Rabu, 07 Oktober 2015

Kisah Imam Ibnu Jarir At-Thobari Rh

Nama lengkap at-Thabari adalah Syaikh Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir Ibnu Yazid Ibnu Katsir Ibnu Ghalib at-Thabari, lahir di Thobaristan di kota Amul, kota ini merupakan salah satu propinsi di Persia dan terletak di sebelah utara gunung Alburz, selatan laut Qazwin tahun 224/225 hijriah 839/840 Masehi. At-Thobari di ambil dari nama daerah tempat beliau lahir yakni Thobaristan, dan Uniknya Imam Thabari dikenal dengan sebutan kuniyah Abu Jakfar, padahal para ahli sejarah telah mencatat bahwa sampai masa akhir hidupnya Imam Thabari tidak pernah menikah. Beliau dilahirkan pada akhir tahun 224 H awal tahun 225. Abu ja'far di ambil dari sebutan orang agung di zaman nya, beliau banyak menghabiskan waktu di Baghdad irak.

Para sejarawan yang menulis biografi al-Thabari tidak banyak  menjelaskan kondisi keluarga ulama besar ini. Hanya saja, dari sumber yang sangat terbatas tersebut dapat disimpulkan bahwa keluarga al-Thabari tergolong sederhana, kalau tidak dikatakan miskin, namun ayahnya sangat mementingkan pendidikan putranya tersebut, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.

Jika melihat factor lingkungan ketika masa hidup Imam Thabari, maka di masa tersebut adalah masa dimana tradisi keilmuan Islam mengakar kuatm terbukti dengan munculnya sejumlah ulama besar dari daerah Amul, seperti Ahmad bin Harun al-Amuli, Abu Ishaq bin Basyar al-Amuli, Abdullah bin Hamad al-Amuli dan ulama besar lainnya.

Selain factor lingkungan, factor keluarga juga sangat berperan penting dalam menumbuhkan semangat mencari ilmu pada diri Imam Thabari. Beliau pernah bercerita dihadapan murid-muridnya tentang dukungan ayahnya, Jabir bin Yazid kepadanya dalam menuntut ilmu dan pengalamannya di masa kanak-kanak, Ibnu Jarir berkata: “Aku sudah hafal Al Qur’an ketika aku berumur 7 tahun, dan sholat bersama manusia (jadi imam) ketika berumur 8 tahun, dan mulai menulis hadist ketika berumur 9 tahun, dan ayahku bermimpi, bahwa aku berada di depan Rosululloh dengan membawa tempat yang penuh dengan batu, lalu aku lemparkan didepan Rosululloh. Lalu penta’bir mimpi berkata kepada ayahku: “Sekiranya nanti beranjak dewasa dia akan berguna bagi diennya dan menyuburkan syare’atnya, dari sinilah ayahku bersemangat dalam mendidikku.

Beliau banyak bersafar dan berguru dengan ahli sejarah, beliau juga salah seorang yang memiliki banyak disiplin, cerdas, banyak karangannya dan dan belum ada yang menyamainya.

Al-Thabari hidup, tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang memberikan cukup perhatian terhadap masalah pendidikan terutama bidang keagamaan. Berbarengan dengan situasi Islam yang sedang mengalami kejayaan dan kemajuannya di bidangpemikiran. Kondisi sosial yang demikian itu secara psikologis turut berperan dalam membentuk kepribadian al-Thabari dan menumbuhkan kecintaannya terhadap ilmu. Iklimkondusif seperti itulah secara ilmiah telah mendorongnya untuk mencintai ilmu semenjak kecil.

Setelah menempuh pendidikan di kotakelahirannya, menghafal al-Qur'an dimulai-nya sejak usia 7 tahun, melakukan pencatatan al-Hadis dimulainya sejak usia 9 tahun. Integritasnya tinggi dalam menuntut ilmu dangirah untuk melakukan ibadah, dibuk-tikannya dengan melakukan safari ilmiah ke berbagai negara untuk memperkaya pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu.

Karir Intelektualnya

Menelusuri jejak kehidupan intelektual seseorang dalam wilayah akademik meru­pakan aspek penting dalam kajian atau penelitian seorang tokoh sebelum melihat lebih jauh produk akademik yang dikontribusikan. Produk paling konkret di bidang akademik adalah karya ilmiah dalam bentuk tulisan buku yang merupakan representasi dari atmosfir nalarnya.

Al-Thabari, secara kultural-akademik termasuk 'makhluk yang beruntung', jika dilihat setting sosial yang  diwarnai oleh kemajuan sivilisasi Islam dan berkembangnya  pemikiran ilmu-ilmu keislaman (Islamic Thought) padaabad III hingga awal abad IV H. Tentu saja, sangat berpengaruh secara mental maupun intelektualnya. Hampir-hampir sulit kita terima, bahwa al-Thabari di usianya yang ketujuh telah mampu menghafalkan al-Qur'an, schingga mengantarkan menjadi Imam shalat pada usia 8 tahun. Hasil tempaan dan gemblengan orang tua (terutama ayahnya) meninggalkan goresan intelektual yang kuat, hingga waktu yang lama.

Karir pendidikan diawali dari kampung halamannya—Amul— tempat yang cukupkondusif untuk membangun struktur fondamental awal pendidikan al-Thabari, ia diasuh oleh ayahnya sendiri, kemudian dikirim ke Rayy, Basrah, Kufah, Mesir, Siria dan Mesir dalam rangka " travelling in quest of knowledge" (ar-rihlah talab aJ'iJm) dalam usia yang masih belia. Sehingga namanya bertambah populer di kalangan masyarakat karena otoritas ‎keilmuannya. Di Rayy ia berguru kepada Ibn Humayd, Abu Abdallah Muhammad bin Humayd al-Razi, disamping ia juga menimba ilmu dari al-Musanna bin Ibrahim al-Ibili, khusus di bidang hadis. Selanjutnya ia menuju Bagdad berekpetasi untuk studi kepada Ahmad bin Hanbal (164-241/7780-855), ternyata ia telah wafat, kemudian scgera putar haluan menuju dua kota besar Selatan Bagdad, yakni Basrah dan Kufah, sambil mampir ke Wasit karena satu jalur perjalanan dalam rangka studi dan riset. Di Basrah ia berguru kepada Muhammad bin ' Abd al-A'la al-Shan'ani (w. 245/859), Muhammad bin Musa al-Harasi (w. 248/862) dan Abu al-As'as Ahnmad bin al-Miqdam (w. 253/867), disamping kepada Abu al-Jawza' Ahmad bin Usman (w. 246/860). Khusus bidang tafsir ia berguru kepada seorang Basrah Humayd bin Mas'adah dan Bisr bin Mu'az al-'Aqadi (w. akhir 245/859-860), meski sebelumnya pemah banyak menyerap pengetahuan tafsir dari seorang Kufah Hannad bin al-Sari (w. 243/857).

Setelah beberapa waktu di dua kota tersebut, ia kembali ke Bagdad dan menetapuntuk waktu yang lama, dan masih concernbidang qira'ah, fiqh dengan bimbingan guru,seperti Ahmad bin Yusuf al-Sa'labi, al-Hasan ibn Muhammad al-Sabbah al-Za'farani dan Abi Sa'id al-Astakhari. Belum puas dengan apa yang telah ia gapai, berlanjut dengan melakukan kunjungan (visiting) ke berbagai kota untuk mendapatkan nilai tambah (added  value)baginya, terutama pendalaman gramatika, sastra (Arab) dan qira'ah—Hamzah dan Warasy— (yang masih populer di kalangan qurra 'hingga saat ini), yang telah memberikan kontribusi kepadanya, tidak saja dikenal di Baghdad, tetapi juga di Mesir, Syam, Fustat, dan Beirut. Dorongan kuat untuk menulis kitab tafsir diberikan oleh salah seorang gurunya Sufyan ibn 'Uyainah dan Waki' ibn al-Jarah, disamping Syu'bah bin al-Hajjaj, Yazid bin Harun dan 'Abd ibn Hamid.

Kota Bagdad, menjadi domisili terakhir al-Thabari, sejumlah karya telah berhasil iatelorkan dan akhirnya ia wafat pada Senin, 27 Syawwal 310 H bertepatan dengan 17 Fcbruari 923M dalam usia 85 tahun. Kematiannya disalati oleh masyarakat siang dan malam hari hingga beberapa waktu setelah wafatnya
Masa Belajar, Guru-guru dan Murid-muridnya

Beliau banyak bersafar dan berguru dengan ahli sejarah, beliau juga salah seorang yang memiliki ilmu banyak, dan cerdas, banyak karangannya dan belum ada yang menyamainya.

Banyak kota-kota yang ia singgahi sampai ia tidak puas dengan hanya memasukinya sekali, ia masuk ke kota tersebut beberapa kali untuk memuaskan hasrat keilmuannya, di antara kota-kota tersebut adalah Baghdad, di kota ini ia mengambil mazhab Syafi’iyyah dari Hasan Za’farani, kemudian Bashrah, di kota ini ia belajar hadits kepada Abu Abdullah as-Shan’ani, lalu di Kufah, di sana ia belajar ilmu puisi kepada Tsa’lab dan masih banyak lagi kota lainnya seperti Mesir, Beirut dan Damaskus. Pada akhirnya Imam Thabari sempat pulang ke tanah kelahirannya di Thaburstan pada tahun 290 H, tapi tak lama kemudian kembali ke Baghdad dan menjadikannya tempat persinggahan terakhir untuk mencurahkan seluruih aktifitas ilmiyahnya hingga beliau wafat.

Guru beliau 40 orang lebih, diantaranya: “Muhammad bin Abdul Malik in Abi Asy Syawarib, Ismail bin Musa As Suddi, Ishaq bin Abi Isroil, Muhammad bin Abi Ma’sar, Muhammad bin Au fat-Tha’i, Musa bin Sahal ar-Ramali, Muhammad bin Abdullah dan yang lainnya. (didalam tafsir beliau didapatkan, bahwa guru beliau berjumlah 62 guru).

Imam al-Nawawi menambahkan sejumlah nama guru al-Thabari lainnya, terutama mereka yang juga menjadi guru al-Bukhari dan Muslim dalam bidang hadits, seperti Abd al-Malik ibn Abu al-Syawarib, Ahmad ibn Mani` al-Baghawi, al-Walid ibn Syuja`, Abu Kuraib Muhammad ibn al-`Ala’, Ya`qub ibn Ibrahim al-Dauraqi, Abu Sa`id al-Asyaj, `Amr ibn Ali, Muhmmad ibn al-Mutsanna dan Muhammad ibn Yasar.

Karena kedalaman ilmu Imam ath-Thabari, maka wajar saja bila orang-orang ketika itu berlomba untuk menampung samudera ilmu yang terpancar dari beliau. Di antara sekian banyak ulama yang mengambil ilmu dari beliau : Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Nashr, Ahmad bin Qasim bin Ubaidillaah bin Mahdi, Sulaiman bin Ahmad bin Ayub al-Lakhmi, Muhammad bin Ahmad bin Hamdan bin Ali.

Teman-teman dari Ibnu Jarir ath-Thabari, di antaranya : Ahmad bin Abdullah bin Ahmad al-Farghani,ia juga meriwayatkan karangan dari Ibnu Jarir, di antara karangan al-Faraghani adalah Sirah al-Aziz Sulthan al-Mishr dan kitab Sirah Kafur al-Ihsyidi. ‎ Ibnu Yazid Abi Bakar al-Qardhi, yang menjadi hakim di daerah Kufah, di antara karangannya adalah kiab Gharib al-Quran, kitab al-Qiraat, kitab at-Taqrib fi Kasyfi al-Gharib, dan kitab al-Mukhtashar fi al-Fiqh.


Mobilitas, Aktivitas dan Hasil Karyanya

Al-Thabari dapat dikatakan sebagai ulama multi talenta dan menguasai berbagai disiplin ilmu. Tafsir, qira’at, hadits, ushul al-din, fiqih perbandingan, sejarah, linguistik, sya`ir dan `arudh (kesusateraan) dan debat (jadal) adalah sejumlah disiplin ilmu yang sangat dikuasainya. Namun tidak hanya ilmu-ilmu agama dan alat, al-Thabari pandai ilmu logika (mathiq), berhitung, al-Jabar, bahkan ilmu kedokteran.

Penguasaan al-Thabari terhadap berbagai disiplin ilmu ini menjadi catatan sendiri para ulama sepanjang masa, sehingga tidak heran sederet predikat dan sanjungan disematkan kepadanya. Al-Khathib al-Baghdadi (w.463H) salah satunya. Dalam kitab Tarikh Baghdad, ia menyatakan, “Al-Thabari adalah seorang ulama paling terkemuka yang pernyataannya sangat dipehitungkan dan pendapatnya pantas menjadi rujukan, karena keluasan pengetahuan dan kelebihannya. Ia menguasai berbagai disiplin ilmu yang sulit ditandingi oleh siapa pun di masa itu”.

Pengakuan terhadap keilmuan al-Thabari tidak hanya datang dari para ulama lintas generasi sesudahnya yang mengkaji dan meneliti karya-karya  besarnya, seperti Ibn al-Atsir (w.630H), al-Nawawi (w.676H), Ibn Taimiyah (w.728H), al-Dzahabi (w.748H), Ibn Katsir (w.774H), Ibn Hajar al-`Asqalani (w.852H), al-Suyuthi (w.911H) dan lain-lain. 

Tapi para ulama yang hidup satu generasinya juga tidak kurang menyatakan kekaguman dan pujiannya, di antara pujian mereka terhadap Imam thabari adalah sebagai berikut :

Abu Sa’id berkata: “Muhammaad bin Jarir berasal dari daerah Aamal, menulis di negri mesir. Lalu pulang ke Bagdad, dan telah mengarang beberapa kitab yang monumental, dan itu menunjukkan luasnya ilmu beliau. »

Al Khotib berkata: “Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Gholib: “Beliau adalah salah satu Aimmah Ulama’ (sesepuh ulama’), perkataannya bijaksana dan selalu dimintai pendapatnya karena pengetahuannya dan kemulyaannya. Beliau telah mengumpulkan ilmu-ilmu yang tidak penah ada seorangpun yang melakukannya semasa hidupnya. Beliau adalah seorang Hafidz, pandai ilmu Qiro’at, ilmu Ma’ani faqih tehadap hukum-hukum Al Qur’an, tahu sunnah dan ilmu cabang-cabangnya, serta tahu mana yang shohih dan yang cacat, nasikh dan mansukhnya, Aqwalus Shohabah dan Tabi’in, tahu sejarah hidup Manusia dan keadaanya. Beliau memiliki kitab yang masyhur tentang “sejarah umat dan beografinya” dan kitab tentang “tafsir” yang belum pernah ada mengarang semisalnya dan kitab yang bernama “Tahdzibul Atsar” yang belum pernah aku (Imam Adz Dzahabi) lihat semacamnya, namun belum sempurna. Beliau juga punya kitab-kitab banyak yang membahas tentang “Ilmu Ushul Fiqih” dan pilihan dari aqwal para Fuqoha’.

Imam Adz Dzahabi berkata: “Beliau adalah orang Tsiqoh, jujur, khafidz, sesepuh dalam ilmu tafsir, imam (ikutan) dalam ilmu fiqh, ijma’ serta (hal-hal) yang diperselisihkan, alim tentang sejarah dan harian Manusia, tahu tentang ilmu Qiro’at dan bahasa, serta yang lainnya.

Al Khotib berkata: “Aku mendengar Ali bin Ubaidillah bercerita: “Sesungguhnya Muhammad bin Jarir dirumah selama 40 tahun, setiap harinya beliau menulis 40 lembar.

Al Qodhi Abu Abdillah Al Qudho’i: “Ali bin Nashir bin Ash Shobah telah menceritakan kepada kami, Abu Umar Uabidillah bin Ahmad As Simsar, dan Abul Qosim Al Waroq: “Bahwa ibnu Jarir At thobari berkata kepada sahabat-sahabatnya: “Bagaimana pendapat kalian, bila aku akan menulis tentang sejarah alam dari sejak Adam sampai sekarang ini? Mereka bertanya: “Berapa banyakkah itu? Maka beliau menjawab, kira-kira 30 ribu lembar, lalu mereka berkata: ” kalau begitu umurmu akan memutus pekerjaanmu sebelum engkau bisa menyempurnakannya? Lalu beliau sadar, dengan berkata: “Innaalillah! Lalu beliau mengurungkan niatnya. Kemudian beliau ringkas karangan itu sebanyak 3000 lembar, dan ketika beliau ingin membuat tafsir, berkata kepada mereka seperti itu.
Beliau adalah seorang laki-laki yang mempunyai ilmu yang sangat luas, maka tidak heran jika karangan beliau tak bisa dihitung hanya dengan waktu 1000 detik. Namun sangat disayangkan, mayoritas kitab beliau hilang dan tidak sampai kepada kepada kaum muslimin kecuali hanya sedikit. 

Dan hasil karya Imam Thabari antara lain:
1. Kitab Adabul Qodho’ ( Al Hukkam)
2. Kitab Adabul Manasik
3. Kitab Adab an-Nufuus
4. Kitab Syarai’al-Islam
5. Kitab Ikhtilaful Ulama’ atau Ikhtilaful Fuqoha’atau Ikhtilafu Ulama’il Amshor fie Akhkami Syaroi’il Islam.
6. Kitab Al Basith, tentang kitab ini beliau Imam Adz Dzahabi berkata: “Pembahasan pertama adalah tentang thoharoh, dan semua kitab itu berjumlah 1500 lembar.
7. Kitab Tarikhul Umam wal Muluk (Tarikhul Rusul wal Muluk)
8. Kitab Tarikhul Rijal minas Shahabah wat Tabi’in.
9. Kitab at-Tabshir.
10. Kitab Tahdzib Atsar wa Tafsiilust Tsabit ‘Ani Rasulullah Saw Minal Akhbar. Az-Zahabi ketika mengomentari kitab ini mengatakan bahwa kitab ini termasuk salah satu kitab istimewanya Ibnu jarir, dimulai dengan sanad yang shadiq, lalu bebicara pada Ilal, thuruq dan fiqih hadits, ikhtiklaf ulama serta hujjah mereka, dalam kitab ini juga disebutkan makna-makna asing serta bantahan kepada Mulhiddin, kitab ini menjadi lebih sempurna lagi dengan adanya sanad al-Asyrah, Ahlu al-Bait, al-Mawali dan beberapa sanad dari Ibnu Abbas, dan kitab ini belum selesai pada akhir kematiaannya, lalu ia mengatakan: jika saja kitab ini dkteruskan, niscaya bisa sampai beratus-ratus jilid. ‎
11.  Kitab Al Jaami’ fiel Qira’at

12.  Kitab Haditsul Yaman

13.  Kitab Ar Rad ‘Ala Ibni ‘Abdil Hakim

14.  Kitab az- Zakat

15.  Kitab Al ‘Aqidah

16.  Kitabul fadhail

17.  Kitab Fadhail Ali Ibni Thalib

18.  Kitab Mukhtashar Al Faraidz

19.  Kitab Al Washaya,

Dan masih banyak lagi kitab-kitab beliau yang tidak kami sebutkan disini.

Selain banyaknya bidang keilmuan yang disentuh, bobot karya-karya  al-Thabari sangat dikagumi para ulama dan peneliti. Al-Hasan ibn Ali al-Ahwazi, ulama qira’at, menyatakan, “Abu Ja`far [al-Thabari] adalah seorang ulama fiqih, hadits, tafsir, nahwu, bahasa dan `arudh. Dalam semua bidang tersebut dia melahirkan karya bernilai tinggi yang mengungguli karya para pengarang lain”
Akhlaq dan Perilaku Imam Thabari

Imam Thabari bukan berasal dari keluarga yang mapan atau kaya, hal ini bisa dibuktikan dengan bekal dari orang tuanya yang ketika dicuri ia tidak dapat menggantinya lagi. Begitujuga kisah kelaparan yang dia alami selama di Mesir dan kiriman orang tuanya yang dikirim terlambat, sehingga ia terpaksa menjual pakaiannya. Al-Farghani menyebutkan perkataan Imam at-Thabari berkata; suatu ketika kiriman dari orang tuaku telat, hingga aku terpaksa merobek kedua lengan bajuku untuk kemudian aku jual. Selanjutnya Imam Thabari menuliskan keadaannya tersebut dalam sebuah puisi:

”Ketika aku kesusahan kawanku tak mengerti‎
Aku berusaha merasa kaya, hingga kawanku menganggap aku kaya‎‎
Rasa maluku menjaga air mukaku, kelembutanku membuat kawanku mencariku‎
Jika saja aku sia-siakan air mukaku, niscaya jalan kepada kepopuleran akan mudah‎‎
Dua sifat yang tidak rela aku melewatinya‎
Sombongnya sifat kaya dan hinanya kemelaratan‎
Ketika kau kaya janganlah kau sombong lagi ceroboh‎
Jika kau melarat maka sombongilah waktu”‎
Hal ini cukup menguatkan kesimpulan bahwa kehidupan Imam Thabari  cukup memprihatinkan.

Keterbatasan ekonomi tersebut tidak lantas melunturkan semangat Imam  Thabari dalam menuntut ilmu, di awal keberadaannya di Baghdad, at-Thabari berusaha mengatasai persoalan ini dengan mengajar anak menteri Abu Hasan bin Khaqan, itupun dengan kesep[akatan tidak menganggu waktu belajar Imam Thabari, dari pekerjaan barunya, Imam Thabari menerima upah 10 dinar setiap bulan dan mendapat pinjaman 10 dinar untuk modal pertama.

Gaya hidup sederhana dan bersahaja ini terus ia tanam hingga akhir hayatnya, Menteri al-Khaqani pernah pernah menawarkan jabatan Hakim Daulah Abbassiyah kepadanya, tapi ia tolak. Tidak hanya itu, at-Thabari juga menolak hadiah 1000 dinar dari menteri Al-Abbas bin Hasan atas buku yang ia buat, al-Khafif.

Kedudukan yang begitu terhormat ini tidak lantas merubah gaya hidupnya, malahan ia tetap berusaha hidup sederhana dengan mengandalkan uang dari hasil panen yang ditinggalkan ayahnya di Thaburstan, padahal jika mau, ia bisa hidup dalam gelimang kemewahan, ia menggubah jalan hidupnya ini dalam sebuah puisi yang menarik untuk kita simak.

Ketika aku kesulitan uang‎
Tidak satupun sahabatku yang tahu‎
Tapi ketika aku punya uang‎
Sahabatku ikut merasakan kesenanganku‎
Rasa malu menjaga air mukaku‎
Rasa enggan meminta adalah sifatku‎
Andai saja aku tepis rasa malu‎
Jalan menjadi kaya terlalu mudah bagiku.
Penghargaan Ulama Terhadap Hasil Karya al-Imam at-Thabari

Banyak didapati pengakuan terhadap Imam Thabari dalam usahanya mengembangkan Tafsir, seperti berikut ini:

Imam An Nawawi dalam Tahdzibnya mengemukakan: “Kitab Ibnu Jarir dalam bidang tafsir adalah sebuah kitab yang belum seorangpun ada yang pernah menyusun  kitab yang menyamainya. Beliau juga pernah mengatakan: “”Umat telah bersepakat tidak ada yang menyamai tafsir beliau ini.” ‎

Imam as-Suyuthi, seorang mufasir menyatakan seperti berikut: “Kitab ibnu Jarir adalah kitab tafsir paling agung (yang sampai kepada kita). Didalamnya beliau mengemukakan berbagai macam pendapat dan mempertimbangkan mana yang lebih kuat, serta membahas I’rob dan istimbat. Karena itulah ia melebihi tafsir-tafsir karya para pendahulu.” ‎

Syaikh Islam Ibnu Taimiyah telah memuji Imam Thabari, antara lain mengatakan: “Adapun tafsir-tafsir yang ditangan manusia, yang paling dahulu adalah tafsir Ibnu Jarir Ath thobari, bahwa beliau (Ibnu jarir) menyebutkan perkataan salaf dengan sanad-sanad yang tetap, dan tidak ada bid’ah sama sekali, dan tidak menukil dari orang yang Muttahim, seperti Muqotil bin Bakir d‎an Al Kalbi.” ‎

As-Suyuthi telah meneliti thabaqah mufasir sejak awal kemunculan ilmu ini, dan ketika sampai pada Abu Jafar, ia menempatkannya pada thabaqah (tingkatan) yang pertama, kemudian ia berkata: “jika engkau bertanya: Tafsir apa yang engkau sarankan dan dijadikan sebagai bahan rujukan? Maka aku katakan: Tafsir Ibnu Jarir, yang para ulama telah bersepakat bahwa belum ada kitab tafsir yang semisalnya.” ‎

Abu Muhamamad Abdullah bin Ahmad bin Jafar al-Farghani mengatakan bahwa ia pernah bermimpi  mengikuti Majlis ilmu Abu Jafar dan manusia kala itu sedang membaca kitab Tafsir Ibnu jarir, lantas aku mendengar suara dari antara langit dan bumi yang mengatakan: Barangsiapa ingin mendengarkan al-Quran sebagaimana ia turun, maka dengarkanlah kitab ini. ‎
Mazhab dan Aqidah Imam ath-Thabari

Al Faroghi berkata: “Harun bin Abdul Aziz bercerita kepadaku:” Abu Ja’far At Thobari berkata: “aku memilih Madzhab imam Syafi’I, dan aku ikuti beliau di Bagdad selama 10 tahun

As Suyuthi berkata dalam kitab “Thobaqotul Mufassirin” hal: 3: “Pertama, beliau bermadzhab Syafi’I, lalu membuat madzhab sendiri, dengan perkataan-perkataan dan petikan-petikan sendiri, dan beliau mempunyai pengikut yang  mengikutinya. Dan aqidahnya adalah Aqidah Salaf as-Shalih

Imam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawanya mengatakan bahwa Imam Thabari adalah imam Ahlu Sunnah, hal ini beliau katakana ketika membahas mengenai al-Quran kalamullah.

Imam Ibnu Qayyim mengatakan, yang maknanya adalah bahwa Imam Thabari adalah Ahlu Sunnah. Hal ini dapat diketahui dari tulisan beliau Sharih as-Sunnah. Dan masih banyak lagi pernyataan para ulama mengenai aqidah beliau.

Al-Tabari dipandang sebagai tokoh penting dalam jajaran mufassir klasik pasca tabi’ al-tabi’in, karena lewat karya monumentalnya Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an mampu memberikan inspirasi baru bagi mufassir sesudahnya. Struktur penafsiran yang selama ini monolitik sejak zaman sahabat sampai abad III H. kehadiran tafsir ini memberikan aroma dan corak baru dalam blantika penafsiran. Eksplorasi dan kekayaan sumber yang heterogen terutama dalam hal makna kata dan penggunaan bahasa Arab yang telah dikenal secara luas di kalangan masyarakat. Di sisi lain, tafsir ini sangat kental dengan riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran (ma’sur) yang disandarkan pada pendapat dan pandangan para sahabat, tabi’ tabi’in melalui hadis yang mereka riwayatkan.

Penerapan metode secara konsisten ia tetapkan dengan tahlili menurut perspepsi sekarang. Metode ini memungkinkan terjadinya dialog antara pembaca dengan teks-teks al-Qur’an dan diharapkan adanya kemampuan untuk menangkap pesan-pesan yang didasarkan atas konteks kesejarahan yang kuat.Itulah sebabnya Tafsir ini memili karakteristik tersendiri dibanding dengan tafsir-tafsir lainnya. Paling tidak analisis bahasa yang sarat dengan syair dan prosa Arab kuno, variant qira’at, perdebatan isu-isu bidang kalam, dan diskusi seputar kasus-kasus hukum tanpa harus melakukan klaim kebenaran subyektifnya, sehingga al-Tabari tidak menunjukkan sikap fanatisme mazhab atau alirannya. Kekritisannya mengantarkan pada satu kesimpulan bahwa ia termasuk mufassir professional dan konsisiten dengan bidang sejarah yang ia kuasai.

Tafsir jami' al-Bayan Fi Tafsir al-Qur'an At-Thobari 


1. Sejarah Penulisan‎

Semasa hidup al-Tabari, akhir abad 9 hingga pertengahan abad 10 M, kaum muslimin dihadapkan pada pluralitas etnis, relijius, ilmu pengetahuan, pemikiran keagamaan, dan heteroge­nitas kebudayaan dan peradaban. Secara langsung maupun tidak langsung, telah terjadi interaksi kultural dengan ragam muatan­nya, perubahan dan dinamika masyarakat terus bergulir, tentu saja hal ini mewamai cara pandang dan cara pikir kaum muslimin, sebagai sebuah konsekuensi logis yang tak terhindarkan.

Di bidang keilmuan, tafsir telah menjadi disiplin ilmu ke­islaman tersendiri, setelah beberapa saat merupakan bagian inheren studi al-hadis, di samping bidang-bidang keilmuan yang lain. Tafsir telah mengalami perkembangan secara metodologis dan substansial. kemunculan aliran tafsir bi al-ma'sur dan bi al ­ra'yi turut memberikan warna bagi pemikiran muslim. Di sisi yang lain, ada persoalan yang cukup serius di tubuh tafsir bi al-ma'sur, yaitu dengan munculnya varian riwayat, dari riwayat yang sahih/­akurat dan valid-hingga riwayat yang tidak bisa dipertanggung­jawabkan menurut parameter-sanad dan rijal al-hadis- dalam disiplin `Ulumul Hadis. Itulah sebabnya, pada waktu yang ber­samaan tafsir bi al-ma'sur sedang menghadapi masalah serius, karena telah terjadi pembauran berbagai riwayat. Di samping itu, orientasi kajian tafsir yang tidak mono material, tetapi telah berinteraksi dengan disiplin ilmu yang lain seperti fiqh, kalam, balagah, sejarah dan filsafat. Pengaruh unsur-unsur di luar Islam turut mewarnai corak penafsiran, termasuk Israiliyyat.

Al-Tabari ada pada saat hilangnya salah satu aliran, rasional keagamaan Mu'tazilah setelah era al-Mutawakkil, dan munculnya aliran tradisional Asy'ariyah yang belakangan disebut Sunni, belum lagi sekte-sekte yang lain turut menyemarakkan bursa pemikiran di panggung sejarah umat Islam. Kompleksitas yang dilihat dan dialami al-Tabari di negeri sendiri, menggugah sensitivitas keilmu­annya khususnya bidang pemikiran Islam dengan jalan melaku­kan respons dan dialog ilmiah lewat karya tulis. Tentu saja per­gulatan mazhab yang dialami al-Tabari, menyisakan dampak bagi dirinya. Popularitasnya di negeri sendiri dan kota-kota sekitarnya tidak terbantahkan, sampai-sampai pada hal mazhab yang di­ikutinya.

Pada akhir pergulatan pemikirannya, ia lebih dikenal luas sebagai seorang Sunni ketimbang seorang Rafidi-ektremis Ali­ yang pernah hangat diributkan oleh para ulama sezamannya ketika memuncaknya aliran-aliran teologi. Bukti bahwa dia seorang sunni terlihat dalam karya-karyanya di bidang sejarah dan tafsir. Kitab tafsir ini ditulis oleh al-Tabari pada paruh abad III H, dan sempat disosialisasikan di depan para murid-muridnya selama kurang lebih 8 tahun, sekitar 282 hingga 290 H.

Kitab tafsir karya al-Tabari, memiliki nama ganda yang dapat dijumpai di berbagai perpustakaan; pertama, Jami' aI-Bayan An Ta'wil Ay al-Qur'an (Beirut: Dar al-Fikr, 1995 dan 1998), dan kedua bernama Jami' al-Bayan f i Tafsir al- Qur'an (Beirut: Dar al­Kutub al-`Ilmiyyah, 1992), terdiri dari 30 juz/jilid besar. Al-Tabari mencoba mengelaborasi terma takwil dan tafsir menjadi sebuah konstruksi pemahaman yang utuh dan holistik. Baginya kedua istilah itu adalah mutaradif (sinonim). Keduanya merupakan piranti intelektual untuk memahami kitab suci al-Qur'an yang pada umumnya tidak cukup hanya dianalisis melalui kosakatanya, tetapi memerlukan peran aktif logika dan aspek-aspek penting lainnya, seperti munasabah ayat dan atau surat, tema (ma'udu ), asbab al­-nuzul dan sebagainya.

Pada awalnya kitab ini pernah menghilang, tidak jelas keberadaannya; ternyata tafsir ini dapat muncul kembali berupa manuskrip yang tersimpan di maktabah (koleksi pustaka pribadi) seorang Amir (pejabat) Najed, Hammad ibn `Amir `Abd Al Rasyid. Goldziher berpandangan bahwa naskah tersebut dike­temukan lantaran terjadi kebangkitan kembali percetakan pada awal abad 20-an. Menurut al-Subki, bentuk tafsir yang sekarang ini adalah khulasah (resume) dari kitab orisinalnya.
2. Karakteristik Penafsiran‎
Untuk melihat seberapa jauh karakteristik sebuah tafsir, dapat dilihat, paling tidak, pada aspek-aspek yang berkaitan dengan gaya bahasa, laiwn (corak) penafsiran, akurasi dan sumber penafsiran, konsistensi metodologis, sistematika, daya kritis, kecenderungan aliran (mazhab) yang diikuti dan objektivitas penafsirnya.

Tiga ilmu yang tidak terlepas dari al Thabary, yaitu tafsir, tarikh, dan fiqh. Ketiga ilmu inilah yang pada dasarnya mewarnai tafsirnya. Dari sisi linguistik (lugah), Ibn Jarir sangat memperhatikan penggunaan bahasa Arab sebagai pegangan dengan bertumpu pada syari-syair Arab kuno dalam menjelaskan makna kosa kata, acuh terhadap aliran-aliran ilmu gramatika bahasa (nahwu), dan penggunaan bahasa Arab yang telah dikenal secara luas di kalangan masyarakat. Sementara itu, ia sangat kental dengan riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran, yang disandarkan pada pendapat dan pandangan para sahabat, tabi’in dan ta-bi' al­ ta-bi'in melalui hadis yang mereka riwayatkan (bi al-Ma'sur Semua itu diharapkan menjadi detector bagi ketepatan pemaha­mannya mengenai suatu kata atau kalimat. Beliau juga menempuh jalan istinbat ketika menghadapi sebagian kasus hukum dan pemberian isyarat terhadap kata-kata yang samar i'rab-nya. 

Aspek penting lainnya di dalam kitab tersebut adalah pe­maparan qira ah secara variatif, dan dianalisis dengan cara di­hubungkan dengan makna yang berbeda-beda, kemudian men­jatuhkan pilihan pada satu qira'ah tertentu yang ia anggap paling kuat dan tepat.

Di sisi yang lain, al-Tabari sebagai seorang ilmuwan, tidak terjebak dalam belenggu taqlid, terutama dalam mendiskusikan persoalan-persoalan fiqh. la selalu berusaha untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam (kandungan al-Qur'an) tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan perbedaan paham yang dapat menimbul­kan perpecahan. Secara tidak langsung, ia telah berpartisipasi dalam upaya menciptakan iklim akademika yang sehat di tengah­tengah masyarakat di mana ia berada, dan tentu saja bagi generasi berikutnya.

Ketika berhadapan dengan persoalan kalam, terutama yang menyangkut soal akidah dan eskatologis, mau tak mau, ia terlibat dalam diskusi cukup intens. Dalam beberapa hal, sikap fanatisnya tampak cukup kentara, ketika ia harus membela ahl al-Sunnah wa al Jama’ah, pada saat berhadapan dengan beberapa pandangan kaum Mu'tazilah dalam doktrin-doktrin tertentu. Bahkan, ia terkesan menyerang gigih penafsiran metaforis dan ajaran-ajaran dogmatis mereka, meskipun ia telah berusaha untuk mengambil posisi yang moderat.

3. Metode penafsiran
Menurut H. Abdul Djalal, metode muqaran (komparatif) digunakan daam tafsir ini. Karena di dalamnya memuat pendapat-pendapat para ulama dan membanding pendapat sebagian mereka dengan pendapat sebagian yang lain. Tafsir al-Tabari, dikenal sebagai tafsir bi al-ma'sur, yang mendasarkan penafsirannya pada riwayat-riwayat yang bersumber dari Nabi saw., para sahabatnya, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Ibnu Jarir dalam tafsir dalam tafsirnya telah mengkompromikan antara riwayat dan dirayat. Dalam periwayatan ia biasanya tidak memeriksa rantai periwayatannya, meskipun kerap memberikan kritik sanad dengan melakukan ta'dil dan tarjih tentang hadis-hadis itu sendiri tanpa memberikan paksaan apapun kepada pembaca. Sekalipun demikian, untuk menentukan makna yang paling tepat terhadap sebuh lafaz, ia juga menggunakan ra'yu. Dalam kaitan ini, secara runtut yang pertama-tama ia lakukan, adalah membeberkan makna-makna kata dalam terminologi bahasa Arab disertai struktur linguistiknya, dan (I’rab) kalau diperlukan. Pada saat tidak menemukan rujukan riwayat dari hadis, ia akan melakukan pemaknaan terhadap kalimat, dan ia kuatkan dengan untaian bait syair dan prosa kuno yang berfungsi sebagai syawahid dan alat penyelidik bagi kete­patan pemahamannya. Dengan langkah-langkah ini, proses tafsir (takwil) pun terjadi. 

Berhadapan dengan ayat-ayat yang saling berhubungan (munasabah) mau tidak mau-ia harus meng­gunakan logika (mantiq). Metode semacam ini temasuk dalam kategori Tafsir Tahlili dengan orientasi penafsiran bi al-ma'sur dan bi ar-ra'yi yang merupakan sebuah terobosan baru di bidang tafsir atas tradisi penafsiran yang berjalan sebelumnya.

Riwayat-riwayat yang kontroversial (muta'aridah), ia jelas­kan dengan memberikan penekanan-penekanan-setuju atau tidak setuju (sanggahan)-dengan mengajukan alternatif pan­dangannya sendiri disertai argumentasi penguatnya. Ketika berhadapan dengan ayat-ayat hukum, ia tetap konsisten dengan model pemaparan pandangan fuqaha dari para sahabat, taabi'in dan ta-bi' aI-tabi'in, kemudian mengambil istinbat.
Untuk menunjukkan kepakarannya di bidang sejarah, maka ayat-ayat yang ia jelaskan berkenaan dengan aspek historis ia jelaskan secara panjang lebar, dengan dukungan cerita-cerita pra-Islam (Israiliyyat).

Al-Tabari mengambil riwayat-riwayat dari orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah muslim, seperti; Ka'ab al-Ahbar, Wahab Ibn Munabbih, Abdullah Ibn Salam dan Ibn Juraij, dengan persepsi yang kuat bahwa riwayat-riwayat tersebut telah dikenal oleh masyarakat Arab dan tidak menimbul­kan kerugian dan bahaya bagi agama. Dengan pendekatan sejarah yang ia gunakan, tampak kecenderungannya yang independen. Ada dua pernyataan mendasar tentang konsep sejarah yang dilontarkan al-Tabari; pertama, menekankan esensi ketauhidan dari misi kenabian, dan kedua, pentingnya pengalaman-peng­alaman dari umat dan konsistensi pengalaman sepanjang zaman. 

Dari penjelasan di atas, Dalam menafsirkan, al-Tabari menempuh langkah-langkah sebagai berikut:

Mengawali penafsiran ayat dengan mengatakan: "Pendapat tentang takwil firman Allah" begini.
Kemudian menafsirkan ayat dan menguatkan pendapatnya dengan apa yang diriwayatkannya dengan sanadnya sendiri dari para sahabat atau tabi'in.‎

Menyimpulkan pendapat umum dari nash al-Qur'an dengan bantuan atsar-atsar yang diriwayatkannya.
Menyebutkan atsar-atsar yang berasal dart Rasulullah saw., sa­habat dan tabi'in dengan menuturkan sanad-sanadnya, dimulai dari sanad yang paling kuat dan paling shahih.

Menguatkan pendapat yang menurutnya kuat dengan menye­butkan alasan-alasannya.
Melanjutkannya dengan menjelaskan pendapat ahli bahasa, seperti bentuk kata dan maknanya, baik tunggal maupun gabungan serta menjelaskan makna yang dimaksud dalam nash yang bersangkutan.
Melanjutkannya dengan menjelaskan qira'at-qira'atnya dengan menunjukkan qira'at yang kuat dan mengingatkan akan qira'at yang tidak benar.

Menyertakan banyak syair untuk menjelaskan dan meng­ukuhkan makna nash.
Menuturkan I'rab dan pendapat para ahli nahwu untuk men­jelaskan makna sebagai akibat dari perbedaan I'rab.

Memaparkan pendapat-pendapat Fiqih ketika menjelaskan ayat-ayat hukum, mendiskusikannya dan menguatkan penda­pat yang menurutnya benar.
Kadang-kadang la menuturkan pendapat para ahli kalam -dan menjuluki mereka dengan ahli jadal (ahli teologi dialektis)-, mendiskusikannya, kemudian condong kepada pendapat Ahli Sunnah wal Jama'ah.

Memberikan tempat yang tinggi kepada ijma' umat ketika memilih suatu pendapat.
Sebagai orang yang berpegang pada tafsir bil ma’sur, konsekuensinya tafsir Ibnu Jarir mempunyai keistimewaan tersendiri. 

Sebagaimana disebutkan oleh Shidqy al ’Athar dalam muqaddimah tafsir ibnu Jarir sebagai berikut :
a. Mengikuti jalan sanad dalam silsilah riwayat.
b. Menjauhi tafsir bil ra’yi.
c. Apik dalam menyampaikan sanad.
d. Berpegang pada ilmu bahasa.
e. Banyak meriwayatkan hadis-hadis Nabawiyyah.
f. Memperkuat dengan syair dalam menjelaskan maksud kalimat.
g. Perbendaharaan qira’at.
h. Mengkomprontirkan dan mengkompromikan pandangan-pandangan fiqhiyyah.
i. Menghimpun dalam tafsirnya antara riwayat dan dirayat.

Inilah karakteristik utama metode tafsir Ibn Jarir. Namun demikian, ada sejumlah kritikan, antara lain:
la menyebutkan sejumlah Isra'iliyyat dalam tafsirnya. meski ia sering memberikan komentar terhadap lsra'iliyyat itu, tetapi sebagian tidak dikomentarinya. karena itu dibutuhkan peneli­tian lebih lanjut untuk membedakan yang baik dari yang buruk. Alasan yang bisa membelanya adalah bahwa ia menuturkan sanadnya secara lengkap. Ini memudahkan peneliti terhadap hal-ihwal para periwayatnya dan memberikan penilaian. Karena itu kita harus mengkaji sanadnya agar kita bisa menge­tahui yang shahih dari yang dla'if. Ada ungkapan yang me­nyatakan bahwa orang yang menuturkan sanadnya kepada anda berarti telah memberi kesempatan kepada anda untuk menilainya.
Umumnya la tidak menyertakan penilaian shahih atau dla’if terhadap sanad-sanadnya, meski kadang-kadang la memposisi­kan diri sebagai seorang kritikus yang cermat.

Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadanya. Kemasyhuran tafsir ini telah mendunia. Ia telah dicetak berkali-kali, terdiri dari tiga puluh jilid besar. Ibnu Jarir menulisnya di akhir usianya, setelah memiliki kematangan ilmu, budaya dan pengetahuan. Dengan demikian, ia layak mendapat julukan Syaikhul Mufassirin. Tafsirnya ini telah menjadi induk kitab-kitab tafsir.

4. Sistematika Penafsiran
Sistematika penafsiran al-Tabari mengikuti tartib Mushafi. Dalam sistematika ini, sang mufasir menguraikan penafsirannya berdasarkan urutan ayat dan surah (tahlily) di dalam mushaf (`Usmani). Sekalipun demikian, pada beberapa bagian tertentu, ia juga menggunakan pendekatan yang semi-tematis. Pendekatan ini terlihat ketika menguraikan penafsiran suatu ayat dengan mem­berikan sejumlah ayat-ayat lain yang berhubungan sebagai penguat penafsirannya. Namun, secara umum la tidak keluar dari sis­tematika mushaf Usmani.­

Penafsiran al-Tabari yang paling dahulu adalah pemaparan ayat-ayat yang akan ditafsirkan, dengan mengemukakan berbagai pendapat yang ada tentang takwil (tafsir) firman Allah. Ayat tersebut kemudian ditafsirkan dengan dasar riwayat-riwayat generasi awal Islam; para sahabat dan tabi'in, lengkap dengan sanadnya hingga sampai Nabi Saw. Langkah selanjutnya adalah analisis terhadap ayat dengan nalar kritisnya yang ditopang oleh perangkat-perangkat penting lainnya, yang telah dikemukan pada awal pembicaraan, termasuk linguistik. Atas dasar pemaparan terdahulu, ia merespons secara positif dan mengambil sikap untuk menetapkan satu pandangan yang paling tepat dan kuat. Demi­kian hingga penafsiran ayat terakhir dari al-Qur'an 30 juz.‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar