Jumat, 29 Januari 2016

Penjelasan Tentang Hikmah Laba-Laba

Kita akan belajar tentang filosofi kehidupan seekor laba-laba (Al Ankabut). Al-‘ankabut atau ‘ankabatun yang lebih dikenal dengan al-‘Ankabut adalah bentuk mufrad dari kata ‘anakib atau kata ‘ankabutat merupakan nama salah satu jenis serangga berkaki delapan yang dalam bahasa indonesia disebut laba-laba atau spider dalam bahasa inggris. 

Serangga ini membuat sarangnya yang berbentuk jaring-jaring dari benang sutra (air ludahnya) yang dihasilkan dari perutnya yang juga berfungsi sebagai perangkap mangsa. Kata al-‘Ankabut merupakan nama salah satu surat di dalam al-Quran, yaitu Surah al-‘Ankabut ( Surah ke 29), yang terdiri dari 69 ayat. Meskipun al-‘Ankabut merupakan nama surat, kata al-‘Ankabut itu sendiri hanya ditemukan dua kali di dalam Alquran, yaitu pada Surah al-‘Ankabut (29): 41-43 : 

مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (41) إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مِنْ شَيْءٍ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (42) وَتِلْكَ الأمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلا الْعَالِمُونَ (43) 

Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba, kalau mereka mengetahui: Sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang mereka seru selain Allah. Dan Dia Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. [al-'Ankabut:41-43]
 ‎
Fenomena hidup laba-laba sangat menarik untuk kita kaji, semoga dari kajian ini Insyaa Allah kita dapat mengambil pelajaran berharga. Kehidupan seekor laba-laba memiliki keunikan berikut ini: 

1. Laba-laba giat bekerja tak kenal lelah

Sewaktu kita sedang menatap interior rumah atau sewaktu terpaku pandang pada sebatang pohon, mungkin ada beberapa laba-laba yang membuat sarang di sana. Kemudian jika tergerak hati kita untuk membersihkan atau mungkin juga iseng untuk merusak sarang laba-laba tersebut. Kemudian coba perhatikan apa yang dikerjakan oleh laba-laba setelah sarangnya hancur? Ternyata laba-laba membuat kembali sarang barunya di tempat yang sama. Berapakalipun manusia merusak sarangnya, sebanyak itulah laba-laba dengan penuh semangat bekerja tak kenal lelah untuk memperbaiki dan membuat sarang baru. Melihat perangai laba-laba tadi, mengajarkan kepada kita untuk tidak kenal lelah dan tidak kenal putus asa, seandainya dalam hidup ini kita mengalami kegagalan sehingga tidak mengeluh dan putus asa, bangkit lagi untuk berjuang lebih giat menghadapi dan mengurangi potensi kegagalan yang menghadang. Ingat kegagalan adalah bagian kecil dari proses menuju sukses dan tidak ada kesuksesan yang tercipta tanpa sebuah kegagalan. Jadikan kegagalan sebagai awal introspeksi diri dan bekerja lebih keras.

2. Laba-laba contoh egoisme sektoral

Laba-laba dengan filosofi hidupnya hanya berfikir dan berbuat untuk kepentingan dan kesenangan dirinya saja. Dia membuat sarang berupa jaring-jaring untuk memperdaya dan menangkap hewan lain untuk makanannya. Yang dia pikirkan hanya dirinya saja dan dia tidak perduli dengan nasib hewan lainnya. Orang yang berbudaya seperti laba-laba sangat merugikan orang lain dan tidak mensyukuri nikmat yang telah didapatkannya, ia tidak lagi berpikir tentang sekitarnya dan mereka tidak lagi membutuhkan berpikir apa, siapa, kapan, dan di mana. Apa yang ia pikirkan hanyalah untuk kepentingan dan kesenangan pribadi.

3. Jaring Laba-laba contoh model Networking Management

Sistem jaring-jaring rancang bangun sarang laba-laba mengilhami manusia untuk membangun Networking Multilevel Marketing dan strategi militer. Networking Multilevel Marketing mengambil i’tibar dari dari laba-laba karena sarang laba-laba identik dengan jaring-jaring keagenan (jaringan pemasaran) yang menyatu dan saling menguatkan satu sama-lainnya. Hal ini mengandung pengertian bahwa suatu kegiatan usaha bersifat berkesinambungan dan terpadu, harus dapat tercipta-tumbuh dan terpelihara.
 
Strategi militer juga mengadopsi prinsip jaring laba-laba (spidernet). Pemimpin berada di tengah atau pusat organisasi jaringnya. Apabila ada hambatan, ancaman dan gangguan terhadap eksistensi organisasinya, getaran dari si pembuat masalah terasa sampai kepada sang pemimpin yang selanjutnya turun langsung menuju pusat gangguan untuk mengamati seberapa besar masalah yang ada dan menyelesaikan masalah yang dihadapi. Apabila si pembuat onar tadi sampai merusak jaring organisasi maka sang pemimpin beserta kesatuannya akan berusaha memperbaikinya seperti sediakala. Dalam strategi militer, kalau ada ancaman terhadap organisasi diselesaikan di kesatuan. Jika tidak memungkinkan, baru meminta bantuan dari kesatuan lain dan bersama-sama menghadapinya.

4. Laba-laba contoh model Kepribadian Mudah Panik/Kalang-kabut

Naluri laba-laba menganggap bahwa hewan lain selain dirinya adalah musuh sekaligus mangsa untuk makanan dirinya. Begitu ada hewan lain yang mendekat ke sarangnya dia terlihat pontang-panting panik bergerak ke segala arah. Orang yang menganggap orang lain sebagai pesaing bagi target/cita-cita pribadinya dan bukan sebagai mitra kerja, akan selalu dalam posisi khawatir orang lain akan mengganggu keberhasilan pencapaian target/cita-citanya. Dia akan pontang-panting bergerak ke segala arah mencari keyakikan dan ketenangan diri bahwa target/cita-citanya tidak terganggu. 

Tindakannya kalangkabut laksana seperti seekor laba-laba. (Catatan penulis: Kalangkabut merupakan kata serapan bahasa Arab : Kaal-ankabut=seperti laba-laba). 

5. Jaring Laba-laba Indah Tapi Rapuh

Allah menjadikan laba-laba sebagai contoh dalam Al Qur’an, bukan karena laba-laba binatang yang istimewa sepertihalnya semut atau lebah, melainkan karena laba-laba merupakan binatang yang lemah dan bodoh. Laba-laba membuat sarang (rumah) yang terbuat dari benang halus untuk melindungi dirinya dari panas dan dingin serta untuk menolak penderitaan bagi dirinya. Akan sang laba-laba tidak mengetahui kalau rumahnya yang berupa jaring-jaring itu meski terkesan sangat indah dilihat tapi sangat rapuh, dan ternyata tidak dapat melindunginya dari kesengsaraan ketika ia membutuhkannya. Sebagaimana disebutkan Qur’an Surah Al-Ankabut Ayat 41, Allah memberikan perumpamaan itu berkaitan dengan kebodohan orang-orang musyrik yang menjadikan berhala dan patung sebagai sesembahan dan penolong bagi mereka. Padahal, berhala dan patung itu sama sekali tidak dapat menolong mereka. Maka, Allah menyamakan kekurangan dan kelemahan orang-orang musyrik dengan laba-laba dalam mencari pelindung untuk dirinya. Orang-orang musyrik dan laba-laba sama-sama bodoh di dalam membuat pengaman dan pelindung untuk dirinya, karena pelindung yang diharapkan dapat melindungi mereka ternyata tidak dapat diandalkan. 

Dari uraian cerita di atas marilah kita tata hidup ini dengan mengambil i’tibar/pelajaran bahwa :

*Giatlah bekerja tanpa keluh kesah dan putus asa.
*Jadikan kegagalan sebagai awal dari proses menuju sukses.
*Dalam berorganisasi hendaknya bersatu saling menguatkan bekerja sama dalam mencapai tujuan.
*Jadikan orang lain sebagi mitra kerja dalam mencapai keberhasilan organisasi.
*Jadilah pemimpin yang memberi teladan, memberi semangat dan membimbing ke arah keberhasilan pencapaian tujuan organisasi.
*Pemimpin yang ditaati karena disegani, bisa sesenyum setangis bersama bawahan sehingga timbul *saling pengertian, saling memiliki dan saling bertanggungjawab untuk bergerak maju bersama menuju keberhasilan organisasi.
*Jadikan Allah SWT sebagai satu-satunya pelindung dan penolong dalam kehidupan kita agar hidup mendapat Ridho dan Hidayah-NYA.
Jaring laba-laba selalu terkena panas, dingin, angin, dan hujan. Sebenarnya, jaring itu tidak melindungi sang laba-laba dari apa pun. Fungsi utamanya adalah menangkap serangga lain untuk dimakan oleh laba-laba dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Inilah mekanisme yang paling tidak stabil dan tidak aman. Setiap orang yang meyakini bahwa ia sudah merasa tenang dengan berbagai kebiasaan budayanya, yang tidak sesuai dengan firman Tuhan, berarti berpegang pada premis yang sama lemahnya dengan jaring laba-laba.

Keterikatan, ketakutan, dan berbagai kebiasaan seseorang sama rapuhnya dengan pikiran yang melahirkannya. Tempat perlindungan terakhir adalah bersama Allah. Manusia berlindung kepada Allah jika ia mencari pengetahuan tentang Tuhan Yang Mahabenar dengan menyadari bahwa segala sesuatu selain Allah bersifat relatif dan tidak memuaskan—seperti rumah laba-laba; ketika hujan turun, jaring itu akan menjadi berat dan terkoyak.

Dengan berlindung kepada Allah, manusia meninggalkan apa yang relatif dan tidak aman, serta dapat mengarahkan dirinya kepada sumber segala sesuatu. Ia berlindung dari kebodohan dengan pengetahuan tentang Allah. Semakin dekat ia dengan pengetahuan itu, semakin ia menemukan relativitas segala sesuatu. Kemampuan membedakan dan kebijaksanaan memungkinkan dirinya menangani dengan lebih tepat hukum-hukum yang mengatur kehidupan. Ia mendapati bahwa hukum-hukum itu mudah ditangani dan, karenanya, menghadapi kesulitan paling sedikit dalam kehidupan ini.

Cara termudah untuk mengenali hukum-hukum kehidupan itu adalah berusaha keluar dari keterikatan emosional dari apa yang ada dalam jaring seseorang. Jaring adalah segala sesuatu yang ditenun oleh seseorang yang dianggap penting dalam hatinya. Jika ia meninggalkan semuanya itu, maka hatinya akan terbebas dari segala ilusi. Fungsi hati bersifat alami dan sesuai dengan fitrah. Seseorang yang terlalu terikat dengan suatu tempat atau situasi juga akan merasakan bahwa hatinya seolah-olah telah diambil darinya dengan paksa. Ini hanyalah imajinasinya belaka.

Sang laba-laba akan meninggalkan jaring yang telah terkoyak dan memintal jaring lainnya tanpa kesulitan. Manusia biasanya duduk dan menangis serta mengutuki nasib buruknya. Akan tetapi, ia dianugerahi fakultas kesadaran tambahan. Dengan fakultas tambahan ini, ia bisa menyadari bahwa ia sedang menderita. la sadar akan kesadarannya. Jika ia tenggelam dalam kesadaran murninya, maka ia pun tinggal bersama Sumber sejati.

Dari berbagai hadis, kita mengetahui bahwa merenung selama satu jam lebih baik ketimbang ibadah tujuh puluh tahun. Merenungkan penciptaan adalah salah satu tindakan tertinggi yang dapat dilakukan seseorang dalam kehidupan ini. Salat, puasa, dan semua pilar transaksi dalam kehidupan sangatlah bermanfaat sama seperti halnya struktur dan fondasi suatu mmah bermanfaat bagi penghuninya. Tinggal dengan nyaman dalam sebuah rumah merupakan tujuan paling utama yang hanya bisa dicapai dengan renungan yang mendalam. Waktu terbaik bagi seseorang untuk merenung adalah ketika ia telah tersentak, ketika jaring seseorang telah koyak oleh derita berupa hilangnya tempat bergantung.

Dengan mengamati kehidupan para nabi, para Imam, dan wali-wali Allah (awliya’), seseorang akan mengetahui betapa berat penderitaan mereka. Akan tetapi, dalam berbagai keadaan mereka seperti itu, mereka mengetahui kedekatan mereka dengan Allah. Mereka ini dianugerahi rahmat dan kebahagiaan yang besar. Ketika wafat di tempat tidur, Nabi saw. hanya dikelilingi oleh segelintir sahabat. Sebagian besar sahabatnya terlibat dalam perdebatan sengit tentang suksesi. Penderitaan yang dialaminya memang berat. Bagi kaum ahli hakikat, bagi orang-orang yang ingin melihat isi segala sesuatu, keadaan batiniah adalah sesuatu yang penting. Apakah ia bergantung kepada jaringan rapuh para sahabat ataukah ia bergantung kepada Pencipta jaringan?

وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia, dan tiada yang dapat memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.

Semakin jauh seseorang menempuh jalan, semakin berat pula penderitaan dan cobaan yang datang dari luar. Inilah jalan-jalan (sunnah)Allah. Tujuan berbagai penderitaan itu adalah membuat manusia hanya bergantung kepada Allah agar, dengan demikian, ia dapat meningkatkan pengetahuannya. Dalam pengertian tertentu, Allah Maha Pencemburu. Allah tidak menginginkan manusia, sekalipun hanya sesekali, untuk berpikiran bahwa ia bisa bergantung kepada orang lain. Namun, tatakrama dan sopan santunnya adalah berterima kasih kepada seseorang yang menjadi sarana datangnya bantuan, sambil menyadari bahwa suatu saat orang itu bisa saja menjadi musuhnya. Demikianlah keadaan seorang yang sangat mengenal Allah ('arif). Inilah makna paling dalam dari din seseorang. Seluruh praktik lahiriah adalah suatu persiapan bagi pandangan batiniah. Ketika pandangan batiniah sudah tercapai, praktik-praktik lahiriah menjadi refleksi dari kebenaran. Jika aspek batiniahnya benar, maka aspek lahiriahnya pun benar. Jika aspek lahirnya benar, maka aspek batiniahnya pun benar.

"Dan perumpamaan-perumpamaan ini ... dan tiada yang dapat memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu." Mereka berusaha melihat Allah di balik segala sesuatu. Setiap kali sesuatu mengejawantah, mereka ingin mengetahui akarnya; mereka ingin mengetahui sebabnya dan tidak mau terpesona oleh akibatnya. Umpamanya saja, jika seorang sahabat baik menjadi musuh, maka bisakah Anda cepat-cepat merasa bersyukur? Pikirkan betapa Allah Maha Pengasih sehingga membuat Anda mempunyai musuh baru sekarang, dan bukan sepuluh tahun silam. Akan tetapi, jika Anda memandang persahabatan itu sebagai sebuah rumah laba-laba(‘ankabut), sebagai sebuah tempat yang aman, maka hal itu akan menghancurkan Anda. Sebagai manusia yang berpikiran positif, Anda mengakui kesalahan Anda. Kalau tidak, 'ankabut itu lebih baik dibandingkan Anda. Sebab, ia bisa terus berjalan tanpa menengok ke belakang dan membangun tempat aman baru lainnya, sementara Anda meneruskan persahabatan dengan luka dan kenangan negatif.

Hukum-hukum Tuhan Yang Mahabenar mesti dihayati dan dijadikan sebagai sebuah pola hidup, dan bukan hanya dibicarakan atau ditulis saja. Kepasrahan hanya bermakna bagi orang-orang yang memang berserah diri, dan bukan bagi orang-orang yang sekadar membicarakannya saja. Islam diperuntukkan bagi mereka yang berada dalam rumah Islam (dar al-Islam),dan bukan bagi mereka yang mempelajarinya. Jika ia mau—jika ia seorang bijaksana dan berilmu ('alim), jika ia memperoleh pengetahuan, maka manusia bisa menyesuaikan diri dengan pola kepasrahan, karena esensinya sudah ada di dalam dirinya.

خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِالْحَقِّ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةًلِّلْمُؤْمِنِينَ
Allah menciptakan langit dan bumi dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya dalam yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang beriman.

"Allah menciptakan langit dan bumi dengan sebenar-benarnya." Ada tanda atau ayat dalam setiap entitas yang diciptakan. Setiap tarikan nafas adalah batu pijakan di sepanjang jalan pengetahuan. Sejauh mata memandang, ada sebuah tanda atau ayat yang bisa dipelajari.

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلوةَ إِنَّ الصَّلوةَتَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُيَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yakni al-Kitab (Alquran) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yakni al-Kitab (Alquran),..." Perintah ini berlaku kepada semua orang yang mengikuti jejak Nabi saw. Ambillah pengetahuan yang ada dan terapkan agar mendarah-daging. Kemudian, bergeraklah menuju Allah. Jika seseorang berusaha mengambil lebih dari satu langkah sekali jalan, maka kemungkinan besar ia akan jatuh. Melewatkan satu langkah di jalan itu selalu menjadi kelemahan. Sang pencari harus bergerak dengan apa yang ada di depannya, sambil mempercayai bahwa itulah yang terbaik baginya. Maka, ia akan beroleh manfaat atau keuntungan dari langkahnya itu, atau kondisi dan gerakannya akan secepat daya serap dan keyakinannya. Salat adalah bukti dan pengakuan atas pengagungan dan rasa syukur akan nikmat dari Sang Pencipta.

Ayat ini memerintahkan Nabi Muhammad saw agar selalu membaca. mempelajari dan memahami Alquran yang telah diturunkan kepadanya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian ia akan mengetahui rahasia dan kelemahan dirinya, sehingga ia dapat memperbaiki, dan membina dirinya sesuai dengan tuntunan Nya. Perintah ini juga ditujukan kepada seluruh kaum Muslimin. Penghayatan seseorang terhadap kalam Ilahi yang pernah dibacanya itu akan nampak pengaruhnya pada sikap, tingkah laku, dan budi pekerti orang yang membacanya itu. 

Setelah Allah SWT memerintahkan membaca dan mempelajari dan melaksanakan ajaran-ajaran Alquran, maka Allah memerintahkan pula agar kaum Muslimin mengerjakan salat wajib, yaitu salat yang lima waktu. Salat itu hendaklah dikerjakan dengan rukun-rukun dan syarat-syaratnya dan dikerjakan dengan penuh kekhusyukan. Sangat dianjurkan mengerjakan salat itu lengkap dengan sunah-sunahnya. Jika salat itu dikerjakan sedemikian rupa, maka salat itu dapat menghalangi dan mencegah orang yang mengerjakannya dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar. 
Mengerjakan salat adalah sebagai perwujudan dari keyakinan yang telah tertanam di dalam hati orang yang mengerjakannya, dan menjadi bukti bahwa ia telah merasakan bahwa dirinya sangat tergantung kepada nikmat Allah. Karena itu ia berusaha sekuat tenaga untuk melaksanakan perintah-perintah Allah dan menghentikan larangan-larangan Nya, sesuai dengan doanya kepada Allah dalam salatnya, "Tunjukanlah kepada kami (wahai Allah) jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat". Doa-doa yang diucapkannya dalam salat selalu teringat olehnya, sehingga ia tidak berkeinginan sedikitpun untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan yang keji dan mungkar.
 
Dalam pada itu ada pula sebagian ahli tafsir yang berpendapat bahwa yang memelihara orang yang mengerjakan salat dari perbuatan keji dan mungkar itu ialah salat itu sendiri. karena salat itu memelihara seseorang selama orang itu memelihara salatnya, sebagaimana firman Allah SWT: 

حافظوا على الصلوات والصلاة الوسطى وقوموا لله قانتين 
Peliharalah segala salatmu dan (peliharalah) salat wusta. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk (Q.S. Al Baqarah: 238)
 ‎
Rasulullah saw menerangkan keutamaan dan manfaat yang diperoleh orang yang mengerjakan salat serta kerugian dan siksaan yang akan menimpa orang yang tidak mengerjakannya, sebagaimana tersebut dalam hadis: 

عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه ذكر الصلاة فقال: من حافظ عليها كانت له نورا وبرهانا ونجاة يوم القيامة, ومن لم يحافظ عليها لم تكن له نورا ولا برهانا ولا نجاة, وكان يوم القيامة مع قارون وفرعون وهامان وأبي بن خلف. 
Dari Nabi saw, bahwasanya ia pada suatu hari menyebut tentang salat, maka ia berkata "Barangsiapa yang memelihara salat, ia akan memperoleh cahaya, petunjuk dan keselamatan pada hari Kiamat, dan barangsiapa yang tidak memeliharanya, ia tidak akan memperoleh cahaya, petunjuk dan tidak pula keselamatan. Dan ia pada hari Kiamat bersama Karun, Firaun, Haman dan Ubai bin Khalaf (H.R. Ahmad dan Tabrani dari Abdullah bin Umar) ‎

Nabi saw menerangkan pula keadaan orang yang mengerjakan salat lima waktu yang dikerjakannya dengan sungguh-sungguh, lengkap dengan rukun-rukun dan syarat-syaratnya, tetap dikerjakan pada waktu-waktu yang telah ditentukan, maka seakan-akan dosa orang tersebut dicuci lima kali sehari, sehingga tidak sedikitpun yang tertinggal dari dosa-dosanya itu, Rasulullah saw bersabda: 

أرأيتم لو أن نهرا بباب أحدكم يغتسل فيه كل يوم خمس مرات هل يبقى من درنه شيء? قالوا: لا يبقى من درنه شيء قال: فذلك مثل صلوات الخمس يمحو الله بهن الخطايا ‎

Bagaimanakah pendapatmu, andai kata ada sebuah sungai dekat pintu rumah salah seorang kamu, ia mandi di sungai itu lima kali setiap hari. Adakah dakinya yang masih tinggal barang sedikitpun?". Para sahabat menjawab, "Tidak ada daki yang tertinggal barang sedikitpun". Rasulullah bersabda, "Maka demikianlah perumpamaan salat yang lima waktu dengan salat itu Allah akan menghapus semua kesalahannya". (H.R. tirmizi) 
Demikianlah perumpamaan yang diberikan oleh Rasulullah saw tentang keadaan orang yang mengerjakan salat lima waktu dengan sungguh-sungguh, semata-mata karena Allah SWT. 
Dari ayat di atas dan hadis-hadis Rasulullah yang telah disebutkan itu dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa ada tiga sasaran yang hendak dituju oleh orang yang mengerjakan salat yaitu: 
1. Timbulnya keikhlasan. 
2. Bertakwa kepada Allah. 
3. Mengingat Allah. 
Hendaklah salat itu menimbulkan keikhlasan bagi orang yang mengerjakannya, sehingga salat itu dikerjakan semata-mata karena Allah, untuk memurnikan ketaatan hanya kepada Nya saja. Sebagai perwujudan dari ikhlas ini pada diri seseorang ialah timbulnya keinginan di dalam hatinya untuk mengerjakan segala sesuatu yang diridai Allah. Yang dimaksud dengan bertakwa kepada Allah ialah timbulnya keinginan bagi orang yang mengerjakan salat itu untuk melaksanakan semua yang diperintahkan Allah dan untuk menghentikan semua yang dilarang Nya. Dengan bersalat seseorang akan selalu mengingat Allah, karena dalam bacaan salat itu terdapat ucapan-ucapan tasbih, tahmid, takbir serta dapat merasakan keagungan dan kebesaran Allah. ‎

Terhadap orang-orang yang tidak mengerjakan salat, maka Allah mengancam mereka dengan siksa neraka. Demikian pula terhadap orang-orang yang mengerjakan salat karena ria dan terhadap orang-orang yang lalai dalam mengerjakan salat, Allah SWT berfirman: 

فويل للمصلين الذين هم عن صلاتهم ساهون الذين هم يراءون ويمنعون الماعون ‎

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat ria, dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (Q.S. Al Ma'un: 47) ‎

Senada dengan ayat di atas, maka Rasulullah saw bersabda 

من صلى صلاة لم ينه عن الفحشاء والمنكر لم يزد بها من الله إلا بعدا. ‎

Barangsiapa yang telah mengerjakan salat, tetapi salatnya tidak dapat mencegahnya dari perbuatan keji dan perbuatan mungkar, maka salatnya itu tidak akan menambah sesuatupun (kepadanya), kecuali ia bertambah jauh dari Allah. H.R. Ibnu Jarir dari Ismail bin Muslim dari Al Hasan, Lihat Fi zilalil Quran, juz 20 hal.131) ‎

Selanjutnya ayat ini menerangkan bahwa "mengingat Allah itu adalah lebih besar", maksudnya ialah, "Salat itu adalah ibadat yang paling utama dibanding dengan ibadat-ibadat yang lain". Karena itu hendaklah setiap kaum Muslimin mengerjakannya dengan sebaik-baiknya. Dengan perkataan lain, bahwa kalimat ini merupakan penguat dari kalimat yang sebelumnya yang memerintahkan kaum Muslimin mengerjakan salat dan menerangkan hikmah mengerjakannya. ‎

Ibnu Abbas dan Mujahid menafsirkan kalimat "mengingat Allah itu adalah Iebih besar" dengan Allah mengingat hamba-hamba Nya itu adalah lebih banyak dibanding dengan ingatnya hamba-hamba Nya kepada Allah dengan menaati Nya. Pendapat ini didasarkan kepada hadis Rasulullah saw waktu menafsirkan ayat ini. Beliau bersabda: 

ذكر الله إياكم أكبر من ذكركم إياه ‎

Allah mengingatmu lebih banyak dari pada kamu mengingat Nya. ‎

Dan sesuai dengan hadis Nabi saw: 

من ذكرني في نفسه ذكرته في نفسي ومن ذكرني في ملإ ذكرته خيرا منهم. ‎

Barangsiapa yang mengingat Aku di waktu dia berada seorang diri, tentu Aku akan mengingatnya pula dan siapa yang mengingat Ku bersama-sama dengan suatu jemaah tentu Aku akan mengingat mereka lebih banyak. (Tafsir Qurtubi Juz 13, hal 349)

"Dan sungguh mengingat Allah itu adalah hal yang terbesar." Dalam keadaan apa pun, manusia memulainya dengan Allahu akbar (Allah Mahabesar). Ia mungkin berada dalam kegembiraan mutlak akan Tuhan Yang Mahabenar ketika sedang rukuk sambil mengucapkan kalimat,Subhana rabbi al-'azhim wa bihamdih. Dalam keadaan ini, ia melihat di balik kelemahan dan sifat lupanya keagungan Sang Pencipta melalui makhluk-Nya. Ketika berdiri, ia mengucapkan, Allahu akbar.

Selalu adalah Allahu akbar. Tidak peduli apa pun pembukaannya, pastilahAllahu akbar. Allah lebih besar dari apa yang Anda bayangkan. Pengetahuan apa pun yang dimiliki manusia, Allahu akbar, sebab yang demikian itu masih ada dalam samudera pengetahuan Allah. Ingatan Allah kepada manusia lebih besar dari ingatan manusia kepada-Nya. Dan ingatan Allah kepada seorang mukmin lebih besar dari ingatan seorang mukmin kepada Allah—Allahu akbar.‎

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا آمَنَّا بِالَّذِي أُنزِلَ إِلَيْنَاوَأُنزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah, "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri."

Ayat ini memerintahkan kaum muslim untuk tidak berdebat atau berdiskusi dengan kaum Ahli Kitab, seperti orang-orang Kristen atau Yahudi. Rasulullah saw. menganjurkan agar para pengikutnya tidak mengiyakan atau mengingkari apa yang mereka katakan, karena pesan Alquran pada akhirnya akan menjadi jelas dan mengungguli pengetahuan kaum Kristen dan Yahudi.

Sebuah contoh tentang hal ini adalah kasus sederhana berupa perajaman pezina, yang diperintahkan oleh Nabi Ibrahim a.s., dilanjutkan oleh Nabi Musa a.s., dan kemudian oleh Nabi 'Isa a.s. Akan tetapi, dalam hadis-hadis yang otentisitasnya masih diragukan yang ada di kalangan kaum Kristen, Nabi 'Isa a.s. mengampuni dan membebaskan wanita pezina yang dibawa ke hadapannya. Nabi 'Isa bertanya kepada mereka, "Siapa di antara kalian yang suci dan tidak punya dosa?" Ketika tidak ada seorang pun menjawab, Nabi 'Isa pun mengampuni dan membebaskan wanita itu. Alasan Nabi 'Isa membebaskan wanita itu tidaklah lengkap.

Rasulullah saw. dengan tegas menetapkan hukum bahwa harus ada empat orang bersih dan saleh yang benar-benar menyaksikan perbuatan zina itu. Dengan mengakui hukum yang disampaikan oleh Muhammad saw. Sebagai hukum yang sempurna, tidak perlu ada lagi persoalan berkenaan dengan diskusi dan perdebatan. Seorang muslim mengikuti apa yang dianggapnya sebagai hukum yang sempuma dan tertinggi. Yang bisa dilakukannya hanyalah mengatakan bahwa Tuhannya dan Tuhan mereka adalah satu. Dengan menyelami lautan tauhid, ia berharap bahwa mereka akan mengetahui kesempumaan jalan kepasrahan.

Sebuah kitab tidak harus terkandung dalam halaman-halaman. Kaum muslim dan para pencari kebenaran tidak boleh menilai reendah jalan-jalan lain yang tidak memiliki kitab suci atau rasul yang nyata. Yang dimaksud dengan kitab adalah cara bertindak. Dari sudut pandang ini, kaum Buddha bisa dianggap sebagai Ahli Kitab. Sebuah kitab menyingkapkan hakikat dari Tuhan Yang Mahabenar dan menunjukkan cara untuk memahaminya. Banyak kebudayaan dunia yang memiliki kitab, seperti masyarakat Cina dan India. Orang-orang Kristen dan Yahudi disebut-sebut dalam Alquran, sementara kaum Buddha dan Taois tidak. Ini disebabkan kaum Kristen dan Yahudi ada pada waktu dan tempat di mana Alquran diturunkan.

Perilaku yang benar kepada orang-orang yang meyakini atau menganut risalah seorang nabi adalah bahwa seseorang harus mendiskusikan segala sesuatunya bersama mereka dengan cara sebaik mungkin. Tidak ada perbedaan antara apa yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. dengan apa yang dibawa oleh para nabi sebelum beliau. Risalahnya adalah satu dan sama. Hanya saja, risalah itu mungkin terdistorsi atau diabaikan.

Alquran memberitahu orang-orang yang mengikuti berbagai agama dan kitab lain bahwa semua jalan adalah satu. Hanya ada satu jalan, dan itu adalah jalan Islam yang berupa kepasrahan tanpa disertai keraguan barang sedikit pun. Dengan meragukan, seseorang tidak bisa mencapai sumber pertanyaan; ia akan selalu berada dalam tahap mendengarkan pertanyaan dan mengurai kode-kode manifestasi lahiriahnya.

وَكَذَلِكَ أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ فَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَمِنْ هَؤُلَاءِ مَن يُؤْمِنُ بِهِ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَاإِلَّا الْكَافِرُونَ
Dan demikian pula Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Alquran). Maka orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka al-Kitab (Taurat) pun beriman kepadanya (Alquran); dan di antara mereka ada yang beriman kepadanya. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang kafir.

Tahap pertama untuk memperoleh kitab itu adalah menerima secara fisik risalah melalui pendengaran. Dewasa ini, memperoleh kitab adalah mengambil sesuatu yang disebut buku dari perpustakaan, dengan mendapatkan penampilan lahiriah, sebuah risalah lahiriah. Manusia tidak akan mendapatkannya, kecuali bila benih atau esensinya sudah ada di dalam dirinya. Ia akan mengakui pengalaman lahiriah hanya bila ia memiliki kesanggupan dan kemampuan untuk memahaminya secara batiniah. Jika kemampuan itu tidak ada, tidak peduli suara apa yang ada di luar, maka hal itu tidak akan mempengaruhinya. Jika esensi itu tidak ada dalam segenap fakultas kesadarannya, maka kitab suci atau kitab apa pun tidak akan berarti sama sekali baginya. Manusia mesti menyatu dengan risalah.

Orang-orang yang telah diberi kitab itu adalah mereka yang telah menerima risalah dan memahaminya. Mereka telah menyatukan risalah atau ajaran lahiriah dengan refleksi batiniah mereka. Keimanan mereka tidak dapat digoyahkan. Suara lahiriah berkaitan dengan resonansi batiniah. Risalah lahiriah berhubungan dengan seruan batiniah yang sudah lama tertidur. Risalah lahiriah pun mengaktifkan cahaya batiniah dan membuatnya jelas bagi mereka. Inilah anugerah Allah kepada sifat bawaan atau fitrah mereka. Hal ini sudah ada dalam gen-gen mereka.

Sesudah manusia memahami risalah tauhid, ia akan melihat satu faktor penghubung dalam segala sesuatu dan mengakhiri seluruh kebingungannya. Setelah itu, ia akan selalu menghubungkan sebab dan akibat dalam semua peristiwa yang terjadi. Ia akan merasa puas karena ia memahami makna dalam semua peristiwa. Sang pencari kebenaran—yang sudah merasakan bahwa segala sesuatu yang dilihatnya di luar juga ada dalam dirinya—dibantu sampai ia menemukan fenomena ini dalam setiap aspek kehidupan. Ia menjadi lebih teguh dalam tauhid dan, karenanya, semakin mendekati kebangkitan sejati dalam hatinya.

Sebagian besar orang yang mengatakan bahwa mereka beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad saw. adalah orang-orang mukmin yang penuh harapan. Secara sadar mereka menempatkan diri mereka dalam suatu situasi di mana keimanan sejati sangat mungkin muncul. Mereka mengucapkan: Asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah. Mereka telah menerima hipotesis itu. Buktinya hanya muncul manakala keimanan betul-betul dialami. Jalannya adalah tentang Allah dan tidak ada sesuatu pun bisa mengubahnya. Tujuan penciptaan makhluk adalah beriman. Tidak ada yang salah dengan tindakan dan amal perbuatan di dunia ini, asalkan yang demikian itu tidak menimbulkan keonaran dan justru bisa mendekatkan seseorang pada pengetahuan yang lebih tinggi.

Begitu seseorang mengetahui hukum-hukum yang mengatur ciptaan, maka tidak ada sesuatu pun yang membuatnya terkejut. Tidak ada satu peristiwa pun yang bisa membuatnya bingung, karena esensi "ketenangan jiwa"—yang sudah ada dalam diri manusia— dibawa menuju alam kesadaran. Manusia tidak suka diusik dengan sewenang-wenang dan tidak adil. Hukum-hukum alam sendiri Sesungguhnya merupakan suatu kesinambungan dari aksi dan reaksi. Keduanya saling bereaksi satu sama lain—yang satu menyebabkan yang lain.

Sifat dunia ini senantiasa bergerak dinamis, dan jika Anda tidak mengetahui dasar turunnya wahyu terakhir kepada umat manusia dalam bentuk lengkapnya, maka Anda akan selalu berada dalam keadaan gelisah. Sifat Tuhan Yang Mahabenar yang memancar dalam diri manusia membuatnya ingin abadi, hidup selamanya, dan selalu mandiri. Inilah sifat-sifat Allah. Jika ia bertindak sesuai dengan kapasitasnya, maka bagaimana mungkin ia diselimuti kegelisahan? Sifat dunia dalam pengertian material negatif (dunya) akan selalu terkoyak seperti rumah laba-laba. Tidak ada akhir bagi bangkit dan jatuhnya gerak berbagai peristiwa yang dinamis.

Setiap burung yang terbang ke atas pasti akan turun juga. Setiap orang yang dicintai pasti juga dibenci. Seseorang yang membangun rumah dan keluarga pasti akan kehilangan semuanya itu suatu saat. Jika ia tidak kehilangan semuanya itu sewaktu masih hidup, maka ia akan kehilangan di saat mati—inilah siklusnya. Manusia datang untuk mati. Mengalami kematian dalam kekinian adalah penegasan mutlak dan final dari risalah kepasrahan. Jika manusia pasrah kepadanya secara total, maka ia akan merasa tenang-tenang saja dengan realitas kedua atau sesuatu yang datang dari Tuhan Yang Mahabenar.

Jika manusia tidak pasrah, maka ia akan merasakan kekecewaan dan kemarahan dalam dirinya. Inilah ekspresi ketidaktahuan akan kehidupan. Manusia ingin membuat berbagai peraturan di dunia ini. Akan tetapi, karena ia bukan Tuhan, maka ia tidak bisa melakukan hal itu. Din memerintahkan dirinya untuk menghentikan kemarahannya sekarang, karena sifatnya adalah api. Orang tidak sekadar menahan kemarahan untuk ditumpahkannya Kemudian. Kemarahan ditekan dengan harapan bahwa penyebab dari kemarahan itu dapat direnungkan.

وَمَا كُنتَ تَتْلُو مِن قَبْلِهِ مِن كِتَابٍ وَلَا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا لَّارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ
Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Alquran) sebuah kitab pun dan kamu tidak menulis sebuah kitab dengan tangan kananmu; sekiranya (kamu pernah membaca dan menulis) demikian, maka orang-orang yang mengingkarimu akan benar-benar ragu.

Nabi Muhammad saw. tidak meniru apa pun. Ia tidak bisa membaca apa pun yang diturunkan kepada nabi-nabi lain sebelumnya. Ia adalah seorang anak yatim yang, pada masa awal kehidupannya, sangat peduli dengan kebutuhan eksistensialnya sendiri. Akan tetapi, ia dianugerahi kemampuan untuk membedakan dan segera menyadari bahwa jalan menuju pengetahuan yang ada di sekelilingnya adalah jalan pelanggaran dan kerugian. Karena itu, ia menghindarinya. Kemudian, karena ketulusan hatinya, pohon pengetahuan dalam dirinya pun berbuah dan mampu "memberi makan" selumh orang di dekatnya. Secara lahiriah, ia tidak memiliki akses kepada informasi historis dan pengetahuan yang datang sebelum dirinya, tetapi dalam dadanya ia memiliki hati seorang manusia berilmu yang mampu memuat risalah terakhir nan agung bagi umat manusia.

Mengikuti Nabi Muhammad saw. adalah jalan Islam. Ini adalah jalan yang mumi, mudah, dan langsung, kalau saja manusia tidak membuatnya rumit dengan bersikap sok intelektual. Jika seseorang mengklaim sebagai mengikuti jejak Nabi saw., maka terserah kepadanya sajalah untuk membersihkan hatinya dari segenap reruntuhan dan membuatnya sanggup menerima apa yang sesuai dengannya, yang akarnya sudah ada dalam fitrahnya. Bimbingan atau tuntunan tidak berasal dari luar. Allah menyelimuti segala sesuatu. Dia Maha Meliputi (al-Muhith) segala sesuatu. Sesuatu dalam hati manusia yang dipandangnya penting adalah sebuah berhala baginya. Membersihkan berhala itu dari hati akan mempermudah tumbuh dan berkembangnya pengetahuan yang orisinal dan bawaan.

بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَمَايَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلَّا الظَّالِمُونَ
Sebenarnya Alquran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim.‎

وَقَالُوا لَوْلَا أُنزِلَ عَلَيْهِ آيَاتٌ مِّن رَّبِّهِ قُلْ إِنَّمَا الْآيَاتُ عِندَ اللَّهِ وَإِنَّمَا أَنَا نَذِيرٌ مُّبِينٌ‎

Dan orang-orang kafir Mekah berkata, "Mengapa tidak diturunkan kepadanya mukjizat-mukjizat dari Tuhannya?" Katakanlah, "Sesungguhnya mukjizat-mukjizat itu terserah kepada Allah. Dan sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata."

Risalah dari Tuhan Yang Mahabenar tampak jelas dalam kalbu orang-orang yang dianugerahi pengetahuan. Setiap orang mempunyai potensi untuk dianugerahi pengetahuan ini. Hanya saja, potensi itu harus dipupuk seperti halnya benih. Benih kejahilan bisa tumbuh subur dengan mudah, karena sifat rendah manusia selalu merugi—"sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian" (inna al-insan lafi khusr). Mengetahui bagaimana cara memupuk benih pengetahuan itu agar tumbuh adalah tujuan dari eksistensi manusia. Dan ini datang kepada manusia secara spontan melalui kesediaannya untuk melepaskan diri dari segala sesuatu selain Allah.

Dalam sebuah hadis diterangkan mengenai kebodohan orang musyrik itu dan sebab turunnya ayat ini, yaitu: 

جاء الناس من المسلمين بكتب قد كتبوها فيها بعض ما سمعوه من اليهود, فقال النبي صلى الله عليه وسلم: كفى بقوم حمقا او ضلالة أن يرغبوا بما جاء به نبيهم إلى ما جاء به غيره إلى غيرهم. فنزلت "أولم يكفهم" الآية. ‎

Telah datang serombongan kaum Muslimin kepada Nabi Muhammad saw membawa kitab-kitab yang telah mereka tulis di dalamnya sebagian dari apa yang telah mereka dengar dari orang-orang Yahudi, maka Nabi saw berkata: "Cukuplah kebodohan dan kesesatan suatu kaum yang menolak apa yang dibawa Nabi mereka untuk mereka, dan menginginkan sesuatu yang dibawa oleh seorang Nabi yang bukan Nabi mereka untuk orang lain. Lalu ayat ini diturunkan oleh Allah SWT. (H.R. Darimi dan Abu Daud) ‎

Dalam hadis yang lain diterangkan pula bahwa orang-orang yang tidak merasa cukup dengan Alquran sebagai suatu mukjizat, maka mereka bukanlah termasuk orang-orang Islam. Hadis ini berbunyi: 

ليس منا من لم يتغن بالقرآن -أي يستغن به عن غيره ‎

Tidaklah termasuk golongan kami, orang-orang yang tidak merasa cukup dengan Alquran. (H.R. Bukhari) 
Hadis di atas dengan jelas menerangkan kebodohan orang-orang musyrik yang menuntut agar diturunkan mukjizat yang nyata, padahal mukjizat Alquran lebih tinggi nilainya dan berlaku untuk selamanya sampai hari akhirat. 
Pada ayat ini dijelaskan bahwa orang-orang kafir Quraisy mengingkari Alquran sebagai mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. karena menurut mereka tidak pantas Alquran itu dijadikan sebagai mukjizat, yang pantas dijadikan mukjizat itu ialah suatu yang nyata, yang langsung dapat dilihat dan dirasakan, seperti mukjizat yang diturunkan kepada para Rasul yang terdahulu, seperti topan Nabi Nuh, tongkat Nabi Musa dan sebagainya. Mereka menyatakan bahwa mukjizat yang nyata itu mudah diterima akal pikiran dan dapat menimbulkan keyakinan bagi orang-orang yang melihatnya. 
Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw agar menjawab permintaan orang-orang musyrik Quraisy itu dengan mengatakan bahwa persoalan mukjizat itu adalah persoalah Tuhan. Tuhanlah yang menetapkan mukjizat apakah yang akan diberikan kepada seorang Rasul yang diutus Nya, serta disesuaikan pula dengan tingkat kemampuan umat yang akan menyaksikan mukjizat itu. Mengenai pengakuan orang-orang Quraisy, bahwa mereka tidak dapat menerima Alquran sebagai mukjizat, Allah SWT Maha Mengetahui isi hati mereka. Sebenarnya hati mereka telah mengakuinya sebagai mukjizat, tetapi karena keingkaran dan penyakit yang ada dalam hati mereka, maka mereka mengatakan yang demikian itu hanyalah sekadar membantah saja. Jika mereka benar-benar akan beriman dengan diturunkan Nya mukjizat sesuai dengan yang mereka minta itu, tentulah Allah akan menurunkan. tidak ada sesuatupun yang sukar bagi Allah, semua mudah bagi Nya. Allah SWT berfirman: 

وما منعنا أن نرسل بالآيات إلا أن كذب بها الأولون 
Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasaan Kami), melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu. (Q.S. Al Isra: 59) 
Setelah permintaan mereka yang bukan-bukan itu dijawab Nabi, maka Allah SWT memerintahkan kepadanya agar menyampaikan kepada orang-orang musyrik itu, bahwa dia (Nabi) diperintahkan hanya sekadar memberi peringatan kepada orang-orang yang tidak mengindahkannya. Tugasnya hanyalah menyampaikan risalah kepada mereka. Ia tidak dapat menjadikan mereka orang-orang yang beriman, Yang dapat menjadikan orang beriman hanyalah Allah semata. Allah berfirman: ‎
من يهد الله فهو المهتد ومن يضلل فلن تجد له وليا مرشدا 
Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk, dan barangsiapa yang disesatkan Nya maka kamu tak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. (Q.S. Al Kahfi: 17) ‎

Dan firman Allah SWT yang lain: 

ليس عليك هداهم ولكن الله يهدي من يشاء ‎

Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk akan tetapi Allahlah yang memberi petunjuk (taufik) kepada siapa yang dikehendaki Nya. (Q.S. Al Baqarah: 272)‎

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar