Sabtu, 02 Januari 2016

Penjelasan Tentang Pernikahan Masa Jahiliyah Yang Dilarang Agama

Nikah, kumpul kebo, dan pelacuran termasuk perkara yang sudah ada dan dikenal dalam sistem masyarakat Jahiliyah. Ketika Islam datang dengan membawa hidayah dan agama yang benar kepada seluruh manusia, agama ini menetapkan syariat nikah dan mengatur hubungan antara laki-laki dan wanita dalam bentuk yang terbaik.‎

Bentuk-bentuk pernikahan, baik dalam arti akad maupun senggama, yang berlaku pada masa Jahiliyah secara jelas tergambar dalam uraian berikut.


عَنْ عُرْوَةَ اَنَّ عَائِشَةَ اَخْبَرَتْهُ: اَنَّ النِّكَاحَ فِى اْلجَاهِلِيَّةِ كَانَ عَلَى اَرْبَعَةِ اَنْحَاءٍ. فَنِكَاحٌ مِنْهَا نِكَاحُ النَّاسِ اْليَوْمَ. يَخْطُبُ الرَّجُلُ اِلَى الرَّجُلِ وَلِيَّتَهُ اَوِ ابْنَتَهُ فَيُصْدِقُهَا، ثُمَّ يَنْكِحُهَا.

Dari ‘Urwah : Sesungguhnya ‘Aisyah RA p‎ernah memberitahukan kepadanya, bahwa pernikahan di jaman jahiliyah itu ada 4 ‎macam. 1. Pernikahan seperti yang berlaku sekarang ini, yaitu seorang laki-laki meminang wanita atau anak perempuan kepada walinya, lalu membayar mahar,kemudian menikahinya.

وَ نِكَاحٌ آخَرُ كَانَ الرَّجُلُ يَقُوْلُ ِلامْرَأَتِهِ: اِذَا ظَهَرَتْ مِنْ طَمْثِهَا اَرْسَلَ اِلىَ فُلاَنٍ فَاسْتَبْضِعِى مِنْهُ وَ يَعْتَزِلُهَا زَوْجُهَا وَ لاَ يَمَسُّهَا حَتَّى يَتَبَيَّنَ حَمْلُهَا مِنْ ذلِكَ الرَّجُلِ الَّذِى تَسْتَبْضِعُ مِنْهُ، فَاِذَا تَبَيَّنَ حَمْلُهَا اَصَابَهَا زَوْجُهَا اِذَا اَحَبَّ. وَ اِنَّمَا يَفْعَلُ ذلِكَ رَغْبَةً فِى نَجَابَةِ اْلوَلَدِ. فَكَانَ هذَا النِّكَاحُ يُسَمَّى نِكَاحَ اْلاِسْتِبْضَاعِ.

Bentuk pernikahan yang lain yaitu, 2. seorang laki-laki berkata kepada istrinya, ketika istrinya itu telah suci dari haidl, “Pergilah kepada si Fulan, kemudian mintalah untuk dikumpulinya”, dan suaminya sendiri menjauhinya, tidak menyentuhnya sehingga jelas istrinya itu telah mengandung dari hasil hubungannya dengan laki-laki itu. Kemudian apabila telah jelas kehamilannya, lalu suaminya itu melanjutkan mengumpulinya apabila dia suka. Dan hal itu diperbuat karena keinginan untuk mendapatkan anak yang ‎cerdas (bibit unggul). Nikah semacam ini disebut nikah istibdla’.

وَ نِكَاحٌ آخَرُ يَجْتَمِعُ الرَّهْطُ دُوْنَ اْلعَشْرَةِ فَيَدْخُلُوْنَ عَلَى اْلمَرْأَةِ كُلُّهُمْ. فَيُصِيْبُوْنَهَا. فَاِذَا حَمَلَتْ وَ وَضَعَتْ وَ مَرَّ لَيَالٍ بَعْدَ اَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا اَرْسَلَتْ اِلَيْهِمْ، فَلَمْ يَسْتَطِعْ رَجُلٌ مِنْهُمْ اَنْ يَمْتَنِعَ حَتَّى يَجْتَمِعُوْا عِنْدهَا، فَتَقُوْلُ لَهُمْ. قَدْ عَرَفْتُمُ الَّذِى كَانَ مِنْ اَمْرِكُمْ، وَ قَدْ وَلَدْتُ فَهُوَ ابْنُكَ يَا فُلاَنُ، فَتُسَمِّى مَنْ اَحَبَّتْ بِاسْمِهِ. فَيُلْحَقُ بِهِ وَلَدُهَا لاَ يَسْتَطِيْعُ اَنْ يَمْتَنِعَ مِنْهُ الرَّجُلُ.

Kemudian bentuk yang lain, 3. Yaitu sejumlah laki-laki, kurang dari 10 orang berkumpul, lalu mereka semua mencampuri seorang wanita. ‎Apabila wanita tersebut telah hamil dan melahirkan anaknya, selang beberapa hari maka perempuan itu memanggil mereka dan tidak ada seorang pun diantara mereka yang ‎dapat menolak panggilan tersebut sehingga merekapun berkumpul di rumah perempuan itu. Kemudian wanita itu berkata kepada mereka, “Sungguh anda semua telahmengetahui urusan kalian, sedang aku sekarang telah melahirkan, dan anak ini adalah anakmu hai fulan”. Dan wanita itu menyebut nama laki-laki yang disukainya, ‎sehingga dihubungkanlah anak itu sebagai anaknya, dan laki-laki itupun tidak boleh menolaknya.

وَ نِكَاحٌ رَابِعٌ يَجْتَمِعُ النَّاسُ اْلكَثِيْرُ وَ يَدْخُلُوْنَ عَلَى اْلمَرْأَةِ لاَ تَمْتَنِعُ مِمَّنْ جَاءَهَا وَ هُنَّ اْلبَغَايَا. يَنْصُبْنَ عَلَى اَبْوَابِهِنَّ الرَّايَاتِ وَ تَكُوْنُ عَلَمًا. فَمَنْ اَرَادَهُنَّ دَخَل عَلَيْهِنَّ، فَاِذَا حَمَلَتْ اِحْدَاهُنَّ وَ وَضَعَتْ جَمَعُوْا لَهَا وَ دَعَوْ لَهَا اَلْقَافَةَ، ثُمَّ اْلحَقُوْا وَلَدَهَا بِالَّذِى يَرَوْنَ. فَالْتَاطَ بِهِ وَ دُعِيَ ابْنَهُ لاَ يَمْتَنِعُ مِنْ ذلِكَ. فَلَمَّا بَعَثَ اللهُ مُحَمَّدًا ص بِاْلحَقِّ هَدَمَ نِكَاحَ اْلجَاهِلِيَّةِ كُلَّهُ اِلاَّ نِكَاحَ النَّاسِ اْليَوْمَ. البخارى و ابو داود. فى نيل الاوطار 6:178-179
Bentuk ke-4 yaitu, berhimpun laki-laki yang ‎banyak, lalu mereka mencampuri seorang wanita yang memang tidak akan menolak setiap laki-laki yang mendatanginya, sebab mereka itu adalah pelacur-pelacur yang ‎memasang bendera-bendera di muka pintu mereka sebagai tanda, siapa saja yang ‎menginginkannya boleh masuk. Kemudian jika salah seorang diantara wanita itu ada yang hamil dan melahirkan anaknya, maka para laki-laki tadi berkumpul di situ, dan mereka pun memanggil orang-orang ahli firasat, lalu dihubungkanlah anak itu kepada ayahnya oleh orang-orang ahli firasat itu menurut anggapan mereka. Maka anak itupun diakuinya, dan dipanggil sebagai anaknya, dimana orang (yang dianggap sebagai ayahnya) itu tidak boleh menolaknya.Kemudian setelah Allah mengutus nabi Muhammad SAW sebagai Rasul dengan jalan haq, beliau menghapus pernikahan model ‎jahiliyah tersebut keseluruhannya, kecuali pernikahan sebagaimana yang berjalan sekarang ini. [HR. Bukhari, Abu Dawud ‎dalam Nailul Authar juz 6, hal. 178-179]‎

Sunan Abu Dawud Nomor 1934

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا عَنْبَسَةُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنِي يُونُسُ بْنِ  يَزِيدَ قَالَ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ مُسْلِمِ بْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ النِّكَاحَ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَنْحَاءٍ فَكَانَ مِنْهَا نِكَاحُ النَّاسِ الْيَوْمَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ وَلِيَّتَهُ فَيُصْدِقُهَا ثُمَّ يَنْكِحُهَا وَنِكَاحٌ آخَرُ كَانَ الرَّجُلُ يَقُولُ لِامْرَأَتِهِ إِذَا طَهُرَتْ مِنْ طَمْثِهَا أَرْسِلِي إِلَى فُلَانٍ فَاسْتَبْضِعِي مِنْهُ وَيَعْتَزِلُهَا زَوْجُهَا وَلَا يَمَسُّهَا أَبَدًا حَتَّى يَتَبَيَّنَ حَمْلُهَا مِنْ ذَلِكَ الرَّجُلِ الَّذِي تَسْتَبْضِعُ مِنْهُ فَإِذَا تَبَيَّنَ حَمْلُهَا أَصَابَهَا زَوْجُهَا إِنْ أَحَبَّ وَإِنَّمَا يَفْعَلُ ذَلِكَ رَغْبَةً فِي نَجَابَةِ الْوَلَدِ فَكَانَ هَذَا النِّكَاحُ يُسَمَّى نِكَاحَ الِاسْتِبْضَاعِ وَنِكَاحٌ آخَرُ يَجْتَمِعُ الرَّهْطُ دُونَ الْعَشَرَةِ فَيَدْخُلُونَ عَلَى الْمَرْأَةِ كُلُّهُمْ يُصِيبُهَا فَإِذَا حَمَلَتْ وَوَضَعَتْ وَمَرَّ لَيَالٍ بَعْدَ أَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا أَرْسَلَتْ إِلَيْهِمْ فَلَمْ يَسْتَطِعْ رَجُلٌ مِنْهُمْ أَنْ يَمْتَنِعَ حَتَّى يَجْتَمِعُوا عِنْدَهَا فَتَقُولُ لَهُمْ قَدْ عَرَفْتُمْ الَّذِي كَانَ مِنْ أَمْرِكُمْ وَقَدْ وَلَدْتُ وَهُوَ ابْنُكَ يَا فُلَانُ فَتُسَمِّي مَنْ أَحَبَّتْ مِنْهُمْ بِاسْمِهِ فَيَلْحَقُ بِهِ وَلَدُهَا وَنِكَاحٌ رَابِعٌ يَجْتَمِعُ النَّاسُ الْكَثِيرُ فَيَدْخُلُونَ عَلَى الْمَرْأَةِ لَا تَمْتَنِعُ مِمَّنْ جَاءَهَا وَهُنَّ الْبَغَايَا كُنَّ يَنْصِبْنَ عَلَى أَبْوَابِهِنَّ رَايَاتٍ يَكُنَّ عَلَمًا لِمَنْ أَرَادَهُنَّ دَخَلَ عَلَيْهِنَّ فَإِذَا حَمَلَتْ فَوَضَعَتْ حَمْلَهَا جُمِعُوا لَهَا وَدَعَوْا لَهُمْ الْقَافَةَ ثُمَّ أَلْحَقُوا وَلَدَهَا بِالَّذِي يَرَوْنَ فَالْتَاطَهُ وَدُعِيَ ابْنَهُ لَا يَمْتَنِعُ مِنْ ذَلِكَ فَلَمَّا بَعَثَ اللَّهُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَدَمَ نِكَاحَ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ كُلَّهُ إِلَّا نِكَاحَ أَهْلِ الْإِسْلَامِ الْيَوْمَ‎

Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Shalih], telah menceritakan kepada kami ['Anbasah bin Khalid], telah menceritakan kepadaku [Yunus bin Yazid], ia berkata; [Muhammad bin Muslim bin Syihab] berkata; telah mengabarkan kepadaku ['Urwah bin Az Zubair], bahwa [Aisyah] radliallahu 'anha isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ia telah mengabarkan kepadanya bahwa pernikahan pada masa jahiliyah berdasarkan empat macam, diantara pernikahan tersebut adalah pernikahan orang-orang pada zaman sekarang, yaitu seorang laki-laki melamar wali wanita seseorang kepadanya, kemudian memberinya mahar, kemudian laki-laki tersebut menikahinya. Dan pernikahan yang lain adalah seorang laki-laki berkata kepada isterinya; apabila ia telah suci dari haidnya; pergilah kepada si Fulan dan bersetebuhlah dengannya! Dan suaminya meninggalkannya serta tidak menggaulinya selamanya hingga jelas kehamilannya dari laki-laki yang telah mensetubuhinya tersebut. Kemudian apabila telah jelas kehamilannya maka suaminya menggaulinya apabila ia berkeinginan, dan ia melakukan hal tersebut karena ingin mendapatkan kecerdasan anak tersebut. Dan pernikahan ini dinamakan pernikahan istibdha', nikah yang lain adalah beberapa orang kurang dari sepuluh berkumpul dan menemui seorang wanita dan seluruh mereka menggaulinya, kemudian apabila wanita tersebut hamil dan telah melahirkan serta telah berlalu beberapa malam setelah melahirkan kandungannya, ia mengirimkan utusan kepada mereka dan tidak ada seorangpun diantara mereka yang dapat menolak hingga mereka berkumpul di hadapannya. Lalu wanita itu berkata kepada mereka; kalian telah mengetahui permasalahan kalian dahulu, sementara aku telah melahirkan, dan ia adalah anakmu wahai Fulan. Wanita tersebut menyebutkan nama orang yang ia senangi diantara mereka, maka anak tersebut mengikutinya. Dan pernikahan yang keempat adalah orang banyak berkumpul dan mendatangi wanita yang tidak menolak siapapun yang datang kepadanya, mereka adalah para pelacur dan dahulu mereka menancapkan bendera di atas pintu mereka yang menjadi tanda bagi orang yang menginginkan mereka serta menemui mereka. Kemudian apabila wanita tersebut hamil dan telah melahirkan kandungannya mereka dikumpulkan dan mereka datangkan orang yang pandai mengenai jejak, kemudian mereka menisbatkan anak tersebut kepada orang yang mereka lihat, kemudian orang tersebut mengambilnya sebagai anak dan anak tersebut dipanggil sebagai anaknya, orang tersebut tidak boleh menolaknya. Kemudian tatkala Allah mengutus Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, beliau menghancurkan seluruh pernikahan jahiliyah kecuali pernikahan orang Islam pada saat ini. [HR. Abu Dawud Nomor 1934]‎

Penjelasan Hadits Tentang Jenis Pernikahan Jahiliyah 


Sudah membudaya pada masyakat Jahiliah pada saat itu pernikahan-pernikahan berikut ini:
Nikahul-badl, yaitu seorang lelaki merelakan istrinya untuk lelaki lain, agar orang lain tersebut merelakan istrinya kepadanya. Tujuan pernikahan semacam ini adalah memuaskan nafsu seksual kaum laki-laki.

Imam Ad-Daraquthni, dalam As-Sunan, meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah yang menyatakan bahwa badal pada masa Jahiliyah terjadi jika seorang laki-laki berkata kepada yang lain, “Singgahkanlah istrimu untukku dan aku akan menyediakan istriku bagimu. Bahkan aku bisa menambah (masanya)”.
Keterangan:
Hadis ini lengkapnya sebagai berikut, “Allah SWT menurunkan ayat (Dan janganlah engkau menggantikan pasanganmu walaupun kecantikannya membuat kamu kagum). Ia berkata, ‘Lalu Uyainah bin Hishan al-Fazari menghadap Rasulullah Saw sedangkan di samping Rasul ada Aisyah. Ia masuk tanpa izin. Lalu Rasulullah Saw bersabda kepadanya, ‘Hai Uyainah, di mana kau letakkan permintaan izin?’ Ia menjawab, ‘Ya Rasulullah, aku tidak pernah meminta izin kepada seorang pun di kalangan Mudhar sejak aku mengenalnya’. Ia berkata lagi, ‘Siapakah al-humaira (yang kulitnya kemerah-merahan) yang ada di sampingmu ini?’ Rasul menjawab, ‘Ini Aisyah Ummul Mukminin’. Ia berkata lagi, ‘Bukankah telah turun bagimu dari orang yang paling baik akhlaknya’. Beliau bersabda, ‘Hai Uyainah, sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal itu’. Abu Hurairah berkata, ‘Maka ketika ia keluar, Aisyah bertanya, ‘Ya Rasulullah, siapakah dia?’ Rasul menjawab, ‘Orang dungu yang ditaati dan ia, sebagaimana engkau lihat, adalah tokoh bagi kaumnya’. Demikianlah periwayatan hadis tersebut.

Nikahur rahth, yaitu sejumlah laki-laki kurang dari sepuluh orang menggauli seorang perempuan, mereka mencampurinya secara bergantian dalam selang waktu yang tidak begitu lama; setelah itu si perempuan menolak hubungan seks dengan mereka, apabila ia hamil, lalu melahirkan, maka ia memanggil semua lelaki yang telah mencampurinya itu kemudian ia menentukan ayah bayi yang baru lahir tersebut dari salah satu di antara mereka yang ia suka, lalu lelaki itu pun menerimanya dan nasab bayi itupun dengan sendirinya disahkan kepada mereka berdua.‎‎

Nikah Syigar (silang), Nikah syighar ialah apabilah seorang laki-laki menikahkan seorang perempuan dibawah kekuasaanya dengan laki-laki lain, dengan syarat bahwa lelaki ini menikahkan anaknya tanpa membayar mahar. Nikah syighar adalah nikah pertukaran. Ilustrasinya adalah bahwa seorang laki-laki memiliki seorang anak perempuan, lalu ada seorang laki-laki yang ingin menikahi anaknya itu, karena ia tidak memiliki uang untuk membayar mahar, ia pun menikahkan anaknya tanpa harus membayar mahar. Oleh karena itu, nikah syighar seperti tukar guling, seorang wali memberikan anak perempuanya kepada seorang laki-laki untuk dinikahi, sedangkan seorang laki-laki yang dimaksudkan membebaskan mahar bagi wali yang telah memberikan anaknya. Hukum nikah syighat menurut kesepakatan para ulama adalah haram.
Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim menyatakan:
قال رسول الله صلي الله علبه وسلم:: لا شغار في الاسلام۰(رواه مسلم)


“Rasulullah SAW. Telah bersabda, Tidak ada syighar dalam islam(H. R. Imam Muslim)

عن ابن عمر, نهي رسول الله صلي الله عليه وسلم عن  الشغاري والشغار, ان يقول الرجال الرجال, زوجني ابنتك علي ان ازوجك ابنتي او لختي وليس بينهما صداق۰(رواه ابن ماجه)
 
“Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW. Melarang kawin syighar, dan contoh kawin syighar, yaitu seorang laki-laki berkata kepada temanya,” kawinkanlah putrimu atau saudara perempuanmu dengan saya, nanti saya kawinkan kamu dengan putriku atau saudara perempuanku dengan syarat keduanya bebas mahar.” (H.R. ibnu majah).

Nikahul istibdha’, contohnya adalah seorang suami mengatakan kepada istrinya sesudah ia bersih dari haidh, “Datanglah kepada lelaki yang terkenal dengan keberanian dan kedermawanannya itu, lalu mintalah bersenggama dengannya”. Tujuannya adalah agar ia memperoleh seseorang yang mempunyai sifat seperti sifat orang yang terkenal dengan keberanian dan kedermawanannya itu. Selagi si istri belum hamil dari hubungannya dengan laki-laki yang dimaksud, maka sang suami tidak akan mendekatinya.

Nikahul Khadan wash-shadaqah (kawin selingkuh). Adalah merupakan kebiasaan orang-orang di masa Jahiliyah mengatakan (kepada laki-laki): “Sembunyi-sembunyilah (dalam berzina) dan itu tidak apa-apa, yang tercela adalah kalau dilakukan secara terang-terangan”. Maka Islam datang mengharamkan dua bentuk hubungan seks ini, seraya Allah berfirman,artinya, “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan keji (zina), baik yang tampak maupun yang tersembunyi.”

Nikahul katsrah, yaitu datang sejumlah laki-laki kepada seorang perempuan yang biasa melakukan pelacuran, lalu mereka melakukan hubungan sek dengannya, hingga apabila si perempuan itu hamil dan melahirkan, maka mereka pun menghadiri si perempuan jalang itu, lalu orang yang ahli dalam masalah kemiripan menentukan ayah bayi itu di antara salah seorang mereka yang paling mirip dengannya, maka bayi itu ditentukan sebagai anaknya.

Dalam masyarakat modern ini pun masih terdapat pernikahan-pernikahan (perkawinan) yang mirip dan sama dengan pernikahan-pernikahan tersebut di atas, dengan cara dan model yang baru. Sebagai contoh, apa yang disebut di zaman Jahiliah dengan nikahu istibdha’ ada di zaman kita sekarang ini, yaitu apa yang disebut dengan “proses pembuahan janin secara medis” (talqih shina’iy). Yaitu menyuntikkan sperma laki-laki lain (bukan suami) yang dikenal dengan kesuburannya ke dalam rahim seorang istri atas persetujuan dia dan suaminya. Dan ada kalanya penyuntikan itu berulang-ulang beberapa kali, bahkan adakalanya seperma pun berasal dari beberapa orang lelaki, dan laki-laki itu terkadang masih ada hubungan kerabat dengan si perempuan itu dan ada kalanya tidak demikian. 

Yang sama dengan nikahul-badl di mana dahulu pernah ada di dalam masyarakat Jahiliyah adalah apa yang dikenal pada abad modern ini dan di masyarakat Amerika dengan nama “saling bergantian istri”. Gonta ganti pasangan ini dapat tercapai dengan berbagai cara, di antaranya adalah melalui permainan rullete (permainan berasal dari Italia). Ringkasnya, dalam permainan ini beberapa istri berkumpul dalam bentuk lingkaran, lalu salah seorang suami duduk di tengah-tengah lingkaran tersebut sambil memutar cermin ke arah lingkaran itu, apabila cermin itu berhenti pada salah seorang di antara para perempuan itu, maka si perempuan itu pun berdiri dan pergi bersama lelaki yang memutar cermin tadi untuk tidur bersamanya selama satu malam. 

Di sana masih ada satu hal lagi yang sangat mendasar di dalam permainan gila tadi, yaitu istri si lelaki yang memutar cermin tidak diperbolehkan duduk bersama para perempuan di dalam lingkaran di saat suaminya sedang memutar cermin, karena dikhawatirkan cermin berhenti menghadap kepada istrinya sendiri, sebab pada dasarnya si suami tidak menghendakinya dan yang ia kehendaki adalah istri orang lain. 

Saling bergantian istri di atas sangat mirip dengan nikah Mut’ah atau Nikah syighar yang dikenal di masa jahiliyah, sebab pembatasan waktu menggauli istri (orang lain) dalam satu malam itu membuatnya hampir sama dengan nikah mut’ah; sedangkan kerelaan menyerahkan istri untuk digauli oleh lelaki lain dengan syarat istrinya direlakan untuk digaulinya sangat mirip dengan nikah syighar.

Nikah Mut’ah. Bentuk pernikahan ini tidak bertujuan kecuali kenikmatan seksual belaka, dan itu merupakan nikah dalam jangka waktu tertentu. Adakalanya jangka waktunya itu telah sama-sama diketahui, seperti si wali mengatakan kepada laki-laki (yang akan menikah), “Saya nikahkan kamu dengan putriku”, atau “saudara perempuanku dalam jangka waktu satu hari saja”, atau “satu bulan saja”, atau “satu tahun”. Dan ada kalanya tidak diketahui jangka waktunya, seperti seseorang mengatakan, “Aku nikahkan kamu dengan putriku”, atau “dengan saudariku hingga si anu datang dari kepergiannya”. Maka apabila sehari atau sebulan berlalu, sebagaimana kesepakatan, atau si anu tadi datang dari perjalanan jauhnya, maka kedua pasangan sudah harus berpisah. 

Islam pada awal mulanya membolehkan pernikahan mut’ah itu karena kondisi tertentu, yang pada awalnya untuk memberi kesempatan waktu agar jiwa siap untuk meninggalkan suatu tradisi yang biasa mereka dilakukan sebelum Islam. Ini adalah salah satu metode pendekatan yang dilakukan oleh Islam di dalam menanggulangi beberapa problematika sosial, sebagaimana terjadi ketika mengharamkan minuman keras (khamar) secara bertahap tidak sekaligus. Setelah jiwa mereka siap menerima pergeseran dari tradisi yang sudah mengakar kuat tersebut, maka nikah mut’ah diharamkan hingga hari kiamat. 

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menuturkan tentang hal di atas: “Kami pernah berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kami tidak membawa istri, maka di antara kami ada yang berkata, “Mengapa kita tidak mengkebiri diri saja?” Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kami akan perbuatan itu, lalu beliau memberikan keringanan bagi kami nikah kontrak dengan mahar pakaian.” (Ini adalah suatu riwayat yang muttafaq ‘alaih). 

Sesungguhnya diperbolehkannya nikah mut’ah itu tidak mempunyai kaedah hukum kontinu atau abadi, karena terdapat riwayat yang dinukil oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

إِنِّيْ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي اْلاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَأَنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيْلَهُ، وَلاَ تَأْخُذُوْا مِمَّا آتيَتْمُوْهُنَّ شَيْئًا.

“Sesungguhnya aku dahulu pernah mengijinkan kalian nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat. Maka Barangsiapa di antara kalian yang masih mempunyai ikatan mut’ah dengan mereka (para perempuan) maka hendaklah ia membebaskannya, dan janganlah kalian mengambil sesuatu yang telah diberikan kepada mereka.” 

Berdasarkan hadits di atas pengharaman nikah mut’ah adalah pengharaman abadi sepanjang masa, tidak ada batas waktunya. Inilah yang dipegang teguh oleh para Ulama dan para ahli fiqih di seluruh penjuru dunia, selain sekte (agama) Syi’ah yang berpandangan bahwa nikah mut’ah adalah merupakan salah satu bentuk pernikahan yang diperbolehkan di dalam Islam, dan ia utuh selagi prinsip-prinsip ajaran Islam utuh. Mereka dalam masalah ini menolak hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para shahabat Nabi yang bukan dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan anggapan bahwa para shahabat itu tidak adil, karena tidak mengakui keberhakkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu memegang tampuk Khilafah sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. 

Bentuk pernikahan seperti ini, dalam pandangan penulis, tidak lain hanya sebagai legalisasi dari perzinaan, dan sangat serupa dengan praktik yang dikenal pada zaman modern ini dengan hubungan perselingkuhan antara laki-laki dan perempuan, apabila kita menganggap bahwa pemberian hadiyah lelaki kepada lawan jenisnya itu sebagai (upah) mahar. 

Semua bentuk pernikahan tersebut di atas menunjukkan betapa buruknya status dan kondisi perempuan di dalam masyarakat non muslim yang komitmen kepada Islamnya, juga menunjukkan, setidaknya, tidak adanya perhatian terhadap harkat dan martabat kaum perempuan. 

Maka ketika Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau hapuskan semua pernikahan kaum Jahiliyah tersebut kecuali pernikahan yang ada saat ini.

Dalam tradisi mereka, antara laki-laki dan wanita harus selalu berkumpul bersama dan diadakan dibawah kilauan ketajaman mata pedang dan hulu-hulu tombak. Pemenang dalam perang antar suku berhak menyandera wanita-wanita suku yang kalah dan menghalalkannya. Anak-anak yang ibunya mendapatkan perlakuan semacam ini akan mendapatkan kehinaan semasa hidupnya.

Kaum Jahiliyah terkenal dengan kehidupan dengan banyak isteri (poligami) tanpa batasan tertentu. Mereka mengawini dua bersaudara, mereka juga mengawini isteri bapak-bapak mereka bila telah ditalak atau karena ditinggal mati oleh bapak mereka.

Allah berfirman:

وَلاَ تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ آبَاؤُكُم مِّنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتاً وَسَاء سَبِيلاً  حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (Dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”. [Q.,s. 4/an-Nisa’: 22-23].

Maka dari itu Islam menghapus semua bentuk praktik pernikahan tersebut, sekaligus mendekralasikan bahwa harkat dan martabat kaum perempuan di masyarakat yang sebenarnya tidak sejalan dengan pelecehan yang tidak layak bagi kaum perempuan sebagai sosok manusia yang seharusnya memperoleh penghormatan dan penghargaan. Islam mengganti paraktik-praktik pernikahan hina itu dengan satu bentuk pernikahan yang mempunyai nilai ikatan suci antara laki-laki dan perempuan yang dibangun di atas dasar kerelaan, rasa cinta dan sama-sama berupaya untuk saling merealisasikan kebahagiaan di antara kedua pasangan suami-istri sepanjang hayat; sebagaimana Allah tegaskan di dalam firman-Nya:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kamu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Rum: 21). ‎

Pernikahan yang Dilarang Dalam Islam

1. Nikah Syighar

عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص نَهَى عَنِ الشِّغَارِ. وَ الشِّغَارُ اَنْ يُزَوِّجَ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ عَلَى اَنْ يُزَوِّجَهُ ابْنَتَهُ وَ لَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ. الخمسة، لكن الترمذى لم يذكر تفسير الشغار. و ابو داود جعله من كلام نافع. و هو كذلك فى رواية احمد و البخارى و مسلم


Dari Nafi’ dari Ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah SAW melarang nikah syighar. Sedang nikah syighar itu ialah seorang laki-laki menikahkan anak perempuannya kepada seseorang dengan syarat imbalan, ia harus dikawinkan dengan anak perempuan orang tersebut, dan keduanya tanpa mahar. [HR. Jama’ah, tetapi Tirmidzi tanpa menyebutkan penjelasan arti syighar dan Abu Dawud menjadikan penjelasan arti syighar itu sebagai perkataan Nafi’. Dan hadits seperti itu diriwayatkan juga oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim].

Yaitu seseorang menikahkan orang lain dengan anak perempuannya, saudara perempuannya atau selain dari keduanya yang masih dalam perwaliannya dengan syarat ia, anaknya atau anak saudaranya juga dinikahkan dengan anak perempuan, saudara perempuan atau anak perempuan dari saudara orang yang dinikahkan tersebut.

Pernikahan seperti ini tidaklah sah (rusak), baik dengan menyebutkan mahar ataupun tidak. Karena Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah melarang keras hal tersebut dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” [Al-Hasyr: 7]

Dalam ash-Shahiihain dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الشِّغَارِ.

“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang nikah Syighar” [Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/162, no. 5112), Shahiih Muslim (II/1034, no. 1415), Sunan an-Nasa-i (VI/112).]

Dan dalam Shahiih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang nikah syighar. Beliau bersabda:

وَالشِّغَارُ أَنْ يَقُوْلَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: زَوِّجْنِي ابْنَتَكَ وَأُزَوِّجُكَ ابْنَتِيْ، أَوْ زَوِّجْنِيْ أُخْتَكَ وَأُزَوِّجُكَ أُخْتِيْ.

“Dan nikah syighar adalah, seseorang berkata kepada orang lain, ‘Nikahkan aku dengan anak perempuanmu, maka aku akan menikahkan anak perempuanku denganmu,’ atau, ‘Nikahkan aku dengan saudara perempuanmu, maka aku nikahkan engkau dengan saudara perempuan-ku.’” [Shahih:Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 808), Shahiih Muslim (II/1035, no. 1416)]

Dalam hadits yang lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ شِغَارَ فِي اْلإِسْلاَمِ.

“Tidak ada nikah syighar dalam Islam.” [Shahih:Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7501), Shahiih Muslim (II/ 1035, no. 1415 (60))]

Beberapa hadits shahih yang telah disebutkan di atas menjadi dalil atas keharaman dan rusaknya nikah syighar, juga menunjukkan bahwa perbuatan tersebut menyelisihi syari’at Allah. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan apakah dalam nikah syighar tersebut disebutkan maskawin ataupun tidak.

Adapun apa yang disebutkan dalam riwayat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma tentang tafsir syighar, yaitu: seseorang menikahkan orang lain dengan anak perempuannya dengan syarat ia dinikahkan dengan anak perempuan orang itu juga tanpa ada maskawin di antara keduanya. Para ulama telah menyebutkan bahwa sebenarnya tafsir tersebut berasal dari perkataan Nafi’ yang meriwayatkan hadits dari Ibnu ‘Umar dan bukan merupakan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan tafsir Nikah Syighar dari beliau adalah hadits riwayat Abu Hurairah yang telah disebutkan di atas, yaitu: seseorang menikahkan orang lain dengan anak perempuan atau saudara perempuannya dengan syarat ia dinikahkan dengan anak perempuan atau saudara perempuannya pula, dan Rasulullah Shallallahu ‘aliahi wa sallam tidak menyebutkan tentang tidak adanya maskawin di antara keduanya.

Hal ini menunjukkan bahwasanya dengan menyebutkan atau tanpa menyebutkan maskawin dalam nikah syighar tidak berpengaruh apa pun. Akan tetapi yang menyebabkan rusaknya nikah tersebut adalah adanya syarat mubadalah (pertukaran).

Perbuatan tersebut mengandung kerusakan yang sangat besar karena akan mengakibatkan adanya pemaksaan terhadap wanita atas pernikahan yang tidak diinginkannya karena mementingkan maslahat bagi para wali dengan mengenyampingkan maslahat wanita. Tidak diragukan lagi bahwa hal tersebut merupakan kemunkaran dan kezhaliman terhadap kaum Hawa. Pernikahan semacam ini akan dapat mengakibatkan wanita tidak mendapatkan maskawin seperti wanita-wanita lainnya sebagaimana yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang melakukan akad pernikahan yang munkar ini kecuali orang yang dikehendaki oleh Allah. Sebagaimana juga dapat mengakibatkan perselisihan dan permusuhan setelah terjadinya pernikahan. Dan yang demikian itu termasuk hukuman Allah yang disegerakan bagi orang yang menyelisihi syari’at-Nya. ‎

2. Nikah Muhallil

Nikah tahlil, ialah seorang laki-laki menikahi wanita dengan niat akan menceraikannya setelah mencampurinya agar wanita itu bisa menikah kembali dengan bekas suaminya yang telah menthalaqnya tiga kali. Maka laki-laki tersebut disebut Muhallil, adapun bekas suami/istri yang menghendaki demikian disebut ‎Muhallal lahu.

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ ص اْلمُحَلِّلَ وَ اْلمُحَلَّلَ لَهُ. احمد و النسائى و الترمذى و صححه


Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Rasulullah SAW melaknat muhallil (yang menghalalkan) dan orang yang dihalalkannya”. [HR. Ahmad, Nasai dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi mengesahkannya].‎

Yaitu, seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang sudah ditalak tiga kali setelah selesai ‘iddahnya, kemudian mentalak kembali dengan tujuan agar wanita itu dibolehkan menikah kembali dengan suaminya yang pertama.

Pernikahan semacam ini termasuk salah satu di antara dosa-dosa besar dan perbuatan keji. Hukumnya adalah haram, baik keduanya mensyaratkan pada saat akad, atau keduanya telah sepakat sebelum akad atau dengan niat salah satu di antara keduanya. Dan orang yang melakukannya akan dilaknat.

Dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, ia berkata:

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat al-Muhallil (laki-laki yang menikahi seorang wanita dengan tujuan agar perempuan itu dibolehkan menikah kembali dengan suaminya yang pertama) dan al-Muhallal lahu (laki-laki yang menyuruh muhallil untuk menikahi bekas isterinya agar isteri tersebut dibolehkan untuk dinikahinya lagi) [Shahih: Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 5101), Sunan Abi Dawud (VI/88, no. 2062), Sunan at-Tirmidzi (II/294, no. 1128), Sunan Ibni Majah (I/622, no. 1935).]

Dan dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِالتَّيْسِ الْمُسْتَعَارِ؟ قاَلُوْا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: هُوَ الْمُحَلِّلُ، لَعَنَ اللهُ المُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ.

‘Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang at-Taisil Musta’aar (domba pejantan yang disewakan)?” Para Sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah” Beliau kemudian bersabda, “Ia adalah al-Muhallil, Allah akan melaknat al-Muhallil dan al-Muhallal lahu.’” [Hasan:[Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1572)], Sunan Ibni Majah (I/623, no. 1936), al-Mustadrak (II/198), al-Baihaqi (VII/208)]

Dari ‘Umar bin Nafi’ dari bapaknya, bahwasanya ia berkata:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عُمَرَ c فَسَأَلَهُ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلاَثًا، فَتَزَوَّجَهَا أَخٌ لَهُ مِنْ غَيْرِ مُؤَامَرَةٍ مِنْهُ لِيَحِلَّهُ ِلأَخِيْهِ، هَلْ تَحِلُّ لِلأَوَّلِ؟ قَالَ: لاَ، إِلاَّ نِكَاحَ رَغْيَةٍ، كُنَّا
نَعُدُّ هَذَا سَفَاحًا عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

“Telah datang seorang lelaki kepada Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu dan menanyakan tentang seseorang yang telah menceraikan isterinya dengan talak tiga, kemudian saudara laki-lakinya menikahi wanita tersebut tanpa adanya persetujuan dengan suami pertama agar wanita tersebut halal kembali bagi saudaranya, maka apakah wanita tersebut halal dinikahi kembali oleh suaminya yang pertama?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali nikah yang didasari rasa suka, kami menganggap hal tersebut adalah suatu hal yang keji pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil VI/311], Mustadrak al-Hakim (II/199), al-Baihaqi (VII/208)]

3. Nikah Mut’ah

Disebut juga dengan az-Zawaj al-Mu’aqqat (nikah sementara) dan az-Zawaj al-Munqati’ (nikah terputus), yaitu, seorang laki-laki menikahi seorang perempuan untuk jangka waktu satu hari, satu minggu atau satu bulan atau beberapa waktu yang telah ditentukan.

Para ulama telah sepakat atas pengharaman nikah mut’ah dan jika terjadi, maka nikahnya adalah bathil. [Fiqhus Sunnah (II/35)]

Dari Shabrah Radhiyallahu anhu, ia berkata:

أَمَرَنَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمُتْعَةِ عَامَ الْفَتْحِ حِيْنَ دَخَلْنَا مَكَّةَ، ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ حَتَّى نَهَانَا عَنْهَا.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh kami untuk melakukan mut’ah pada saat pembukaan kota Makkah tatkala kami memasuki Makkah, kemudian kami tidak keluar darinya sampai beliau melarangnya kembali.” [Shahih: Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 812), Shahiih Muslim (II/1023, no. 1406)]

4. Nikah Dengan Niat Talak

Syaikh Sayyid Sabiq -rahimahullah- dalam kitab Fiqhus Sunnah (II/38) berkata, “Para ahli fiqih telah sepakat bahwa orang yang menikahi wanita tanpa mensyaratkan zaman, akan tetapi ia mempunyai niat untuk menceraikannya setelah beberapa waktu atau setelah keperluannya di negara yang sedang ia tempati telah selesai, maka nikahnya tetap sah.”

Akan tetapi al-Auza’i -rahimahullah- menyelisihi pendapat tersebut dan menganggapnya termasuk nikah mut’ah.

Syaikh Rasyid Ridha -rahimahullah- berkomentar tentang masalah ini dalam tafsir al-Manaar, “Bahwa sikap keras para ulama Salaf (terdahulu) dan khalaf (yang datang belakangan) dalam mengharamkan nikah mut’ah menunjukkan atas pengharaman mereka terhadap nikah dengan niat talak, meskipun para ahli fiqih menyatakan bahwa akad nikah dianggap sah jika seseorang berniat menikah untuk beberapa waktu saja tanpa mensyaratkannya di dalam shighah akad.

Akan tetapi menyembunyikan niat talak tersebut termasuk tipuan dan kecurangan sehingga hal itu dinilai lebih dekat dengan kebathilan daripada sebuah akad yang dengan terang-terangan mensyaratkan adanya jenjang waktu yang telah diridhai antara pihak laki-laki, wanita dan wali. Tidak ada kerusakan yang disebabkan oleh nikah semacam ini kecuali berbuat curang terhadap ikatan kemanusiaan yang sangat agung dan lebih mengutamakan di ladang syahwat antara para penikmat syahwat laki-laki dan wanita yang menimbulkan kemunkaran.

Jika dalam akad pernikahan tersebut tidak disyaratkan adanya jenjang waktu, maka yang demikian itu termasuk penipuan dan kecurangan yang akan menyebabkan kerusakan dan permasalahan seperti permusuhan dan kebencian serta hilangnya kepercayaan sampai pun kepada orang yang benar-benar akan menikah secara sah dan serius, yaitu untuk saling menjaga antara suami dan isteri, adanya keikhlasan di antara keduanya dan saling tolong-menolong dalam membangun rumah tangga yang sakinah.”

(Aku berkata), “Apa yang dikatakan oleh Rasyid Ridha diperkuat oleh atsar ‘Umar bin Nafi’ dari bapaknya, bahwasanya ia berkata, ‘Telah datang seorang laki-laki kepada Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma dan menanyakan tentang seseorang yang telah menceraikan isterinya dengan talak tiga, kemudian saudara laki-lakinya menikahi perempuan tersebut tanpa adanya persetujuan dengan suami yang pertama, agar perempuan tersebut halal kembali bagi saudaranya, maka apakah perempuan tersebut halal dinikahi kembali oleh suaminya yang pertama?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, kecuali nikah yang didasari rasa suka, kami menganggap hal tersebut adalah suatu hal yang keji pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’”
Wallohul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar