Kamis, 31 Desember 2015

Penjelasan Tentang Sangsi Hukum Bagi Orang Yang Murtad

Islam berarti ketundukan dan kepasrahan kepada Allah swt. Hal itulah yang menjadikan seorang muslim berkomitmen dan berpegang teguh dengan segala aturan yang dituangkan Allah swt didalam agama-Nya dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Merekalah orang-orang yang betul-betul berpegang dengan tali Allah secara kuat, firman Allah swt:

وَمَن يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ

Artinya: “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. dan Hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.” (QS. Luqman : 22)

Mereka adalah orang-orang yang memurnikan keimanannya kepada Allah swt dari segala bentuk kemusyrikan, kekufuran dan kemunafikan dan menjauhi segala bentuk peribadahan yang ditegakkan tanpa adanya sikap ihsan—beribadah dengan keyakinan bahwa dirinya disaksikan Allah swt–.

Karena itu Allah swt hanya menerima islam sebagai agama-Nya bahkan mengatakan mereka yang beragama dengan selainnya dipastikan akan mengalami kerugian di akherat, sebagaimana firman-Nya:

Artinya: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Al Imran : 19)

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Artinya: “Barangsiapa mencari agama selain agama islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Al imran : 85)

Ayat ini menjelaskan bahwa setiap muslim yang tetap istiqomah didalam keislamannya dan meninggal dalam keadaan muslim maka ia masuk surga Allah swt dan sebaliknya seorang kafir dan terus berada didalam kekafirannya hingga meninggal masih dalam kedaan kafir maka ia akan menjadi penghuni neraka.

Dalam ajaran Islam diyakini terdapat sistem hukum yang mengatur segala aspek kehidupan baik yang bersifat duniawi maupun ukhrowi. Keberadaan aturan tersebut adalah cerminan bahwasannya Islam tidak hanya sebagai agama yang mengurusi urusan Ilahiyah semata, namun juga bercita-cita untuk turut serta mewujudkan relasi sosial yang harmonis. Hal tersebut merupakan implementasi dari konsep rahmatan lil’âlamîn atau sebagai agama yang menebar rahmat bagi alam semesta. Salah satu aturan hukum yang ada dalam Islam adalah adanya ketentuan tentang masalah riddah atau murtad, yaitu suatu tindak pidana bagi seorang yang pindah agama dari agama Islam ke agama lain.

Adapun seorang yang tadinya muslim kemudian keluar dari keislamannya sedangkan dirinya sudah mencapai usia baligh, berakal dan mampu menentukan pilihan maka orang itu disebut dengan murtad.

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ ثُمَّ كَفَرُواْ ثُمَّ آمَنُواْ ثُمَّ كَفَرُواْ ثُمَّ ازْدَادُواْ كُفْرًا لَّمْ يَكُنِ اللّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلاَ لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيلاً

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kamudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (QS. An Nisaa : 137)

Jika seorang yang murtad dari islam kemudian bertekad kembali kepada islam maka pintu taubat Allah swt senantiasa terbuka baginya selama dirinya betul-betul melakukan taubat nashuha.

Terdapat beberapa kategori dalam konsep murtad, pertama murtad dengan perbuatan, adalah melakukan perbuatan yang haram dengan menganggapnya tidak haram atau meninggalkan perbuatan wajib dengan menganggapnya sebagai perbuatan yang tidak wajib, baik dengan sengaja atau menyepelekan. Misalnya sujud kepada matahari atau bulan, melemparkan al-Qur’an dan berzina dengan menganggap bahwa zina tersebut bukan merupakan suatu perbuatan yang hukumnya haram. Kedua murtad dengan ucapan, yang maksudnya adalah ucapan yang menunjukkan kekafiran, seperti menyatakan bahwa Allah mempunyai keturunan dengan anggapan bahwa ucapan tersebut tidak menjadi suatu larangan. Ketiga murtad dengan itikad, adalah itikad yang tidak sesuai dengan itikad (akidah) Islam, yang termasuk dalam kategori ini adalah seperti beritikad langgengnya alam, Allah itu sama dengan mahluk. Sesungguhnya kalau sekedar itikad tidaklah menyebabkan seseorang menjadi murtad sebelum dibuktikan dalam bentuk ucapan atau perbuatan. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah :

عن ابي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صعم : اِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ عَنْ اُمَّتِي مَاوَسْوَسَتْ اَوْ حَدَّسْتَتْ بِهِ اَنْفُسُهَا مَالَمْ تَعْمَلْ بِهِ اَوْتَكَلَّمَْ ( رواه مسلم )

Artinya : “Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku bayangan-bayangan yang menggoda dan bergelora dalam jiwanya selama belum diamalkan atau dibicarakan”. (H.R. Muslim).

Berdasarkan hadis tersebut jika itikad seseorang muslim yang bertentangan dengan ajaran Islam tidaklah dianggap menyebabkan keluar dari Islam sebelum ia mengucapkan atau mengamalkannya.

Sanksi-sanksi Moral Bagi Orang Murtad

Pada kesempatan kali ini, paparan bahasan ini terfokuskan pada dampak-dampak buruk orang yang murtad di dunia dan akherat, sebuah fenomena yang cukup banyak terjadi di tengah masyarakat kita. Sebagian orang begitu mudah mengganti akidah Islamnya, entah karena kesulitan ekonomi, anggapan semua agama itu sama dan mengajak kepada kebaikan, ataupun kepentingan-kepentingan duniawi lainnya. Jika menyadari betapa bahaya besar akan menimpa mereka usai menanggalkan baju Islamnya, mungkin mereka tidak akan pernah melakukan tindakan bodoh tersebut.

Para Ulama Islam (kalangan Fuqaha) telah membahas konsekuensi hukum yang berlaku pada orang Islam yang pindah agama dalam buku-bukum fiqih mereka dalam pasal ar-riddah. Berikut ini konsekuensi buruk dari perbuatan mencampakkan Islam – satu-satunya agama yang diridhai Allâh Azza wa Jalla – dengan memeluk agama lainnya, menjadi seorang nasrani atau pemeluk agama lainnya.

a. Amal Ibadahnya Terhapus

Banyaknya ibadah yang telah dilakukan, tidak akan pernah bermanfaat bagi pelakunya, bahkan berguguran tanpa ada hasil yang bisa dipetik, apabila di kemudian hari dia kufur kepada Allâh Azza wa Jalla . Dan tempat kembalinya adalah neraka kekal abadi di dalamnya, jika mati dalam kekufuran. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ وَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Barangsiapa diantara kalian yang murtad dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” [al-Baqarah/2:217]

b. Haknya Sebagai Seorang Muslim Sirna

Seorang Muslim wajib menunaikan orang Muslim lainnya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ : رَدُّ السَّلاَمِ ، وَعِيَادَةُ الْمَرِيْضِ ، وَاتِّبَاعُ الْجَنَاِئزِ ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ ،
وَتَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ

“Hak seorang Muslim yang wajib ditunaikan oleh orang Muslim lainnya ada lima: menjawab salam, mengunjungi yang sedang sakit, mengiringi jenazahnya, memenuhi undangannya, mendoakan yang bersin.” [HR. al-Bukhâri dan Muslim]

Berdasarkan hadits tersebut, maka seorang Muslim tidak wajib menjawab lontaran salam dari orang yang murtad dari Islam, tidak perlu menengoknya tatkala sakit, tidak perlu menghormati dan mengiringi jenazahnya bila mati, tidak boleh mendatangi undangannya, dan tidak boleh mendoakannnya ketika si murtad bersin.

c. Haram Menikahi Seorang Muslimah. Apabila Telah Menikah, Maka Otomatis Pernikahannya Batal Demi Hukum

Islam melarang umatnya menikah dengan non-muslim secara umum, serta merupakan syarat sah suatu pernikahan Islami adalah kedua mempelai beragama Islam – kecuali dengan wanita Ahli Kitab dengan persyaratan yang ketat – . Adapun pernikahan seorang Muslim dengan seorang wanita musyrik selain Ahli Kitab, pernikahan itu tidak sah. Wanita Muslimah pun tidak boleh menikah dengan lelaki kafir, termasuk lelaki yang berstatus murtad. Sebab pernikahan seorang Muslimah (atau lelaki Muslim) dengan orang yang murtad pernikahan yang telah terjalin menjadi putus dan batal secara otomatis. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

“Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” [Al-Baqarah/2:221]

Demikian juga Allâh Azza wa Jalla berfirman:

ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

“Maka jika kalian telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka.” [al-Mumtahanah/60:10]

Dengan demikian, dalam Islam tidak halal lagi bagi pasangan yang salah satunya telah murtad untuk melakukan hubungan layaknya suami isteri.

d.Tidak Boleh Menjadi Wali Dalam Pernikahan

Seorang wanita muslimah apabila hendak menikah, maka memerlukan seorang wali untuk menikahkannya, baik bapaknya, pamannya dan seterusnya. Akan tetapi, misalnya bapak atau walinya murtad, maka tidak berhak menikahkan anak atau kemenakannya yang Muslimah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain.” [at-Taubah/9:71]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kalian mengambil mereka menjadi pemimpin. Maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” [al-Mâ’idah/5:51]

Hal ini dipertegas oleh sabda yang menyatakan bahwa, tidak ada pernikahan yang sah kecuali atas izin seorang wali dan disaksikan oleh dua orang lelaki yang adil sebagai saksi pernikahan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا نِكاَحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ

“Tidaklah suatu pernikahan itu (sah) kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi yang adil.” [HR. al-Baihaqi dan Ibnu Hibbân dengan sanad yang shahih]

Pengertian orang adil di sini ialah orang yang jauh dari dosa besar dan tidak terus-menerus melakukan dosa kecil. Atas dasar itu, seorang yang telah murtad dari Islam lebih tidak berhak lagi untuk menjadi wali dan saksi dalam pernikahan.

e. Tidak Mewarisi dan Tidak Diwarisi Hartanya

Apabila seorang bapak meninggal dunia dalam keadaan kafir (termasuk orang yang mati dalam keadaan murtad), maka anak dan ahli warisnnya yang beragama Islam tidak boleh mewarisi harta peninggalan bapaknya tersebut. Sebagian ulama menyatakan bahwa harta orang seperti ini menjadi fai’ dan masuk ke Baitul Mal kaum Muslimin dan digunakan untuk kemaslahatan kaum Muslimin. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ، وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ

“Tidaklah seorang Muslim boleh mewarisi (harta) orang kafir, demikian juga orang kafir tidak mewarisi (harta) seorang Muslim.” [Muttafaqun’alaih]

Pada kasus yang lain, apabila seorang bapak yang beragama Islam meninggal dunia, kemudian di antara anaknya atau ahli warisnya ada yang non-Muslim (termasuk murtad) maka dia tidak berhak mendapatkan bagian dari harta ayahnya.

f. Jika Mati, Tidak Dishalati, Tidak Dikafani Serta Tidak Boleh Didoakan

Apabila seseorang mati dalam keadaan murtad dari Islam, maka dia tidak boleh dishalati, dikafani maupun didoakan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰ أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ

“Dan janganlah kamu sekali-kali mensholatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allâh dan Rasûl-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” [al-Taubah/9:84]

Sangsi Bagi Yang Murtad Berulang Kali

Namun para ulama berbeda pendapat terhadap orang yang kemurtadannya terjadi berulang-ulang hingga lebih dari tiga kali :

1. Para ulama Hambali, riwayat dari para ulama Hamafi dan juga Malik berpendapat bahwa tidaklah diterima taubat orang yang berulang-ulang murtad berdasarkan firman Allah swt:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ ثُمَّ كَفَرُواْ ثُمَّ آمَنُواْ ثُمَّ كَفَرُواْ ثُمَّ ازْدَادُواْ كُفْرًا لَّمْ يَكُنِ اللّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلاَ لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيلاً

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kamudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (QS. An Nisaa : 137)

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima taubatnya; dan mereka Itulah orang-orang yang sesat.” (QS. Al Imron : 90)

Karena berulang-ulangnya sikap murtad menunjukkan kerusakan aqidahnya dan minimnya kepedulian kepada agamanya maka orang itu harus dibunuh.

2. Para ulama Syafi’i dan pendapat yang masyhur dikalangan para ulama Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa taubat seorang yang murtad diterima walaupun kemurtadannya terjadi berulang-ulang, berdasarkan firman Allah :

قُل لِلَّذِينَ كَفَرُواْ إِن يَنتَهُواْ يُغَفَرْ لَهُم مَّا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُواْ فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الأَوَّلِينِ

Artinya: “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi. Sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu ". (QS. Al Anfal : 38)

Sabda Rasulullah saw,”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan,’Laa Ilaha Illallah’ dan apabila mereka mengatakan ‘Laa Ilaha Illallah’ maka terpeliharalah dariku agama dan harta mereka kecuali dengan haknya dan hisab mereka pada Allah swt.”

Mereka juga menegaskan bahwa seorang yang murtad berkali-kali apabila bertaubat untuk yang kedua kalinya harus diancam dengan pukulan atau dikurung dan tidak dibunuh.

Ibnu Abidin mengatakan bahwa apabila orang itu murtad untuk yang kedua kalinya kemudian bertaubat maka Imam harus memukulnya dan memberikan kebebasan kepadanya dan jika ia kembali murtad untuk yang ketiga kalinya kemudian bertaubat maka ia harus dipukul dengan pukulan yang menyakitkan dan dikurung sehingga tampak padanya bekas-bekas taubat kemudian diberikan kebebasan. Dan jika dia kembali murtad maka diperlakukan seperti itu lagi selamanya sehingga dia kembali kepada islam, seperti ini pula pendapat para ulama Maliki dan Syafi’i. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 4959)

Jadi pintu taubat bagi teman anda untuk kembali kepada islam setelah kemurtadannya yang berulang-ulang masih tetap terbuka selama taubatnya itu dilakukan dengan penuh kesungguhan lahir maupun batin bukan seperti taubat-taubat yang dilakukan sebelumnya.

Adapun mereka yang tidak diterima taubatnya—sebagaimana disebutkan didalam surat al imron : 90—adalah mereka yang tidak bertaubat dari kekafiran dan kemusyrikan yang telah dilakukannya dengan kembali kepada islam.

Tentang surat An Nisaa ayat 137 ini, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan pendapat Mujahid dan para mufassir lainnya yaitu mereka bertambah kekafirannya dan terus teguh dalam kekafiran itu hingga mereka meninggal.

Ibnu Taimiyah kemudian mengatakan bahwa hal itu dikarenakan seorang yang bertaubat adalah yang kembali dari kekafirannya dan barangsiapa yang tidak bertaubat (darinya) maka sesungguhnya ia adalah orang yang terus menerus berada didalam kekafiran setelah kekafirannya.’

Sedang firman-Nya “kemudian bertambah kekafirannya” seperti seorang yang mengatakan,”Kemudian mereka berada didalam kekafiran dan terus menerus didalam kekafiran dan masih teguh dengan kekafirannya setelah keislaman mereka kemudian bertambah lagi kekafiran mereka dan tidak terdapat pengurangan didalam kekafirannya itu maka merekalah orang-orang yang taubatnya tidak diterima yaitu taubat yang dilakukannya tatkala menjelang kematiannya.

Karena orang yang bertaubat sebelum saat-saat kematiannya adalah orang yang bertaubat dengan segera dan kembali dari kekafirannya maka hal itu tidaklah menambah kekafirannya akan tetapi menguranginya. Hal itu berbeda dengan seorang yang terus menerus berada didalam kekafiran hingga waktu yang ditentukan yang tidak ada lagi waktu baginya untuk mengurangi kekafirannya apalagi meruntuhkan kekafiran itu. (Majmu’ al Fatawa juz XVI hal 30)

Bersegeralah wahai saudaraku untuk bertaubat dengan sebenar-benarnya karena pintu taubat itu masih terbuka, kembalilah ke jalan Allah swt, perkuatlah hubungan anda dengan-Nya dengan ibadah-ibadah yang diperintahkan terutama shalat lima waktu. Cintailah rasul-Nya, Muhammad saw dengan menerapkan sunnah-sunnahnya didalam kehidupan anda.

Baca dan pelajarilah Al Qur’an karena ia adalah tali Allah yang kuat yang menghubungkan anda dengan-Nya dan penunjuk jalan kehidupan anda meraih kebahagiaan di dunia dan akherat. Jauhilah setan dengan segala bisikannya yang terus dihembus-hembuskan kedalam hati anda demi menimbulkan berbagai keraguan akan kebenaran islam dan memalingkan anda dari jalan kebenaran. Kemudian pelajarilah islam dari sumbernya yang benar yang bersandar kepada Al Qur’an, sunnah dan pendapat para ulama yang dipercaya baik para ulama terdahulu maupun yang belakangan.

Adapun perbuatan murtad diancam dengan tiga macam hukuman :
Hukuman pokok, hukuman pokok perbuatan murtad adalah hukuman mati. Bentuk hukuman ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh HR. Bukhori dari ibn Abas berikut ini :

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا أَيُّوبُ عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلاَمُ أَحْرَقَ نَاسًا ارْتَدُّوا عَنِ الإِسْلاَمِ فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ لَمْ أَكُنْ لأَحْرِقَهُمْ بِالنَّارِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللَّهِ ». وَكُنْتُ قَاتِلَهُمْ بِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ ». فَبَلَغَ ذَلِكَ عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَقَالَ وَيْحَ ابْنَ عَبَّاسٍ.

Artinya : Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud : Sesungguhnya Ali telah membakar orang-orang murtad. Berita Kejadian ini sampai kepada Ibnu Abbas, kemudian dia berkata : Aku tidak akan membakar orang Atheis. Rasul bersabda “Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah”. Dan aku akan membunuh mereka karena ucapan Nabi ”Barang siapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia”. Reaksi Ibnu Abbas ini diketahui Ali, lalu Ali berkata ”Ibnu Abbas benar”.

Dalam Islam, penjagaan aqidah umat Islam menjadi perhatian yang sangat serius. Seseorang tak bisa dengan begitu mudah berpindah-pindah agama. Sebagai gambaran, umat Islam dilarang memaksa non-Muslim untuk memeluk Islam, hal ini wajar, karena orang-orang yang mau menggunakan akal pikiran dan hatinya tentu bisa membedakan mana kebenaran dan mana kesesatan. Selama orang mau berpikir, tak perlu memaksa mereka masuk Islam, secara sadar mereka akan masuk ke dalamnya dengan senang hati.

Allah ‘azza wa jalla berfirman:

لا إكراه في الدين قد تبين الرشد من الغي

Artinya: “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam. Sungguh telah jelas jalan kebenaran dari jalan kesesatan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)

Jika ada non-Muslim yang ingin masuk Islam, maka sungguh ia telah mendapat hidayah. Umat Islam akan dengan senang hati menerima mereka, dan menjadikan mereka saudara. Allah ta’ala berfirman:

إنما المؤمنون إخوة

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 10)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

المسلم أخو المسلم

Artinya: “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain.” (HR. Al-Bukhari [2442, 6951], Muslim [2564, 2580], Abu Dawud [3070, 3256, 4893], at-Tirmidzi [1426, 1927, 3087], Ibn Majah [2119, 2246], dan lainnya)

Sebaliknya, jika ada seorang muslim yang ingin keluar dari Islam, maka sejatinya ia sedang tersesat dari jalan yang benar setelah sebelumnya ia mendapat hidayah. Orang seperti ini harus diselamatkan, ia harus diingatkan akan kebenaran Islam dan kesesatan ajaran selain Islam. Jika ia bersedia kembali ke pelukan Islam, berarti ia telah diterangi cahaya kebenaran, dan dijauhkan dari suram dan gelapnya kesesatan. Namun jika ia tetap memilih berada di jalan kesesatan, setelah sebelumnya ia dinaungi hidayah, berarti ia telah memilih siksa Allah di dunia dan akhirat.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

ومن يرتدد منكم عن دينه فيمت وهو كافر فأولئك حبطت أعمالهم في الدنيا والآخرة وأولئك أصحاب النار هم فيها خالدون

Artinya: “Barangsiapa yang murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 217)

Ulama sepakat, sebagaimana diungkapkan oleh Wahbah az-Zuhaili, bahwa laki-laki yang murtad hukumannya adalah dibunuh, dengan syarat ia baligh, berakal, dan tidak dalam keadaan dipaksa. Bagi perempuan yang murtad pun hukumannya adalah dibunuh menurut mayoritas fuqaha, kecuali kalangan Hanafiyah.

Ulama berdalil dengan dua hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

من بدل دينه فاقتلوه

Artinya: “Siapa saja yang mengganti agamanya (dari Islam ke agama lain), maka bunuhlah ia.” (HR. Al-Bukhari [3017, 6922], Abu Dawud [4351], at-Tirmidzi [1458], an-Nasai [4059, 4060, 4061, 4062, 4063, 4064, 4065], Ibn Majah [2535], dan lainnya)

لا يحل دم امرئ مسلم يشهد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله إلا بإحدى ثلاث الثيب الزاني والنفس بالنفس والتارك لدينه المفارق للجماعة

Artinya: “Tidak halal darah seorang muslim, yang bersaksi tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah, kecuali karena salah satu dari tiga hal, yaitu pezina yang sudah menikah, membunuh jiwa, dan orang yang meninggalkan agamanya lagi memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin.” (HR. Muslim [1676]. Diriwayatkan juga oleh al-Bukhari dan imam-imam ahli hadits lainnya dengan redaksi masing-masing)

Hukuman bunuh bagi murtadin yang tak mau bertaubat ini jelas akan menjaga kemuliaan Islam dan kaum muslimin, sekaligus menjaga aqidah umat Islam dari syubhat yang akan disebarkan murtadin jika mereka bebas berkeliaran di tengah-tengah umat Islam. Hukuman ini akan menjaga keutuhan jamaah kaum muslimin dari perpecahan, sekaligus menjaga mereka dari berbagai kerusakan.

Sayangnya, di negeri kita yang tercinta ini, hukum ini tak diterapkan. Setiap orang bebas sekehendak hatinya berpindah-pindah agama, sehingga keagungan aqidah Islam seakan-akan tak ada harganya. Ujungnya, syubhat dari kalangan murtadin ini menyebar di tengah-tengah masyarakat, berbagai pemikiran sesat dari kalangan murtadin dan zanadiqah diagung-agungkan, sedangkan kemuliaan Islam dihinakan. Ini adalah musibah terbesar.

Kemurtadan adalah bencana bagi pelaku baik di dunia terlebih di akhirat, sehingga setiap Muslim harus ekstra hati-hati darinya, agar tidak terjerumus ke dalamnya. Melalui pembahasan ini pula seyogyanya seorang Muslim bersikap tegas (bersikap proporsional) terhadap orang-orang yang rela menanggalkan akidah Islamnya. Karena sebagian umat menyikapi keluarganya yang murtad dengan dingin-dingin saja seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Semoga kita dijauhkan dari bencana seperti ini dan diwafatkan dalam keadaan memegangi akidah Islamiyyah, sehingga kelak dikumpulkan dengan penduduk Jannah. Amin.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

2 komentar:


  1. Segenap Manajemen Bolavita Mengucapkan Selamat Merayakan Tahun Baru Imlek 2570

    Kongzili Semoga Di Tahun Babi Tanah Diberikan Rejeki Lebih Banyak
    Dibandingkan Tahun Sebelumnya

    WA : +62812-2222-995

    BalasHapus
  2. jadi, jika kita sudah murtad banyak kali, taubat kita masih diterima ya?

    BalasHapus