Kamis, 29 Oktober 2015

Riwayat Musnahnya Sebuah Desa Di Dieng

DI tengah sebuah hamparan ladang di Desa Pekasiran, sebuah desa di pegunungan Dieng Kecamatan Batur Banjarnegara, berdiri sebuah tugu beton menjulang tinggi. Pada salah satu sirinya, tertempel plat logam bertuliskan huruf kapital: TUGU PERINGATAN ATAS TEWASNJA 332 ORANG PENDUDUK DUKUH LEGETANG SERTA 19 ORANG TAMU DARI LAIN-LAIN DESA SEBAGAI AKIBAT LONGSORNJA GUNUNG PENGAMUN-AMUN PADA TG. 16/17-4-1955.

Kecuali keterangan pada tugu tersebut, tak ada dokumen atau tulisan khusus tentang peristiwa tragis yang terjadi 58 tahun silam itu, termasuk di Pos Pengamatan Gunung Api Gunung Dieng di Desa Karantengah, yang didirikan pemerintah tahun 1954. 

Beberapa orangtua di Pekasiran, yang usianya kini sudah renta, masih merekam secara jelas kejadian itu dalam benak mereka.  Mereka pulalah yang kelak menjadi penutur cerita tentang musibah tersebut kepada anak-cucu dan cicitnya.

Kisah ini sudah lama, tetapi banyak yang belum mengetahuinya. Kisah ini hendaknya menjadi ibroh, bahwa apabila suatu daerah bermaksiat semua, bisa jadi Allah akan mengazabnya secara langsung.



أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ فَإِذَا هِيَ
تَمُورُ

"Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang dilangit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?" (QS Al Mulk 67: 16).

Dukuh Legetang adalah sebuah daerah di lembah pegunungan Dieng, sekitar 2 km ke utara dari kompleks pariwisata Dieng Kabupaten Banjarnegara.

Dahulunya masyarakat dukuh Legetang adalah petani-petani yang sukses sehingga kaya. Berbagai kesuksesan duniawi yang berhubungan dengan pertanian menghiasi dukuh Legetang. Misalnya apabila di daerah lain tidak panen tetapi mereka panen berlimpah. Kualitas buah/sayur yang dihasilkan juga lebih dari yang lain. Namun barangkali ini merupakan "istidraj" (disesatkan Allah dengan cara diberi rizqi yang banyak dan orang tersebut akhirnya makin tenggelam dalam kesesatan). Masyarakat dukuh Legetang umumnya ahli maksiat dan bukan ahli bersyukur. Perjudian disana merajalela, begitu pula minum-minuman keras  yang sangat cocok untuk daerah dingin. Tiap malam mereka mengadakan pentas Lengger (sebuah kesenian yang dibawakan oleh para penari perempuan dengan berdandan molek, yang sering berujung kepada perzinaan dan pesta seks. Anak yang kimpoi sama ibunya dan beragam kemaksiatan lain sudah sedemikian parah di dukuh Legetang. ‎
Alkisah pada suatu malam turun hujan yang lebat dan masyarakat Legetang sedang tenggelam dalam kemaksiatan. Tengah malam hujan reda. Tiba-tiba terdengar suara "buum", seperti suara benda yang teramat berat berjatuhan. Pagi harinya masyarakat disekitar dukuh Legetang yang penasaran dengan suara yang amat keras itu menyaksikan bahwa Gunung Pengamun-amun sudah terbelah (bahasa jawanya: tompal), dan belahannya itu ditimbunkan ke dukuh Legetang. Dukuh Legetang yang tadinya berupa lembah itu bukan hanya rata dengan tanah, tetapi menjadi sebuah gundukan tanah baru menyerupai bukit. Seluruh penduduknya mati. Gegerlah kawasan dieng... Seandainya gunung Pengamun-amun sekedar longsor, maka longsoran itu hanya akan menimpa dibawahnya. Akan tetapi kejadian ini bukan longsornya gunung. Antara dukuh Legetang dan gunung Pengamun-amun terdapat sungai dan jurang, yang sampai sekarang masih ada. Jadi kesimpulannya, potongan gunung itu terangkat dan jatuh menimpa dukuh Legetang. Siapa yang mampu mengangkat separo gunung itu kalau bukan Allah? 

Tugu beton yang sudah lapuk dimakan usia masih berdiri tegak di tengah ladang di desa Pekasiran di pegunungan Dieng Kecamatan Batur, Banjarnegara. Tapi tugu setinggi sekitar 10 meter itu jadi penanda tragedi dan misteri terkuburnya dusun Legetang bersama seluruh penghuninya akibat longsornya Pengamunamun pada 1955.

Tragedi Musnahnya Dusun Legetang 1955

Sampai saat ini, dataran tinggi Dieng merupakan kawasan yang masih labil. Otoritas yang berwenang pun telah menyebarkan peringatan tentang hal tersebut. Di wilayah yang sejatinya merupakan kaldera raksasa ini dapat saja terjadi pergerakan tanah yang tiba-tiba, baik itu merekah maupun longsor.

Rekan-rekan Kompasianer mungkin ada yang belum mendengar cerita tentang sebuah dusun yang hilang karena “ketiban gunung”.

Pada tengah malam tanggal 16 April 1955, menjelang pergantian hari, Dusun Legetang yang masuk dalam wilayah administrasi Desa Pekasiran, Kecamatan Batur, Banjarnegara, tiba-tiba lenyap dari permukaan bumi. Penyebabnya adalah potongan puncak gunung/bukit Pengamun-amun yang beberapa minggu sebelumnya telah terlihat retakannya, pada malam yang dingin itu bongkahan tanah berukuran raksasa tersebut tiba-tiba “terbang” dan berpindah ke lembah dimana Dusun Legetang berada.

Sebanyak 332 jiwa penduduk Dusun Legetang dan 19 orang dari desa-desa tetangga yang tengah berkunjung ke dusun tersebut ikut tertimbun dan dianggap meninggal. Beredar cerita tentang kondisi sosial masyarakat dusun yang sebagian besar berperilaku kurang terpuji, yang mengingatkan orang akan kaum Sodom Gomorah yang dihukum Tuhan dengan cara yang kurang lebih sama.

Yang sangat aneh dan menjadi misteri adalah, mengapa kawasan antara kaki gunung dan perbatasan Dusun Legetang yang berjarak beberapa ratus meter (jurang dan sungai), tidak ikut tertimbun. Terbangkah bongkahan longsoran gunung Pengamun-amun itu? Wallahualam.


Data pada pahatan monumen marmer di pertigaan Desa Kepakisan, tetangga Pekasiran, menuju ke objek wisata kawah Sileri menyebutkan, jumlah korban jiwa 450 orang. Jauh melebihi korban tewas akibat bencana gas beracun kawah Sinila tahun 1979 yang merenggut 149 nyawa dan menjadi perhatian dunia internasional itu merenggut 149 nyawa.

Salah seorang saksi tragedi Legetang, Suhuri warga Pekasiran RT 03/04 yang kini berusia sekitar 72 tahun mengatakan, musibah terjadi malam hari pukul 23.00 saat musim hujan. ”Saya dan beberapa teman malam itu tidur di masjid. Saya baru dengar kabar gunung Pengamunamun longsor jam tiga pagi,” katanya. Suhuri mengaku lemas seketika begitu mendengar kabar tersebut, karena kakak kandungnya, Ahmad Ahyar, bersama istri dan 6 anaknya tinggal di dusun Legetang. Namun Suhuri maupun keluarganya dan warga lain tak berani langsung ke dusun yang berjarak sekitar 800 meter dari pusat desa Pekasiran, karena beredar kabar tanah dari lereng gunung Pengamunamun masih terus bergerak.
Lenyapnya desa Legetang dan penghuninya juga menyimpan misteri, karena Suhuri dan beberapa warga Desa Pekasiran lain seusianya yang kini masih hidup mengatakan, antara kaki gunung sampai perbatasan kawasan pemukiman di dusun itu sama sekali tidak tertimbun, padahal jaraknya beberapa ratus meter. ”Longsoran tanah itu seperti terbang dari lereng gunung dan jatuh tepat di pemukiman. Sangat aneh”, kata Suhuri sembari menjelaskan, gejala lereng gunung akan longsor sudak diketahui 70 hari sebelum kejadian. Para pencari rumput pakan ternak dan kayu bakar untuk mengasap tembakau rajangan di samping untuk memasak, melihat ada retakan memanjang dan cukup dalam di tempat itu. Tapi tanda-tanda tadi tak membuat orang waspada, meski sering jadi bahan obrolan di Legetang. Orang baru menghubung-hubungkan soal retakan di gunung itu setelah Legetang kiamat,” katanya.
Waktu itu semua orang tercengang dan suasana mencekam melihat seluruh kawasan dusun Legetang terkubur longsoran tanah. Tak ada sedikit pun bagian rumah yang kelihatan. Tanda-tanda kehidupan penghuninya juga tak ada, kenang Suhuri. ”Alam Legetang sebagian besar cekung. Tanah dari lereng gunung seakan diuruk ke cekungan itu dan meninggi dibanding tanah asli disekitarnya. Banyak warga yang dibiarkan terkubur karena sulit dievakuasi,” ujar Suhuri.

Pencarian terhadap korban, menurut Suhuri, hanya dipusatkan ke titik yang diduga merupakan lokasi rumah bau (kepala dusun) Legetang bernama Rana. Setelah dilakukan penggalian cukup lama oleh warga. Tapi tak sedikit para korban dibiarkan terkubur, karena amat sulit dievakuasi. Satu istri Rana lainnya, bernama Kastari, satu-satunya warga Legetang yang selamat, karena ia pergi dari rumah sebelum gunung itu longsor.

Kini tanah lokasi bencana itu sedikit demi sedikit digarap warga untuk budidaya tembakau dan sayur. Sekitar 1980, ketika kentang menggusur tanaman tembakau dan jagung di pegunungan Dieng, bekas dusun Legetang pun berubah jadi ladang kentang dan kobis, termasuk tanah kuburan umum milik bekas dusun tersebut.

Ada beberapa hal yang mengiringi hilangnya Legetang ini.

1. Legetang, Memiliki Intro yang Sama dengan Pompeii Sebelum Menghilang

Kala itu, pada 1950-an, Legetang dikenal sebagai wilayah yang sangat subur. Hasil pertaniannya begitu melimpah. Buah dan sayurannya merupakan kualitas terbaik. Petani-petaninya hidup makmur.

Sangat disayangkan, perilaku mereka tak semaju peradabannya. Perzinaan merupakan hal yang umum. Perjudian menjadi adat.

Seperti halnya Pompeii yang menjadi pusat hiburan bagi warga Roma, warga Legetang sering menggerlar hiburan tari-tarian yang dibawakan wanita-wanita. Tak jarang hiburan tersebut berakhir menjadi sebuah pesta seks.

2. Sebuah Longsor Dahsyat Mengubur Legetang dalam Satu Malam

Perisitiwa ini terjadi pada malam hari sesaat setelah hujan reda. Terdengar suara seperti sebuah ledakan besar. Pagi harinya masyarakat disekitar dukuh Legetang yang penasaran dengan suara yang amat keras itu menyaksikan bahwa Gunung Pengamun-amun yang terletak di dekat perkampungan sudah terbelah dan belahannya itu menimbun Legetang.

Legetang yang tadinya berupa lembah itu bukan hanya rata dengan tanah, tapi menjadi sebuah gundukan tanah baru menyerupai bukit. Seluruh penduduknya terkubur dalam longsoran tanah.

Waktu itu semua orang tercengang. Suasana mencekam melihat seluruh kawasan Legetang terkubur longsoran tanah. Tak ada sedikit pun bagian rumah yang kelihatan.

Alam Legetang sebagian besar cekung. Tanah dari lereng gunung seakan diuruk ke cekungan itu dan meninggi dibanding tanah asli di sekitarnya. Banyak warga yang dibiarkan terkubur karena sulit dievakuasi

3. Legetang seolah sudah “diincar” Gunung Pengamun-amun

Antara kaki gunung sampai perbatasan kawasan pemukiman Legetang sama sekali tidak tertimbun, padahal jaraknya beberapa ratus meter. Longsoran tanah itu seperti terbang dari lereng gunung dan jatuh tepat di pemukiman.

Selain itu antara Legetang dan gunung Pengamun-amun terdapat sungai dan jurang, yang sampai sekarang masih ada.

Seperti layaknya teori-teori konspirasi lain di dunia, kisah longsoran tanah terbang ini terus diceritakan turun temurun.

Jika melancong ke Dieng, berkunjung ke tugu peringatan Legetang bukan ide buruk. Tugu beton itu kini sudah lapuk dimakan usia. Tugu yang masih berdiri tegak di tengah ladang di desa Pekasiran, Kecamatan Batur, Banjarnegara.

Sebuah tugu setinggi 10 meter menjadi penanda tragedi terkuburnya Legetang bersama seluruh penghuninya akibat longsornya Gunung Pengamun-amun pada 1955.‎

Kini longsoran tanah yang dulunya menguruk Legetang dimanfaatkan sebagai lahan pertanian kentang dan kubis. Tanah tersebut dikenal sangat subur.

Sebagian masyarakat yang kini tinggal di bekas tanah Legetang keberatan jika diminta menceritakan kisah hilangnya Legetang. Mereka takut hal buruk akan menimpa mereka.

Sejarah memang bukan pelajaran favoritku dulu. Aku bukan seorang suci yang berkata,” ayo ambil hikmah dari kisah-kisah ini.”

Sejujurnya, aku tertarik dengan kisah-kisah masa lalu karena hal tersebut sangat menarik dari sudut pandangku. Aku cukup bisa menikmatinya. Memandang peristiwa masa lalu dengan perspektif orang modern.

“Membayangkan bagaimana kisah hidup kita dimasa kini akan diceritakan pada generasi mendatang”

Sungguh kisah tenggelamnya dukuh Legetang ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa Azab Alloh yang seketika itu tak hanya terjadi di masa lampau, di masa para nabi, tetapi azab itu pun bisa menimpa kita di zaman ini.

Bahwa sangat mudah bagi Alloh untuk mengazab manusia-manusia durjana dalam hitungan detik. Andaikan di muka bumi ini tak ada lagi hamba-hamba yang bermunajat di tengah malam menghiba ampunan-Nya, mungkin dunia ini sudah kiamat.

Kita berhutang budi kepada para ibadurrahman, para hamba Alloh yang berjalan dengan rendah hati, tak menyombongkan dirinya. Mereka senantiasa bersujud memohon ampunan-Nya.

Ya, semua makhluq di bumi berhutang budi kepada mereka...

Wallohu A'lam‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar