Rabu, 07 Oktober 2015

Kisah Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani Rh

Pada akhir abad kedelapan hijriah dan pertengahan abad kesembilan hijriah termasuk masa keemasan para ulama dan terbesar bagi perkembangan madrasah, perpustakaan dan halaqah ilmu, walaupun terjadi keguncangan sosial politik. Hal ini karena para penguasa dikala itu memberikan perhatian besar dengan mengembangkan madrasah-madrasah, perpustakaan dan memotivasi ulama serta mendukung mereka dengan harta dan jabatan kedudukan. Semua ini menjadi sebab berlombanya para ulama dalam menyebarkan ilmu dengan pengajaran dan menulis karya ilmiah dalam beragam bidang keilmuan. Pada masa demikian ini muncullah seorang ulama besar yang namanya harum hingga kini Al-Haafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani. Berikut biografi singkat beliau:

Nama dan Nashab

Beliau bernama Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar Al-Kannani Al-Asqalani Al-Mishri. (Lihat Nazhm Al-‘Uqiyaan Fi A’yaan Al-A’yaan, karya As-Suyuthi hal 45)

Kelahirannya

Beliau dilahirkan tanggal 12 Sya’ban tahun 773 Hijriyah (18 Pebruari 1372 Masehi) di pinggiran sungai Nil di Mesir kuno. Tempat tersebut jaraknya berdekatan dengan Dar An-Nuhas dekat masjid Al-Jadid.(Lihat ‎Adh-Dahu’ Al-Laami’ karya imam As-Sakhaawi 2/36 no. 104 dan Al-badr At-Thaali’ karya Asy-Syaukani 1/87 no. 51).
Ibnu Hajar adalah seorang yang mempunyai tinggi badan sedang berkulit putih, mukanya bercahaya, bentuk tubuhnya indah, berseri-seri mukanya, lebat jenggotnya, dan berwarna putih serta pendek kumisnya. Beliau adalah seorang yang mempunyai pendengaran dan penglihatan yang sehat, kuat dan utuh giginya, kecil mulutnya, kuat tubuhnya, bercita-cita tinggi, kurus badannya, fasih lisannya, lirih suaranya, sangat cerdas, pandai, pintar bersyair dan menjadi pemimpin di masanya. ‎

Gelar dan Kunyah Beliau

Beliau seorang ulama besar madzhab Syafi’i, digelari dengan ketua para qadhi,syaikhul islam, hafizh Al-Muthlaq (seoranghafizh secara mutlak), amirul mukminindalam bidang hadist dan dijulukisyihabuddin dengan nama pangilan (kunyah-nya) adalah Abu Al-Fadhl. Beliau juga dikenal dengan nama Abul Hasan Ali dan lebih terkenal dengan nama Ibnu Hajar Nuruddin Asy-Syafi’i. Guru beliau, Burhanuddin Ibrahim Al-Abnasi memberinya nama At-Taufiq dan sang penjaga tahqiq.

Sifat beliau

Ibnu Hajar adalah seorang yang mempunyai tinggi badan sedang berkulit putih, mukanya bercahaya, bentuk tubuhnya indah, berseri-seri mukanya, lebat jenggotnya, dan berwarna putih serta pendek kumisnya. Dia adalah seorang yang pendengaran dan penglihatan sehat, kuat dan utuh giginya, kecil mulutnya, kuat tubuhnya, bercita-cita tinggi, kurus badannya, fasih lisannya, lirih suaranya, sangat cerdas, pandai, pintar bersyair dan menjadi pemimpin dimasanya.

Pertumbuhan dan belajarnya

Ibnu Hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim, ayah beliau meninggal ketika ia berumur 4 tahun dan ibunya meninggal ketika ia masih balita. Ayah beliau meninggal pada bulam rajab 777 H. setelah berhaji dan mengunjungi Baitulmaqdis dan tinggal di dua tempat tersebut. Waktu itu Ibnu Hajar ikut bersama ayahnya. Setelah ayahnya meninggal beliau ikut dan diasuh oleh Az-Zaki Al-Kharubi (kakak tertua ibnu Hajar) sampai sang pengasuh meninggal. Hal itu karena sebelum meninggal, sang ayah berwasiat kepada anak tertuanya yaitu saudagar kaya bernama Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ahmad Al-Kharubi (wafat tahun 787 H.) untuk menanggung dan membantu adik-adiknya. Begitu juga sang ayah berwasiat kepada syaikh Syamsuddin Ibnu Al-Qaththan (wafat tahun 813 H.) karena kedekatannya dengan Ibnu Hajar kecil.

Ibnu Hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim piatu yang menjaga iffah (menjaga diri dari dosa), sangat berhati-hati, dan mandiri dibawah kepengasuhan kedua orang tersebut. Zaakiyuddin Abu Bakar Al-Kharubi memberikan perhatian yang luar biasa dalam memelihara dan memperhatikan serta mengajari beliau. Dia selalu membawa Ibnu Hajar ketika mengunjungi dan tinggal di Makkah hingga ia meninggal dunia tahun 787 H.

Pada usia lima tahun Ibnu Hajar masuk Al-Maktab (semacam TPA sekarang) untuk menghafal Alquran, di sana ada seorang guru yang bernama Syamsuddin bin Al-Alaf yang saat itu menjadi gubernur Mesir dan juga Syamsuddin Al-Athrusy. Akan tetapi, ibnu Hajar belum berhasil menghafal Alquran sampai beliau diajar oleh seorang ahli fakih dan pengajar sejati yaitu Shadruddin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq As-Safthi Al Muqri’. Kepada beliau ini lah akhirnya ibnu Hajar dapat mengkhatamkan hafalan Alqurannya ketika berumur sembilan tahun.

Ketika Ibnu Hajar berumur 12 tahun ia ditunjuk sebagai imam shalat Tarawih di Masjidil Haram pada tahun 785 H. Ketika sang pengasuh berhaji pada tahun 784 H. Ibnu Hajar menyertainya sampai tahun 786 H. hingga kembali bersama Al-Kharubi ke Mesir. Setelah kembali ke Mesir pada tahun 786 H. Ibnu Hajar benAr-benar bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, hingga ia hafal beberapa kitab-kitab induk seperti Al-‘Umdah Al-Ahkaam karya Abdulghani Al-Maqdisi, Al-Alfiyah fi Ulum Al-Hadits karya guru beliau Al-Haafizh Al-Iraqi, Al-Haawi Ash-Shaghi karya Al-Qazwinir, Mukhtashar ibnu Al-Haajib fi Al-Ushul dan Mulhatu Al-I’rob serta yang lainnya.

Pertama kali ia diberikan kesenangan meneliti kitab-kitab sejarah (tarikh) lalu banyak hafal nama-nama perawi dan keadaannya. Kemudian meneliti bidang sastra Arab dari tahun 792 H. dan menjadi pakar dalam syair.

Kemudian diberi kesenangan menuntut hadits dan dimulai sejak tahun 793 H. namun beliau belum konsentrasi penuh dalam ilmu ini kecuali pada tahun 796 H. Diwaktu itulah beliau konsentrasi penuh untuk mencari hadits dan ilmunya.

Saat ketidakpuasan dengan apa yang didapatkan akhirnya Ibnu Hajar bertemu dengan Al-Hafizh Al-Iraqi yaitu seorang syaikh besar yang terkenal sebagai ahli fikih, orang yang paling tahu tentang madzhab Syafi’i. Disamping itu ia seorang yang sempurna dalam penguasaan tafsir, hadist dan bahasa Arab. Ibnu Hajar menyertai sang guru selama sepuluh tahun. Dan dalam sepuluh tahun ini Ibnu Hajar menyelinginya dengan perjalanan ke Syam dan yang lainnya. Ditangan syaikh inilah Ibnu Hajar berkembang menjadi seorang ulama sejati dan menjadi orang pertama yang diberi izin Al-Iraqi untuk mengajarkan hadits. Sang guru memberikan gelar Ibnu Hajar dengan Al-Hafizh dan sangat dimuliakannya. Adapun setelah sang guru meninggal dia belajar dengan guru kedua yaitu Nuruddin Al-Haitsami, ada juga guru lain beliau yaitu Imam Muhibbuddin Muhammad bin Yahya bin Al-Wahdawaih melihat keseriusan Ibnu Hajar dalam mempelajari hadits, ia memberi saran untuk perlu juga mempelajari fikih karena orang akan membutuhkan ilmu itu dan menurut prediksinya ulama didaerah tersebut akan habis sehingga Ibnu Hajar amat diperlukan.

Imam Ibnu Hajar juga melakukan rihlah(perjalanan tholabul ilmi) ke negeri Syam, Hijaz dan Yaman dan ilmunya matang dalam usia muda himgga mayoritas ulama dizaman beliau mengizinkan beliau untuk berfatwa dan mengajar.

Beliau mengajar di Markaz Ilmiah yang banyak diantaranya mengajar tafsir di Al-madrasah Al-Husainiyah dan Al-Manshuriyah, mengajar hadits di Madaaris Al-Babrisiyah, Az-Zainiyah dan Asy-Syaikhuniyah dan lainnya. Membuka majlisTasmi’ Al-hadits di Al-Mahmudiyah serta mengajarkan fikih di Al-Muayyudiyah dan selainnya.

Beliau juga memegang masyikhakh(semacam kepala para Syeikh) di Al-Madrasah Al-Baibrisiyah dan madrasah lainnya (Lihat Ad-Dhau’ Al-Laami’ 2/39).

Para Guru Beliau

Al-Hafizh Ibnu Hajar sangat memperhatikan para gurunya dengan menyebut nama-nama mereka dalam banyak karya-karya ilmiahnya. Beliau menyebut nama-nama mereka dalam dua kitab, yaitu:

Al-Mu’jam Al-Muassis lil Mu’jam Al-Mufahris.
Al-Mu’jam Al-Mufahris.
Imam As-Sakhaawi membagi guru beliau menjadi tiga klasifikasi:

Guru yang beliau dengar hadits darinya walaupun hanya satu hadits
Guru yang memberikan ijazah kepada beliau
Guru yang beliau ambil ilmunya secara mudzkarah atau mendengar darinya khutbah atau karya ilmiahnya.
Guru beliau mencapai lebih dari 640an orang, sedangkan Ibnu Khalil Ad-Dimasyqi dalam kitab Jumaan Ad-Durar membagi para guru beliau dalam tiga bagian juga dan menyampaikan jumlahnya 639 orang.

Dalam kesempatan ini kami hanya menyampaikan beberapa saja dari mereka  yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan keilmuan beliau agar tidak terlalu panjang biografi beliau ini.

Diantara para guru beliau tersebut adalah:

I. Bidang keilmuan Al-Qira’aat (ilmu Alquran):

Syeikh Ibrahim bin Ahmad bin Abdulwahid bin Abdulmu`min bin ‘Ulwaan At-Tanukhi Al-Ba’li Ad-Dimasyqi (wafat tahun 800 H.) dikenal dengan Burhanuddin Asy-Syaami. Ibnu Hajar belajar dan membaca langsung kepada beliau sebagian Alquran, kitab Asy-Syathibiyah, Shahih Al-Bukhari dan sebagian musnad dan Juz Al-Hadits.Syeikh Burhanuddin ini memberikan izin kepada Ibnu Hajar dalam fatwa dan pengajaran pada tahun 796 H.
II. Bidang ilmu Fikih:

Syeikh Abu Hafsh Sirajuddin Umar bin Ruslaan bin Nushair bin Shalih Al-Kinaani Al-‘Asqalani Al-Bulqini  Al-Mishri (wafat tahun 805 H) seorang mujtahid, haafizh dan seorang ulama besar. Beliau memiliki karya ilmiah, diantaranya: Mahaasin Al-Ish-thilaah Fi Al-Mushtholah dan Hawasyi ‘ala Ar-Raudhah serta lainnya.
Syeikh Umar bin Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Abdillah Al-Anshari Al-Andalusi Al-Mishri (wafat tahun 804 H) dikenal dengan Ibnu Al-Mulaqqin. Beliau orang yang terbanyak karya ilmiahnya dizaman tersebut. Diantara karya beliau: Al-I’laam Bi Fawaa`id ‘Umdah Al-Ahkam (dicetak dalam 11 jilid) dan Takhrij ahaadits Ar-Raafi’i (dicetak dalam 6 jilid) dan Syarah Shahih Al-Bukhari dalam 20 jilid.
Burhanuddin Abu Muhammad Ibrahim bin Musa bin Ayub Ibnu Abnaasi  (725-782 ).
III. Bidang ilmu Ushul Al-Fikih :

Syeikh Izzuddin Muhammad bin Abu bakar bin Abdulaziz bin Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah Al-Kinaani Al-Hamwi Al-Mishri (Wafat tahun 819 H.) dikenal dengan Ibnu Jama’ah seorang faqih, ushuli, Muhaddits, ahli kalam, sastrawan dan ‎ahli nahwu. Ibnu Hajar Mulazamah kepada beliau dari tahun 790 H. sampai 819 H.
IV. Bidang ilmu Sastra Arab :

Majduddin Abu Thaahir Muhammad bin Ya’qub bin Muhammad bin Ibrahim bin Umar  Asy-Syairazi Al-Fairuzabadi (729-827 H.). seorang ulama pakar satra Arab yang paling terkenal dimasa itu.
Syamsuddin Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali bin Abdurrazaaq Al-Ghumaari 9720 -802 H.).
V. Bidang hadits dan ilmunya:

Zainuddin Abdurrahim bin Al-Husein bin Abdurrahman bin Abu bakar bin Ibrahim Al-Mahraani Al-Iraqi (725-806 H. ).
Nuruddin abul Hasan Ali bin Abu Bakar bin Sulaimanbin Abu Bakar bin Umar bin Shalih Al-Haitsami (735 -807 H.).
Selain beberapa yang telah disebutkan di atas, guru-guru Ibnu Hajar, antara lain:

Al-Iraqi, seorang yang paling banyak menguasai bidang hadits dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan hadits.
Al-Haitsami, seorang yang paling hafal tentang matan-matan.
Al-Ghimari, seorang yang banyak tahu tentang bahasa Arab dan berhubungan dengan bahasa Arab.
A-Muhib bin Hisyam, seorang yang cerdas.
Al-Ghifari, seorang yang hebat hafalannya.
Al-Abnasi, seorang yang terkenal kehebatannya dalam mengajar dan memahamkan orang lain.
Al-Izzu bin Jamaah, seorang yang banyak menguasai beragam bidang ilmu.
At-Tanukhi, seorang yang terkenal dengan qira’atnya dan ketinggian sanadnya dalam qira’at.
Murid Beliau

Kedudukan dan ilmu beliau yang sangat luas dan dalam tentunya menjadi perhatian para penuntut ilmu dari segala penjuru dunia. Mereka berlomba-lomba mengarungi lautan dan daratan untuk dapat mengambil ilmu dari sang ulama ini. Oleh karena itu tercatat lebih dari lima ratus murid beliau sebagaimana disampaikan murid beliau imam As-Sakhawi.

Diantara murid beliau yang terkenal adalah:

Syeikh Ibrahim bin Ali bin Asy-Syeikh bin Burhanuddin bin Zhahiirah Al-Makki Asy-Syafi’i (wafat tahun 891 H.).
Syeikh Ahmad bin Utsmaan bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdillah Al-Karmaani Al-hanafi (wafat tahun 835 H.) dikenal dengan Syihabuddin Abul Fathi Al-Kalutaani seorang Muhaddits.
Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hasan Al-Anshari Al-Khazraji (wafat tahun 875 H.) yang dikenal dengan Al-Hijaazi.
Zakariya bin Muhammad bin Zakariya Al-Anshari wafat tahun 926 H.
Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abu bakar bin Utsmaan As-Sakhaawi Asy-Syafi’i wafat tahun 902 H.
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Abdullah bin Fahd Al-Hasyimi Al-‘Alawi Al-Makki  wafat tahun 871 H.
Burhanuddin Al-Baqa’i, penulis kitab Nuzhum Ad-Dhurar fi Tanasub Al-Ayi wa As-Suwar.
Ibnu Al-Haidhari.
At-Tafi bin Fahd Al-Makki.
Al-Kamal bin Al-Hamam Al-Hanafi.
Qasim bin Quthlubugha.
Ibnu Taghri Bardi, penulis kitab Al-Manhal Ash-Shafi.
Ibnu Quzni.
Abul Fadhl bin Asy-Syihnah.
Al-Muhib Al-Bakri.
Ibnu Ash-Shairafi.
Menjadi Qadhi

Beliau terkenal memiliki sifat tawadhu’, hilm (tahan emosi), sabar, dan agung. Juga dikenal banyak beribadah, shalat malam, puasa sunnah dan lainnya. Selain itu, beliau juga dikenal dengan sifat wara’ (kehati-hatian), dermawan, suka mengalah dan memiliki adab yang baik kepada para ulama pada zaman dahulu dan yang kemudian, serta terhadap orang-orang yang bergaul dengan beliau, baik tua maupun muda. Dengan sifat-sifat yang beliau miliki, tak heran jika perjalanan hidupnya beliau ditawari untuk menjabat sebagai hakim.
Sebagai contohya, ada seorang hakim yang bernama Ashadr al Munawi, menawarkan kepada al Hafizh untuk menjadi wakilnya, namu beliau menolaknya, bahkan bertekad untuk tidak menjabat di kehakiman. Kemudian, Sulthan al Muayyad Rahimahullah menyerahkan kehakiman dalam perkara yang khusus kepada Ibnu Hajar Rahimahullah. Demikian juga hakim Jalaluddin al Bulqani Rahimahullah mendesaknya agar mau menjadi wakilnya. Sulthan juga menawarkan kepada beliau untuk memangku jabatan Hakim Agung di negeri Mesir pada tahun 827 H. Waktu itu beliau menerima, tetapi pada akhirnya menyesalinya, karena para pejabat negara tidak mau membedakan antara orang shalih dengan lainnya. Para pejabat negara juga suka mengecam apabila keinginan mereka ditolak, walaupun menyelisihi kebenaran. Bahkan mereka memusuhi orang karena itu. Maka seorang hakim harus berbasa-basi dengan banyak fihak sehingga sangat menyulitkan untuk menegakkan keadilan.
Setelah satu tahun, yaitu tanggal 7 atau 8 Dzulqa’idah 828 H, akhirnya beliau mengundurkan diri.
Pada tahun ini pula, Sulthan memintanya lagi dengan sangat, agar beliau menerima jabatan sebagai hakim kembali. Sehingga al Hafizh memandang, jika hal tersebut wajib bagi beliau, yang kemudian beliau menerima jabatan tersebut tanggal 2 rajab. Masyarakatpun sangat bergembira, karena memang mereka sangat mencintai beliau. Kekuasaan beliau pun ditambah, yaitu diserahkannya kehakiman kota Syam kepada beliau pada tahun 833 H.
Jabatan sebagai hakim, beliau jalani pasang surut. Terkadang beliau memangku jabatan hakim itu, dan terkadang meninggalkannya. Ini berulang sampai tujuh kali. Penyebabnya, karena banyaknya fitnah, keributan, fanatisme dan hawa nafsu.
Jika dihitung, total jabatan kehakiman beliau mencapai 21 tahun. Semenjak menjabat hakim Agung. Terakhir kali beliau memegang jabatan hakim, yaitu pada tanggal 8 Rabi’uts Tsani 852 H, tahun beliau wafat.
 
Selain kehakiman, beliau juga memilki tugas-tugas:
- Berkhutbah di Masjid Jami’ al Azhar.
- Berkhutbah di Masjid Jami’ ‘Amr bin al Ash di Kairo.
- Jabatan memberi fatwa di Gedung Pengadilan.
 
Di tengah-tengah mengemban tugasnya, beliau tetap tekun dalam samudra ilmu, seperti mengkaji dan meneliti hadits-hadits, membacanya, membacakan kepada umat, menyusun kitab-kitab, mengajar tafsir, hadits, fiqih dan ceramah di berbagai tempat, juga mendiktekan dengan hafalannya. Beliau mengajar sampai 20 madrasah. Banyak orang-orang utama dan tokoh-tokoh ulama yang mendatanginya dan mengambil ilmu darinya.

Kedudukannya
Ibnu Hajar Rahimahullah menjadi salah satu ulama kebanggaan umat, salah satu tokoh dari kalangan ulama, salah satu pemimpin ilmu. Allah Ta’ala memberikan manfaat dengan ilmu yang beliau miliki, sehingga lahirlah murid-murid besar dan disusunnya kitab-kitab.
Seandainya kitab beliau hanya Fathul Bari, cukuplah untuk meninggikan dan menunjukkan keagungan kedudukan beliau. Karena kitab ini benar-benar merupakan kamus Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaii wasallam. Sedangkan karya beliau berjumlah lebih dari 150 kitab.
Syaikh al Albani Rahimahullah mengatakan, Adalah merupakan kedzaliman jika mengatakan mereka (yaitu an-Nawawi dan Ibnu Hajar al ‘Asqalani) dan orang-orang semacam mereka termasuk ke dalam golongan ahli bid’ah. Menurut Syaikh al Albani, meskipun keduanya beraqidah Asy’ariyyah, tetapi mereka tidak sengaja menyelisihi al Kitab dan as Sunnah. Anggapan mereka, aqidah Asy’ariyyah yang mereka warisi itu adalah dua hal: Pertama, bahwa Imam al Asy’ari mengatakannya, padahal beliau tidak mengatakannya, kecuali pada masa sebelumnya, (lalu beliau tinggalkan dan menuju aqidah Salaf,). Kedua, mereka menyangka sebagai kebenaran, padahal tidak.
Sanjungan Para Ulama Terhadapnya

Al-Hafizh As-Sakhawi berkata, “Adapun pujian para ulama terhadapnya, ketahuilah pujian mereka tidak dapat dihitung. Mereka memberikan pujian yang tak terkira jumlahnya, namun saya berusaha untuk menyebutkan sebagiannya sesuai dengan kemampuan.”

Al-Iraqi berkata, “Ia adalah syaikh, yang alim, yang sempurna, yang mulia, yang seorang muhhadits (ahli hadist), yang banyak memberikan manfaat, yang agung, seorang Al-Hafizh, yang sangat bertakwa, yang dhabit (dapat dipercaya perkataannya), yang tsiqah, yang amanah,Syihabudin Ahmad Abdul Fadhl bin Asy-Syaikh, Al-Imam, Al-Alim, Al-Auhad, Al-Marhum Nurudin, yang kumpul kepadanya para perawi dan syaikh-syaikh, yang pandai dalam nasikh dan mansukh, yang menguasai Al-Muwafaqat dan Al-Abdal, yang dapat membedakan antara rawi-rawi yang tsiqah dan dhaif, yang banyak menemui para ahli hadits,dan yang banyak ilmunya dalam waktu yang relatif pendek.” Dan masih banyak lagi Ulama yang memuji dia, dengan kepandaian Ibnu Hajar.

Syaikhnya, Burhanuddin Ibrahim al-Abnasi mengatakan, Dia termasuk orang yang telah dilihat oleh mata kebahagiaan, dan iradah telah mendahuluinya sejak azali, asy-Syaikh al-Imam al-Al-lamah al-Muhaddits al-Muttaqin al-Muhaqqiq, Syaikh Syihabuddin Abu al-Fadhl Ahmad bin asy-Syaikh al-Imam al-Alim, tokoh para pengajar, mufti kaum Muslimin, Abu al-Hasan Ali yang masyhur dengan Ibnu Hajar Nuruddin asy-Syafi'i. Ketika dia diberi inayah dengan inayah taufik, dan diberi ri'ayah dengan tahqiq, maka dia mencermati ilmu-ilmu syariat, lalu mengurainya dengan sempurna, menganalisa persoalannya, membuka sebagian besar penutupnya, dan kemauannya yang tertinggi dicurahkan kepada ilmu yang paling mulia dan paling utama, yaitu ilmu hadits.

Syaikhul Qurra`, Syamsuddin bin al-Jazari telah menghadiah-kan karyanya, an-Nasyr fi al-Qira`at al-Asyr, kepada al-Hafizh Ibnu Hajar, dan dia menulis pada jilid pertama darinya, Hadiah dari hamba yang butuh kepada rahmat Allah, Muhammad bin Muham-mad bin Muhammad al-Jazari, pengarangnya –semoga Allah meng-ampuninya– kepada tuan kami Syaikh al-Imam al-Allamah, hafizh zamannya, syaikh Mesirnya, Syihabuddin Abu al-Fadhl Ahmad bin asy-Syaikh al-Imam al-Marhum Nuruddin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al-Asqalani yang dikenal dengan Ibnu Hajar –se-moga Allah memuliakannya–, dan senantiasa memberikan manfaat kepada kaum Muslimin lewat karya-karyanya yang berguna, ke-utamaan-keutamaannya yang banyak, dan hari-harinya yang bahagia.

Al-Hafizh Abu Zur'ah berkata, saat memuji sebagian takhrij Ibnu Hajar, Aku melihat takhrij ini yang tiada bandingannya. Aku melihat ternyata berisikan kebaikan-kebaikan, baik secara global maupun terperinci. Aku mengakui bahwa ini kumpulan yang menghimpun berbagai faidah, lautan yang berisikan hal-hal yang unik, dan aku merasa kagum dengan isi kandungannya, ketika aku mencermati riwayatnya. Bagaimana mungkin tidak memiliki sifat-sifat yang cemerlang ini, sedangkan dia terbit dari seorang yang memiliki berbagai keutamaan yang mencengangkan, asy-Syaikh al-Imam, as-Sayyid al-Hammam yang memiliki sifat-sifat terpuji dan manaqib yang bermacam-macam, Jamal al-Muhadditsin, Mufid ath-Thalibin, Syihabuddin Abu al-Fadhl, –semoga Allah melimpahkan kepada-nya sebagian dari karuniaNya, dan mengumpulkan untuknya antara cabang kebaikan dan pokoknya–.

Al-Hafizh Ibnu Nashiruddin ad-Dimasyqi mengatakan di sebagian korespondennya, Kepada maula dan tuan kami, mentari Islam, hafizh dunia, pembela Sunnah, imam para imam, qadhi qudhah umat, Abu al-Fadhl, –semoga Allah menaungi para makhlukNya dengan naungan kehidupannya, dan tidak mengosongkan kami serta kaum Muslimin dari faidah dan nikmatNya–. Hingga dia mengatakan, Sesungguhnya dia berdiri di samping kalian dengan menjalankan doa dan memuji dengan pujian yang bagus setiap kali kalian menyebutkan yang mulia, dan orang yang berbahagia dengan keberadaan kalian, serta banyak memperhatikan kabar kalian.

Al-Allamah al-Mu`arrikh Ibnu Qadhi Syuhbah mengatakan, Tokoh ulama terkemuka yang masih tersisa, Qadhi al-Qudhah, atau penulis banyak kitab yang dibawa oleh para kafilah. Dia me-nulis juz-juz dan thabaqat dengan tulisannya yang bagus, cemerlang dalam hadits, dan memiliki keistimewaan dalam disiplin ilmu, saat syaikhnya –yakni al-Iraqi– masih hidup. Dia duduk di samping syaikhnya saat mendiktekan, dan mahir dalam berbagai disiplin ilmu, tetapi disiplin hadits lebih mendominasinya, lalu pengeta-huan tentang ilmu ini berpuncak kepadanya, sehingga dia menjadi imam zamannya setelah syaikhnya wafat. Dia bersemangat dalam memberikan manfaat kepada manusia, mengajar, berfatwa, men-duduki jabatan-jabatan besar, dan mengajar di sejumlah tempat di Kairo, serta para penuntut ilmu datang kepadanya dari berbagai penjuru. Kesimpulannya, dia adalah imam zamannya dan hafizh ma-sanya. Dia memiliki kecerdasan dan tabiat yang bersih yang men-cengangkan pandangan mata.

Imam Burhanuddin Ibrahim bin Khidhr mengatakan, Hafizh masanya secara mutlak, dan penutup ulama Sunnah hingga Hari Perjumpaan. Semoga Allah melanggengkan kebaikannya, dan me-melihara jalannya untuk manusia.

Al-Allamah Burhanuddin al-Biqa'i mengatakan, Dia seorang Syaikhul Islam, perhiasan manusia, tokoh para imam terkemuka, cahaya orang-orang yang mendapatkan petunjuk dari para pengi-kut setiap imam, hafizh dan ustadz zamannya, sultan ulama, dan raja fuqaha yang apabila meniti lautan tafsir, maka dia laksana juru bicaranya, dan mendatangkan banyak hal dari keunikan-keunikan-nya. Apabila mengendarai matan hadits, maka dia adalah Ahmad bin Hanbal pada zamannya. Dia menampakkan apa yang tersem-bunyi yang belum pernah dilakukan oleh Abu Hatim dan Ibnu Hibban. Jika berbicara tentang fikih dan ushulnya, maka diketahui bahwa dia adalah asy-Syafi'i. Dia menampakkan kelemahan perawinya selama bertindak lancang yang belum pernah dilakukan oleh ar-Rafi'i. Apabila membicarakan bahasa bangsa Arab dengan aneka macamnya, maka dia seperti Sibawaih dan al-Mubarrid. Jika dia mengemukakan ilmu Arudh, atau sastra Arab dengan berbagai jenis sudutnya, maka dia seperti al-Khalil bin Ahmad. Apabila orang-orang yang memiliki disiplin keilmuan berbicara tentang suatu ilmu, maka dia pemilik kepemimpinannya dan ustadz kri-tikusnya, Abu al-Fadhl Syihabuddin qadhi al-qudhah di negeri Mesir, dan Daulah al-Asyrafiyah, semoga Allah melanggengkan nikmatnya, melanggengkan kebahagiaannya, dan mengukuhkan kemauannya.

Jalaluddin as-Suyuthi mengatakan, Dia seorang yang tiada duanya di zamannya, pembawa panji Sunnah di zamannya, emas zaman ini dan keelokannya, permatanya yang lebih dibanggakan daripada mayoritas dari orang-orang sezamannya, Imam disiplin ilmu ini bagi orang-orang yang meneladaninya, orang yang didahu-lukan dalam laskar ahli hadits, sandaran manusia dalam penilaian dhaif dan shahih, saksi dan hakim paling besar mengenai at-Ta'dil dan at-Tajrih. Keistimewaannya –terutama mengenai Syarh al-Bu-khari– diakui oleh setiap Muslim, dan semua hakim memutuskan bahwa dia adalah pengajar.

Dia memiliki hafalan luas yang apabila aku sifatkan, maka sama saja membicarakan tentang al-Bahr (lautan) Ibnu Hajar, dan itu tidak masalah, dan kritikus yang menyamai Ibnu Ma'in. Tidak ada yang bisa mengalahkannya, dan karya-karyanya tidak bisa diserupakan kecuali dengan perbendaharaan. Karena itu, ada peng-halang yang menghalangi antara kita dengan segala pencarian. Semoga Allah mengindahkan dengannya zaman tersebut dan zaman terakhir, serta menghidupkan dengannya dan syaikhnya tradisi imla` setelah terputus dalam waktu yang lama.

Al-Allamah asy-Syaukani mengatakan, Penghafal besar yang masyhur, imam yang tiada duanya dalam hal pengetahuan tentang hadits dan ilalnya di zaman-zaman belakangan. Hafalan dan ke-sempurnaannya diakui baik oleh orang dekat maupun orang jauh, musuh maupun teman, hingga penyebutan secara muthlaq kata 'al-Hafizh' telah menjadi kata kesepakatan. Para penuntut ilmu me-lakukan perjalanan kepadanya dari berbagai penjuru, dan karya-karyanya telah tersebar di masa hidupnya di berbagai negeri. Para raja saling berkirim surat dari satu negeri ke negeri lainnya mengenai tulisannya, dan ini banyak sekali.


IBADAH AL-HAFIZH IBNU HAJAR AL-ASQALANI
Ustadz Abdussattar asy-Syaikh mengatakan, Sifat-sifat unik dan sifat-sifat terpuji tersebut diperindah dengan ketekunannya beribadah hingga menjadi contoh yang diteladani. Sungguh dia adalah orang yang suka mengerjakan Qiyamul Lail, bertahajjud, hingga saat dalam perjalanannya dan saat sakit keras menimpanya, hingga dia tidak mampu melakukan hal itu secara total. Dia tidak pernah meninggalkan shalat Jum'at dan shalat berjamaah kecuali dalam keadaan terpaksa. Banyak berpuasa, dan berkeinginan keras untuk tidak mengosongkan waktunya dari ibadah. Hal itu disaksi-kan oleh Qadhi al-Qudhah al-Hanafiyyah, Abu al-Fadhl Ibnu asy-Syahnah, dan dia mengatakan, 'Aku menemaninya di sebagian perjalanannya, ternyata aku melihatnya melakukan Qiyamul Lail'.

Dia memperbanyak haji ke Baitullah al-Haram. Dia datang ke Hijaz –saat masih kecil bersama ayahnya– dan bermukim di sana. Demikian pula -saat masih kanak-kanak- dia diajak oleh pengasuhnya (yang diberi wasiat oleh ayahnya), az-Zaki al-Kharubi, dan bermukim sementara di Makkah pada 784 H. Pada 800 H, dia melakukan haji dengan haji Islam, sebagaimana berhaji pada 805 H. dan saat itu wukuf bertepatan pada hari Jum'at. Dia bermukim pada sebagian tahun 806 H. Kemudian dia mendapatkan kesempatan untuk melakukan perjalanan ke negeri Muqaddasah (Baitul Maqdis) pada 815 H., lalu berhaji juga. Akhir haji yang dilakukannya adalah pada 824 H. bersama saudara iparnya, Muhibbuddin bin al-Asyqar, dan kerabatnya, az-Zain Sya'ban. Saat itu wukufnya Hari Jum'at juga. Pada kali ini dia bermukim di Madrasah al-Afdhaliyah, yang menempatkannya di sana adalah Qadhi Makkah, al-Muhibb bin Zhahirah.

Dia banyak berdzikir, bertasbih dan beristighfar. As-Sakhawi meriwayatkan dengan menyatakan, Suatu kali dia dan iparnya, al-Qadhi Muhibbuddin bin al-Asyqar pernah menuju ke Samasim di Khanqah, lalu dia mengeluarkan mushaf kecil dari sakunya, dan mulai membaca padanya. Apabila dia duduk bersama jamaah setelah Isya dan selainnya untuk mudzakarah, maka sabhah (alat penghitung tasbih) berada di dalam lengannya, di mana tidak ada seorang pun yang melihatnya. Dia terus memutarnya dalam ke-adaan bertasbih atau berdzikir di mayoritas waktunya. Hal itu diungkapkan oleh al-Allamah Abdussalam bin Ahmad al-Baghdadi, lewat pernyataannya, Wahai orang yang shalat di malam hari, menghidupkannya dengan tunduk Dengan dzikir dan bacaan Qur`an, shalat dan bersikap khusyu' Dia mengatakan, Penghidup Sunnah, asy-Syihab, ketika Sunnah dimatikan Menghabiskan malam dengan tasbih dan wirid Al-Qur`an adalah pelipurnya di malam harinya, dan teman-nya dalam kesendiriannya. Dia membacanya sementara air matanya mengalir, karena dia mengetahui kandungan makna kata-katanya, dan mengetahui kandungan ayatnya berupa pelajaran dan larangan. Karena itu, dia takut kepada Allah dengan sebenar-benarnya takut, Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. (Fathir: 28). Sungguh an-Nawaji berbuat baik saat menyifati Sang Imam dengan perkataannya, Ketika kegelapan meliputinya Dia memiliki mata yang menangis dan air mata yang mengalir Yang paling lezat ialah Kalam KhaliqNya yang dibacakan kepadanya Dan yang paling berselera baginya ialah Mushaf

SIKAP WARA' DAN KEHATI-HATIAN AL-HAFIZH IBNU HAJAR AL-ASQALANI DALAM MAKAN


Dr. Muhammad Kamal Izzuddin mengatakan, Ibnu Hajar berusaha dengan segala kemampuannya untuk tidak makan suatu yang haram, atau yang mengandung syubhat haram. Karena itu, dia berhati-hati dalam berbagai tugasnya pada sesuatu yang lebih dekat kepada kehalalan agar dia makan dari rambu-rambu aturan-nya. Bahkan dia membedakan rambu-rambu aturannya itu satu sama lain dengan isyarat lewat satu titik, atau dua titik, dan sebagainya.

Dia tidak makan sedikit pun dari apa yang dihadiahkan ke rumahnya. Jika dia terpaksa menghadiri walimah (pesta), acara penting dan sebagainya, yang biasanya penyelenggaranya tidak berhati-hati, maka dia memberikan kesan bahwa dia makan. Terkadang dia diberi ini dan itu oleh orang-orang yang duduk di atas gelaran, yaitu para pengikut dan semisal mereka, dari sesuatu yang ada di hadapannya, yang membuat orang yang punya kepentingan itu biasanya gembira. Adapun dia sendiri sebenarnya tidak memasukkan sedikit pun dari makanan tersebut ke dalam perutnya sama sekali. Sumber-sumber mengisyaratkan bahwa Sultan telah membe-rikan kepadanya jatah makanan saat dalam perjalanan ke wilayah utara, dan saat bermukim di Halb, berupa daging yang diberikan kepadanya setiap hari, namun dia tidak memakannya tetapi mem-beli selainnya hingga hartanya habis di sana, lalu saat itu dia mem-buat Buqsumath (semacam roti panggang makanan Iran) yang dia makan dengan gula dan semacamnya. Sementara orang-orang yang bersamanya makan daging yang diberikan kepadanya sebagai hidangan makan perjalanan seperti yang dimakan Sultan.

Demikian pula dia berhati-hati dari memberikan khutbah tertentu di benteng pada masa-masa sebagai qadhi, disebabkan lemahnya posisi kedudukannya.

Dia memberikan kepada pelayannya untuk membeli suatu makanan untuknya, sembari berpesan agar tidak membebani pen-jual lebih daripada apa yang dia berikan dengan kerelaan hatinya. Di samping itu, dia bertanya kepadanya tentang sumber makanan-nya. Jika dia lupa bertanya, dan merasa enak makan darinya, karena menduga bahwa itu sudah menjadi kebiasaan yang berlaku, maka Allah memasukkan ke dalam lintasan pikirannya sebelum selesai makannya. Jika diutarakan kepadanya tentang asal makanan yang tidak boleh dimakan, maka dia minta sebuah bejana seraya menga-takan, 'Aku akan melakukan sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar.' Kemudian dia memuntahkan apa yang ada dalam perut-nya.

KEMURAHAN DAN KEDERMAWANAN AL-HAFIZH IBNU HAJAR AL-ASQALANI
Dr. Muhammad Kamal Izzuddin mengatakan, Adapun bak-tinya dan bersedekahnya kepada para hamba Allah –dengan strata mereka yang berbeda-beda– maka terdapat riwayat dan kisah yang bermacam-macam, yang kesimpulannya bahwa dia banyak berbuat kebaikan lagi gemar bersedekah.


Di antaranya, dia memberikan kepada sebagian jamaahnya harta yang banyak untuk melapangkannya dalam menuntut ilmu dan semisalnya. Dia juga memberikan kepada jamaah lainnya. Demikian pula orang-orang fakir biasa berkumpul di depan rumah-nya pada hari tertentu dalam setiap tahunnya, lalu dia biasanya membagi-bagikan sendiri kepada mereka, atau orang lain membagi-bagikan kepada mereka di hadapannya. Dia juga mencari orang-orang yang diperhitungkan dalam ilmu dan selain mereka, dengan mengutus seseorang ke tempat mereka. Dia juga sering mencari tahu tentang orang-orang yang dipenjarakan, dan menebus mereka dari hartanya. Dia berbuat baik kepada para tetangga yang fakir. Saat bulan Ramadhan, dia membeli madu dan gula guna dibagi-bagikan kepada orang banyak untuk melapangkan nafkah bulan itu.

Pada hari raya Idul Fitri, dia membeli kismis dan selainnya. Pada hari raya Idul Adha, dia memberikan binatang kurban kepada kaum fakir dan orang-orang yang membutuhkan, atau membagi-bagikan kepada mereka harta yang setara dengan seratus dinar. Dia sangat merahasiakan semua itu agar mendapatkan keutamaan sedekah secara sembunyi-sembunyi.

Penulis Taghliq at-Ta'liq mengatakan, Taqiyyuddin al-Maqrizi menyebutkan bahwa dia melihatnya –saat masih kecil– memberi-kan seseorang sebanyak 200 dirham perak sekaligus.
KEJUJURAN HATI DAN KEIKHLASAN NIAT AL-HAFIZH IBNU HAJAR AL-ASQALANI, DAN HAL-HAL YANG TERJADI SECARA KEBE-TULAN‎

Ustadz Abdussattar asy-Syaikh mengatakan, Tidak meng-herankan bila tingkah laku Alim Rabbani baik lagi bersih, dan niatnya jujur lagi ikhlas karena Rabbnya. Batin dan zahir serupa, maka menghasilkan sosok orang yang langka. Jarang sekali zaman menjumpai orang semisalnya.

As-Sakhawi mengatakan, Secara kebetulan bahwa dia datang untuk membaca di hadapan al-Jamal al-Halawi tentang Musnad Ahmad –sebagaimana kebiasaannya– lalu dia mendapatinya sedang sakit, maka dia dan jamaah datang untuk menjenguknya. Kemudian Syaikh mengizinkannya membaca, lalu dia segera membaca. Saat itulah dia melewati hadits Abu Sa'id al-Khudri tentang ruqyah Jibril. Syaikh kami mengatakan, 'Aku pun meletakkan tanganku padanya pada saat membaca, dan aku berniat meruqyahnya, ternyata dia sembuh hingga datang kepada jamaah pada waktu pertemuan yang kedua dalam keadaan sembuh'.

As-Sakhawi mengatakan, Dia memiliki kesesuaian-kesesuaian yang mendekati kemiripan dengan hal tersebut, di antaranya bahwa dia menulis hadits Mu'awiyah bin Abu Qurrah, dari Anas,

أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ a فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ، أُرْسِلُ نَاقَتِيْ وَأَتَوَكَّلُ أَوْ أَعْقِلُهَا وَأَتَوَكَّلُ؟ قَالَ: اِعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ.

'Bahwa seseorang datang kepada Nabi lalu mengatakan, 'Wahai Rasulullah, aku melepaskan untaku dan aku bertawakal (pada Allah), ataukah aku mengikatnya dan bertawakal?' Beliau menjawab, 'Ikat-lah dan bertawakallah.' [HR. at-Tirmidzi, no. 2441].

Kebetulan bahwa budaknya datang meminta izin untuk mening-galkan sesuatu disebabkan kebutuhan pemilik biografi tersebut (yakni as-Sakhawi, keluar rumah. Syaikh kami mengatakan, 'Maka aku katakan kepadanya, 'Ikatlah dan bertawakallah'.

Pada suatu malam, tanggal 12 Jumadil Ulama 844 H, dia ter-lihat berada di dekat bangunan istana milik al-Bakharzi. Disebutkan dalam biografi al-Muzhaffar bin Ali bahwa dia memiliki bait-bait ini mengenai ritsa`, yaitu,
Zaman telah memberikan musibah kepadaku sedangkan aku tidak memiliki kesalahan
Ya, ujiannya menimpa orang yang paling mulia
Yang paling menyedihkanku adalah tindakannya
Yaitu wafatnya Abu Yusuf al-Hanbali
Pelita ilmu tetapi tidak terlihat
Pakaian indah tetapi rusak
Syaikh kami mengatakan, Aku pun kagum disebabkan hal tersebut, dan terlintas dalam jiwaku bahwa Qadhi al-Hanabilah al-Muhibb Ahmad bin Nashrullah al-Baghdadi akan meninggal setelah tiga hari sesuai jumlah bait tersebut karena demam, dan ternyata demikian.

KARYA-KARYA TULIS AL-HAFIZH IBNU HAJAR AL-ASQALANI
Muhaddits Makkah, Taqiyyuddin Muhammad bin Fahd mengatakan, Dia menulis karya-karya tulis yang berguna, enak, agung, terus berjalan, membuktikan segala keutamaan yang di-milikinya, menunjukkan faidahnya yang melimpah, dan menun-jukkan niatnya yang baik. Dia menghimpun di dalamnya lalu memahamkannya, dan mengungguli rekan-rekannya, baik jenis maupun macamnya, yang enak didengar telinga, dan kesempur-naannya disepakati semua lisan. Karena hal itulah dia mendapat-kan keberuntungan besar yang tidak bisa disifati dengan kata-kata, dan para kafilah membawanya berjalan sebagaimana perjalanan matahari.


Al-Hafizh as-Sakhawi menukil dari Syaikhnya, orang yang dikemukakan biografinya, bahwa dia mengatakan, Aku tidak puas sedikit pun dari tulisan-tulisanku, karena aku melakukannya di permulaan urusan, kemudian tidak ada orang yang bersedia mengeditnya bersamaku, kecuali Syarah al-Bukhari dan mukadimah-nya, al-Musytabih, at-Tahdzib dan Lisan al-Mizan. Bahkan dia mengatakan mengenainya, Seandainya aku bisa memutar waktuku yang telah berlalu, niscaya aku tidak terikat dengan adz-Dzahabi, dan niscaya aku menjadikannya sebagai kitab baru yang orisinal. 

Karya-karya tersebut di antaranya:
1. Ithaf al-Maharah bi Athraf al-'Asyrah, yang terdiri dari dela-pan jilid. Di dalamnya, dia menghimpun penggalan dari sepuluh kitab, yaitu al-Muwaththa`, Musnad asy-Syafi'i, Musnad Ahmad, Musnad ad-Darimi, Shahih Ibnu Khuzaimah, Muntaqa Ibni Jarud, Shahih Ibni Hibban, Mustadrak al-Hakim, Mustakhraj Abi Awanah, Syarh Ma'ani al-Atsar karya ath-Thahawi, dan Sunan ad-Daruquthni. Dia hanyalah melebihkan satu dari jumlah itu, karena Shahih Ibni Khu-zaimah tidak terdapat padanya kecuali seperempatnya.

2. An-Nukat azh-Zhiraf ala al-Athraf, dan ini dicetak pada hamisy (tulisan pinggir) Tuhfah al-Asyraf, karya al-Mizzi.
3. Ta'rif Ahl at-Taqdis Bimaratib al-Maushufina bi at-Tadlis (Tha-baqat al-Mudallisin).
4. Taghliq at-Ta'liq.
5. At-Tamyiz fi Takhrij Ahadits Syarh al-Wajiz (at-Talkhish al-Habir).
6. Ad-Dirayah fi Takhrij Ahadits al-Hidayah, yang dia ringkas dari kitab Nashb ar-Rayah fi Takhrij Ahadits al-Hidayah karya al-Hafizh az-Zaila'i).
7. Fath al-Bari Bisyarh Shahih al-Bukhari. Ini adalah syarah al-Bukhari yang terbesar secara mutlak, dan karya al-Hafizh yang terbesar.
8. Al-Qaul al-Musaddad fi adz-Dzabb an Musnad al-Imam Ahmad. Di dalamnya, dia membicarakan hadits-hadits yang disangka sebagian ahli hadits bahwa itu adalah hadits maudhu'. Ini terdapat dalam Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal.
9. Al-Kafi asy-Syafi fi Takhrij Ahadits al-Kasysyaf, dan ini adalah ringkasan dari takhrij az-Zaila'i atas hadits-hadits al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari.
10. Mukhtashar at-Targhib wa at-Tarhib, dia meringkas padanya kitab karya al-Mundziri seukuran seperempat dari asalnya, dan memilih yang lebih kuat sanadnya dan lebih shahih matannya.
11. Al-Mathalib al-'Aliyah Bizawa`id al-Masanid ats-Tsamaniyah. Di dalamnya, dia mengemukakan hadits dari delapan Musnad secara sempurna, yaitu: Musnad al-Humaidi, ath-Thayalisi, Ibnu Abi Umar, Musaddad, Ibnu Mani', Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, dan al-Harits bin Abu Usamah. Di samping delapan Musnad itu, dia menambahkan Musnad Abi Ya'la, dengan riwayat-nya yang panjang, dan Musnad Ishaq bin Rahawaih, yaitu separuh-nya yang bisa ditemukannya. Kemudian dia mengeluarkan dari tiap-tiap hadits menurut bab-bab hukum fikih yang berbeda dengan susunan musnad yang dijadikan sebagai sandaran.
12. Nukhbah al-Fikr fi Mushthalah Ahl al-Atsar, ringkasan dari Ulum al-Hadits karya Ibnu ash-Shalah. Dia juga menambah beberapa hal yang tidak disebutkan oleh Ibnu ash-Shalah.
13. Nuzhah an-Nazhar fi Taudhih Nukhbah al-Fikr, dan ini adalah syarah dari kitabnya yang disebutkan sebelumnya.
14. An-Nukat 'ala Ulum al-Hadits karya Ibnu ash-Shalah.
15. Hadyu as-Sari Muqaddimah Fath al-Bari.
16. Tabshir al-Muntabih Bitahrir al-Musytabih.
17. Ta'jil al-Manfa'ah Bizawa`id Rijal al-A`immah al-Arba'ah.
18. Taqrib at-Tahdzib, yang diringkasnya dari kitab Tahdzib at-Tahdzib. Dalam kitab ini, dia menyebutkan para perawi dari karya-karya para penulis enam kitab.
19. Tahdzib at-Tahdzib, dan ini adalah tahdzib (perbaikan) dari Tahdzib al-Kamal fi Asma` ar-Rijal, sedangkan kitab al-Kamal fi Asma` ar-Rijal adalah karya al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi, yang dipilih oleh al-Mizzi dalam kitabnya, Tahdzib al-Kamal.
20. Lisan al-Mizan; dan Mizan al-I'tidal karya al-Hafizh adz-Dzahabi adalah kitab paling lengkap yang ditulis mengenai nama-nama para perawi yang dinilai tercela (Majruhin). Al-Hafizh al-Iraqi telah memberikan catatan kaki padanya, kemudian datang al-Hafizh Ibnu Hajar lalu memetik dari kitab Mizan al-I'tidal orang-orang yang tidak disebutkan dalam Tahdzib al-Kamal, dan menggabung-kan kepadanya para perawi yang luput disebutkan dan biografi tersendiri disertai pemilihan dan tahqiq.
21. Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah.
22. Inba` al-Ghamr bi Abna` al-Umr. Dalam buku ini, dia menye-butkan peristiwa yang berlangsung dalam setiap tahun, kemudian dimasukkan pula kewafatan yang terjadi pada tahun itu, sembari mengemukakan biografi para tokoh di antara mereka, yang dimulai dari 773 H. hingga 850 H.
23. Ad-Durar al-Kaminah fi A'yan al-Mi`ah ats-Tsaminah. Dalam buku ini, dia mengemukakan biografi tiap-tiap golongan, yaitu para sultan, raja, khalifah, umara, ulama, fuqaha, penyair, dan selain mereka.
24. Raf' al-Ishr an Qudhah al-Mishr. Dalam buku ini, dia menge-mukakan biografi para qadhi Mesir sejak penaklukan Islam hingga akhir abad kedelapan.
25. Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam.
26. Quwwah al-Hujjaj fi Umum al-Maghfirah li al-Hujjaj.‎

Wafatnya Sang Imam

Setelah melalui masa-masa kehidupan yang penuh dengan kegiatan ilmiah dalamkhidmah kepada ilmu dan berjihad menyebarkannya dengan beragam sarana yang ada. Ibnu Hajar jatuh sakit dirumahnya setelah ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai qadhi pada tanggal 25 Jamadal Akhir tahun 852 H. Dia adalah seorang yang selalu sibuk dengan mengarang dan mendatangi majelis-majelis taklim hingga pertama kali penyakit itu menjangkit yaitu pada bulan Dzulqa’dah tahun 852 H. 

Ketika ia sakit yang membawanya meninggal, ia berkata, “Ya Allah, bolehlah engkau tidak memberikanku kesehatan, tetapi janganlah engkau tidak memberikanku pengampunan.” Beliau berusaha menyembunyikan penyakitnya dan tetap menunaikan kewajibannya mengajar dan membacakan imla’. Namun penyakit tersebut semakin bertambah parah sehingga para tabib dan penguasa (umara) serta para Qadhi bolak balik menjenguk beliau. Sakit ini berlangsung lebih dari satu bulan kemudian beliau terkena diare yang sangat parah dengan mengeluarkan darah. Imam As-Sakhaawi berkata, “Saya mengira Allah telah memuliakan beliau dengan mati syahid, karena penyakit tha’un telah muncul.  Kemudian pada malam sabtu tanggal 18 ‎Dzulhijjah tahun 852 H. berselang dua jam setelah shalat isya’, orang-orang dan para sahabatnya berkerumun didekatnya menyaksikan hadirnya sakaratul maut.”

Hari itu adalah hari musibah yang sangat besar. Orang-orang menangisi kepergiannya sampai-sampai orang nonmuslim pun ikut meratapi kematian beliau. Pada hari itu pasar-pasar ditutup demi menyertai kepergiannya. Para pelayat yang datang pun sampai-sampai tidak dapat dihitung. Semua para pembesar dan pejabat kerajaan saat itu datang melayat dan bersama masyarakat yang banyak sekali menshalatkan jenazah beliau. Diperkirakan orang yang menshalatkan beliau lebih dari 50.000 orang dan Amirul Mukminin khalifah Al-Abbasiah mempersilahkan Al-Bulqini untuk menyalati Ibnu Hajar di Ar-Ramilah di luar kota Kairo. Jenazah beliau kemudian dipindah ke Al-Qarafah Ash-Shughra untuk dikubur di pekuburan Bani Al-Kharrubi yang berhadapan dengan masjid Ad-Dailami di antara makam Imam Syafi’i dengan Syaikh Muslim As-Silmi.‎ Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas, memaafkan dan mengampuninya dengan karunia dan kemurahanNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar