Senin, 26 Oktober 2015

Sejarah Imam Adz-Dzahabi Rh

Sungguh aneh sikap mayoritas umat muslim masa kini, mereka lebih merasa tertarik kepada tokoh-tokoh nonmuslim, menjadikan tokoh-tokoh tersebut sebagai panutan, contoh, dan suri teladan. Setiap kali mereka ingin memberikan permisalan atau contoh kesuksesan seseorang, mereka pasti mengangkat dan menggunakan nama nonmuslim. Bila mereka ingin menggambarkan kecerdasan maka yang terlintas di otak dan pikiran mereka adalah kecerdasan Albert Einstein. Bila mereka ingin memncontohkan tentang semangat yang tak kenal putus asa, maka mereka mempermisalkan kegigihan seorangThomas Alva Edison. Dan masih banyak contoh lain yang sangat sering kita lihat dan kita dengar di kehidupan kita sehari-hari.

Timbul sebuah pertanyaan besar, apakah tidak ada seorang tokoh muslim pun yang sehebat tokoh-tokoh nonmuslim tersebut, sampai-sampai kaum muslimin mengangkat nama mereka bila ingin memberikan semangat dan motivasi???!

Mungkin ini menjadi sebab umat muslim menjadi lemah, karena hidup di bawah jajahan dan naungan pemikiran non muslim. Bergaya hidup dan berpola pikir seperti mereka kaum non muslim. Secara tidak lansung baik kita sadari ataupun tidak kita bagaikan boneka yang di kendalikan oleh umat non muslim.

Sebagai solusi dari kenyataan ini, umat Islam harus memiliki jati diri sebagai seorang muslim, mereka harus mengenal Nabi mereka, para sahabatnya, dan tokoh-tokoh besar lainnya yang berpengaruh dalam kejayaan Islam, yang dengan mengenal sejarah mereka, kita dapat termotivasi dengan meyebutkan kisah hidup serta keberhasilan yang telah mereka gapai.

Pada pembahasan ini, penulis akan memaparkan biografi seorang imam besar yang kebesarannya tercatat dalam tinta sejarah peradaban Islam, beliau adalah Al-Imam al-Hafizh Adz-Dhahabiy.

Biografi Imam al-Hafizh Adz-Dzahabi

Beliau adalah: al-Imam al-Hafizh, Syamsuddin, Abu Abdillah, Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz bin Abdullah at-Turkmani al-Fariqi asy-Syafi’i ad-Dimasyqi, yang terkenal dengan Adz-Dzahabi.

Adz-Dzahabi berasal dari kata adz-dzahab yang berarti emas. Nama ini beliau dapatkan dikarenakan ayahnya adalah seorang pengrajin emas, dan beliau pun pernah berprofesi sebagai pengrajin emas. Yang pada akhirnya nama inilah yang lebih dikenal hingga sekarang daripada nama asli beliau, dan beliau memang pantas untuk digelari sebagai “emas” karena ilmu dan jasa beliau selama hidupnya.

Kelahiran dan Perkembangannya

 Imam Syamsudin Abu Abdillah Adz-Dzahabi lahir di Damaskus, pada bulan Rabiul Akhir, tahun 673 H. Dia hidup di lingkungan keluarga ilmuwan yang taat beragama. Pada tahun kelahirannya, saudara sesusuannya, Alaudin Abu Al Hasan Ali bin Ibrahim bin Daud Al Aththar, berhasil memperoleh ijazah dari ulama-ulama besar semasanya di Damaskus, Halab, Makkah, dan Madinah.
Syamsudin tinggal selama 4 tahun bersama salah seorang sastrawan, yaitu Alaudin Ali bin Muhammad Al Halabi, yang terkenal dengan sebutan Al Bushbush. Dia mulai fokus menuntut ilmu ketika berusia 18 tahun.

Menuntut Ilmu
Syamsudin belajar qira`at (cara mengucapkan lafazh-lafazh Al Qur`an dan mempraktekkannya, baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan, dan menyandarkannya kepada periwatnya-ed.) kepada Syaikhul Qurra` Jamaludin Abu Ishaq Ibrahim bin Daud Al Asqalani Ad-Dimasyqi, yang terkenal dengan sebutan Al Fadhili. Kemudian dia belajar kepada Syaikh Jamaludin Abu Ishaq Ibrahim bin Ghali Al Muqri` Ad-Dimasyqi. Dia mengikuti majlis yang diadakan Syaikh Syamsudin Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Aziz Ad-Dimyathi Ad-Dimasyqi, seorang ahli qira`at, yang kemudian mempercayakan majlis-nya kepadanya pada tahun 692 H di masjid Jami’ dinasti Umayyah. Dia juga mendengar (belajar) kitab Asy-Syathibiyyah (Kitab Imam Syathibi tentang Qira`at Sab’) tidak hanya dari seorang ahli qira`at.
Pada waktu belajar qira`at, dia tertarik untuk mendengarkan hadits (belajar hadits dengan cara mendengarkan dari seorang syaikh) dengan seksama. Dia mendengar dari berbagai kitab yang tidak terhitung. Dia bertemu dengan banyak syaikh dan syaikhat (ulama perempuan).
Dia sangat ambisius mendengar hadits dan qira`at. Dia menekuni bidang tersebut sepanjang hidupnya, sampai-sampai dia mendengar dari beberapa orang yang terkadang tidak dia sukai.
Disamping belajar hadits dan qira`at, dia juga belajar ilmu-ilmu lainnya, seperti nahwu. Dia belajar kitab Al Hajibiyyah dalam ilmu nahwu (tata bahasa Arab). Ia juga belajar kepada pakar Bahasa Arab, Ibnu An-Nahhas, disamping mempelajari kumpulan-kumpulan syair, bahasa, serta sastra, secarasima’i (mendengarkan).
Adz-Dzahabi juga mempelajari kitab-kitab sejarah. Dia menyimak al maghazi, sirah, sejarah umum, mu’jam para syaikh dan syaikhat, serta buku-buku biografi lainnya.

Perjalanannya Menuntut Ilmu
Imam Adz-Dzahabi sangat berambisi melakukan perjalanan ke negeri-negeri lain untuk mendapatkan sanad Ali, supaya dapat belajar secara sima’i (mendengar langsung), dan bertemu dengan para ahli hadits untuk belajar dan mengambil manfaat dari mereka. Namun, ayahnya tidak mendukungnya. Setelah berusia 20 tahun, ayahnya membolehkannya melakukan perjalanan-perjalanan yang tidak jauh. Ayahnya mendampinginya saat mendatangi orang-orang yang dituju. Bahkan kadang-kadang mendampinginya dalam sebagian perjalanannya dan ikut mendengar dari beberapa syaikh.
Adz-Dzahabi melakukan perjalanan di kota-kota negeri Syam pada tahun 693 H, dengan melewati kota-kota yang paling terkenal, yaitu Ba’albek, Halab, Himsh, Hamah, Tripoli, Karak, Ma’arrah, Basra, Nabulus, Ramallah, Al Quds (Jerusalem), dan Tabuk.
Dia mendengar dan belajar kepada beberapa orang syaikh yang hidup pada masa itu, diantaranya Al Muwaffiq An-Nashibi (W. 695 H). 
Dia juga melakukan perjalanan ke Mesir pada tahun 695 H dengan melewati Palestina. Kemudian melakukan perjalanan ke Iskandariyah (Alexandria) dan Bilbis, lalu belajar kepada beberapa orang syaikh disana, seperti Jamaludin Abu Al Abbas Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Al Halabi, yang terkenal dengan sebutan Ibnu Azh-Zhahiri (W. 696 H).
Dia juga melakukan perjalanan untuk menunaikan ibadah haji pada tahun 698 H, dan di sana dia belajar dengan cara sima’ikepada beberapa orang syaikh di Makkah, Madinah, Arafah, dan Mina. Di antara mereka adalah Syaikh Dar Al Hadits di Madrasah Al Mustanshiriyah, yaitu Al Alim Al Musnid Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Muhsin, yang terkenal dengan sebutan Ibnu Al Kharrath Al Hanbali (W. 748 H).

Guru-Gurunya

Imam Az-Zahabi menuntut ilmu sejak usia dini dan ketika berusia 18 tahun menekankan perhatian pada dua bidang ilmu iaitu ilmu-ilmu al-Quran dan Hadis. Beliau menempuh perjalanan yang jauh dalam mencari ilmu ke Syria, Mesir dan Hijaz (Makkah dan Madinah). Beliau mengambil ilmu dari para ulama di negeri-negeri tersebut.

Di antara para ulama yang menjadi guru-guru beliau ialah:

1. Ibnu Taimiyah
Yang beliau letakkan namannya paling awal di deretan guru-guru yang memberikan ijazah pada beliau dalam kitabnya, Mu’jam asy-Syuyukh. Beliau begitu mengagumi Ibnu Taimiyah dengan mengatakan, “Dia lebih agung jika aku yang menyifatinya. Seandainya aku bersumpah di antara rukun dan maqam maka sungguh aku akan bersumpah bahwa mataku belum pernah melihat yang semisalnya. Tidak, demi Allah, bahkan dia sendiri belum pernah melihat yang semisalnya dalam hal keilmuan.” (Raddul Wafir , hal. 35)

2. al-Hafiz Jamaluddin Yusuf bin Abdurrahman al-Mizzi
Yang dikatakan oleh beliau, “Dia adalah sandaran kami jika kami menemui masalah-masalah yang musykil.” (ad-Durar al-Kaminah,V:235)

3. Al-Hafiz Alamuddin Abdul Qasim bin Muhammad al-Birzali
Yang menyemangati beliau dalam belajar ilmu hadits, beliau mengatakan tentangnya: “Dialah yang menjadikanku mencintai ilmu hadits.” (ad-Durar al-Kaminah, III:323)

Ketiga ulama diatas adalah yang banyak memberikan pengaruh terhadap kepribadian beliau. Adapun guru-guru beliau yang lainnya adalah Umar bin Qawwas, Ahmad bin Hibatullah bin Asakir, Yusuf bin Ahmad al-Ghasuli, Abdul Khaliq bin Ulwan, Zainab bintu Umar bin Kindi, al-Abrahuqi, Isa bin Abdul Mun’im bin Syihab, Ibnu Daqiqil ‘Id, Abu Muhammad ad-Dimyathi, Abul abbas azh-Zhahiri, ali bin Ahmad al-Gharrafi, Yahya bin ahmad ash-Shawwaf, at-Tauzari, masih banyak lagi yang lainnya.

Imam az-Zahabi memiliki Mu’jam asy-Syuyukh (Daftar Guru-Guru) beliau yang jumlahnya mencapai 3000-an orang (adz-Dzahabi wa Manhajuhu fi Kitabihi, Tarikhil Islam)

Murid-Muridnya

Di antara murid-murid beliau ialah Tajuddin as-Subki, Muhammad bin Ali al-Husaini, al-Hafiz Ibnu Katsir, al-Hafiz Ibnu Rajab dan masih banyak lagi selain mereka.

Pujian Para Ulama Kepadanya

Ibnu Nashruddin ad-Dimasyqi berkata, “Beliau adalah Ayat (tanda kebesaran Allah) dalam ilmu rijal, sandaran dalam jarh wa ta’dil (ilmu kritik hadits-red) lantaran mengetahui cabang dan pokoknya, imam dalam qiraat, faqih dalam pemikiran, sangat paham dengan madzhab-madzhab para imam dan para pemilik pemikiran, penyebar sunnah dan madzhab salaf di kalangan generasi yang datang belakangan.” (Raddul Wafir, hal. 13)

Ibnu Katsir berkata, “Beliau adalah Syeikh al-Hafiz al-kabir, Pakar Tarikh Islam, Syeikhul muhadditsin. Beliau adalah penutup syuyukh hadis dan huffazhnya.” (al-Bidayah wa an-Nihayah, XIV:225)

Tajuddin as-Subki berkata, “Beliau adalah syaikh Jarh wa Ta’dil, pakar Rijal, seakan-akan umat ini dikumpulkan di satu tempat kemudian beliau melihat dan mengungkapkan sejarah mereka.” (Thabaqah Syafi’iyyah Kubra, IX:101)

An-Nabilisi berkata, “Beliau pakar zamannya dalam hal perawi dan keadaaan-keadaan mereka, tajam pemahamannya, cerdas, dan ketenarannya sudah mencukupi dari pada menyebutkan sifat-sifat nya.” (ad-Durar al-Kaminah, III:427)

As-Shafadi berkata, “Beliau seorang hafiz yang tidak tertandingi, penceramah yang tidak tersaingi, mumpuni dalam hadits dan rijalnya, memiliki pengetahuan yang sempurna tentang ‘illah dan keadaan-keadaannya, memiliki pengetahuan yang sempurna tentang biografi manusia. Menghilangkan ketidakjelasan dan kekaburan dalam sejarah manusia. Beliau memiliki akal yang cerdas, benarlah nisbahnya kepada dzahab (emas). Beliau mengumpulkan banyak bidang ilmu, memberi manfaat yang banyak kepada manusia, banyak memiliki karya ilmiah, lebih mengutamakan hal yang ringkas dalam tulisannya dan tidak berpanjang lebar. Aku telah bertemu dan berguru kepadanya, dan membaca banyak dari tulisan-tulisannya di bawah bimbingannya. Aku tidak menjumpai padanya kejumudan, bahkan dia adalah faqih dalam pandangannya, memiliki banyak pengetahuan tentang perkataan-perkataan ulama, madzhab-madzahab para imam salaf dan para pemilik pemikiran.” (al-Wafi bil Wafayat, II:163)

Di Antara Kata-Katanya

Imam Az-Zahabi berkata, “Tidak sedikit orang yang memusatkan perhatiannya pada ilmu kalam melainkan ijtihadnya akan membawanya kepada perkataan yang menyelisihi sunnah. Karena itulah ulama salaf mencela setiap yang belajar ilmu-ilmu para umat sebelum Islam. Ilmu kalam turunan dari ilmu para filosof atheis. Barangsiapa yang sengaja ingin menggabungkan ilmu para nabi dengan ilmu para ahli filsafat dengan mengandalkan kecerdasannya maka pasti dia akan menyelisihi para nabi dan para ahli filsafat. Dan barangsiapa yang berjalan di belakang apa yang dibawa oleh para rasul. Maka sungguh dia telah menempuh jalan salaf dan menyelamatkan agama dan keyakinannya.” (Mizanul I’tidal, III:144)

Beliau menukil perkataan ma’mar, “Dahulu dikatakan bahwa seseorang menuntut ilmu untuk selain Allah maka ilmu itu enggan hingga semata-mata untuk Allah.” Kemudian beliau mengomentari perkataan ma’mar tersebut dengan mengatakan, “Ya, dia awalnya menuntut ilmu atas dorongan kecintaan kepada ilmu, agar menghilangkan kejahilannya, agar mendapat pekerjaan, dan yang semacamnya. Dia belum tahu tentang wajibnya ikhlas dalam menuntutnya dan kebenaran niat di dalamnya. Maka jika sudah mengetahuinya, dia hisab dirinya dan takut terhadap akibat buruk dari niatnya yang keliru, maka datanglah kepada niat yang shahih semuanya atau sebagiannya. Kadang dia bertaubat dari niatnya yang keliru dan menyesal. Tanda atas hal itu ialah bahwasanya dia mengurangi dari klaim-klaim, perdebatan, dan perasaan memiliki ilmu yang banyak, dan dia hinakan dirinya. Adapun jika dia merasa banyak ilmunya atau mengatakan “saya lebih berilmu dari pada Fulan; maka sungguh celakalah dia.” (Siyar A’lam An-Nubala’, VII:17)

Beliau berkata, “Yang dibutuhkan oleh seorang hafizh adalah hendaknya bertakwa, cerdas, mahir Nahwu, mahir ilmu bahasa, memiliki rasa malu dan salafi.” (Siyar, XIII:380)

Beliau berkata, “Ahli hadis sekarang hendaknya memperhatikan Kutubus Sittah, Musnad Ahmad dan Sunan Baihaqi. Dan hendaknya teliti terhadap matan-matan dan sanad-sanadnya, kemudian tidak mengambil manfa’at dari hal itu hingga dia bertakwa kepada Rabbnya dan menjadikan hadits sebagai dasar agama. Kemudian ilmu bukanlah dengan banyak riwayat, tetapi dia adalah cahaya yang Allah pancarkan ke dalam hati dan syaratnya adalah ittiba’ (mengikuti nabi SAW-red) dan menjauhkan diri dari hawa nafsu dan kebid’ahan.” (Siyar, XIII:323)

Beliau berkata, “Kebanyakan ulama pada zaman ini terpaku dengan taqlid dalam hal furu’, tidak mau mengembangkan ijtihad, tenggelam dalam logika-logika umat terdahulu dan pemikiran ahli filsafat. Dengan demikian, bencana pun meluas, hawa nafsu menjadi hukum dan tanda-tanda tercabutnya ilmu semakin nampak. Semoga Allah merahmati seseorang yang mau memperhatikan kondisi dirinya, menjaga ucapannya, selalu membaca al-Qur’an, menangis atas kejadian zaman, memperhatikan kitab as-Sahihain dan beribadah kepada Allah sebelum ajal datang secara tiba-tiba.” (Tadzkirah al-Huffazh, II:530)

Karir Keilmuannya
Imam Adz-Dzahabi memegang jabatan Khatib di masjid Kafr Batna —salah satu desa di lembah Damaskus— pada tahun 703 H, dan menetap disana sampai tahun 718 H.
Sebelum meninggal, dia bekerja sebagai guru besar hadits di lima tempat di Damaskus, yaitu:
1.         Masyhad Urwah atau Dar Al Hadits Al Urwiyyah.
2.         Dar Al Hadits An-Nafisah.
3.         Dar Al Hadits At-Tankaziyah.
4.         Dar Al Hadits Al Fadhiliyah di Kallasah.
5.         Turbah Ummu Ash-Shalih.


Karya-Karyanya

Beliau memiliki sekitar 100 karya tulis, di antara karya-karya tulis itu ialah:

a. Siyar A’lam An-Nubala setebal 20 jilid 
b. al-‘Uluww lil ‘Aliyyil Ghaffar
c. Taariikhul Islam setebal 36 jilid ‎
d. Mukhtashar Tahdziibil Kamaal
e. Miizaanul I’tidaal Fii Naqdir Rijaal setebal  4 Jilid ‎
f. Thabaqatul Huffazh
g. Al-Kaasyif Fii Man Lahu Riwaayah Fil Kutubis Sittah
h. Mukhtashar Sunan al-Baihaqi
i. Halaqatul Badr Fii ‘Adadi Ahli Badr
j. Thabaqatul Qurra’
k. Naba’u Dajjal
l. Tahdziibut Tahdziib
m. Tanqiih Ahaadiitsit Ta’liiq
n. Muqtana Fii al-Kuna
o. Al-Mughni Fii adh-Dhu’afaa’ setebal 2 Jilid ‎
p. Al-‘Ibar Fii Khabari Man Ghabar setebal 5 jilid ‎
q. Talkhiishul Mustadrak
r. Ikhtishar Taarikhil Kathib
s. Al-Kabaair
t. Tahriimul Adbar
u. Tauqif Ahli Taufiq Fi Manaaqibi ash-Shiddiq
v. Ni’mas Smar Fi Manaaqib ‘Umar
w. At-Tibyaan Fi Manaaqib ‘Utsman
x. Fathul Mathalib Fii Akhbaar Ali bin Abi Thalib
y. Ma Ba’dal Maut
z. Ikhtishar Kitaabil Qadar Lil Baihaqi
aa. Nafdhul Ja’bah Fi Akhbaari Syu’bah
bb. Ikhtishar Kitab al-Jihad, ‘Asakir
cc. Mukhtashar athraafil Mizzi
dd. At-Tajriid Fii Asmaa’ ish Shahaabah
ee. Mukhtashar Tariikh Naisabuur, al-Hakim
ff. Mukthashar al-Muhalla dan Tartiil Maudhuu’at, Ibn al-Jauzi

Kelebihan Kitab Siyar A’lam An-Nubala (Perjalanan Hidup Orang-Orang Mulia)

Salah satu karya Imam Az-Zahabi yang terkenal dang sangat bermanfaat ialah Siyar A’lam An-Nubala (Perjalanan Hidup Orang-Orang Mulia). Kitab ini menghimpunkan biografi
para sahabat Nabi s.a.w., tabiin, tabiut tabiin, ulama, sasterawan dan seumpamanya.

Kitab ini sangat berguna bagi sesiapa yang ingin mendalami dan membaca kisah hidup orang-orang dan tokoh-tokoh Islam terkenal dalam bidang masing-masing.

Di antara kelebihan-kelebihan kitab ini ialah:

1. Ketelitian penulis. Imam Az-Zahabi tidak hanya memaparkan biografi orang yang ditulis, tetapi juga disertai dengan komentar jika menurutnya perlu, yaitu dengan melakukan pengecekan secara detail terhadap cerita yang dipaparkannya, baik dengan menyebutkan sisi kekurangannya maupun monjelaskan kelebihannya jika orang-orang pada umumnya mengecapnya buruk, atau berpandangan lain jika memungkinkan, atau mengkritik perilakunya dengan kritik yang didasarkan pada syariat. Kemudian dia berusaha mengeluarkan penilaian secara umum terhadap orang yang ditulis biografinya itu, disertai dengan ketelitian. Ketelitian dalam menilai kepribadian manusia ini, memberikan cahaya terang yang dapat diambil manfaatnya oleh kebangkitan Islam, yaitu kebangkitan yang hampir memberikan hasilnya jika tidak dikotori oleh ulah sebagian orang yang memiliki pandangan picik, yang menuduh para ulama dan da’i sebagai orang-orang fasik, ahli bid’ah, berpaling dari mazhab salaf, tidak berhati-hati dalam menilai orang lain, dan tidak takut kepada Allah ketika berprasangka buruk terhadap orang lain. Ada juga orang yang tidak bisa hidup kecuali dengan mencela orang yang tidak sama dengannya, melupakan kebaikannya, dan menyembunyikannya. Orang-orang seperti itulah yang disangkal habis-habisan oleh Imam Az-Zahabi.

Adanya kajian kritis dalam kitab ini. Az-Zahabi seringkali tidak membiarkan peristiwa sejarah berjalan tanpa kritik jika menurutnya memang perlu dikritik dan dijelaskan. Oleh karena itu, Anda melihat beliau terkadang menolak peristiwa yang dinilainya mungkar atau mengoreksi peristiwa yang masih sebatas asumsi atau mendukung pendapat penulis lain atau menjelaskan pendapatnya dalam masalah yang , perlu dirinci, dijelaskan, dan sebagainya. Metode kritis semacam inilah yang sering ditinggalkan oleh buku-buku sejarah dan biografi lainnya.

2. Kitab ini memuat masalah-masalah yang tidak dimuat oleh kitab-kitab lain, karena ia memadukan informasi sejarah dengan riwayat hidup. Kitab Al Bidayah wa An-Nihayah misalnya, memuat cerita-cerita sejarah yang cukup luas, tetapi tidak memuat biografi para ulama, orang-orang pilihan, para pemimpin, dan sebagainya. Begitu juga kitab Al Kamil karya Ibnu Al-Atsir dan kitab Tarikhul Umam wa al-Muluk karya At-Tabari. Memang ada kitab-kitab yang memuat biografi para tokoh seperti ini, namun rentetan cerita sejarah dengan metode penyusunan yang urut tidak ditemukan di dalamnya. Misalnya kitab Hilyah Al Auliya’ dan Ath-Thabaqat karya Ibnu Sa’ad, serta Wafayat Al ‘A’yaan. Sedangkan kitab ini membahas tentang biografi secara panjang lebar disertai dengan cerita-cerita sejarah dan metode yang runtun, yang ditulis di sela-sela penulisan biografi seorang tokoh, khususnya biografi para khilafah, raja, dan pemimpin.

3. Kitab As-Siyar ini mencakup sebagian besar sejarah orang-orang penting dimata manusia. Kebanyakan mereka atau sebagian mereka, walaupun cacat di mata syariat- tidak hanya memuat pengikut madzhab fikih tertentu, raja, khalifah, pemirnpin, penyair, ahli sastera Arab, ahli bahasa, pahlawan, satria, pemimpin perang, doktor, hakim,praktisi, dan penganut madzhab tertentu, tetapi juga mencakup seluruh kelompok yang disebutkan dan hampir mencakup seluruh teritorial Islam. Memang benar biografi para ahli hadits lebih banyak disebutkan daripada tokoh-tokoh lainnya. Hal itu karena perhatian Imam Az-Zahabi terhadap hadis, lebih besar daripada disiplin ilmu lainnya, karena memang beliau seorang hafiz dan mahir di dalam hadis. Akan tetapi, kebanyakan para ahli hadis pada abad keemasan Islam dan sesudahnya adalah para ahli feqah, ahli tafsir, orang-orang yang berperang di jalan Allah, para sasterawan, ahli nahwu, dan tokoh-tokoh lainnya yang terkenal.

Wafatnya Beliau ‎

Di akhir hidupnya Al-Imam Al-Hafizh Adz-Dzahabi rahimahullah mendapat cobaan, tujuh tahun mengalami kebutaan. Kemudian beliau wafat malam Senin 3 Dzulqa’dah 748 H/ 1348 M, dan dimakamkan di Bab Ash-Shaghir di Damaskus. 

Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya yang luas kepada Al-Imam Al-Hafizh Adz-Dzahabi rahimahullah, dan mengampuni kita semua dan beliau, serta mengumpulkan kita dengan beliau di bawah bendera Nabi kita, Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. ‎

Semoga Allah meredhai beliau dan menempatkannya dalam keluasan syurgaNya. Amiin ‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar