menemui ayahandanya, Prabu Munding Wangi. Prabu Kian Santang ingin menyampaikan bahwa dirinya sudah menjadi seorang muslim.

Sayidina Ali lalu menyusul ke Sanghyang Sirah. Tapi, sampai di tempat tujuan, Syaidin Ali hanya bisa bertemu Prabu Munding Wangi. Prabu Munding Wangi mengatakan kepada Sayidina Ali kalau Prabu Kian Santang telah pergi lagi dan menghilang entah ke mana setelah mendapat restu dari ayahandanya.

Akhirnya Sayidina Ali menitipkan kitab al-Qur’an untuk diberikan kepada Prabu Kian Santang apabila suatu saat berkunjung ke Sanghyang Sirah. Prabu Munding Wangi menerima kitab al-Qur’an dengan lapang dada dan disimpannya di dalam kotak batu bulat. Kemudian kotak batu berisi al-Qur’an tersebut ditaruh di tengah batu karang yang dikelilingi oleh air kolam yang sumber airnya berasal dari tujuh sumber mata air (sumur).

Sebelum pergi dari Sanghyang Sirah, Sayidina Ali mohon sholat terlebih dahulu di atas batu karang yang sekarang sering disebut Masjid Syaidinna Ali. Dengan kuasa Allah SWT, Sayidina Ali langsung menghilang entah ke mana. Mungkin kembali ke jazirah Arab.

Peristiwa Batu Qur’an ini beberapa abad kemudian diketahui oleh Syekh Maulana Mansyur berdasarkan ilham yang didapatnya dari hasil tirakat. Segeralah Syekh Maulana Mansyur berangkat ke Sanghyang Sirah. Betapa kagumnya Syekh Maulana Mansyur melihat kebesaran Allah lewat mukjizat Batu Qur’an di mana dari air kolam yang bening terlihat dengan jelas tulisan batu karang yang menyerupai tulisan al-Qur’an.

Karena jauhnya jarak Sanghyang Sirah dan membutuhkan waktu dan energi yang luar biasa, maka untuk memudahkan anak cucu atau pun umat Islam yang ingin melihat Batu Qur’an maka dibuatlah replika Batu Qur’an dengan lengkap sumur tujuhnya di Cibulakan Kabupaten Pandeglang. Saat ini saja untuk menuju Sanghyang Sirah lewat Taman Jaya membutuh waktu 2 hari satu malam dengan berjalan kaki dan membutuhkan waktu 5 jam dengan menggunakan kapal laut dari Ketapang, Sumur menuju Pantai Bidur yang dilanjutkan berjalan kaki selama hampir 1 jam menuju Sanghyang Sirah. Bisa dibayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesana pada jamannya Syekh Maulana Mansyur.‎‎

2 komentar:

  1. dongeng yang digede-gedein kalahnya Prabu Ragamulya Surya Kancana / Prabu Nusiya Mulya oleh Sultan Hasanudin Banten, padahal nggak bener...gak...gak...gak

    padahal carita parahyangan mah kieu :

    Disilihan ku Nusiya Mulia. Lawasniya ratu sadewidasa,
    Diganti ku Nusia Mulya. Lilana jadi ratu duawelas (!) taun,
    tembey datang na prebeda.
    Mimiti datangna parobahan.
    Bwana alit sumurup ring ganal, metu sanghara ti Selam.
    Buana lemes nyusup ka nu kasar, timbul karusakan ti Islam.
    Prang ka Rajagaluh, éléh na Rajagaluh. Prang ka Kalapa, éléh na Kalapa. Prang ka Pakwan, prang ka Galuh, prang ka Datar, prang ka Madiri, prang ka Patégé, prang ka Jawakapala, éléh na Jawakalapa. Prang ka Galélang.
    Perang ka Rajagaluh, éléh Rajagaluh. Perang ka Kalapa, éléh Kalapa. Perang ka Pakwan, perang ka Galuh, perang ka Datar. Perang ka Ma(n)diri, perang ka Patégé, perang ka Jawakapala, éléh Jawakapala. Perang ka Galélang.
    Nyabrang, prang ka Salajo, pahi éléh ku Selam. Kitu, kawisésa ku Demak deung ti Cirebon, pun.
    Meuntas perang ka Salajo; kabeh éléh ku urang Islam. Kitu nu matak kabawah ka Demak jeung ti Cirebon.

    BalasHapus