Rabu, 21 Oktober 2015

Dari Banjar Petambakan Menuju Banjar Negara

Dalam riwayat berdirinya Kabupaten Banjarnegara disebutkan bahwa seorang tokoh masyarakat yang bernama Kyai Maliu sangat tertarik akan keindahan alam di sekitar Kali Merawu sebelah selatan jembatan Clangap (sekarang). Keindahan tersebut antara lain karena tanahnya berundak, berbanjar sepanjang kali.

Sejak saat itu, Kyai Maliu kemudian mendirikan pondok/rumah sebagai tempat tinggalnya yang baru. Setelah Kyai Maliu tinggal di tempat barunya tersebut, dalam waktu singkat disusul pula dengan berdirinya rumah-rumah penduduk yang lain disekitar pondok Kyai Maliu sehingga kemudian membentuk suatu perkampungan. Perkampungan tersebut terus berkembang waktu demi waktu yang akhirnya menjadi sebuah desa.‎

Desa baru tersebut kemudian dinamakan“BANJAR” sesuai dengan daerahnya yang berupa sawah yang berpetak-petak. Atas dasar musyawarah penduduk desa baru tersebut Kyai Maliu diangkat menjadi Pertinggi (Kepala Desa), sehingga kemudian dikenal dengan nama “Kyai Ageng Maliu Pertinggi Banjar”.

Keramaian dan kemajuan desa Banjar dibawah kepemimpinan Kyai Ageng Maliu semakin pesat tatkala kedatangan Kanjeng Pangeran Giri Wasiat, Panembahan Giri Pit dan Nyai Sekati yang sedang mengembara dalam rangka syiar agama Islam. Ketiganya merupakan putra Sunan Giri Prapen raja di Giri Gajah Gresik yang bergelar Prabu Satmoko.

Sejak kedatangan Pangeran Giri Pit, Desa Banjar menjadi pusat pengembangan agama Islam. Kyai Ageng Maliu semakin bertambah kemampuannya dalam hal agama Islam dan dalam memimpin Desa Banjar. Karena kepemimpinannya itulah Desa Banjar semakin berkembang dan semakin ramai.

Desa Banjar yang didirikan oleh Kyai Ageng Maliu inilah pada akhirnya menjadi cikal bakal Kabupaten Banjarnegara. Makam Kyai Ageng Maliu di Dusun  Pekuncen desa dan  kec Banjar mangu ‎Kondisi makam sendiri sangat memprihatinkan. Cungkup makam yang terbuat dari kayu sudah mulai lapuk termakan usia, bahkan beberapa sudah dimakan serangga. Pagar keliling makam pun beberapa sudah roboh. Tanaman-tanaman ilalang pun tumbuh tak beraturan tidak terawat.

Awal Pemerintahan Kabupaten Banjar Petambakan‎

Setelah wafatnya Adipati Wargo Hutomo I (Adipati Wirasaba) dalam perjalanan pulang setelah menghadap Sultan Hadiwijoyo (Sultan Pajang) akibat adanya kesalahpahaman Utusan (Gandek) dari Kerajaan Pajang dalam mengartikan perintah Sultan Hadiwijoyo yang diperkuat dengan fitnah Demang Toyareka (Adik Adipati Wargo Hutomo), pucuk pimpinan Kabupaten Wirasaba mengalami kekosongan. Untuk selanjutnya Kabupaten Wirasaba dipimpin oleh Patih yang telah mewakili Adipati sejak menghadap Sultan.

Para Putra Adipati tidak ada yang berani menggantikan kedudukan ayahnya sebelum mendapat ijin dari Kanjeng Sultan Hadiwijoyo di Pajang.

Menyadari kesalahannya yang menyebabkan wafatnya Adipati Wargo Hutomo I, Sultan Hadiwijoyo mengutus Tumenggung Tambakbaya mengirimkan surat kepada Keluarga Adipati Wargo Hutomo I di Wirasaba yang isinya mengharapkan kehadiran salah satu putra Adipati Wargo Hutomo I untuk menghadap Sultan. Namun demikian tidak satupun dari putra Adipati Wargo Hutomo I yang bersedia menghadap Kanjeng Sultan Hadi Wijoyo. Hal ini dikarenakan disamping duka akibat peristiwa terbunuhnya ayahandanya belum sepenuhnya hilang, muncul pula perasaan khawatir bilamana ternyata mendapat perlakuan serupa.

Akhirnya Tumenggung Tambakbaya meminta Joko Kaiman (menantu Adipati) untuk memenuhi panggilan Sultan menghadap ke Pajang. Atas persetujuan Saudara-saudara iparnya, berangkatlah Joko Kaiman menghadap Sultan Hadiwijoyo di Pajang.

Sesampainya di Pajang, Sultan menjelaskan duduk permasalahan hingga Adipati Wargo Hutomo terbunuh dan menyampaikan permohonan maaf kepada semua putra Adipati dan masyarakat Wirasaba. Dalam kesempatan itu pula, Sultan Hadiwijoyo mengangkat Joko Kaiman menjadi Bupati Wirasaba menggantikan Adipati Wargo Hutomo I, yang kemudian bergelar Adipati Wargo Hutomo II.

Menyadari statusnya hanya sebagai putra menantu, maka demi menjaga keutuhan keluarga, setelah diangkat menjadi Bupati, Joko Kaiman (Wargo Hutomo II) mengeluarkan kebijakan yaitu membagi Kabupaten Wirasaba menjadi 4 (empat) Kabupaten Kecil untuk saudara-saudara iparnya, yaitu :
Kabupaten Wirasaba diserahkan kepada Kyai Ngabei Wargo Wijoyo ;
Kabupaten Merden, deserahkan kepada Kyai Ngabei Wiro Kusumo ;
Kabupaten Banjar Petambakan kepada Kyai Ngabei Wiroyudo;
Kabupaten Banyumas di Daerah Kejawar dipimpin sendiri oleh Wargo Hutomo II.

Kebijakan ini disetujui semua saudara iparnya dan mendapatkan ijin dari Sultan Pajang. Karena kebijakannya membagi Daerah Kabupaten Wirasaba menjadi 4 (empat) Kabupaten tersebut, Kyai Adipati Wargo Hutomo II mendapat julukan Adipati Mrapat.
Peristiwa tersebut merupakan awal adanya pemerintahan Kabupaten Banjar Petambakan, cikal bakal Kabupaten Banjarnegara
Kabupaten Banjar Petambakan
Kyai Ngabehi Wiroyudo merupakan Bupati Banjar Petambakan pertama yang memerintah pada ± Tahun 1582 (melihat pendirian Pendopo Kabupaten Banyumas di Kejawar oleh Wargo Hutomo II, yang merupakan salah satu pecahan dari Kabupaten Wirasaba tercatat tahun 1582).

Namun siapa pengganti Kyai Ngabei Wiroyudo sampai R. Ngabehi Banyakwide diangkat sebagai Kliwon Banyumas yang bermukim di Banjar Petambakan tidak diketahui, karena tidak ada/belum ditemukan sumber/ catatan tertulis. Ada kemungkinan Kabupaten Banjar Petambakan dibawah Kyai Ngabei Wiroyudo tidak berkembang (tidak lestari) seperti halnya Kabupaten Merden yang diperintah R. Ngabei Wargawijaya dan Kabupaten Wirasaba yang diperintah oleh R. Ngabei Wirakusuma. Tidak demikian halnya halnya dengan Kabupaten Banyumas (Daerah Kejawar) dibawah pemerintahan R. Adipati Wargo Hutomo II yang dapat bertahan dan terus berkembang.

R. Banyakwide adalah putra R. Tumenggung Mertoyudo (Bupati Banyumas ke 4). Dari sini terlihat bahwa selama 3 (tiga) periode kepemimpinan Bupati di Kabupaten Banyumas (setelah Wargo Hutomo II) sampai dengan Bupati ke 4 (R.T. Mertoyudo), Kabupaten Banjar Petambakan tidak tercatat ada yang memerintah.

Karena cukup lama tidak ada yang memerintah, maka setelah diangkatnya R. Banyakwide sebagai Kliwon Banyumas tetapi bermukim di Banjar Petambakan, ada yang menyebut Banyakwide adalah Bupati Banjar Petambakan Pertama setelah Pemerintahan Ngabehi Wiroyudo.

R. Banyak Wide mempunyai 4 (empat) putera, yaitu:
Kyai Ngabei Mangunyudo;
R. Kenthol Kertoyudo;
R. Bagus Brata;
Mas Ajeng Basiah.
Sepeninggal R. Banyakwide Kabupaten Banjar Petambakan diperintah oleh R. Ngabei Mangunyudo I yang kemudian dikenal dengan julukan Hadipati Mangunyudo Sedo Loji (Benteng), karena beliau gugur di loji saat perang melawan Belanda di Kartosuro.

Kebenciannya terhadap Belanda ditunjukkan sewaktu ada geger perang Pracino (pecinan) yaitu pemberontakan oleh bangsa Tionghoa kepada VOC saat Mataram dipimpin Paku Buwono II.

R. Ngabehi Mangunyudo I sebagai Bupati manca minta ijin untuk menghancurkan Loji VOC di Kartasura. Paku Buwono II mengijinkanya dengan satu permintaan agar R. Ng. Mangunyudo tidak membunuh pasangan suami istri orang belanda yang berada di loji paling atas.

Akhirnya perang sengitpun terjadi antara pajurit Mangunyudo I dengan pasukan VOC (tahun 1743). Melihat prajuritnya banyak yang tewas, Adipati Mangunyudo I sangat marah, seluruh penghuni loji dibunuhnya, bahkan beliau lupa pesan Sri Susuhunan Pakubuwono II. Melihat masih ada orang Belanda yang masih hidup di bagian paling atas Loji, R. Mangunyudo I mengejarnya dan berusaha membunuh pasangan suami istri orang Belanda, yang sebenarnya adalah Pakubuwono II dan Permaisuri yang sedang menyamar. Merasa terancam jiwanya, Pakubuwono II akhirnya membunuh Adipati Mangunyudo I yang sedang kalap di Loji VOC tersebut. Sebab itulah kemudian Adipati Mangunyudo I dikenal dengan sebutan Adipati Mangunyudo Sedo Loji.
Kabupaten Banjar Watu Lembu
a. Berdasarkan sumber/buku “Inti Silsilah dan Sejarah Banyumas”
Setelah Adipati Mangunyudo I wafat, disebutkan bahwa pengganti Bupati Banjar Petambakan adalah puteranya yang bergelar R. Ngabei Mangunyudo II, yang dikenal dengan R. Ngabei Mangunyudo Sedo Mukti.

Di era kepemimpinannya, Kabupaten dipindahkan ke sebelah Barat Sungai Merawu dengan nama Kabupaten Banjar Watu Lembu (Banjar Selo Lembu).

R. Ngabei Mangunyudo II merupakan Bupati Banjar Watu Lembu Pertama, yang kemudian digantikan oleh puteranya, bergelar Kyai R. Ngabei Mangunyudo III yang kemudian berganti nama menjadi Kyai R. Ngabei Mangunbroto, Bupati Anom Banjar Selolembu. Masih dari sumber yang sama, R. Ngabei Mangunbroto wafat karena bunuh diri.

Penggantinya adalah R.T. Mangunsubroto yang memerintah Kabupaten Banjar Watulembu sampai tahun 1931.

Karena Kabupaten Banjar Watulembu sangat antipati terhadap Belanda, maka setelah perang Diponegoro dimana kemenangan dipihak Belanda, Kabupaten Banjar Watulembu diturunkan statusnya menjadi Distrik dengan dua penguasa yaitu R. Ngabei Mangunsubroto dan R. Ng. Ranudirejo.
Berdasarkan sumber “Register Sarasilah Keturunan R. Ngabei Banyakwide dan Register Catatan Legenda Riwayat Kanjeng Sunan Giri Wasiyat, Kyai Panembahan Giri Pit, Nyai Ageng Sekati”
Dalam sumber tersebut disebutkan bahwa yang menggantikan Mangunyudo I adalah R. Ngabehi Kenthol Kertoyudo yang kemudian bergelar R. Ngabei Mangunyudo II. Dalam perang Diponegoro lebih dikenal dengan R. Tumenggung Kertonegoro III atau Mangunyudo Mukti.

Pada masa pemerintahannya, Kabupaten dipindahkan ke sebelah Barat Sungai Merawu dan kemudian dinamakan Kabupaten “Banjar Watulembu”.

Sikap Adipati Mangunyudo II yang sangat anti terhadap Belanda dan bahkan turut memperkuat pasukan Diponegoro dalam perang melawan Belanda (dimana perang tersebut berakhir dengan kemenangan di pihak Belanda), berakibat R. Ngabei Mangunyudo II dipecat sebagai Bupati Banjar Watulembu, dan pada saat itu pula  status Kabupaten Banjar Watulembu diturunkan menjadi Distrik dengan dua penguasa yaitu R. Ngabei Mangun Brotodan R. Ngabei Ranudirejo.

Terlepas sumber mana yang benar, para pemimpin/ Bupati Banjar mulai Mangunyudo I sampai yang terakhir Mangunsubroto atau Mangunyudo II, semuanya anti penjajah Belanda.
Kabupaten Banjarnegara
Siapa sebenarnya Tumenggung Dipayuda

Dalam masa pemerintahan raja-raja tanahjawa tersebutlah kerajaan Majapahit dengan penguasanya Prabu Brawijaya. Prabu Brawijaya menurut naskah babad disebutkan adalah raja terakhir penguasa kerajaan Majapahit.Dikisahkan bahwa pada suatu hari putri Prabu Brawijaya yang bernama Retno Ayu Pambayun diculik oleh Menak Dali Putih raja kerajaan Blambangan putra Menak Jingga.Pada masa itu tersebutlah seorang pahlawan bernama Jaka Senggara yang berhasil merebut dan membebaskan Retno Ayu Pambayun dari tangan Menak Dali Putih sehingga dalam pertempuran itu Menak Dali Putih menemui ajalnya.

Atas jasa dari Jaka Senggara tersebut kemudian Prabu Brawijaya mengangkat Jaka Senggara menjadi bupati Pengging dengan gelar kebesaran Handayaningrat.Selain dianugerahi menjadi bupati Pengging,Jaka Senggara dinikahkan dengan Retno Ayu Pambayun.

Kerajaan Majapahit dimasa-masa akhir kehancurannya terjadi pemberontakan dimana-mana.Pemberontakan-pemberontakan itu didasari keinginan merebut tahta kerajaan.Handayaningrat gugur dimedan laga saat perang antara Majapahit dengan Demak Bintoro.Disebutkan bahwa Handayaningrat (Ki Ageng Pengging Sepuh)tertusuk keris Sunan Ngudung hingga menemui ajalnya.Tahta kerajaan Majapahit berikut benda-benda pusaka kerajaan diboyong ke Demak.Kemudian Raden Patah atas prakarsa para wali songo mendirikan kerajaan Demak.

Setelah terbunuhnya Handayaningrat maka pemerintahan Pengging dipegang oleh anaknya yang bernama Ki Kebo Kenanga dengan gelar Ki Ageng Pengging.Sejak saat itu Pengging menjadi daerah bawahan kerajaan Kasultanan Demak.Ketika Kasultanan Demak terjadi perang pengaruh antara para wali songo pendukung kerajaan Kasultanan Demak dengan Syeh Siti Jenar,pertentangan itu semakin meruncing sehingga terpaksa diselesaikan dengan pertumpahan darah.Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh hendak memberontak terhadap kekuasaan Kasultanan Demak.

Ki Ageng Pengging mempunyai seorang anak yang bernama Mas Karebet.Ketika dilahirkan ayahnya Ki Ageng Pengging sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir.Setelah selesai ndalang Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.

Setelah kematian Ki Ageng Pengging,Nyai Ageng Pengging sering sakit-sakitan dan tidak lama kemudian meninggal dunia.Sejak saat itu Mas Karebet diambil sebagai anak asuh oleh Nyai Ageng Tingkir.

Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda yang gemar olahkanuragan dan bertapa sehingga mendapat sebutan Jaka Tingkir.Jaka Tingkir diambil murid oleh Sunan Kalijaga dan pernah juga berguru kepada Ki Ageng Selo.Ditempat Ki Ageng Selo itu Jaka Tingkir dipersaudarakan dengan cucu Ki Ageng Selo yaitu Ki Juru Martani,Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi.

Pada masa Kasultanan Demak yang dipimpin oleh Sultan Trenggono,Jaka Tingkir banyak berjasa.Sultan Trenggono menjadikan Jaka Tingkir bupati Pajang dan menikahkannya juga dengan salah satu putrinya yang bernama Ratu Mas Cempaka.Jaka Tingkir dianugerahi gelar Hadiwijaya.

Sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, Sunan Prawoto naik takhta, namun kemudian tewas dibunuh sepupunya, yaitu Arya Penangsangbupati Jipang. Setelah itu, Arya Penangsang juga berusaha membunuhHadiwijaya namun gagal.

Dengan dukungan Ratu Kalinyamat(bupati Jepara putri Sultan Trenggana),Hadiwijaya dan para pengikutnya berhasil mengalahkan Arya Penangsang. Ia pun menjadi pewaris tahta Kesultanan Demak, yang ibu kotanya dipindah ke Pajang.Hadiwijaya atau Jaka Tingkir kemudian mengganti nama kerajaan menjadi kerajaan Kasultanan Pajang(tahun 1549).

Pada suatu saat, ketika Kyai Tepusrumput sedang bertapa di bawah pohon Jatiwangi, Ia di datangi oleh seorang laki-laki tua bernama Kyai Kantaraga. Kyai Kantaraga memerintahkan agar Ia bertapa di bawah pohon Pule selama 40 hari.Setelah perintah itu dilaksanakan, yaitu bertapa selama 40 hari,Ia mendapatkan sebentuk cincin emas, yang ternyata bernama socaludira. Cincin itu, ternyata adalah milik Sultan pajang(Sultan Hadiwijaya;Jaka Tingkir) yang hilang. Karena mengetahui bahwa cincin socaludira adalah miliki sultan Pajang maka Ia mengembalikannya. Saking girangnya Sultan Pajang menemukan kembali cincin kesayangannya itu, maka Sultan Pajang memberikan hadiah kepada Kyai Tepusrumput seorang putri triman yang sedang hamil 4 bulan.Setelah menunggu cukup lama, akhirnya putri triman itu melahirkan jabang bayi laki-laki, yang kemudian Ia serahkan kembali kepada Sultan pajang. Akan tetapi, oleh Sultan Pajang bayi tersebut diserahkan kembali kepada kyai Tepusrumput, yang kemudian bergelar Kyai Ageng Ore-ore.Setelah tumbuh dewasa, anak dari putri triman atau anak tiri dari Kyai Tepusrumput menggantikan kedudukan Kyai Tepusrumput dengan gelar Kyai Adipati Anyakrapati atau Adipati Onje II.

Adipati Anyakrapati atau Adipati Onje II memperistri dua orang yang berasal dari Cipaku dan Pasir Luhur. Dari istri yang berasal dari Cipaku, Ia di karuniai 2 orang putra, yakni; Raden Cakra Kusuma dan Raden Mangunjaya. Selanjutnya dengan istri keduanya yang berasal dari Pasir Luhur, Adipati Anyakrapati atau Adipati Onje II di karuniai 2 putera yang semunya adalah perempuan.Karena selalu terjadi percekcokan dalam keluarga akhirnya Adipati Onje membunuh kedua istrinya. Selanjutnya Ia kawin dengan anak perempuan Adipati Arenan yang bernama Nyai Pingen.Dari perkawinan tersebut, Adipati Onje II, dikaruniai seorang‎ putra bernama Kyai Arsa Kusuma yang kemudian berganti nama menjadi Kyai Arsantaka.

Setelah dewasa, Kyai Arsantaka kawin dengan 2 orang putri.Istri pertama bernama Nyai Merden dan istri kedua bernama Nyai Kedung Lumbu. Dari istri pertama, Kyai Arsantaka di karuniai 5 orang putera, yakni; pertama Nyai Arsamenggala, kedua Kyai Dipayuda,ketiga Kyai Arsayuda, yang kemudian menjadi menantu Tumenggung Yudanegara II. Putera keempat bernama Mas Ranamenggala dan kelima adalah Nyai Pancaprana.Dengan istri kedua, Kyai Arsantaka di karuniai 1 putera yaitu Mas Candrawijaya, yang di kemudian hari menjadi Patih Purbalingga.

Diceritakan bahwa kyai Arsantaka meninggalkan Kadipaten Onje untuk berkelana ke arah timur dan sesampainya di desa Masaran (Sekarang di Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara) diambil anak angkat oleh Kyai Wanakusuma yang masih anak keturunan Kyai Ageng Giring dari Mataram.

Pada tahun 1740 – 1760, Kyai Arsantaka menjadi demang di Kademangan Pagendolan (sekarang termasuk wilayah desa Masaran), suatu wilayah yang masih berada dibawah pemerintahan Karanglewas (sekarang termasuk kecamatan Kutasari, Purbalingga) yang dipimpin oleh R. Tumenggung Dipayuda I.

Kyai Arsantaka karena banyak menyumbang jasa maka dinobatkan menjadi Raden Tumenggung Dipayuda II.Banyak riwayat yang menceritakan tentang kepahlawanan dari Kyai Arsantaka antara lain ketika terjadi perang Jenar, yang merupakan bagian dari perang Mangkubumen, yakni sebuah peperangan antara Pangeran Mangkubumi dengan kakaknya Paku Buwono II dikarenakan Pangeran mangkubumi tidak puas terhadap sikap kakanya yang lemah terhadap kompeni Belanda. Dalam perang jenar ini, Kyai Arsantaka berada didalam pasukan kadipaten Banyumas yang membela Paku Buwono.

Dikarenakan jasa dari Kyai Arsantaka kepada Kadipaten Banyumas pada perang Jenar, maka Adipati banyumas R. Tumenggung Yudanegara mengangkat putra Kyai Arsantaka yang bernama Kyai Arsayuda menjadi menantu. Seiring dengan berjalannya waktu, maka putra Kyai Arsantaka yakni Kyai Arsayuda menjadi Tumenggung Karangwelas dan bergelar Raden Tumenggung Dipayuda III.

Masa masa pemerintahan Kyai Arsayuda dan atas saran dari ayahnya yakni Kyai Arsantaka yang bertindak sebagai penasihat, maka pusat pemerintahan dipindah dari Karanglewas ke desa Purbalingga,dikemudian hari menjadi Kabupaten Purbalingga.

Anak kedua Kyai Arsantaka dari Nyai Merden yang bernama Kyai Dipayuda berkelana kewilayah Banjar Pertambakan (sekarang Banjarmangu) yang dikuasai Kyai Ngabei Wirayuda.Beberapa waktu kemudian Kyai Ngabei Wirayuda meninggal dunia sehingga wilayah Banjar tidak ada yang menguasai.Konon atas kekosongan kekuasaan ini maka Kyai Dipayuda diangkat menjadi Raden Tumenggung Dipayuda IV.

Raden Tumenggung Dipayuda IV banyak berjasa ketika perang Pangeran Diponegoro.Hal ini diceritakan dalam babad Pupuh:
“Tumuta lampah kawula, sri naréndra ngandika iya becik, tinimbalan praptèng ngayun, sang nata angandika, Dipayuda milua amapag musuh, tur sembah matur sandika”‎
Artinya:” Mengikuti saran, sang raja berkata,”Ya, kalau begitu panggillah Dipayuda menghadap saya”. Kepada Dipayuda raja memerintahkan untuk mencegat musuh dan di jawab bahwa dia siap”.
Sehingga Sri Susuhunan Paku Buwono VII mengusulkan agar Raden Tumenggung Dipayuda IV diangkat menjadi bupati Banjar.berdasarkan Resolutie Governeor General Buitenzorg tanggal 22 agustus 1831 nomor I.Usul tersebut disetujui oleh Gubernur Jenderal.Peristiwa ini kemudian lebih dikenal dengan Banjar Watu Lembu.
Persoalan meluapnya Sungai Serayu menjadi kendala yang menyulitkan komunikasi dengan Kasunanan Surakarta. Kesulitan ini menjadi sangat dirasakan menjadi beban bagi bupati ketika beliau harus menghadiri Pasewakan Agung pada saat-saat tertentu di Kasultanan Surakarta. Untuk mengatasi masalah ini diputuskan untuk memindahkan ibukota kabupaten ke selatan Sungai Serayu. 
Daerah Banjar (sekarang Kota Banjarnegara) menjadi pilihan untuk ditetapkan sebagai ibukota yang baru. Kondisi daerah yang baru ini merupakan persawahan yang luas dengan beberapa lereng yang curam.Di daerah persawahan (Banjar) inilah didirikan ibukota kabupaten (Negara) yang baru sehingga nama daerah ini menjadi”Banjarnegara”(Banjar:Sawah,Negara:Kota). R.Tumenggung Dipayuda menjabat Bupati sampai tahun 1846.Setelah pensiun dari jabatan bupati Kyai Dipayuda atau Raden Tumenggung Dipayuda IV tidak ada kabar beritanya lagi ditingkat pemerintahan.Maka diangkatlah Raden Adipati Dipadiningrat sebagai penggantinya.
Untuk mengenang asal mula Kota Kabupaten baru yang berupa persawahan dan telah dibangun menjadi kota, oleh Raden Tumenggung Dipoyudho IV, Kabupaten Baru tersebut diberi nama “BANJARNEGARA”(mempunyai maksud Sawah = Banjar, berubah menjadi kota = negara) sampai sekarang.

Setelah segala sesuatunya siap, Raden Tumenggung Dipoyudo IV sebagai Bupati beserta semua pegawai Kabupaten pindah dari Banjar Watulembu ke Kota Kabupaten yang baru Banjarnegara.

Dikarenakan  pada saat pengangkatannya status Kabupaten Banjar Watulembu yang terdahulu telah dihapus, maka Raden Tumenggung Dipoyudho IV dikenal sebagai Bupati Banjarnegara I (Pertama).

Peristiwa Pengangkatan Raden Tumenggung Dipoyudho IV pada tanggal 22 Agustus 1831 sebagai Bupati Banjarnegara inilah yang dijadikan dasar untuk menetapkan Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara, yaitu dengan Keputusan DPRD Kabupaten Dati II Banjarnegara tanggal 1 Juli 1981 dan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Banjarnegara Nomor 3 Tahun 1994 Tentang Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara.

Perang Diponegoro dan Berdirinya Kabupaten Banjarnegara

Pada tahun 1825 meletus Perang Diponegoro. Sebab-sebab meletusnya perang tersebut adalah akibat ketidakpuasan Pangeran Diponegoro terhadap kebijakan  pemerintah kolonial Belanda yang dianggap akan menggusur makam nenek moyang Pangeran Dipanegoro. Selain itu, persoalan di internal kraton Yogyakarta, terutama tentang suksesi pasca meninggalnya Hamengkubuwono ke-4 juga turut mengobarkan kemarahannya.  Perang Diponegoro berjalan kurang lebih selama lima tahun dan meluas ke hampir seluruh kawasan yang saat itu berada dalam kekuasaan dua kerajaan Jawa, yaitu Kerajaan Yogyakarta dan Kerajaan Surakarta.

Pasukan Diponegoro dalam jumlah yang besar yang dipimpin oleh Putra Pangeran Diponegoro, yaitu Pangeran Surya Atmaja masuk ke Banjar dari arah timur, yaitu dari Kaliwira, Tunggara, Banjar, Kutawaringin, terus ke barat ke Mandiraja, Purwareja-Klampok, dan akhirnya menyeberang ke utara ke Purbalingga. Pada saat itu semua bupati diinstruksikan untuk melawan pasukan Pangeran Diponegoro, tidak terkecuali Bupati Banjar Watu Lembu, yaitu Mangunbrata.

Pada tahun 1830,  Perang Diponegoro dapat diakhiri dengan cara-cara licik yang dilakukan oleh Belanda. Pangeran Diponegoro ditangkap dalam sebuah perundingan pura-pura di gedung Karesidenan Magelang. Ia akhirnya dibuang ke Manado dan Makassar sampai meninggal dunia pada tahun 1855. Akibat dari perang yang berjalan berlarut-larut tersebut menyebabkan Belanda nyaris bangkrut. Belanda tidak mau menanggung kerugian sendirian, dan membebankan biaya perang yang mencapai jutaan gulden kepada dua kerajaan, Yogyakarta dan Surakarta.

Kedua kerajaan tersebut keberatan jika harus menggantinya dengan uang, sehingga dicapai kesepakatan bahwa dua daerah mancanegara, yaitu mancanegara kilen (Banyumas dan sekitarnya) dan mancanegara wetan (Madiun dan sekitarnya) harus diserahkan kepada pihak Belanda. Penyerahan kedua daerah tersebut dilakukan pada pertengahan tahun 1830 beberapa saat setelah Pangeran Diponegoro ditangkap. Sejak saat itu daerah Banjar yang merupakan bagian dari Banyumas, menjadi daerah jajahan Belanda. Belanda segera melakukan penelitian terhadap daerah Banyumas.

Pada tahun itu juga dikirim tiga orang kontrolir, yaitu Tak, Vitalis, dan Daendels (Bukan Jenderal Daendels) untuk melakukan penelitian dan pengamatan terhadap seluruh wilayah Banyumas. Kontrolir Tak meneliti daerah Purbalingga, Kontrolir Vitalis bertugas meneliti daerah Banyumas, dan Kontrolir Daendels bertugas meneliti daerah Banjar (pada waktu itu belum disebut Banjarnegara). Reorganisasi pemerintahan juga segera dilakukan. Banjar dibagi menjadi tiga distrik, yaitu Distrik Banjar, Distrik Sigaluh, dan Distrik Mandiraja.

Setelah terlibat dalam Perang Diponegoro, ternyata pada tahun 1831 Mangunbrata ditemukan meninggal dunia secara tidak wajar, yaitu bunuh diri dengan cara menusuk perutnya. Mangunsubrata, yang merupakan anak dari Mangunbrata kemudian diangkat menjadi penguasa di Banjar Watu Lembu menggantikan ayahnya. Mangunsubrata tidak terlalu lama memerintah di Banjar Watu Lembu karena pemerintah kolonial Belanda kemudian menetapkan Banjar  sebagai kabupaten, dengan nama baru Kabupaten Banjarnegara, yang berada di bawah kekuasaan mereka dan mengangkat Raden Tumenggung Dipayuda IV menjadi bupati menggantikan bupati lama, Mangunsubrata, yang kekuasaannya bersifat turun-temurun. Penetapan tersebut dilakukan pada tanggal 22 Agustus 1831 berdasarkan Resolutie Gouverneur General Nomor I dan dimuat dalam Staatsblad Tahun 1831. Raden Tumenggung Dipayuda IV membangun pusat kekuasaan baru di daerah Kutawaringin dan diberi nama Banjarnegara. Sejak saat itu Mangunsubrata tidak berkuasa lagi, dan daerah Banjar Watu Lembu berlahan-lahan mengalami kemunduran.

Raden Tumenggung Dipayuda ke-4 adalah keturunan dari Tumenggung Dipayuda I yang merupakan Bupati Purbalingga pada periode awal. Sebelum diangkat menjadi Bupati Banjarnegara, Raden Tumenggung Dipayuda IV adalah penguasa di Adireja dan kemudian di Adipala. Penetapannya sebagai bupati di Banjarnegara kemungkinan besar sebagai bentuk penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda dan Kraton Surakarta karena yang bersangkutan telah membantu melawan pasukan Pangeran Diponegoro, beserta bupati-bupati lain di wilayah Banyumas. Selain mengangkat Raden Tumenggung Dipayuda IV sebagai bupati dengan gaji 800 gulden per bulan, pemerintah kolonial Belanda juga mengangkat Kontrolir Daendels menjadi asisten residen di Banjarnegara. Masyarakat setempat memanggil Daendels dengan sebutan Tuan Panggilmister.

Pembangunan di Kabupaten Banjarnegara

Pada saat Banjarnegara ditempatkan di bawah kekuasaan kolonial Belanda, kondisi daerah ini masih terbelakang. Secara umum kawasan banjarnegara merupakan kawasan terisolir yang memiliki hubungan yang sangat minim dengan daerah lain. Jalan-jalan di daerah ini sangat buruk, sungai-sungai banyak sekali yang tidak memiliki jembatan, dan saluran irigasi nyaris tidak ada sehingga lahan pertanian sangat tergantung pada air hujan. Kekuasaan tradisional sebelum Belanda berkuasa di Banjarnegara memang tidak memiliki perencanaan yang matang terhadap pembangunan di daerah.

Tahun 1846 Raden Tumenggung Dipayuda IV digantikan oleh Raden Tumenggung Dipadiningrat. Dipadiningrat memerintah Kabupaten Banjarnegara sampai pensiun tahun 1878, setelah itu digantikan oleh Mas Ngabehi Atmadipura yang sebelumnya menjabat Patih Kabupaten Purworejo.

Setelah menjadi bupati di Banjarnegara bergelar Raden Tumenggung Jayanegara I. Pada saat ia memerintah, pada tahun 1884 sistem irigasi modern pertama di bangun di Banjarnegara dan diberi nama irigasi Singamerta.

Irigasi ini berasal dari sungai Serayu yang dibendung di desa Singamerta kurang lebih empat kilometer sebelah timur kota Banjarnegara. Aliran irigasi tersebut menuju ke arah barat dan mengairi ratusan hektar sawah yang semula merupakan sawah tadah hujan.             

Di distrik Klampok, irigasi tersebut membelah menjadi dua dengan nama saluruan irigasi Blimbing dan saluran irigasi Siwuluh. Tahun 1889 berdiri pabrik gula di Klampok yang dipimpin oleh Administratur J.T. de Ruijter. Pabrik gula ini merupakan perluasan dari pabrik gula di Kalibagor di selatan Sokaraja. Namun perjalanan pabrik gula Klampok tidak berjalan lama, karena pada tahun 1932 pabrik tersebut ditutup akibat terkena dampak krisis ekonomi dunia, yang terkenal dangan nama malaise.

Pada tahun 1896 Raden Tumenggung Jayanegara I meninggal dunia, dan kedudukannya sebagai bupati digantikan oleh anaknya yang bernama Raden Jayamisena, yang sebelumnya menjabat Wedana Distrik Singamerta. Pada saat menjabat bupati, Jayamisena bergelar Raden Tumenggung Jayanegara II. Pada masa Bupati Jayenagara II, pemerintah kolonial Belanda membangun proyek irigasi raksasa dengan membendung Sungai Serayu di utara kota. Proyek irigasi tersebut dimulai tahun 1912 dengan lama pembangunan sekitar lima tahun. Proyek irigasi ini diberi nama Bandjar-Tjahjana Waterwerken (disingkat BTW), karena mengalir dari kota Banjarnegara sampai ke distrik Cahyana (Bukateja) di Purbalingga. Saluran airnya menembus beberapa perbukitan dan menembus di bawah sungai lain yaitu sungai Merawu di desa Jenggawur. Di sini saluran air harus dibuatkan syphon (gorong-gorong dari pipa). Aliran irigasi tersebut tidak boleh bercampur dengan air dari sungai Merawu karena air sungai Merawu menurut penelitian ahli pengairan Belanda tidak baik untuk mengairi sawah. Pembanguna  saluran irigasi Bandjar-Tjahjana tergolong sangat lama yaitu sampai lima tahun karena pengerjaannya sangat sulit dan harus membuat beberapa terowongan yang panjang menembus bukit dan bawah sungai. Dari irigasi ini ribuan tanah kering bisa disulap menjadi persawahan yang subur.

Pada periode ini perbaikan-perbaikan jalan yang menghubungkan ibu kota kabupaten dengan ibu kota distrik maupun ibukota onderdistrik  juga dilakukan. Jalan antara Banjarnegara – Blimbing – Sirongge yang tadinya harus melewati lereng-lereng tebing yang terlalu terjal akhirnya dibuat agak mendatar dengan cara membuatnya berkelok-kelok. Jalan yang menghubungkan Wanadadi – Banjarmangu kemudian ke Rejasa dan Madukara, dengan keputusan Direktur Pekerjaan Umum tanggal 15 Agustus 1905 juga diperlebar. Biaya yang dikeluarkan untuk proyek ini adalah  300 gulden. Demikian juga jalan dari Banjarnegara ke Karangkobar dan Kalibening, disamping dikeraskan di beberapa ruas jalan juga diperlebar.  

Raden Tumenggung Jayanegara II menjadi bupati di Banjarnegara sampai tahun 1927. Pada tahun itu ia menjalani masa pensiun dan digantikan oleh putranya yang bernama Raden Tumenggung Sumitra Kalapaking Purbanegara. Sumitra Kalapaking merupakan pribadi yang hebat. Ia mengenyam pendidikan Indologi di Negeri Belanda, aktif mengikuti gerakan kebangsaan untuk mendukung kemerdekaan Indonesia di Negeri Belanda, dan sempat mengembara ke berbagai Negara di Eropa. Menjelang Indonesia merdeka, ia juga menjadi anggota BPUPKI yang berkedudukan di Jakarta. Pada masa revolusi, Sumitra Kalapaking selain sebagai Bupati Banjarnegara juga menjabat sebagai Residen Pekalongan. Ia menjabat sebagai Bupati Banjarnegara sampai tahun 1950. Sejak saat itu bupati-bupati di Banjarnegara bukanlah keturunan dari bupati sebelumnya, tetapi bupati yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Masa feodalisme sistem pemerintahan di Kabupaten Banjarnegara berakhir setelah masa revolusi kemerdekaan, setelah masa kepemimpinan Bupati Sumitra Kalapaking.
‎‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar