Kamis, 31 Desember 2015

Penjelasan Tentang Agama Dan Politik Yang Tidak Bisa Dipisahkan

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي اللَّيْثُ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ حَمْزَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ، أُتِيتُ بِقَدَحِ لَبَنٍ، فَشَرِبْتُ حَتَّى إِنِّي لَأَرَى الرِّيَّ يَخْرُجُ فِي أَظْفَارِي، ثُمَّ أَعْطَيْتُ فَضْلِي عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ» قَالُوا: فَمَا أَوَّلْتَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «العِلْمَ»
انظر أيضا حديث رقم 7006، 7007، 7027، 7032
وانظر أيضا صحيح مسلم حديث رقم 2391

 [Imam Bukhari berkata]: telah menceritakan kepada kami Sa’id bin ‘Ufair, ia berkata: telah menceritakan kepadaku Al-Laits, ia berkata: telah menceritakan kepadaku ‘Uqail, dari Ibnu Syihab, dari Hamzah bin Abdullah bin ‘Umar, bahwasanya Ibnu Umar berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Pada suatu kali, selagi saya tidur, tiba-tiba saya diberi satu gelas susu, lalu aku meminumnya sampai segar, sungguh, aku melihat kesegaran itu mengalir keluar melalui kuku-kuku-ku, kemudian aku berikan sisanya kepada Umar bin Al-Khaththab”. Mereka (para sahabat) bertanya: “Apa tafsiran engkau terhadap mimpi itu wahai Rasulullah SAW? Rasulullah SAW bersabda: “Ilmu”.

Lihat pula hadits ini pada Shahih Bukhari di no. 7006, 7007, 7027, 7032.

Lihat pula di Shahih Muslim hadits no. 2391.

Ada banyak pelajaran dari hadits Nabi Muhammad SAW ini, di antaranya:

1. Rasulullah SAW telah meminum air susu sehingga beliau merasakan badannya begitu segar, sampai-sampai kesegaran itu dapat beliau lihat mengalir dan menjalar sampai ke kuku-kuku beliau SAW, dan bahkan kesegaran itu memancar keluar dari kuku-kuku tersebut.

2. Air susu satu gelas yang beliau minum dalam mimpi itu beliau tafsirkan sebagai ilmu. Artinya, diri beliau SAW telah terisi dengan ilmu, sehingga ilmu itu telah merasuk begitu merata ke sekujur tubuh beliau, sebagaimana mengalirnya rasa segar tersebut.

3. Susu yang terlihat dalam mimpi ditafsirkan sebagai ilmu, sebab sama-sama memberi manfaat, dan sama-sama memberi nutrisi; air susu memberi nutrisi bagi tubuh, dan ilmu memberi nutrisi bagi akal.

4. Ada satu hal yang lebih menarik lagi, yaitu, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, salah seorang pen-syarah Shahih Bukhari yang paling masyhur, memaknai “ilmu” itu sebagai “ilmu politik” yang dipergunakan oleh Umar bin Al-Khaththab RA untuk menyiasati dan menata masyarakat dan rakyatnya, sehingga di zamannya, masyarakat dan rakyatnya:

Aman,
Tidak terjadi kekacauan dan perpecahan,
Semuanya tunduk dan taat kepada kepemimpinannya.
5. Kenapa “ilmu politik” itu diberikan kepada Umar? Sebab:

Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq RA memerintah sebagai khalifah sangat pendek dan singkat, sehingga aspek penerapan “ilmu politik” itu belum kelihatan secara gamblang.
Bukan pula diberikan kepada khalifah Utsman bin Affan RA yang masa memerintahnya lebih panjang dari Umar, sebab, di akhir masa Utsman, terjadi “kekacauan” dan “perpecahan”, bahkan sampai ke tingkat terbunuhnya beliau RA sebagai seorang khalifah yang syahid.‎
Bukan pula diberikan kepada Ali bin Abi Thalib RA, sebab di zamannya, “kekacauan” dan “perpecahan” lebih berat daripada di zaman Utsman RA.

Kaum sekuler –baik Barat maupun Timur- tidak akan ada kata henti menyerukan manusia; jauhkan agama dari politik, jauhkan Islam dari Negara. Seruan ini, bukan barang baru, dalam sejarah keagamaan dia memiliki akar dalam ‘kesucian’ teks agama Nasrani. Dalam Bible disebutkan: “Berikan Hak Kaisar kepada Kaisar dan berikan hak Tuhan kepada Tuhan.” Inilah pemisahan ekstrim antara keterkaitan kekuasaan dan agama, tetapi bukan dari Islam, bukan dari Allah dan RasulNya, tidak dikenal oleh para sahabat, dan asing dalam seluruh literatur mu’tabarah para ulama dan sejarawan Islam.

Tahun terus berjalan, abad berganti abad, upaya mereka untuk memadamkan agama Allah Ta’ala dengan mulut-mulut mereka terus bergulir, dengan wajah dan pakaian baru tetapi isinya sama. Tetapi selalu ada pada tubuh umat ini segolongan manusia yang membendung mereka, melucuti kebohongan dan meruntuhkan semua bangunan argumen yang mereka dirikan. Hingga agama ini tetap menduduki haknya sebagai penguasa dan pengelola dunia ini.

Allah Ta’ala berfirman:

يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.” (QS. Ash Shaf (61): 8)

Kekuasaan Adalah Warisan Allah Kepada Orang Mukmin

Tidak bisa dibenarkan klaim sebagian manusia -sayangnya mereka dikenal sebagai ‘tokoh Islam’ yang berada dalam komunitas Jam’iyyah Islamiyah- yang mengatakan Islam tidak pernah mengurus negara dan politik. Tidak ada daulah dalam Islam. Ini jelas syubhat sekularisme yang mereka dapatkan melalui pendidikan dan interaksi akademis yang bebas nilai.

Banyak sekali ayat-ayat yang menjadi dalil wajibnya berdiri Daulah Islamiyah. Allah Ta’ala berfirman:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An Nuur (24): 55)

FirmanNya yang lain:

الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ

“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al Hajj (22): 41)

FirmanNya yang lain:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. Al Baqarah (2): 178)


FirmanNya yang lain:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa (4): 58-59)

Ayat-ayat ini menuntut didirikan Daulah Islamiyah, bagaimana bisa amanat dan pesan agung yang ada pada ayat-ayat ini bisa berjalan secara utuh dan sempurna tanpa adanya negara yang menerapkan dan menjaganya?

Perhatikan ayat 58, objek pembicaraan pada ayat ini adalah pemerintah dan penguasa, di mana mereka diperintahkan untuk memelihara amanah yang dibebankan kepadanya dan menetapkan hukum secara adil. Lalu pada ayat 59, objek pembicaraannya adalah rakyat yang beriman. Mereka harus taat kepada Ulil Amri yang berasal dari mereka sendiri dengan syarat Ulil Amri tersebut telah mentaati Allah dan RasulNya. Mereka pun menjadikan ketaatan kepada Ulil Amri, adalah tahapan lanjutan dari ketaatan kepada Allah dan RasulNya. Selain itu, mereka juga diharuskan meredam perselisihan dengan cara mengembalikannya kepada konstitusi syar’i, yakni kepada Allah dan RasulNya yakni Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Menjalankan semua ini, agar berjalan sempurna dan utuh, tentu melazimkan adanya pada sebuah Negara, tidak hanya sekadar kehidupan individu.

Oleh karena itu, surat An Nisa ayat 58-59 ini telah dijadikan landasan utama oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam menulis kitabnya As Siyasah Asy Syar’iyyah fi Ishlahir Ra’i war Ra’iyyah.

Dalam Al Quran masih banyak ayat-ayat yang membahas tema-tema sosial, politik, ekonomi, perjuangan, dan militer. Ayat-ayat ini telah menjadi perhatian khusus para imam kaum muslimin. Mereka menamakannya dengan ayatul ahkam (ayat-ayat hukum). Tak kurang dari Imam Asy Syafi’i, Imam Al Jashash, dan Imam Ibnul ‘Arabi membuat kitab tafsir khusus membahas ayat-ayat hukum, dengan judul yang sama: Ahkamul Quran. Ulama kontemporer juga ada yang melakukannya yakni Syaikh Prof. Dr. Ali Ash Shabuni menyusun kitab Rawa’i Al Bayan fi Tafsiri Ayatil Ahkam minal Quran.

Pengabaran As Sunnah

Banyak sekali hadits shahih -puluhan bahkan ratusan- yang membahas tentang khalifah, kekuasaan kepemimpinan, bai’at, pengadilan, dan karakteristik pemimpin. Juga dibahas tentang cara menasihati mereka, bermusyawarah dengan mereka, serta menyikapi mereka baik yang adil maupun yang zhalim. Pemimpin seperti apa yang layak ditaati dan yang bagaimana yang tidak boleh ditaati. Juga, hak dan kewajiban mereka,

Para imam ahli hadits pun telah membuat pembahasan dalam kitab mereka bab khusus tentang kepemimpinan dan hak-hak yang terkait dengan wewenang pemimpin. Imam Bukhari dalam Jami’ush Shahih-nya membuat Kitab Al Hudud, Kitab Ad Diyat, juga Kitab Al Ahkam yang membuat bab-bab tentang Al Imamah dan Al Imarah (kepemimpinan). Begitu pula Imam Muslim, dalam kitab Jami’ush Shahih-nya membuat Kitab Al Imarah, juga Kitab Al Hudud, dan Al Qasamah wal Muharibin wal Qishash wal Diyat. Hal sama dilakukan juga para pengarang kitab Sunan.

Fakta ilmiyah ini merupakan jawaban atas tudingan sebagian pihak yang mengatakan bahwa Khilafah Islamiyah tidak memiliki akar yuridis dalam Islam. Bagaimana bisa mereka mengatakan demikian padahal As Sunnah adalah salah satu dasar yuridis Islam, dan telah begitu banyak As Sunnah membicarakan kepemimpinan, kekuasaan khilafah, bai’at, dan pembahasan lain yang terkait.

Contoh hadits berikut:

Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إذا خرج ثلاثةٌ في سفرٍ فليؤَمِّروا أحدهم

“Jika tiga orang keluar bepergian maka hendaknya salah seorang mereka menjadi pemimpinnya.” (HR. Abu Daud No. 2608. Syaikh Al Albani mengatakan hasan shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 2608)

Jika urusan safar saja Islam ikut mengambil bagian untuk menetapkan adanya pemimpin, maka tidak syak lagi bagi urusan yang lebih urgen dan besar dari itu seperti kenegaraan. Maka, adalah hal yang mustahil Islam luput dari hal-hal besar seperti politik dan Negara.

Hadits lain:

الامام ظل الله في الارض

“Pemimpin adalah naungan Allah di muka bumi.” (HR. Ahmad dan Ath Thabarani, Al Haitsami mengatakan para perawi Ahmad adalah tsiqat. Lihat Majma’ Az Zawaid, 5/215)

Hadits ini menunjukkan posisi penting kepemimpinan dalam pandangan Islam. Maka, bagaimana mungkin mereka mengatakan Islam sama sekali tidak pernah bicara kekuasaan?

Fakta Warisan Pemikiran Islam

Tema tentang kepemimpinan, kekuasaan, dan apa-apa yang menjadi tautannya seperti hudud, bai’at, diyat, pengadilan, dan lainnya. Telah dibicarakan para ulama Islam sejak masa-masa awal hingga zaman modern. Baik pembahasan yang includedengan kajian fiqih lainnya, atau pembahasan khusus pada kitab khusus pula.

Tidak pernah sepi di kolong langit ini para ulama yang mengkaji permasalahan kepemimpinan, kenegaraan, pidana, dan politik Islam. Imam Abul Hasan Al Mawardi menyusun kitab Al Ahkam As Sulthaniyah (Hukum-hukum Kekuasaan). Begitu pula Imam Abu Ya’ala dengan judul yang sama. Imam Al Haramain menyusun kitab Al Ghiyats. Imam Ibnu Taimiyah menyusun kitab As Siyasah Asy Syar’iyyah. Sedangkan muridnya, Imam Ibnul Qayyim menyusun kitab Ath Thuruq Al Hukmiyah (metode-metode pemerintahan). Imam As Suyuthi menyusun kitab Al Asathin fi ‘Adamil Muji’ As Salathin. Ibnu Syidad menyusun kitab An Nawadir As Sulthaniyah, lain sebagainya.

Fakta ini menunjukkan bahwa Islam tidak bisa dipisahkan dengan Negara dan politik. Adanya karya-karya ini serta perhatian para sarjana muslim sejak masa klasik membuktikan bahwa memang keterkaitan antara Islam dan Negara adalah memang wujud (ada). Sebab, adalah hal mustahil para imam ini membicarakan sesuatu yang sia-sia, yang tidak pernah terjadi dalam Islam dan dunianya. Dia dibicarakan karena dia ada. Hakikat ini sangat jelas bagi orang-orang yang berakal.

Fakta Sejarah Kepemimpinan Islam

Sejak masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu dilanjutkan para khalifah yang empat, lalu dilanjutkan oleh para khilafah dinasti, hingga berakhirnya khilafah Turki Utsmani tahun 1924M, dan pada masa itu selalu ada ulama Islam yang memberikan sumbangan pemikiran untuk kemakmuran Negara, adalah fakta sejarah yang tidak bisa dibantah bahwa agama ini sangat perhatian dengan masalah kepemimpinan, kekuasaan, wilayahnya, serta negara. Ini juga menunjukkan, tidak mungkin selama belasan abad lamanya umat Islam dan para ulamanya melakukan kesalahan langkah karena ‘mencampurkan’ agama dan Negara, apalagi disebut tidak memiliki akar sejarah dan teologis.

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إن الله لا يجمع أمتي أو قال أمة محمد صلى الله عليه وسلم على ضلالة ويد الله مع الجماعة

“Sesungguhnya Allah tidaklah mengumpulkan umatku – atau Beliau bersabda: Umat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam- di atas kesesatan, dan tangan Allah bersama jamaah.” (HR. At Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2167)

Seringkali kaum sekuler dan liberal menjadikan sejarah hitam kekuasaan Islam sebagai bukti untuk memperkuat hawa nafsu mereka. Mereka membeberkan adanya konflik, bahkan pertumpahan darah pada sebagian masa-masa khilafah Islamiyah. Pandangan mereka sama sekali tidak bisa dibenarkan. Peristiwa-peristiwa yang dilahirkan dari kejahatan manusia, serta kepentingan duniawi pelakunya, sama sekali bukanlah noda serta bukan pula alasan untuk menafikan nilai dan bangunan sistem yang ada. Perilaku konflik mereka hendaknya disandarkan sebagai sikap dan perilaku pribadi manusianya, bukan karena nilai yang dianut dan yang berlaku saat itu. Lalu, kenapa mereka tidak berkaca pada fakta sejarah kegemilangan Khalifah yang empat dan Umar bin Abdul Aziz? Apa yang membuat mereka menutup mata terhadap fragmen yang lain? Jika bukan kebodohan dan mata kebencian terhadap Islam, nama apalagi yang cocok buat sikap mereka ini?!

Selain itu, kaum sekuler juga membangun argumentasi mereka dengan dasar pobhia negara teokrasi a la Barat. Mereka menyangka jika Islam dijadikan dasar pemerintahan kekuasaan dan hukum-hukumnya, akan mengulangi kekuasaan kaum gerejani di Eropa yang absolute. Kekuasaan yang selalu mengatasnamakan semua perbuatan dan keputusan pemimpin berasal dari Tuhan. Sehingga, tidak ada celah untuk bertanya ‘mengapa?’, lebih-lebih mengatakan ‘tidak!’. Pemikiran dan ketakutan mereka ini sangat rapuh, bodoh, dan tidak sesuai fakta sejarah kepemimpinan rahmatan lil ‘Alamin-nya Islam. Dan, Islam sendiri menolak sistem Teokrasi, yang memposisikan suara pemimpin adalah suara Tuhan.

Tidak cukup dengan itu, mereka juga sok membela agama dengan mengatakan agama adalah sakral dan suci yang tidak selayaknya dicampuradukkan ke dunia politik dan kekuasaan yang penuh intrik dan hawa nafsu. Ini juga pemikiran yang dibangun bukan berdasarkan nilai-nilai Islam yang utuh dan menyeluruh dan menafikan sikap Islam terhadap politik, melainkan berdasarkan asumsi dan kasus manusia yang mereka lihat saja.

Jahatnya lagi adalah mereka tidak pernah mempermasalahkan lahirnya Negara sosialis, komunis, kapitalis, serta Negara Kristen vatikan, Hindu India, dan Yahudi Israel. Semua ini bebas hidup dan menghirup udara segar di alam demokrasi versi mereka. Tetapi, tangan mereka terkepal, bom mereka siap diluncurkan, serta syubuhat pemikiran pun dipublikasikan, ketika berhadapan dengan ide dan gagasan Negara Islam. Padahal baru sekadar gagasan!

Fakta sejarah bahwa Islam senantiasa ada dalam panggung kekuasaan juga telah diisyaratkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, 

تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا اللهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثَمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكاً عَاضًّا فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكاً جَبْرِيًّا فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ. ثُمَّ سَكَتَ‎

“Akan ada masa kenabian pada kalian selama yg Allah kehendaki Allah mengangkat atau menghilangkan kalau Allah menghendaki. Lalu akan ada masa khilafah di atas manhaj nubuwwah selama Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yg sangat kuat selama yg Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat bila Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan selama yg Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat bila Allah menghendaki. Lalu akan ada lagi masa kekhilafahan di atas manhaj nubuwwah.“ Kemudian beliau diam.”
(HR. Ahmad No. 17680. Imam Al Haitsami mengatakan: perawinya tsiqat. Lihat Majma’ Az Zawaid 5/188-189)

Sebagai mukmin kita akan meyakini sign dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini. Dan, sebagai seorang yang berilmu kita telah menunjukkan fakta-fakta sejarah, serta nilai-nilai yuridis teologis bahwa memang Islam dan Kekuasaan adalah senyawa tak terpisah sejak awal lahirnya hingga berakhirnya dunia.

Ayat Qur'an Dan Hadits Tentang Kepemimpinan;

Kekuasaan Pemimpin
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ 
Katakanlah: ”Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al-'Imran (3):26)
Ketaatan Kepada Pemimpin 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً 
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS.An-Nisa (4):59)
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ 
Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah, (QS. Al-Anbiya (21):73)
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ 
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar . Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. (QS. As-Sajdah (32) :24)
Pemimpin yang Beriman dan Bertakwa 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ بِطَانَةً مِّن دُونِكُمْ لاَ يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً وَدُّواْ مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاء مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِن كُنتُمْ تَعْقِلُونَ 
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. (QS. Al-'Imran (3) :118).
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً ‎
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) . Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya , maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya . Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. An-Nisaa’: 34)

Hadits tentang pemimpin dan tanggungjawab atas apa yang dipimpinannya.‎

Setiap orang dari kita adalah pemimpin, dan setiap kita akan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ‎

Dari Ibnu Umar, dari Nabi Muhammad, beliau telah bersabda, “Setiap orang dari kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungan jawab terhadap apa yang di pimpinnya. Seorang raja adalah pemimpin bagi rakyatnya dan ia akan dimintai pertanggungan jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin bagi anggota keluarganya dan ia akan dimintai pertanggunganjawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang istri adalah pemimpin bagi rumah tangga suami dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungan jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin bagi harta tuannya dan ia akan dimintai pertanggungan jawab atas apa yang dipimpinnya. Ketahuilah bahwa setiap orang dari kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungan jawab atas apa yang dipimpinnya.” (HR Muslim 6/8)

Hadits tentang orang yang diberi jabatan, kemudian ia membebankan (menyusahkan) atau bersikap lembut.‎

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ أَسْأَلُهَا عَنْ شَيْءٍ فَقَالَتْ مِمَّنْ أَنْتَ فَقُلْتُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ مِصْرَ فَقَالَتْ كَيْفَ كَانَ صَاحِبُكُمْ لَكُمْ فِي غَزَاتِكُمْ هَذِهِ فَقَالَ مَا نَقَمْنَا مِنْهُ شَيْئًا إِنْ كَانَ لَيَمُوتُ لِلرَّجُلِ مِنَّا الْبَعِيرُ فَيُعْطِيهِ الْبَعِيرَ وَالْعَبْدُ فَيُعْطِيهِ الْعَبْدَ وَيَحْتَاجُ إِلَى النَّفَقَةِ فَيُعْطِيهِ النَّفَقَةَ فَقَالَتْ أَمَا إِنَّهُ لَا يَمْنَعُنِي الَّذِي فَعَلَ فِي مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ أَخِي أَنْ أُخْبِرَكَ مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي بَيْتِي هَذَا اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ

Dari Abdurrahman bin Syumasah, dia berkata, “Saya pernah menemui Aisyah untuk menanyakan sesuatu kepadanya.” Kemudian ia -Aisyah binti Abu Bakar- bertanya kepada saya, “Siapakah kamu?” Saya menjawab, “Saya adalah seorang lelaki dari negeri Mesir.” Lalu ia bertanya lagi kepada saya, “Bagaimanakah sikap pemimpin negerimu di sana?” Saya menjawab, “Menurut hemat saya, kami semua menyukainya. Ia sangat baik hati dan dermawan. Apabila ada seseorang di antara kami yang untanya mati, maka ia pun akan menggantinya dengan unta yang lain. Begitu pula halnya apabila ada seseorang di antara kami yang budaknya meninggal dunia, maka ia pun akan menggantinya dengan budak yang lain. Bahkan, ia tidak segan-segan untuk memberikan bantuan kepada rakyat yang membutuhkannya,” Aisyah berkata, “Sungguh saya tidak peduli terhadap apa yang telah dilakukan kepada Muhammad bin Abu Bakar, saudaraku sendiri. Tetapi, di sini, saya hanya hendak memberitahukan sesuatu yang pernah saya dengar langsung dari Rasulullah kepadamu. Pada suatu ketika, beliau pernah berdoa di dalam rumah saya ini, “Ya Allah, barang siapa yang menjadi pemimpin umatku dalam suatu hal, lalu ia menyusahkan mereka, maka balaslah perbuatannya itu dengan kesusahan. Dan barang siapa yang menjadi pemimpin umatku dalam suatu hal, lalu ia bersikap lembut terhadap mereka, maka berikanlah kelembutan (kasih sayang) kepadanya” (HR Muslim 6/7)

Hadits tentang pengkhiaanatan para pemimpin.‎

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَذَكَرَ الْغُلُولَ فَعَظَّمَهُ وَعَظَّمَ أَمْرَهُ ثُمَّ قَالَ لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ يَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ فَرَسٌ لَهُ حَمْحَمَةٌ فَيَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ شَاةٌ لَهَا ثُغَاءٌ يَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ نَفْسٌ لَهَا صِيَاحٌ فَيَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ رِقَاعٌ تَخْفِقُ فَيَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ صَامِتٌ فَيَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي فَأَقُولُ لَا أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ

Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Pada suatu hari, Rasulullah hadir di tengah-tengah kami. Setelah itu beliau menyinggung dan menerangkan tentang nasib buruk orang-orang yang suka menipu dan berkhianat dengan sangat serius. Beliau berkata, ‘Pada hari kiamat kelak, aku akan mendapati salah seorang di antara kalian datang dengan membawa seekor unta yang sedang melenguh di lehernya. Kemudian orang tersebut berseru, “Ya Rasulullah, tolonglah saya!” Maka aku (Rasulullah) menjawab, “Aku tidak mampu memberikan suatu (pertolongan) untukmu. Semuanya telah aku sampaikan kepadamu” Pada hari kiamat kelak, aku akan mendapati salah seorang di antara kalian datang dengan membawa seekor kuda yang meringkik di lehernya. Kemudian orang tersebut berseru, “Ya Rasulullah, tolonglah saya!” Maka aku (Rasulullah) menjawab seruannya, “Aku tidak mampu memberikan suatu (pertolongan) untukmu. Semuanya telah aku sampaikan kepadamu.’” Pada hari kiamat kelak, aku akan mendapati salah seorang di antara kalian datang dengan membawa seekor kambing yang sedang mengembik di lehernya. Kemudian orang tersebut berseru, “Ya Rasulullah, tolonglah saya!” Maka aku (Rasulullah) menjawab, “Aku tidak mampu memberikan suatu (pertolongan) untukmu. Semuanya telah aku sampaikan kepadamu.” Pada hari kiamat kelak, aku akan mendapati salah seorang di antara kalian datang dengan membawa seorang manusia yang sedang menjerit di lehernya. Kemudian orang tersebut berseru, “Ya Rasulullah, tolonglah saya!” Maka aku (Rasulullah) menjawab, “Aku tidak mampu memberikan suatu (pertolongan) untukmu. Semuanya telah aku sampaikan kepadamu”Pada hari kiamat kelak, aku akan mendapati salah seorang di antara kalian datang dengan membawa sehelai pakaian yang compang-camping di lehernya. Kemudian orang tersebut berseru, “Ya Rasulullah, tolonglah saya!” Maka aku (Rasulullah) menjawab, “Aku tidak mampu memberikan suatu (pertolongan) untukmu. Semuanya telah aku sampaikan kepadamu.” Pada hari kiamat kelak, aku akan mendapati salah seorang di antara kalian datang dengan membawa harta yang berlimpah berupa emas dan perak di lehernya. Kemudian orang tersebut berseru, “Ya Rasulullah, tolonglah saya!” Maka aku (Rasulullah) menjawab, “Aku tidak mampu memberikan suatu (pertolongan) untukmu. Semuanya telah aku sampaikan kepadamu.’” (HR Muslim 6/10)


Hadits tentang taat kepada para pemimpin, meskipun mereka tidak memberikan hak.

عن وَائِلٍ الْحَضْرَمِيِّ قَالَ سَأَلَ سَلَمَةُ بْنُ يَزِيدَ الْجُعْفِيُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ وَقَالَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سِمَاكٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ وَقَالَ فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

Dari Wa’il Al Hadhrami, dia berkata, “Salama bin Yazid al-Ju’fi pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, bagaimana menurut pendapat engkau jika ada para pemimpin di tengah-tengah kami yang selalu menuntut haknya kepada kami, tetapi mereka sendiri enggan untuk memberikan hak kami yang ada pada mereka. Apakah yang akan engkau perintahkan kepada kami saat itu?” Ternyata, setelah mendengar pertanyaan tersebut, Rasulullah malah berpaling darinya. Bahkan ketika pertanyaan itu diulang sampai tiga kali, beliau masih tetap saja terdiam dan tidak memberikan komentarnya. Setelah didesak oleh Asy’ats bin Qais, akhirnya beliau menjawab pertanyaan tersebut dan bersabda, “Kalian harus tetap patuh dan taat. Karena, bagaimanapun, mereka akan menanggung perbuatan mereka sendiri dan kalian juga akan menanggung perbuatan kalian sendiri.” Dalam satu riwayat Wa’il berkata, “Al Asy’ats mendesaknya, maka Rasulullah  bersabda, ‘Taatilah dan patuhilah, sesungguhnya atas mereka apa yang telah mereka perbuat dan atas kamu apa yang telah kamu perbuat.’ (HR Muslim 6/19)‎

Sejarah telah mencatat bahwa diantara persoalan-persoalan yang diperselisihkan pada hari-hari pertama sesudah wafatnya Rasulullah SAW adalah persoalan politik atau yang biasa disebut persoalan al-Imamah (kepemimpinan). Meskipun masalah tersebut berhasil diselesaikan dengan diangkatnya Abu Bakar (w. 13 H/634 M) sebagai khalifah, namun dalam waktu tidak lebih dari tiga dekade masalah serupa muncul kembali dalam lingkungan umat Islam. Kalau pada pertama kalinya, perselisihan yang terjadi adalah antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, maka pada kali ini perselisihan yang terjadi adalah antara khalifah Ali bin Abi Thalib (w. 41 H/661 M) dan Mu`awiyah bin Abi Sufyan (w. 64 H/689 M) dan berakhir dengan terbunuhnya khalifah Ali dan bertahtanya Mu`awiyah sebagai khalifah dan pendiri kerajaan Bani Umayyah.

Mencuatnya persoalan-persoalan tersebut dikarenakan al-Qur`an maupun al-Hadis sebagai sumber hukum Islam tidak memberikan penjelasan secara pasti mengenai sistem pemerintahan dalam Islam, konsepsi kekuasaan dan kedaulatan serta ide-ide tentang konstitusi.

Term bahasa Arab yang secara eksplisit bermakna negara atau pemerintahan (Daulah dan Hukumah) tidak pernah disebut-sebut oleh al-Qur`an dengan pasti. Selain itu Nabi sendiri tidak memberikan konsep pemerintahan yang baku dan mapan. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan. Demikian pula bentuk negara dalam Islam bukan merupakan hal yang essensial, karena yang essensial adalah unsur-unsur, sendi-sendi, dan prinsip-prinsip dalam menjalankan pemerintahan.

Perkembangan yang baru, terjadi dalam abad XIX akibat terjadinya kontak peradaban dengan dunia Barat. Kaum pembaru dalam dunia Islam berusaha melakukan pembaruan dengan menerapkan nilai-nilai Barat atau dengan menggali dan mengkaji ulang ajaran-ajaran Islam ataupun dengan memadu kedua unsur-unsur tersebut. Gerakan pembaruan ini berdampak antara lain dalam kehidupan politik. Kerajaan Turki Usmani yang dipandang sebagai khilafah dan pemerintahan Islam sedunia tidak dapat mempertahankan eksistensinya, ia dibubarkan pada bulan Maret 1924 setelah pembentukan Negara nasional sekuler Republik Turki tanggal 29 Oktober 1923. Dengan demikian institusi yang dipandang sebagai lambang supremasi politik Islam telah lenyap.

Pemikiran politik sesungguhnya telah dikenal oleh sejarah sejak zaman Yunani kuno. Karya-karya besar sebagai perintis telah ditulis misalnya buku The Republic karya Plato (428/7-348/7 SM) dan buku Politics dari Aristoteles (384-322 SM). Kedua karya ini kemudian terlihat mempengaruhi pemikiran filosof muslim seperti al-Farabi (260-339 H/870-950 M), Ibnu Sina (370-428 H/980-1037 M), Ibnu Bajah (w. 1138 M), dan Ibnu Rusyd (520-595 H/1126-1198 M). Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa pemikiran politik yang berkembang dalam dunia Islam hanya diilhami oleh pemikiran Barat, sebab sebelum munculnya kaum filosof muslim tersebut pemikiran politik telah dikenal dalam lingkungan fuqaha seperti Abu Hanifah (80-150 H/699-769 M) dan Abu Yusuf (l. 117 H/731 M). Demikian pula dalam karya Imam Syafi`i (150-204 H), pemikiran politik dapat ditemukan, hanya saja sebagai faqih, pemikiran mereka bersifat legalistik normatif karena berakar pada teks-teks al-Qur`an dan Sunnah. Namun memasuki abad V H, pemikiran legalistik normatif ini mengambil pula unsur kesejarahan seperti yang tampak dalam karya Ali bin Muhammad al-Mawardi (w. 450 H) dan al-Farra (w. 458 M). Pemikiran yang legalistik tetapi memiliki dasar filsafat moral terlihat dalam karya Imam al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M) dan pemikiran sosiologis historis dikemukakan oleh Abd al-Rahman bin Khaldun (732-808 H/1332-1406 M).

Kemunduran kerajaan-kerajaan besar Islam dalam abad XVIII membangunkan dunia Islam untuk mengamati dan mempelajari kekalahannya dan mencari pemecahan masalah yang dihadapi. Kerajaan Turki Usmani mencoba mengambil peradaban Barat yang lebih maju terutama dalam bidang teknik dan kemiliteran. Sedang di India tampil Ahmad Syah Waliyullah bin Abd al-Rahman al-Dahlawi (1703-1762 M) mengemukakan gagasan agar sistem pemerintahan yang telah dikembangkan oleh al-Khulafa` al-Rasyidun (para khalifah yang mendapat petunjuk).

Pemikiran politik yang berkembang dalam dua abad berikutnya bercabang dari dua pola pemikiran di atas. Pengambilan dan penerapan nilai-nilai kebudayaan Barat (Westernisasi) dapat dibedakan atas bentuk ekstrem dan bentuk moderat. Westernisasi ekstrem terlihat dalam Kemalism (Aliran Kemalis, Kemalisme) yang berhasil mendirikan Republik Turki (1923 M) dan membebaskan segala institusi politik dari kekuasaan agama. Sedangkan Westernisasi moderat terlihat dalam pemikiran kelompok Turki Muda, khususnya pada tokoh-tokoh seperti Ahmad Riza (1859-1931 M) dan Pangeran Sahabuddin (1877-1948 M). Mereka ingin menerapkan nilai-nilai kebudayaan Barat yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam seperti ajaran konstitusi dan ajaran mengenai pengembangan kemampuan berdiri sendiri. Pada sisi lain aliran yang bertumpu pada ajaran Islam dapat pula dibedakan atas pemikiran yang ingin mengembalikan ajaran Islam yang bersumber al-Qur`an dan Sunnah dan yang bersumber dari fiqih para imam madzhab dan para mujtahid pengikut mereka dan pemikiran yang bermaksud mengembangkan konsepsi-konsepsi dari al-Qur`an dan Sunnah. Aliran pertama yang dapat disebut sebagai aliran tradisional dalam konteks pembaharuan di Turki terlihat dalam pemikiran Nemik Kemal (1840-1888 M). Meskipun ia menghendaki pembaruan, tetapi ia tetap mempertahankan tradisi-tradisi yang ada. Aliran kedua yang dapat disebut dengan meminjam istilah Linguistik sebagai “Puritanisme”, atau mempertahankan kemurnian. Jamal al-Din al-Afghani (1839-1877 M) yang menjadi pelopor Pan Islamisme adalah contoh pemikir puritanisme dari kalangan pembaru di Mesir.


Takhtimah


تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا اللهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثَمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكاً عَاضًّا فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكاً جَبْرِيًّا فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ. ثُمَّ سَكَتَ‎
“Akan ada masa kenabian pada kalian ‎selama yg Allah kehendaki Allah mengangkat atau menghilangkan kalau Allah menghendaki. Lalu akan ada masa khilafah di atas manhaj nubuwwah selama Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yg sangat kuat selama yg Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat bila Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan selama yg Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat bila Allah menghendaki. Lalu akan ada lagi masa kekhilafahan di atas ‎manhaj nubuwwah.“ Kemudian beliau diam.”

Dalam hadits di atas sangat jelas bahwa khilafah di atas manhaj nubuwwah merupakan suatu karunia Allah semata. tdk seorang muslim pun yg beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kecuali pasti dia akan mengharapkan terwujud khilafah tersebut. Rasulullah dgn tegas mengatakan bahwa hal itu pasti terjadi pada umat ini. Janji ini telah teralisasi pada masa generasi terbaik umat ini dan Allah tetap menjanjikan kepada umat ini akan terwujud kembali khilafah tersebut di tengah-tengah mereka jika memang syarat-syarat telah dipenuhi sebagaimana firman-‎Nya:
وَعَدَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُوْنَنِي لاَ يُشْرِكُوْنَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ

“Allah telah berjanji kepada orang2 yg ‎beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang2 yg sebelum mereka berkuasa dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yg telah diridhai-Nya utk mereka dan Dia dia benar-benar akan menggantikan kondisi mereka setelah mereka berada dlm ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dgn tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barangsiapa yg kafir sesudah itu mk ‎mereka itulah orang2 yg fasiq.” 
Barangsiapa yg ingin mengetahui bagaimana‎ gambaran Khilafah ‘ala Manhajin Nubuwwah mk hendak dia melihat pada daulah yg dipimpin oleh Rasulullah dan para Khulafa`ur Rasyidin sepeninggal beliau.. Diperangi segala bentuk bid’ah baik dalam akidah ibadah maupun muamalah. Dite-gakkan syariat Islam oleh tiap muslim sebelum ditegakkan oleh pemerintahnya. Kondisi masyarakat senantiasa mengutamakan dan mementingkan ilmu syar’i jauh dari kungkungan filsafat dan pengagungan rasio. Masyarakat taat dan patuh kepada pemerintah serta menegakkan jihad syar’i bersama pemerintah.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

1 komentar:


  1. Segenap Manajemen Bolavita Mengucapkan Selamat Merayakan Tahun Baru Imlek 2570

    Kongzili Semoga Di Tahun Babi Tanah Diberikan Rejeki Lebih Banyak
    Dibandingkan Tahun Sebelumnya

    WA : +62812-2222-995

    BalasHapus