Rabu, 14 Oktober 2015

Hukum Bermesraan Saat Berpuasa

DALAM bulan Ramadhan kita harus menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa, bukan hanya menahan makan dan minum, tapi juga harus bisa mengontrol syahwat kita. Apalagi dengan kehidupan rumah tangga, pasangan suami istri harus saling menjaga satu sama lainnya.

Tidak mengapa suami bermesraan dengan isterinya, atau isteri mengucapkan kata-kata mesra kepada sang suami saat puasa, dengan syarat keduanya merasa aman tidak keluar mani (akibat perbuatan tersebut). Jika keduanya tidak merasa aman dari keluarnya mani, seperti orang yang hasrat seksualnya tinggi dan dia khawatir apabila bermesraan dengan isterinya akan batal puasanya akibat keluar mani, maka tidak boleh baginya perbuatan itu, karena akan menyebabkan rusaknya puasa. Demikian pula halnya jika dia khawatir keluar mazi.

Bercumbu dengan istri ketika puasa adalah perkara yang diperbolehkan, namun bagaimanakah jika pada saat bercumbu dengan pasangan ternyata sampai keluar mani?

Bercumbu atau Mubasyaroh yang membatalkan puasa adalah dengan bersentuhan seperti ciuman tanpa ada pembatas, atau bisa pula dengan mengeluarkan mani lewat tangan (onani). Sedangkan jika keluar mani tanpa bersentuhan seperti keluarnya karena mimpi basah atau karena imajinasi lewat pikiran, maka tidak membatalkan puasa.

Adapun Di antara dalilnya adalah:

Pertama, dari Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan:

كان رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُقَبِّلُ وهُو صَائِمٌ وَيُباشِر وَهُو صَائِمٌ ولَكِنَّه كَان أَملَكَكُم لأَرَبِه

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium dan bercumbu dengan istrinya ketika puasa, namun beliau adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Kedua, dalam riwayat yang lain, Aisyah juga mengatakan:

كان رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُقَبِّلُني وهُو صَائِمٌ وأنا صائمة

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menciumku ketika beliau sedang berpuasa dan aku juga berpuasa.” (Abu Daud dengan sanad sesuai syarat Bukhari)

Ketiga, Dalam hadis Ummu Salamah juga menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciumnya ketika beliau sedang puasa (HR. Bukhari)

Pemahaman dan Kesimpulan Hadits;

-       Masalah jimak di siang hari Ramadan bagi orang yang terkena kewajiban puasa, sudah disepakati hukumnya haram dan membatalkan puasa dengan ketentuan khusus yang akan dibahas dalam hadits berikutnya.

-       Akan tetapi, terkait dengan hukum mencium isteri atau mencumbunya selain jimak. Para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa hukumnya makruh secara mutlak, adapula yang mengatakan haram secara mutlak, adapula yang menyatakan mubah (boleh) secara mutlak. Akan tetapi, pendapat yang dikuatkan adalah merinci berdasarkan kondisi pelakunya, yaitu jika orang yang melakukannya memiliki hasrat yang tinggi dan mudah terangsang, maka makruh baginya mencium isterinya saat puasa, seperti pasangan muda atau orang yang baru menikah. Akan tetapi bagi yang tidak mudah terangsang, maka hal tersebut dibolehkan baginya.


Hal ini berdasarkan perkataan Aisyahradhiallahu anha; وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ ِلإِرْبِهِ (akan tetapi dia adalah orang yang paling mampu menahan keinginannya di antara kalian) yang menunjukkan    bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah orang yang paling dapat menjaga keinginannya.

Sebagian ulama menganggap bahwa perkataan Aisyah radhiallahu anha menunjukkan kekhususan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam masalah ini. Karena hanya beliaulah yang dapat mengendalikan hawa nafsunya. Yang lain berpendapat bahwa perkataan Aisyah menunjukkan kebolehan bagi siapa saja yang dapat mengendalikan syahwatnya dan larangan bagi siapa saja yang tidak dapat mengendalikan syahwatnya. 

- Pendapat kedua ini lebih dikuatkan karena tidak petunjuk jelas yang menunjukkan hal tersebut sebagai kekhususan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Disamping,  pada kenyataannya memang ada orang yang dapat mengendalikan syahwatnya dan ada yang tidak. Juga berdasarkan riwayat bahwa Umar bin khattab yang pernah mengadu kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa dia mencium isterinya saat berpuasa, maka beliau mengatakan bahwa hal itu tidak apa-apa, seperti orang yang berkumur saat berpuasa. (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Al-Arna'uth)

- Diluar perdebatan itu, tentu saja menghindari perbuatan ini, mencium dan mencumbu, lebih utama dan lebih terjaga dari hal-hal yang dapat merusak puasa.

-       Diperdebatkan pula terkait dengan hadits ini, apakah mencium atau mencumbu isteri dapat membatalkan puasa atau tidak. Sebagian berpendapat bahwa mencium isteri saat berpuasa membatalkan secara mutlak, dia harus mengqadha puasa hari itu setelah Ramadan. Sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa mencium dan mencumbu, selagi tidak keluar mani, maka hal tersebut tidak membatalkan puasa. Pendapat terakhir ini yang dikuatkan sebagian ulama. Kurang lebih, landasan pendapat dan argumentasinya merujuk kepada hadits di atas.

-       Terkait dengan masalah keluar mani, para ulama membedakan masalahnya. Jika seseorang mengalami keluar mani karena perbuatan yang disengaja secara sadar seperti mencium, mencumbu, masturbasi, memandang terus menerus, dan semacamnya, maka jumhur ulama berpendapat bahwa hal tersebut membatalkan puasa. Dia harus mengqadha puasa hari itu. Namun tidak diwajibkan membayar kafarat sebagaimana halnya orang yang berjimak.

-       Adapun jika akibat perbuatan tersebut keluar mazi saja, para ulama berbeda pendapat. Sebagian menyatakan batal puasanya, sebagian lainnya menyatakan tidak. Pendapat terakhir (tidak membatalkan) dikuatkan oleh sejumlah ulama termasuk di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dan Al-Lajnah Da'imah dalam fatwanya (9222) juga menyatakan demikian.

-       Di luar itu, dia harus bertaubat atas tindakannya yang dapat merusak atau mengurangi pahala puasanya . Juga hendaknya bertaubat jika pebuatan yang dilakukan termasuk perkara yang diharamkan seperti masturbasi.

-       Adapun jika keluar mani tanpa perbuatan yang disengaja dan disadari, seperti mimpi junub di siang hari Ramadan, atau memandang sekilas tanpa diulangi lalu timbul syahwat hingga keluar mani. Maka keluar mani seperti ini tidak membatalkan puasa. Hanya saja orang tersebut wajib mandi junub untuk melakukan ibadah shalat dan lainnya.


Sementara syarat tidak boleh keluar mani adalah hadis yang menyebutkan keutamaan puasa. Dalam hadis tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan sifat orang yang berpuasa, dia tinggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya, dalam hadis qudsi tersebut Allah berfirman:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ: فَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ، إِلَّا الصِّيَامَ هُوَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، إِنَّهُ يَتْرُكُ الطَّعَامَ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي

“Semua amal Ibnu Adam itu miliknya, dan setiap ketaatan dilipatkan sepuluh kali sampai 700 kali. Kecuali puasa, yang itu milik-Ku dan aku sendirilah yang akan membalasnya. Dia tinggalkan makanan dan syahwatnya karena-Ku.” (HR. Ad-Darimi, At-Thabrani, Ibnu Khuzaimah, dll)

Allah sifati orang yang berpuasa adalah orang yang meninggalkan syahwatnya. Artinya jika dia sampai keluar mani ketika mencumbu istrinya maka dia telah menunaikan syahwatnya, sehingga puasanya batal.

Semakna dengan hadis ini adalah riwayat dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma bahwa Umar bin Khothab radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

هَشَشتُ يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ

“Suatu hari nafsuku bergejolak maka aku-pun mencium (istriku) padahal aku puasa, kemudian aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata: Aku telah melakukan perbuatan yang berbahaya pada hari ini, aku mencium sedangkan aku puasa. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتُ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ

“Apa pendapatmu kalau kamu berkumur dengan air padahal kamu puasa?” Aku jawab: Boleh. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Lalu ‎kenapa mencium bisa membatalkan puasa?” (HR. Ahmad dan dishahihkan Syu’aib Al Arnauth)

Dalam hadis Umar di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meng-qiyaskan (analogi) antara bercumbu dengan berkumur. Keduanya sama-sama rentan dengan pembatal puasa. Ketika berkumur, orang sangat dekat dengan menelan air. Namun selama dia tidak menelan air maka puasanya tidak batal. Sama halnya dengan bercumbu. Suami sangat dekat dengan keluarnya mani. Namun selama tidak keluar mani maka tidak batal puasanya.

Pendapat Para Ulama

Muhammad Al Hishni rahimahullah berkata, “Termasuk pembatal jika mengeluarkan mani baik dengan cara yang haram seperti mengeluarkan mani dengan tangan sendiri (onani) atau melakukan cara yang tidak haram seperti onani lewat tangan istri atau budaknya.” Lalu beliau katakan bahwa bisa dihukumi sebagai pembatal karena maksud pokok dari hubungan intim (jima’) adalah keluarnya mani. Jika jima’ saat puasa diharamkan dan membuat puasa batal walau tanpa keluar mani, maka mengeluarkan mani seperti tadi lebih-lebih bisa dikatakan sebagai pembatal. Juga beliau menambahkan bahwa keluarnya mani dengan berpikir atau karena ihtilam (mimpi basah) tidak termasuk pembatal puasa. Para ulama tidak berselisih dalam hal ini, bahkan ada yang mengatakan sebagai ijma’ (konsensus ulama).” (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 251).

Al Baijuri menyebutkan bahwa keluarnya madzi tidak membatalkan puasa walau karena bercumbu. (Lihat Hasyiyah Al Baijuri, 1: 560).Sementara menurut Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho berkata, “Diharamkan mencium pasangan saat puasa Ramadhan bagi yang tinggi syahwatnya karena hal ini dapat mengantarkan pada rusaknya puasa. Sedangkan bagi yang syahwatnya tidak bergejolak, maka tetap lebih utama ia tidak mencium pasangannya.” (Lihat Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 344).

Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa bercumbu dengan istri diperbolehkan ketika puasa dengan syarat tidak sampai keluar mani, karena jika keluar mani maka akan membatalkan puasa. Oleh karena itu, untuk pasangan yang memiliki syahwat yang tinggi maka hindari bercumbu saat puasa, karena dikhawatirkan akan merusak puasanya. Sehingga untuk kehati-hatian, alangkah lebih baik jika kita tetap bersabar ‘melakukan itu’ sampai waktu berbuka puasa tiba. Waallahu’alam.

Adapun keadaan yang pertama (tidak  sampai  menjadikannya  keluar mani atau madzi), Ulama telah berbeda pendapat dalam hukum orang tersebut, dalam beberapa pendapat:

Pertama, Puasanya tidak menjadi batal. Dan dia diperbolehkan melakukan hubungan semisal mencium dan menggauli istrinya namun tidak sampai melakukan jima’.

Pendapat ini adalah pendapat Aisyah, Umar bin al-Khaththab, Abu Sa’id al-Khudri, Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Hudzaifah, Ali bin Abi Thalib, Ummu Salamah, Atikah, Ikrimah, al-Hasan al-Bashri, Abu Salamah  bin  Abdurrahman  bin  ‘Auf,  Sa’id  bin  Jubair,  asy-Sya’bi  dan Masruq.

Dalil  sandaran  pendapat  ini  adalah  beberapa  dalil  dari  sunnah, diantaranya,

Hadist  Aisyah -radhiallahu  ‘anha-,  bahwa  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  mencium  dan berhubungan  dengan  istri  beliau,  disaat  beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  sedang  menjalankan puasa. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang paling sanggup mengendalikan dirinya.”

(HR. al-Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 777)

Dan juga hadits dari Aisyah -radhiallahu ‘anha-, beliau mengatakan, “Adalah  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian dari istri  beliau  disaat  beliau sedang berpuasa.”

(HR. al-Bukhari no. 1928)

Dan  hadits  Hafshah  -radhiallahu  ‘anha-,  beliau  berkata,  “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium -istrinya- disaat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berpuasa.”

(HR. Muslim no. 1107, an-Nasa`i 2/502 dan Ibnu Majah no. 1685)

Dan  Masruq  meriwayatkan  bahwa  dia  bertanya  kepada  Aisyah  -radhiallahu  ‘anha-,  “Apakah  yang  diperbolehkan  bagi  seorang  laki-laki terhadap istrinya disaat dia sedang berpuasa?”

Aisyah menjawab, “Segala sesuatu -dibolehkan- selain jima’.”

(HR. Abdurrazzaq 4/ no. 8439 dan Ibnu Abi Syaibah 3/63)

Dan dari Atha` bin Yasar dari seseorang dari kaum Anshar, bahwa dia mengabarkan kepadanya, “Bahwa dia telah mencium istrinya di zaman Nabi r sementara dia tengah berpuasa. Lalu dia menyuruh istrinya agar bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu.”

Maka  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  “Sesungguhnya  Rasulullah  melakukan  hal itu.”

Istri  orang  tersebut  lalu  mengabarkan  sabda  beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya.  Maka suaminya  berkata,  “Sesungguhnya  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  telah  diberi  keringanan  pada beberapa hal. Kembalilah dan tanyakan hal itu kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Istrinya lalu kembali menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebutkan perkataan suaminya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saya adalah yang paling bertakwa diantara kalian dan yang paling mengetahui akan hukum-hukum Allah.”

(HR. Abdurrazzaq 4/184)

Zhahir  hadits-hadits  diatas  menunjukkan  bahwa  beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  telah melakukan hal tersebut, yakni mencium dan menggauli istrinya selain jima’.

Dan  perbuatan  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan  pembolehan,  sedangkan  klaim pengkhususan hanya pada  diri  Nabi r juga  terbantahkan dengan hadits yang diriwayatkan dari Atha` bin Yasar dari seseorang sahabat Anshar.

Kedua, bahwa hubungan tersebut menggugurkan puasanya.

Pendapat  ini  adalah  mazhab  ulama  Malikiyah  dan  Hanafiyah.  Serta diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab, Ibnu Umar, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Abu Qilabah, Ibnu al-Hanafiyah, Abu Rafi’, Masruq dan Ibnu Syabramah.

Mereka berdalilkan dengan beberapa dalil, diantaranya; Firman Allah ta’ala,

“Dan  sekarang  gaulilah  mereka  dan  carilah  segala  yang  Allah  telah haruskan  bagi  kalian.  Dan  makan  dan  minumlah  kalian  hingga  menjadi jelas  bagi  kalian  benarng  putih  dari  benang hitam  dari  fajar. Setelah itu sempurnakanlah puasa hingga waktu malam.” (al-Baqarah: 187)

Dan hadits Jabir bin Abdullah, dimana disebutkan bahwa Umar bin al-Khaththab berkata, “Saya telah terbawa luapan gembira hingga mencium istriku  sedangkan  saya  sedang  berpuasa.  Maka  saya  bertanya,  “Wahai Rasulullah, saya telah melakukan sebuah dosa besar pada hari ini, saya telah mencium istriku, sedangkan saya sedang berpuasa.”

Maka  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,  “Bagaimanakah  pendapat  anda  jika  anda berkumur-kumur dengan air disaat anda sedang berpuasa?”

Saya menjawab, “Tidak mengapa.” Beliau bersabda, “Lalu ada gerangan apa -dengan mencium istri- !?”

(HR. Abu Dawud no. 2385, Ahmad 1/21, 215, ad-Darimi no. 1724 dan Ibnu Khuzaimah no. 1999)

Dan juga dengan atsar Umar bin al-Khaththab, beliau berkata, “Saya melihat berjumpa dengan Rasulullah di saat saya mimpi di malam hari dan beliau sama sekali tidak menoleh kepadaku. Lantas saya berkata, “Wahai Rasulullah, ada apakah denganku?”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,  “Bukankah  engkau  telah  mencium  istrimu  disaat engkau sedang berpuasa?”

Maka  saya  berkata,  “Demi  yang mengutus  Anda  dengan  kebenaran,  saya tidak akan mencium istriku lagi setelah itu disaat saya berpuasa.”

(Disebutkan oleh Ibnu Hazm didalam al-Muhalla 4/342)

Ketiga, bahwa hubungan tersebut suatu yang makruh, secara mutlak.

Pendapat ini merupakan pendapat Imam Malik, dan juga diriwayatkan dari Sa’id  bin  al-Musayyab,  an-Nakha’i,  Abdullah  bin  al-Mughaffal,  Sa’id  bin Jubair, Urwah dan dari Ibnu Abbas.

Argumen yang dijadikan sandaran oleh ulama yang mengemukakan pendapat ketiga ini adalah hadits-hadits pada bab permasalahan ini. Dan mereka  menempuh  metode  penyelarasan  antara  hadits-hadits  itu,  bahwa kesemuanya menunjukkan hukum makruh. Wallahu a’lam.

Keempat, bahwa hubungan tersebut diperbolehkan bagi seorang yang telah berusia lanjut dan makruh bagi yang masih remaja.

Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Makhul, asy-Sya’bi, Atha` bin Rabah dan az-Zuhri.

Adapun argumentasi ulama pada pendapat yang keempat ini, adalah hadits  yang  diriwayatkan  dari  Abu  Hurairah  -radhiallahu  ‘anhu,  beliau berkata, “Bahwa seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menggauli istri bagi seorang yang sedang berpuasa, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan baginya.  Kemudian  datang  seorang  lainnya  yang  menanyakan  hal  yang sama, namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya.

Dan  ternyata  yang  mendapatkan  keringanan  adalah  seorang  yang  telah berusia lanjut, sedangkan yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam larang adalah seorang pemuda.”

(HR. Abu Dawud no. 2387)

Dan atsar Ibnu Abbas  -radhiallahu ‘anhuma- bahwa beliau ditanya tentang  hukum  mencium  istri  bagi  seorang  yang  sedang  berpuasa?Lalu beliau memberi keringanan bagi yang telah berusia lanju dan membencinya bagi seorang pemuda.

(HR. Malik didalam al-Muwaththa` 1/93)

Kelima, bahwa hubungan tersebut adalah kekhususan bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalil yang dijadikan sandaran pada pendapat ini adalah hadits ‘Amru bin  Abi  Salamah  bahwa  dia  bertanya  kepada  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,  bolehkah seseorang mencium istrinya ketika sedang berpuasa?

Maka  beliau  Shallallahu ‘alaihi wa sallamr  bersabda  kepadanya, “Tanyakanlah  kepadanya -yaitu kepada Ummu Salamah-.” Maka Ummu Salamah mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal itu.

‘Amru bin Abi Salamah berkata, “Wahai Rasulullah, dosa-dosa anda yang terdahulu dan yang akan datang telah terampuni.”

Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallamr  bersabda  kepadanya,  “Adapun  hal  tersebut,  demi  Allah, sesungguhnya  saya  adalah  yang  paling  bertakwa  kepada  Allah  diantara kalian dan yang paling takut kepada Allah diantara kalian.” (Telah disebutkan sebelumnya)

Dan juga dengan hadits Atha` bin Yasar terdahulu.

Keenam, bahwa bagi seseorang yang dapat menahan diri dan syahwatnya maka  berciuman dan berhubungan dengan istri selain jima’ diperbolehkan baginya. Sedangkan bagi yang tidak dapat menguasai dirinya, hal semacam itu tidak diperbolehkan.

Pendapat ini merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Imam asy-Syafi’i.

Mereka berargumen dengan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu- yang telah disebutkan sebelumnya, tentang seseorang yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang  hukum  menggauli  istri  bagi  seorang  yang  sedang berpuasa,  yang  kemudian  beliau  Shallallahu ‘alaihi wa sallam  memberi  keringana  kepadanya.  Dan seorang lainnya menanyakan hal yang sama, namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Dan  ternyata  yang  diberi  keringanan  adalah  seorang  yang  telah  berusia lanjut, sedangkan yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam larang adalah seorang pemuda.

Mereka  mengatakan,  dikarenakan  seorang  yang  berusia  lanjut, syahwatnya telah berkurang, dan dapat mengendalikan dirinya untuk tidak tergelincir pada hal yang terlarang, berbeda halnya dengan seorang pemuda.

Pendapat yang rajih/lebih tepat -insya Allah- adalah pendapat yang pertama. Bahwa  mencium  disaat  seseorang  sedang  mengerjakan  puasa tidaklah sampai membatalkan ibadah puasa dan tidak ada kaffarah baginya dan juga tidak diharuskan mengqadha`. Baik yang melakukannya adalah seorang yang telah berusia lanjut maupun masih seorang pemuda, baik dia dapat mengontrol dirinya ataupun tidak, selama dia tidak melakukan jima’.

(hubungan intim) pada kemaluan istrinya. Pendapat ini yang didukung oleh dalil-dalil syara’.

Adapun ulama yang berpendapat bahwa hal tersebut makruh, hadits-hadits yang  ada  pada  bab  ini  adalah  sanggahan  terhadap  pendapat  tersebut.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya, dan tidaklah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan suatu perbuatan yang terbenci (makruh).

Sedangkan   ayat   yang   dijadikan   sandaran   oleh   ulama   yang menghukumi batalnya  puasa karena  mencium dan menggauli istri selain jima’, ayat tersebut bukanlah dalil bagi pendapat ini. Dan jikalau, inferensi ayat  tersebut  diandaikan  sesuai  pendapat  ini,  hal  itupun  hanya  sebatas menunjukkan  larangan  menggauli  istri.  Dan  kandungannya  sangatlah umum. Mencakup menggauli istri hingga jima’ dan tidak sampai melakukan jima’.   Dan   hadits-hadits   yang   shahih   diriwayatkan   dari   Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan  maksud  ayat,  bahwa  menggauli  istri  selain  jima’  tidaklah sampai membatalkan puasa.

Atsar  Umar  bin  al-Khaththab,  bahwa  beliau  bermimpi  bertemu dengan  Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam,    …  dan  seterusnya.  Al-‘Allamah  Ibnu  Hazm   -rahimahullah-   telah   mencela   bentuk   argumen   semisal   ini.   Beliau mengatakan,  “Syariat-syariat  Islam  tidaklah  disadur  dari  mimpi.  Terlebih Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah  berfatwa  kepada  Umar  disaat  beliau  sadar  dan Rasulullah r masih hidup, akan pembolehan mencium istri bagi seseorang yang  berpuasa.  Maka  termasuk  kebatilan,  jika  hukum  itu  terhapuskan hanya dengan mimpi belaka. Na’udzu billahi dari hal ini.”

Dan  beliau  -rahimahullah-  juga  mengatakan,  bahwa  pada  sanad  atsar tersebut terdapat perawi bernama Umar bin Hamzah bahwa dia perawi yang tidak dianggap sama sekali.

Hadist Jabir bin Abdillah, dapat dijawab sebagaimana perkataan anNawawi,  ” …  sabda  beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam,  “Bagaimana  pendapat  anda  jika  anda berkumur-kumur?”

Makna  hadits,  bahwa  berkumur-kumur  adalah  awal  mula  minum.  Dan anda  telah  mengetahui  bahwa  berkumur-kumur  tidaklah  membatalkan puasa, maka demikian halnya dengan mencium yang merupakan awal mula jima’ juga tidak membatalkan puasa.”

Sedangkan  ulama  yang  membedakan  antara  seorang  yang  telah berusia lanjut dan seorang pemuda, yang berargumen dengan hadits Abu Hurairah, dapatlah dijawab bahwa hadits yang menjadi sandaran hukum mereka adalah hadits yang dha’if, pada sanadnya terdapat Abu al-‘Anbas dia perawi yang majhul.

Imam Ibnu Hazm -rahimahullah- mengatakan, “Dan  yang  turut mendustakan  pendapat  yang  mengklaim  adanya  perbedaan,  bahwa  hal tersebut  makruh  bagi  pemuda  dan  dibolehkan  bagi  seorang  yang  telah berusia lanjut, adalah ‘Amru bin Abi Salamah seorang yang masih remaja dan dalam gejolak usia remaja beliau. Dimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan ‘Amru bin Abi   Salamah   adalah   anak   Ummu   Salamah   ummul-Mukminin.   Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkannya denan putri Hamzah radhiallahu ‘anhu.

Dan juga telah dikemukakan sebelumnya bahwa Aisyah -radhiallahu ‘anhatelah  menyuruh  keponakannya  untuk  mencium  istrinya  Aisyah  binti Thalhah. Dimana keponakannya saat itu masihlah remaja.”

Sedangkan  ulama  yang  berpendapat  bahwa  hal  tersebut  berlaku khusus  hanya  bagi  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,  dapat  dijawab  dengan  hadits-hadits lainnya,  semisal  hadits  Aisyah -radhiallahu  ‘anha-  dan  selainnya  yang menunjukkan  pembolehan  hal  tersebut  bagi  selain  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Maka  klaim pengkhususan tersebut telah gugur dengan sendirinya.

(Lihat  didalam    al-Umm  2/84,  al-Minhaj  3/214,  al-Majmu’  6/323,  al-Muhalla 4/334-338 no. 753, al-Mughni 4/182-183, Zaad al-Ma’ad 2/57, al-Mawahib 3/331,  Kasysyaf   al-Qina’ 2/388-389,   Subul  as-Salam 2/877-879 dan Nail al-Authar 4/236-237)


SAMPAI MENJADIKANNYA KELUAR MANI ATAU MADZI (Tanpa Jima’)

Adapun keadaan yang kedua, jikalau hubungan intim tersebut, yakni mencium   atau   menggauli   istri   namun   tidak   sampai   terjadi   jima’ menyebabkan seseorang yang berpuasa tersebut mengeluarkan mani atau madzi, apakah membatalkan puasanya atau tidak?

Terdapat dua pendapat dikalangan ulama.

Pendapat sebagian besar ulama, yang juga merupakan mazhab Imam yang Empat, bahwa mencium dan menggauli istri selain jima’ hingga keluarnya mani  atau  madzi  dapat  membatalkan  puasa,  walau  mereka  berbeda pendapat hukum yang melakukan hal tersebut karena sengaja dan karena lupa.

Mereka  mengatakan,  karena  hal  tersebut  serupa  dengan  jima’. Sementara telah shahih diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah ta’ala berfirman, “Dia -seorang yang berpuasa- meninggalkan makan dan minumnya serta syahwatnya karena mengharapkan pahala dariku.” Dan amalan ini melazimkan adanya gejolak syahwat.

Sebagian  ulama  lainnya  berpendapat,  bahwa  hal  tersebut  tidaklah membatalkan   puasa,   baik   dia   melakukannya   dengan   niat   untuk mengeluarkan  mani  atau  madzi  ataukah  tidak.  Pendapat  ini  adalah pendapat yang dikuatkan oleh al-Faqih Ibnu Hazm, ash-Shan’ani dan asy-Syaukani  -rahimahumullah-. Karena hukum-hukum syara’  (puasa) dalam hal ini dikaitkan dengan jima’ semata.    Dan tidak terdapat satupun dalil dari al-Qur`an, as-Sunnah, Ijma’ dan pendapat shahabat yang mendukung pendapat yang menyatakan batalnya puasa karena hal tersebut.

(Lihat al-Muhalla  4/masalah no.  753, al-Majmu’  6/322-323, al-Mughni 4/182-183, Subul as-Salam 2/877-879 dan Nail al-Authar 4/236-237)

2          Atsar  Ali  bin  Abi  Thalib,  diriwayatkan  dari  jalan  Urjufah  dari  Ali,  beliau mengatakan, “Bagi siapa yang berbuka dengan sengaja pada siang hari Ramadhan maka  dia  selamanya  tidak  mengqadha`nya,  sepanjang  tahun,  tidak  sebagaimana yang mereka katakan apabila seseorang berhubungan intim dengan istrinya pada siang hari Ramadhan.”

(HR. Ibnu Abi Syaibah didalam al-Mushannaf 2/no. 9785)

3       Atsar  Abdullah  bin  Mas’ud,  diriwayatkan  dari  jalan  Abdullah  al-Yasykuri,  dia

mengatakan,  Abdullah  berkata,  “Barang  siapa  yang  berbuka  pada  siang  hari Ramadhan dengan sengaja, tanpa -udzur- safar/bepergian jauh atau sakit, tidaklah dia selamanya mengqadha`nya, walau dia berpuasa setahun penuh.”

(HR. Ibnu Abi Syaibah 2/no. 9800 dan al-Baihaqi didalam as-Sunan al-Kubra 4/228)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar