Sabtu, 02 Januari 2016

Penjelasan Hukum Istri Menggugat Cerai (Khulu')

Pernikahan adalah sarana untuk menyatukan dua orang manusia yang berlainan jenis (laki-laki dan perempuan) dalam sebuah ikatan suci guna mencari ridho Allah swt, namun dalam realitanya, pernikahan banyak di jadikan oleh sebagian orang sebagai kedok belaka, untuk menjaga gengsi dan lain sebagainya yang pada dasarnya telah menyalahi tujuan dari di syariatkannya sebuah pernikahan, yaitu ibadah.

Sakinah, mawaddah dan kasih sayang adalah asas dan tujuan disyariatkannya pernikahan dan pembentukan rumah tangga. Dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum : 21]

Namun kenyataannya banyak terjadi dalam kehidupan berkeluarga timbul masalah-masalah yang mendorong seorang isteri melakukan gugatan cerai dengan segala alasan. Fenomena ini banyak terjadi dalam media massa, sehingga diketahui khalayak ramai. Yang pantas disayangkan, mereka tidak segan-segan membuka rahasia rumah tangga, hanya sekedar untuk bisa memenangkan gugatan,. Padahal, semestinya persoalan gugatan cerai ini harus dikembalikan kepada agama, dan menimbangnya dengan Islam. Dengan demikian, kita semua dapat ber-Islam dengan kaffah (sempurna dan menyeluruh).

Dalam masyarakat kita sering menjumpai berbagai macam kasus atau kejadian rumah tangga, seperti keretakan rumah tangga yang berujung pada perceraian, namun lazimnya hak cerai itu dimiliki oleh laki-laki (suami), namun bukan berarti hal ini menunjukan bentuk diskriminasi terhadap wanita, karena hukum kita (islam) telah memberikan solusi bagi wanita yang mengalami gencatan atau beban rumah tangga untuk melakukan gugatan cerai pada suami, dengan cara memberikan upah atau iwadhsebagai bentuk membebaskan dirinya dari ikatan suami istri.

Namun pada prakteknya dilapangan, ternyata terjadi kontradiksi antara konsep gugatan cerai menurut persepektif hukum fiqh dan Pengadilan Agama dilingkungan kita. Sehingga penulis mencoba untuk mengulas sedikit tentang masalah gugatan cerai, dengan tujuan menemukan kebenaran, baik secara nisbiy maupun absolut.

Khulu’ menurut bahasa ialah melepas. Adapun khulu’ menurut istilah syara’ ialah seorang istri meminta kepada suami supaya dirinya diceraikan dengan memberikan suatu tebusan (‘iwadl), misalnya mengembalikan mahar yang dulu diberikan oleh suaminya.

HUKUM AL-KHULU’

Al-Khulu disyariatkan dalam syari’at Islam berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim’ [Al-Baqarah : 229]

Surat An-Nisa ayat 4:

وَءَاتُوْ النِّسَاءَ صَدَقَتِهِنَّ نِحْلَةً فَأِنْ تِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا

Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

Surat An-Nisa ayat 19:

يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوْا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلاَ تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضٍ مَّا ءَاتَيْتُمُوْهُنَّ أِلاَّ أَنْ يَأتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالمَعْرُوْفِ فَأِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسَي أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَيَجْعَلُ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Surat An-Nisa ayat 21:

وَكَيْفَ تَأخُذُوْنَهُ وَقَدْ أَفْضَي بَعْضُكُمْ أِلَي بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيْثَاقاً غَلِيْظًا

Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.”

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: جَاءَتِ امْرَأَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ اِلَى النَّبِيّ ص فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنّى مَا اَعْتِبُ عَلَيْهِ فِى خُلُقٍ وَ لاَ دِيْنٍ، وَ لَكِنّى اَكْرَهُ اْلكُفْرَ فِى اْلاِسْلاَمِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اَتَرُدّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِقْبَلِ اْلحَدِيْقَةَ وَ طَلّقْهَا تَطْلِيْقَةً. البخارى و النسائى، فى نيل الاوطار 6:276

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi SAW, lalu ia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mencela dia (suamiku) tentang akhlaq dan agamanya, tetapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam”. Kemudian Rasulullah SAW bertanya, “Maukah kamu mengembalikan kebunmu kepadanya ?”. Ia menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah SAW bersabda (kepada Tsabit), “Terimalah kebunmu itu dan thalaqlah dia sekali”. [HR. Bukhari dan Nasai, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 276]

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ جَمِيْلَةَ بِنْتَ سَلُوْلٍ اَتَتِ النَّبِيَّ ص فَقَالَتْ: وَ اللهِ مَا اَعْتِبُ عَلَى ثَابِتٍ فِى دِيْنٍ وَ لاَ خُلُقٍ وَ لكِنّى اَكْرَهُ اْلكُفْرَ فِى اْلاِسْلاَمِ، لاَ اُطِيْقُهُ بُغْضًا. فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ ص: اَتَرُدّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. فَاَمَرَهُ رَسُوْلُ اللهِ ص اَنْ يَأْخُذَ مِنْهَا حَدِيْقَتَهُ وَ لاَ يَزْدَادَ. ابن ماجه

Dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya Jamilah binti Salul datang kepada Nabi SAW lalu berkata, “Demi Allah, aku tidak mencela kepada Tsabit tentang agama dan akhlaqnya, tetapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam, aku tidak kuat menahan rasa benci kepadanya”. Lalu Nabi SAW bertanya, “Maukah kamu mengembalikan kebunnya kepadanya ?” Ia menjawab, “Ya”. Kemudian Rasulullah SAW menyuruh Tsabit agar mengambil kembali kebunnya dari Jamilah, dan tidak minta tambahan”. HR. Ibnu Majah]

عَنِ الرُّبَيّعِ بِنْتِ مُعَوّذٍ اَنَّ ثَابِتَ بْنَ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ ضَرَبَ امْرَأَتَهُ فَكَسَرَ يَدَهَا وَ هِيَ جَمِيْلَةُ بِنْتُ عَبْدِ اللهِ بْنِ اُبَيّ، فَاَتَى اَخُوْهَا يَشْتَكِيْهِ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ ص: فَاَرْسَلَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِلَى ثَابِتٍ فَقَالَ لَهُ: خُذِ الَّذِيْ لَهَا عَلَيْكَ وَ خَلّ سَبِيْلَهَا. قَالَ: نَعَمْ. فَاَمَرَهَا رَسُوْلُ اللهِ ص اَنْ تَتَرَبَّصَ حَيْضَةً وَاحِدَةً وَ تَلْحَقَ بِاَهْلِهَا. النسائى، فى نيل الاوطار 6:277

Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz bahwasanya Tsabit bin Qais bin Syammas memukul tangan istrinya yang bernama Jamilah binti ‘Abdullah bin Ubaiy sehingga patah, kemudian saudaranya datang kepada Rasulullah SAW untuk mengadukannya, lalu Rasulullah SAW mengutus (seseorang) kepada Tsabit, kemudian Nabi SAW bersabda kepadanya, “Ambillah kembali apa yang pernah kamu berikan kepada istrimu, dan lepaskanlah dia”. Tsabit menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah SAW menyuruh Jamilah agar menunggu satu kali haidl dan pulang kepada keluarganya”. [HR. Nasai, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 277]

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ اخْتَلَعَتْ مِنْ زَوْجِهَا، فَاَمَرَهَا النَّبِيُّ ص اَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ. ابو داود و الترمذى و قال: حديث حسن غريب

Dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya istri Tsabit bin Qais menebus dirinya dari suaminya, kemudian Nabi SAW menyuruhnya supaya ber’iddah sekali haidl. [HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dan ia berkata, “Hadits hasan gharib, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 277]

عَنِ الرُّبَيّعِ بِنْتِ مُعَوّذٍ اَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ص فَاَمَرَهَا النَّبِيُّ ص اَوْ اُمِرَتْ اَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ. الترمذى و قال: حديث الربيع الصحيح انها امرت ان تعتد بحيضة، فى نيل الاوطار 6:277

Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz, bahwasanya ia pernah menebus dirinya (khulu’) di masa Rasulullah SAW, kemudian Nabi SAW menyuruhnya atau dia disuruh agar ber’iddah sekali haidl. [HR. Tirmidzi, dan ia berkata, “Hadits Rubayyi’ ini sah, bahwa ia disuruh oleh Nabi SAW agar ber’iddah dengan sekali haidl, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 277]

عَنْ اَبِى الزُّبَيْرِ اَنَّ ثَابِتَ بْنَ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ كَانَتْ عِنْدَهُ بِنْتُ عَبْدِ اللهِ بْنِ اُبَيّ بْنِ سَلُوْلٍ وَ كَانَ اَصْدَقَهَا حَدِيْقَةٌ، فَقَالَ النَّبِيُّ ص اَتَرُدّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ الَّتِى اَعْطَاكِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، وَ زِيَادَةً. فَقَالَ النَّبِيُّ ص: اَمَّا الزّيَادَةُ فَلاَ، وَ لكِنْ حَدِيْقَتُهُ. قَالَتْ: نَعَمْ. فَاَخَذَهَا لَهُ. وَ خَلَّى سَبِيْلَهَا. فَلَمَّا بَلَغَ ذلِكَ ثَابِتَ بْنَ قَيْسٍ قَالَ: قَبِلْتُ قَضَاءَ رَسُوْلِ اللهِ ص. الدارقطنى باسناد صحيح و قال: سمعه ابو الزبير من غير واحد، فى نيل الاوطار 6:277

Dari Abu Zubair bahwasanya Tsabit bin Qais bin Syammas mempunyai istri anak perempuan dari ‘Abdullah bin Ubaiy bin Salul. Dahulu ia memberikan mahar kepada istrinya berupa sebuah kebun. Kemudian Nabi SAW bertanya (kepada si istri), “Maukah kamu mengembalikan kebun pemberian suamimu itu ?”. Ia menjawab, “Ya, dan akan saya tambah”. Lalu Nabi SAW bersabda, “Adapun tambahan itu tidak usah, cukup kebunnya saja”. Ia berkata, “Ya”. Kemudian Nabi SAW mengambil kebun itu untuk diberikan kepada Tsabit dan beliau menceraikannya. Kemudian setelah hal itu sampai kepada Tsabit bin Qais, ia berkata, “Sungguh aku menerima putusan Rasulullah SAW”. [HR. Daruquthni dengan sanad yang sah, ia berkata, “Hadits ini didengar oleh Abu Zubair tidak hanya dari seorang saja”, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 277].

Meskipun khulu diperbolehkan tetapi harus diikuti dengan alasan-alasan yang kuat, seperti suami seorang pemabuk, pezina, penjudi, tidak menafkahi keluarganya dan lain-lain. Dalam hal seorang wanita atau isteri meminta cerai tanpa alasan atau dicari-cari, maka diharamkan untuknya bau syurga. Sesuai dengan hadits Nabi SAW:

قَالَ رَسُوْْلُ اللهِ صَ مَ : اَيُّمَا امْرَءَةٍ سَاَلَتْ زَوْجَهَا الطَلاقَ غَيْرُ مَا بَأْسَ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَاءِحَةُ الْجَنَّةَ

Artinya: “Dari Tsauban, Rasul SAW bersabda: “Siapapun perempuan yang meminta cerai kepada suaminya tanpa sebab, maka haram baginya bau syurga”.(HR Abu Dawud no 1928, At-Thirmidzi dan Ibnu Maajah, dan dihahihkan oleh Syaikh Albani)

Hadits ini menunjukkan ancaman yang sangat keras bagi seorang wanita yang meminta perceraian tanpa ada sebab yang syar'i yang kuat yang membolehkannya untuk meminta cerai. Berkata Abu At-Toyyib Al'Adziim Aabaadi, "Yaitu tanpa ada kondisi mendesak memaksanya untuk meminta cerai…((Maka haram baginya bau surga)) yaitu ia terhalang dari mencium harumnya surga, dan ini merupakan bentuk ancaman dan bahkan bentuk mubaalaghoh (berlebih-lebihan) dalam ancaman, atau terjadinya hal tersebut pada satu kondisi tertentu yaitu artinya ia tidak mencium wanginya surga tatkala tercium oleh orang-orang yang bertakwa yang pertama kali mencium wanginya surga, atau memang sama sekali ia tidak mencium wanginya surga. dan ini merupakan bentuk berlebih-lebihan dalam ancaman" ('Aunul Ma'buud 6/308)

Ibnu Hajar berkata :

أن الأخبار الواردة في ترهيب المرأة من طلب طلاق زوجها محمولة على ما إذا لم يكن بسبب يقتضى ذلك

"Sesungguhnya hadits-hadits yang datang tentang ancaman terhadap wanita yang meminta cerai, dibawakan kepada jika sang wanita meminta cerai tanpa sebab" (Fathul Baari 9/402)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :

الْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ

"Para wanita yang khulu' dari suaminya dan melepaskan dirinya dari suaminya, mereka itulah para wanita munafiq" (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 632)

Yaitu para wanita yang mengeluarkan biaya untuk meminta cerai dari suami mereka tanpa ada udzur yang syari' (lihat At-Taisiir bi Syarh Al-Jaami' As-Shogiir 1/607)

Berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an serta Hadist tersebut cukuplah menjadi fakta kekuatan pengadilan dalam menangani kasus khulu. Sehingga untuk melindungi hak wanita dalam perkawinan, pemberian hak khulu kepada wanita sangat diperlukan guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.

Sebab-Sebab Dibolehkan Khulu'

Para ulama telah menyebutkan perkara-perkara yang membolehkan seorang wanita meminta khulu' (pisah) dari suaminya.

Diantara perkara-perkara tersebut adalah :

1. Jika sang suami sangat nampak membenci sang istri, akan tetapi sang suami sengaja tidak ingin menceraikan sang istri agar sang istri menjadi seperti wanita yang tergantung

2. Akhlak suami yang buruk terhadap sang istri, seperti suka menghinanya atau suka memukulnya.

3. Agama sang suami yang buruk, seperti sang suami yang terlalu sering melakukan dosa-dosa, seperti minum khomr, berjudi, berzina, atau sering meninggalkan sholat, suka mendengar music, dll

4. Jika sang suami tidak menunaikan hak utama sang istri, seperti tidak memberikan nafkah kepadanya, atau tidak membelikan pakaian untuknya, dan kebutuhan-kebutuhan primer yang lainnya, padahal sang suami mampu.

5. Jika sang suami ternyata tidak bisa menggauli istrinya dengan baik, misalnya jika sang suami cacat, atau tidak bisa melakukan hubungan biologis, atau tidak adil dalam mabit (jatah menginap), atau tidak mau atau jarang memenuhi kebutuhan biologisnya karena condong kepada istri yang lain

6. Jika sang wanita sama sekali tidak membenci sang suami, hanya saja sang wanita khawatir tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri sehingga tidak bisa menunaikan hak-hak suaminya dengan baik. Maka boleh baginya meminta agar suaminya meridoinya untuk khulu', karena ia khawatir terjerumus dalam dosa karena tidak bisa menunaikan hak-hak suami

7. Jika sang istri membenci suaminya bukan karena akhlak yang buruk, dan juga bukan karena agama suami yang buruk. Akan tetapi sang istri tidak bisa mencintai sang suami karena kekurangan pada jasadnya, seperti cacat, atau buruknya suami

Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :

وجمله الأمر أن المرأة إذا كرهت زوجها لخلقه أو خلقه أو دينه أو كبره أو ضعفه أو نحو ذلك وخشيت أن لا تؤدي  حق الله في طاعته جاز لها أن تخالعه بعوض تفتدي به نفسها

 "Dan kesimpulannya bahwasanya seorang wanita jika membenci suaminya karena akhlaknya atau perawakannya/rupa dan jasadnya atau karena agamanya, atau karena tuanya, atau lemahnya, dan yang semisalnya, dan ia khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang suami maka boleh baginya untuk meminta khulu' kepada suaminya dengan memberikan biaya/ganti untuk membebaskan dirinya" (Al-Mughni 8/174)

Hukum Khulu'

Para ulama Fiqh mengatakan bahwa Khulu' itu mempunyai tiga hukum tergantung kondisi dan situasinya. Ketiga hukum dimaksud adalah:

1. Mubah.

Isteri boleh-boleh saja untuk mengajukan Khulu' manakala ia merasa tidak nyaman apabila tetap hidup bersama suaminya, baik karena sifat-sifat buruk suaminya, atau dikhawatirkan tidak memberikan hak-haknya kembali atau karena ia takut ketaatan kepada suaminya tidak menyebabkan berdiri dan terjaganya ketentuan-ketentuan Allah. Dalam kondisi seperti ini, Khulu' bagi si isteri boleh dan sah-sah saja, sebagaimana firman Allah:

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ (البقرة: 229)

Artinya: "Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya" (QS. Al-Baqarah: 229).

Demikian juga berdasarkan hadits berikut ini:

عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن قيس أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله, ثابت بن قيس ما أعيب عليه فى خلق ولا دين, ولكنى أكره الكفر فى الإسلام, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أتردين عليه حديقه)), فقالت: نعم, فرددت عليه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((اقبل الحديقة وطلقها تطليقة)) [رواه البخارى]

Artinya: "Dari Ibnu Abbas, bahwasannya isteri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi saw sambil berkata: "Ya Rasulullah, Saya tidak mendapati kekurangan dari Tsabit bin Qais, baik akhlak maupun agamanya. Hanya saja, saya takut saya sering kufur (maksudnya kufur, tidak melaksanakan kewajiban kepada suami dengan baik) dalam Islam. Rasulullah saw lalu bersabda: "Apakah kamu siap mengembalikan kebunnya?" Wanita itu menjawab: "Ya, sanggup. Saya akan mengembalikan kebun itu kepadanya". Rasulullah saw lalu bersabda (kepada Tsabit): "Terimalah kebunnya itu dan ceraikan dia satu kali cerai". (HR. Bukhari).

Dalam riwayat ini jelas bahwa istri Tsaabit bin Qois sama sekali tidak mengeluhkan akan buruknya akhlak suaminya atau kurangnya agama suaminya. Akan tetapi ia mengeluhkan tentang perkara yang lain. Apakah perkara tersebut??

Dalam sebagian riwayat yang lain menjelaskan bahwa istri Tsabit meminta khulu' karena buruk rupanya Tsabit.

عن حجاج عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال كانت حبيبة بنت سهل تحت ثابت بن قيس بن شماس وكان رجلا دميما فقالت يا رسول الله والله لولا مخافة الله إذا دخل علي لبصقت في وجهه

Dari Hajjaj dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dan dari kakeknya berkata, "Dahulu Habibah binti Sahl adalah istri Tsaabit bin Qois bin Syammaas. Dan Tsaabit adalah seorang lelaki buruk dan pendek, maka Habibah berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah, kalau bukan karena takut kepada Allah maka jika ia masuk menemuiku maka aku akan meludahi wajahnya". (HR Ibnu Maajah no 2057 dan didho'ifkan oleh Syaikh Al-Albani)

Namun telah datang dalam riwayat yang shahih dari Ibnu Abbas berkata:

إن أول خلع كان في الإسلام، أخت عبد الله بن أبي، أنها أتت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله لا يجمع رأسي ورأسه شيء أبدا! إني رفعت جانب الخباء، فرأيته أقبل في عدة، فإذا هو أشدهم سوادا، وأقصرهم قامة، وأقبحهم وجها! قال زوجها: يا رسول الله، إني أعطيتها أفضل مالي! حديقة، فإن ردت على حديقتي! قال:"ما تقولين؟" قالت: نعم، وإن شاء زدته! قال: ففرق بينهما

"Khulu' yang pertama kali dalam sejarah Islam adalah khulu'nya saudari Abdullah bin Ubay (Yaitu Jamilah bintu Abdullah bin Ubay bin Saluul gembong orang munafiq, dan saudara Jamilah bernama Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Saluul-pen). Ia mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, "Wahai Rasulullah, tidak mungkin ada sesuatu yang bisa menyatukan kepalaku dengan kepala Tsabit selamanya. Aku telah mengangkat sisi tirai maka aku melihatnya datang bersama beberapa orang. Ternyata Tsaabit adalah yang paling hitam diantara mereka, yang paling pendek, dan yang paling jelek wajahnya"

Suaminya (Tsaabit) berkata, "Wahai Rasulullah, aku telah memberikan kepadanya hartaku yang terbaik, sebuah kebun, jika kebunku dikembalikan, (maka aku setuju untuk berpisah)". Nabi berkata,"Apa pendapatmu (wahai jamilah)?". Jamilah berkata, "Setuju, dan jika dia mau akan aku tambah". Maka Nabipun memisahkan antara keduanya" (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thobari dalam tafsirnya (4/552-553, no 3807), tatkala menafsirkan surat Al-Baqoroh ayat 229, dan sanadnya dinilai shahih oleh para pentahqiq Tafsir At-Thobari)

Catatan :

Pertama : Para ulama berselisih tentang nama istri Tsabit bin Qois, apakah namanya Jamilah binti Abdillah bin Ubay bin Saluul ataukah Habibah binti Sahl?. Akan tetapi Ibnu Hajar rahimahullah condong bahwa Tsabit pernah menikahi Habibah lalu terjadi khuluk, kemudian ia menikahi Jamilah dan juga terjadi khulu' (lihat Fathul Baari 9/399)

Kedua : Dalam sebagian riwayat yang shahih menunjukkan bahwa Tsaabit bin Qois radhiallahu 'anhu pernah memukul istrinya hingga tangannya patah. Sehingga inilah yang dikeluhkan oleh istri beliau sehingga minta khulu'

Dari Ar-Rubayyi' bin Mu'awwidz berkata :

أن ثابت بن قيس بن شماس ضرب امرأته فكسر يدها وهي جميلة بنت عبد الله بن أبي فأتى أخوها يشتكيه إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فأرسل رسول الله صلى الله عليه و سلم إلى ثابت فقال له خذ الذي لها عليك وخل سبيلها قال نعم فأمرها رسول الله صلى الله عليه و سلم أن تتربص حيضة واحدة فتلحق بأهلها

"Sesungguhnya Tsaabit bin Qois bin Syammaas memukul istrinya hingga mematahkan tangannya. Istrinya adalah Jamilah binti Abdillah bin Ubay. Maka saudara laki-lakinya pun mendatangi Nabi mengeluhkannya. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengirim utusan ke Tsabit dan berkata, "Ambillah harta milik istrimu yang wajib atasmu dan ceraikanlah dia". Maka Tsaabit berkata, "Iya". Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan Jamilah untuk menunggu (masa 'iddah) satu kali haid. Lalu iapun pergi ke keluarganya" (HR An-Nasaai no 3487 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ سَهْلٍ كَانَتْ عِنْدَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ فَضَرَبَهَا فَكَسَرَ بَعْضَهَا فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَعْدَ الصُّبْحِ فَاشْتَكَتْهُ إِلَيْهِ فَدَعَا النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ثَابِتًا فَقَالَ « خُذْ بَعْضَ مَالِهَا وَفَارِقْهَا ».

فَقَالَ وَيَصْلُحُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « نَعَمْ ». قَالَ فَإِنِّى أَصْدَقْتُهَا حَدِيقَتَيْنِ وَهُمَا بِيَدِهَا فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « خُذْهُمَا فَفَارِقْهَا ». فَفَعَلَ.

Dari Aisyah bahwasanya Habibah binti Sahl dulunya istri Tsabit bin Qois, lalu Tsabit memukulnya hingga patahlah sebagian anggota tubuhnya. Habibah pun mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam setelah subuh dan mengadukan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang suaminya. Maka Nabi berkata kepada Tsabit, "Ambillah sebagian harta Habibah, dan berpisahlah darinya"

Tsaabit berkata, "Apakah dibenarkan hal ini wahai Rasulullah?", Nabi berkata, "Benar". Tsabit berkata, "Aku telah memberikan kepadanya mahar berupa dua kebun, dan keduanya berada padanya". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Ambilah kedua kebun tersebut dan berpisalah dengannya". (HR Abu Dawud no 2230, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Dari riwayat-riwayat yang ada, seakan-akan ada pertentangan, karena sebagian riwayat menunjukkan bahwa istri Tsabit meminta cerai karena perangai Tsaabit yang telah memukulnya hingga menyebabkan patah tangan. Dan sebagian riwayat yang lain sangat jelas dan tegas bahwa sang istri tidak mencela akhlak dan agama Tsaabit, akan yang dikeluhkan ada kondisi tubuh Tsaabit yang hitam, pendek, dan buruk rupa.

Ibnu Hajar menjamak kedua model riwayat diatas dengan menyebutkan suatu riwayat dimana istri Tsabit berkata :

والله ما أعتب على ثابت في دين ولا خلق ولكني أكره الكفر في الإسلام لا أطيقه بغضا

"Demi Allah aku tidak mencela Tsabit karena agamanya dan juga akhlaknya, akan tetapi aku takutkan kekufuran dalam Islam, aku tidak sanggup dengannyakarena aku membencinya" (HR Ibnu Maajah no 1673 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

لكن تقدم من رواية النسائي أنه كسر يدها فيحمل على أنها أرادت أنه سيء الخلق لكنها ما تعيبه بذلك بل بشيء آخر ... لكن لم تشكه واحدة منهما بسبب ذلك بل وقع التصريح بسبب آخر وهو أنه كان دميم الخلقة

"Akan tetapi telah lalu dalam riwayat An-Nasaai bahwasanya Tsaabit mematahkan tangan sang istri, maka dibawakan kepada makna bahwasanya sang istri ingin mengatakan bahwa Tsabit buruk akhlaknya akan tetapi ia tidak mencela Tsaabit karena hal itu, akan tetapi  karena perkara yang lain…tidak seorangpun dari kedua istrinya (Jamilah maupun Habibah) yang mencela Tsabit karena "sebab mematahkan tulang", akan tetapi telah datang penjelasan yang tegas akan sebab yang lain, yaitu perawakan Tsaabit buruk" (Fathul Baari 9/400)

Dari sinilah para ulama menyatakan bahwa diantara salah satu sebab yang membolehkan seorang wanita meminta khulu' adalah jika sang suami buruk rupa, dan sang istri sama sekali tidak bisa mencintai sang suami. Dan jika sudah tidak cinta maka sulit untuk meraih kebahagiaan dan kasih sayang yang merupakan salah satu dari tujuan pernikahan. Wallahu A'lam.


2. Haram.

Khulu'' bisa haram hukumnya apabila dilakukan dalam dua kondisi berikut ini:

1) Apabila si isteri meminta Khulu' kepada suaminya tanpa ada alasan dan sebab yang jelas, padahal urusan rumah tangganya baik-baik saja, tidak ada alasan yang dapat dijadikan dasar oleh isteri untuk mengajukan Khulu'. Hal ini didasarkan kepada firman Allah berikut ini:

وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ (البقرة: 229).

Artinya: " Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya" (QS. Al-Baqarah: 229).

عن ثوبان قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أيما امرأة سألت زوجها طلاقا فى غير ما بأس, فحرام عليها رائحة الجنة)) [رواه أبو داود وابن ماجه وأحمد]

Artinya: "Tsauban berkata, Rasulullah saw bersabda: "Wanita yang mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya untuk mencium wangi surta" (HR. Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

2) Apabila si suami sengaja menyakiti dan tidak memberikan hak-hak si isteri dengan maksud agar si isteri mengajukan Khulu', maka hal ini juga haram hukumnya. Apabila Khulu' terjadi, si suami tidak berhak mendapatkan dan mengambil 'iwadh, uang gantinya karena maksudnya saja sudah salah dan berdosa. Dalam hal ini Allah berfirman:

وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ (النساء: 19).

Artinya: "Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata" (QS. An-Nisa: 19).

Namun, apabila si suami berbuat seperti di atas lantaran si isteri berbuat zina misalnya, maka apa yang dilakukan si suami boleh-boleh saja dan ia berhak mengambil 'iwadh tersebut.

3. Sunnah.

Khulu' juga bisa sunnah hukumnya apabila, menurut Hanabilah, si suami tidak melaksanakan hak-hak Allah, misalnya si suami sudah tidak pernah melaksanakan shalat wajib, puasa Ramadhan atau yang lainnya, atau apabila si suami melakukan dosa besar, seperti berzina, nyandu dengan obat-obat terlarang dan lainnya. Sebagian ulama lainnya menilai bahwa untuk kondisi seperti ini, Khulu' bukan lagi sunnah, akan tetapi wajib hukumnya.

Rukun Khulu'

Khulu' dapat dipandang sah dan jatuh, apabila memenuhi persyaratan rukun-rukunnya. Yang termasuk rukun Khulu' ada empat, yaitu suami (al-mukhala', yang diKhulu'), isteri (al-mukhtali'ah, yang mengKhulu'), shigat Khulu' dan iwadh, atau uang tebusan, uang ganti.

1. Al-mukhala' (yang diKhulu' yaitu suami).

Para ulama sepakat bahwasannya orang yang diKhulu'' atau suami hendaknya orang yang mempunyai hak untuk mentalak. Dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan: "man jaza thalakuhu, jaza Khulu' uh (Barangsiapa yang boleh mentalak, boleh juga untuk mengKhulu' nya)".

2. Al-mukhtali'ah (wanita yang mengKhulu', yakni isteri).

Bagi isteri yang hendak mengKhulu'' disyaratkan hal-hal berikut:

1). Hendaknya dia itu adalah isterinya yang sah secara syar'i. Hal ini karena Khulu' bertujuan untuk mengkahiri ikatan pernikahan, maksudnya posisinya sebagai isteri. Ikatan ini baru dapat pudar manakala dihasilkan dari pernikahan yang sah. Apabila dari pernikahan yang tidak sah, maka si isteri tidak ada hak untuk mengajukan Khulu'.

Persoalan berikutnya adalah apakah wanita yang sedang dalam masa Iddah boleh mengajukan Khulu'? Untuk hal ini ada dua keadaan:

a) Apabila wanita tersebut sedang dalam masa Iddah karena Thalak Raj'i, maka wanita tersebut diperbolehkan mengajukan Khulu', lantaran wanita yang sedang dalam masa Iddah Talak Raj'i masih dipandang sebagai isterinya yang sah dan karenanya, ia diperbolehkan untuk mengajukan Khulu' dengan jalan membayar sejumlah 'iwadh.

b) Apabila wanita tersebut sedang dalam masa Iddah Thalak Ba'in, maka tidak diperbolehkan mengajukan Khulu'. Apabila tetap mengajukan, maka Khulu' nya menjadi tidak sah. Hal ini lantaran dia sudah dipandang sebagai orang lain dan sudah dipandang tidak ada lagi ikatan pernikahan. Karena tidak ada lagi ikatan pernikahan, maka tidak dapat mengajukan Khulu'' dan Khulu'' hanya terjadi bagi mereka yang masih terikat dalam ikatan suami isteri. Demikian menurut Madzhab Syafi'iyyah dan Hanabilah.

Sedangkan menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah, wanita yang sedang dalam masa Iddah Talak Ba'in diperbolehkan untuk mengajukan Khulu'. Namun, pendapat pertama tentu lebih kuat dan lebih mendekati kepada kebenaran.

2). Isteri yang mengajukan Khulu' hendaknya orang yang dipandang sah untuk melaksanakan tasharruf (penggunaan) harta juga dipandang sah untuk berderma. Hal ini dengan melihat wanita tersebut sudah baligah, berakal dan dapat dipercaya.

Apabila wanita tersebut belum baligh atau orang yang tidak waras akalnya, maka Khulu'nya tidak sah. Karena baik orang gila maupun anak kecil bukan termasuk orang yang dipandang sah untuk melakukan derma dan menggunakan hartanya.

3. 'Iwadh (Uang ganti)

'Iwadh adalah sejumlah harta yang diambil oleh suami dari isterinya karena si isteri mengajukan Khulu'. Syarat dari iwadh ini hendaknya harta tersebut layak untuk dijadikan sebagai mas kawin. Semua hal yang dapat dijadikan mas kawin, maka dapat pula dijadikan sebagai Iwadh dalam Khulu' (ma jaza an yakuna mahran, jaza an yakuna badalal Khulu').

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah, Khulu' sah meskipun tidak memakai 'iwadh misalnya si isteri mengatakan: "Khulu'lah saya ini", lalu si suami mengatakan: "Saya telah mengKhulu' kamu", tanpa menyebutkan adanya iwadh. Di antara alasannya adalah:

1) Khulu' adalah pemutus pernikahan, karenanya boleh-boleh saja tanpa iwadh sebagaimana talak yang tidak memakai iwadh.

2) Pada dasarnya, Khulu' ini terjadi lantaran si isteri sudah sangat membenci suaminya lantaran perbuatan suaminya itu sehingga ia memintanya untuk menceraikannya. Ketika si isteri meminta untuk diKhulu', lalu si suami mengabulkannya, maka hal demikian sah-sah saja meskipun tidak memakai iwadh.

Sedangkan menurut Madzhab Syafi'i, Dhahiriyyah dan yang lainnya, bahwa Khulu' tidak sah kecuali harus memakai iwadh. Di antara dalil dan alasannya adalah:

1) Dalam firmanNya, Allah mengaitkan Khulu' ini dengan tebusan sebagaimana firmanNya yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 229: "Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya". Ini menunjukkan bahwa memang Khulu'' itu harus memakai iwadh.

2) Ketika isteri dari Tsabit bin Qais hendak melakukan Khulu', Rasulullah saw memintanya untuk mengembalikan kebunnya. Ini sebagai syarat bahwa Khulu' baru sah manakala memakai iwadh.

Dari kedua pendapat di atas, penulis lebih condong untuk mengambil pendapat kedua bahwa Khulu' hanya sah apabila memakai iwadh. Hal ini lantaran sepengetahuan penulis tidak ada nash baik dari ayat al-Qur'an maupun dari hadits yang membolehkan praktek Khulu' tanpa memakai iwadh.

4. Shigat Khulu'

Shigat Khulu' maksudnya adalah kata-kata yang harus diucapkan sehingga terjadinya akad Khulu'. Shigat ini mencakup dua hal, Ijab dari salah satu pihak dan Qabul dari pihak lainnya. Dengan demikian, Shigat Khulu' ini adalah kata-kata yang dapat digunakan sebagai Ijab Qabul dalam Khulu'.

Pada dasarnya, Shigat ini harus dengan kata-kata. Namun, untuk kondisi yang tidak memungkinkan, seperti karena bisu misalnya, maka shigatnya boleh dengan isyarat yang dapat dipahami.

Masa Iddah wanita yang mengajukan Khulu' (al-mukhtali'ah)

Dalam hal ini para ulama terbagi kepada dua pendapat. Menurut Jumhur ulama, Iddah wanita yang mengajukan Khulu' sama dengan Iddahnya wanita yang ditalak yaitu tiga kali quru', tiga kali haid. Di antara dalilnya adalah:

1. Khulu' adalah talak dan karenanya masuk ke dalam keumuman ayat berikut ini:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ (البقرة: 228)

Artinya: "Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'" (QS. Al-Baqarah: 228).

2. Khulu' adalah perceraian setelah dukhul, maka Iddahnya adalah tiga kali haid sebagaimana dengan yang selain Khulu'.

3. Dalam sebuah riwayat dikatakan:

عن نافع عن ابن عمر قال: ((عدتها أي المختلعة, عدة المطلقة)) [رواه مالك بسند صحيح]

Artinya: Dari Nafi' dari Ibn Umar berkata: "Iddahnya wanita yang mengajukan Khulu' sama dengan Iddahnya wanita yang ditalak (yaitu tida kali haid)" (HR. Malik dengan sanad Shahih).

Pendapat kedua mengatakan bahwa Iddahnya adalah satu kali haid. Pendapat ini adalah pendapatnya Utsman bin Affan, Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Taimiyyah dan yang lainnya. Di antara alasannya adalah:

1. Dalam sebuah riwayat dikatakan:

عن الربيع بنت معوذ قالت: اختلعت من زوجى ثم جئت عثمان فسألته: ماذا علي من العدة؟ فقال: ((لا عدة عليك إلا أن تكونى حديثة عهد به فتمكثى حتى تحيضى حيضة)) [رواه ابن أبي شيبة بسند صحيح]

Artinya: "Dari ar-Rabi' bint Mu'awwadz berkata: "Saya mengajukan Khulu' dari suami saya. Lalu saya datang kepada Utsman bin Affan sambil bertanya: "Apa Iddah saya?" Utsman menjawab: "Tidak ada Iddah bagi kamu kecuali jika kamu tidak menikah lagi dengannya (dengan suaminya itu), maka tinggallah (ber-Iddahlah) selama satu kali haid)" (HR. Ibn Abi Syaibah dengan sanad Shahih).

2. Demikian juga dengan riwayat berikut:

ولابي داودوالترمدي, وحسنه:أن امرأة ثابت بن قيس اختلعت منه فجعل النبي صلى الله عليه وسلم عدتها حيضة [رواه أبو داود بسند حسن]

Artinya: "dan Bagi Abu Dawud dan Tirmidzi dan ia hasankan, bahwasannya isteri Tsabit bin Qais mengajukan Khulu'' dari suaminya. Rasulullah saw lalu menjadikan Iddahnya satu kali haid" (HR. Abu Dawud dengan sanad Hasan).

3. Ibnu Qayyim dalam hal ini berkata dalam bukunya Zadul Ma'ad (V/197): "Iddah wanita yang mengajukan Khulu' satu kali haid, ini lebih mendekati kepada maksud syara. Karena Iddah itu dijadikan tiga kali haid dengan maksud untuk memperpanjang kesempatan untuk rujuk, sehingga si suami dapat merujuknya selama masa Iddah tadi. Apabila sudah tidak ada kesempatan untuk rujuk, maka maksudnya adalah untuk membersihkan rahim saja (bara'atur rahm) dari kehamilan, dan hal itu cukup dengan satu kali haid saja".

Kedudukan Khulu’

Jumhur Fuqoha berpendapat bahwa Khulu adalah talak ba’in, karena apabila suami dapat merujuk istrinya pada masa iddah, maka penebusannya itu tidak akan berarti lagi. pendapat ini dikemukakan pula oleh imam Malik. Abu hanifah menyamakan Khulu’ dengan talak dan fasakh secara bersamaan. Sedangkan imam syafi’I berpendapat bahwa khulu’ adalah Fasakh pendapat ini juga dikemukakan Ahmad dan Dawud dan sahabat Ibnu Abbas r.a. Diriwayatkan pula dari syaf’I bahwa khulu itu adalah kata-kata sindiran. Jadi, jika dengan kata-kata sindiran itu suami menghendaki talak, maka talakpun jadi, dan jika tidak maka menjadi fasakh. Tetapi dalam dalam pendapat barunya (al-qaul al-jadid) ia menyatakan bahwa khulu’ itu talak.

Abu Tsaur berpendapat bahwa apabila khulu’ tidak menggunakan kata-kata talak, maka suami tidak dapat merujuk istrinya, sedang apabila khulu’ tersebut menggunakan kata-kata talak, maka suami dapat merujuk istrinya. Fuqaha yang menganggap khulu’ sebagai talak mengemukakan alasan, bahwa fasakh itu tidaklain merupakan perkara yang menjadikan suami sebagai pihak yang kuat dalam pemutusan ikatan perkawinan tetapi tidak berasal dari kehendaknya. Sedangkan khulu’ ini berpangkal pada kehendak, oleh karenya khulu’itu bukan fasakh.

Adapun fuqaha yang tidak menganggap khulu’ sebagai talak mengemukakan alasan bahwa dalam Al-Qur’an mula-mula Alloh menyebutkan tentang talak:

الطلاق مرتان. (البقرة: ۲۲۹)

Artinya: “talak yang dapat dirujuk itu dua kali”. (Q.S. albaqarah: 2290

Kemudian Alloh menyebutkan tentang tebusan (Khulu’), dan selanjutnya berfirman:
Artinya: “kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain.” (Q.S. Albaqarah : 230).

Jika tebusan tersebut adalah talak, berarti yang menyebabkan istri tidak halal lagi bagi suami, kecuali sesudah ia kawin lagi dengan lelaki yang lain itu menjadi talak keempat. Mereka berpendapat bahwa fasakh itu dapat terjadi dengan suka sama suka karena disamakan denga fasakh dalam jual beli, yakni kegagalan atau pengunduran diri.

Jadi jelaslah bahwa Khulu’ Adalah Fasakh, Bukan Talak, Jika seorang isteri telah menebus dirinya dan dicerai oleh suaminya. Maka ia berkuasa penuh atas dirinya sendiri, sehingga suaminya tidak berhak untuk rujuk kepadanya, kecuali dengan ridhanya dan perpecahan tidak dianggap sebagai talak meskipun dijatuhkan dengan redaksi talak. Namun ia adalah perusakan akad nikah demi kemaslahatan sang isteri dengan balasan menebus dirinya kepada suaminya.

Ibnul Qayyim r.a. menulis sebagai berikut, ”Dan yang menunjukkan khulu’ bukan talak adalah bahwa Allah SWT telah menetapkan tiga ketentuan yang berlaku pada talak terhadap (isteri) yang telah dikumpuli jika talak tersebut telah mencapai talak tiga. Ketetapan-ketetapan itu, tidak pada khulu’. Pertama: Suamilah yang lebih berhak rujuk kepada isterinya dalam masa iddah. Kedua: Talak maksimal tiga kali, sehingga setelah terjadi talak ketiga, isteri tidak halal bagi suaminya, terkecuali ia kawin lagi dengan suami kedua dan pernah bercampur dengannya. Ketiga: Iddah yang berlaku dalam talak terdiri atas tiga kali quru’ (bersih dari iddah).

Sementara itu, telah sah berdasarkan nash (ayat Qur-an ataua hadits) dan ijma’ (kesepatakan) bahwasanya tidak sah istilah rujuk dalam khulu’. Dan, sudah sah berdasar sunnah Nabi saw dan pendapat para shahabat bahwa iddah untuk khulu’ hanya satu kali haidh. Demikian pula telah sah juga berdasar nash syar’i bahwa boleh melakukan khulu’ setelah talak kedua dan talak ketiga. Ini jelas sekali menunjukkan bahwa khulu’ bukanlah talak. Oleh sebab itu Allah SWT menegaskan, ”Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan Cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik dan tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang pernah kami berikan pada mereka kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat melaksanakan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat mejalangkan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (Al-Baqarah:229).

Dan ini tidak dikhususkan bagi wanita yang telah ditalak dua kali, karena hal ini ia mencakup isteri yang dicerai dua kali. Tidak boleh dhamir (kata ganti). Itu kembali kepada oknum, yang tidak disebutkan dalam ayat di atas dan meninggalkan oknum yang disebutkan dengan jelas akan tetapi mungkin dikhususkan bagi oknum yang pernah disebutkan sebelumnya atau meliputi juga selain yang sudah disebutkan sebelumnya. Kemudian Allah SWT berfirman, ”Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya.” (Al-Baqarah:230).

Ayat al-Qur’an ini meliputi perempuan yang dicerai setelah khulu’ dan setelah dicerai, dua kali secara qath’i (pasti) karena dialah yang disebutkan dalam ayat di atas. Maka ia (wanita yang di khulu’) harus masuk ke dalam kandungan lafazh ayat tersebut. Demikianlah yang difahami Imam Ahli tafsir Ibnu Abbas r.a. yang pernah dido’akan oleh Rasulullah saw. agar Allah mengajarinya tafsir Qur’an. Dan pasti doa itu terkabul, tanpa keraguan. Manakala hukum-hukum yang berlaku dalam khulu’ berlainan dengan hukum-hukum talak maka hal itu menunjukkan bahwa keduanya berlainan. Jadi inilah yang sesuai dengan ketentuan na’ah, qiyas, dan dengan pendapat para shahabat Nabi saw. (Zaadul Ma’ad V:199).

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar