Jumat, 12 Februari 2016

Aku Belajar Filsafat Dari Pengamen Saat Di Bus Sinar Jaya

Pengertian yang pengamen dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Dalam kamus online pengamen ditulis sebagai “beg while singing playing musical instruments or reciting prayers, atau be persistent (memaksa).” Jadi pengertian-pengertian yang diberikan dalam beberapa kamus pengertiannya hampir sama. Kegiatan bermain musik dari satu tempat ke tempat lain dengan mengharapkan imbalan sukarela atas pertunjukan yang mereka suguhkan. Namun karya yang mereka suguhkan berbeda-beda, baik dari segi bentuk dan kwalitas maupun performanya.

Oleh sebab itu pengamen bahkan sering disebut pula identik sebagai penyanyi jalanan yang ada di perkotaan atau setempat, sementara itu musik-musik yang dimainkan umumnya disebut sebagai Musik Jalanan. Pengertian antara musik jalanan dengan penyanyi jalanan secara terminology (bahasa) tidaklah sederhana, karena musik jalanan dan penyanyi jalanan masing-masing mempunyai disiplin dan pengertian yang spesifik bahkan dapat dikatakan suatu bentuk dari sebuah warna musik yang berkembang di dunia kesenian.

Pengamen di dalam angkutan umum, dalam hal ini bus, di ibu kota Indonesia merupakan hal yang tidak asing. Ketika menaiki bus, kecuali, Transjakarta—yang memunyai jalur khusus (busway)—kita bakal bertemu dengan pengamen, yang mana merupakan hal yang kadang memang tidak bisa dielakkan. Hampir bisa dipastikan bus yang kita tumpangi (akan/sudah) terdapat pengamen didalamnya. Tentu, fenomena pengamen bisa dilihat dengan berbagai sudut, multidisipliner dan multidimensi. Katakanlah dari sisi sosiologis dan ekonomi, misalnya. Akan tetapi, saya bakal menulis pengalaman saya soal pengamen yang enam jam lalu saya temui di dalam bus, bertumpu pada sudut filosofis.

“Terima kasih atas partisipasinya dalam memberi. Dan untuk yang belum bisa bepartisipasi, saya ucapkan terima kasih juga. Dan, mohon maaf jika saya mengganggu,” demikian pengamen tersebut menutup pekerjaannya.

Partisipasi? Secara epistemologis, kata “partisipasi” mengandaikan kesalinghubungan antara berbagai hal, katakanlah subjek dan objek. Dalam “partisipasi” subjek dan objek bukan merupakan hal yang terpisah samasekali. Hal ini berbeda dengan kata “pengamat” (subjek/observer), yang mengandaikan keterpisahan atas yang diamatinya (objek/observed). Dalam partisipasi, kata “subjek” dan “objek” ditulis menjadi “subjek-objek”, sebab diandaikan atas ketidakterpisahan antara keduanya. Berbeda dengan pengamat dan yang diamati, hal itu menjadi “subjek dan objek”, sebab diandaikan atas keterpisahannya.

Pertanyaan kita di sini ialah, apakah bisa subjek dan objek dipisahkan samasekali? Bisakah objek hadir kepada sang subjek tanpa dipengaruhi peranan subjek? Apakah subjek tidak turut mengkonstruksi objek? Jika subjek dan objek terpisah samasekali, bagaimana mengandaikan status eksistensi keduanya? Dan bagaimana menjelaskan pola relasi keduanya, jika kedua hal itu terpisah? Mengapa kover Kata Zine edisi ketiga oleh kolega saya yang teolog itu dikatakan secara estetika mengandung asumsi kekerasan, sedangkan bagi saya malah dianggap sebagai hal yang jauh dari samasekali kekerasan, melainkan suatu ungkapan metaforik dalam memaknai hidup itu sendiri—padahal kita berdua melihat objek yang sama, yakni kover Kata Zine edisi ketiga?

Tentu saja saya tidak akan memaparkan dan menjelaskan pertanyaan tersebut secara rigorus. Paling tidak saya akan mencoba mengilustrasikan bahwa subjek dan objek samasekali tidak bisa dipisah. Andaikan, jika Anda suatu saat melihat (siaran) pertandingan sepak bola, maka perhatikan reaksi para penonton terhadap pertandingan tersebut. katakanlah ada dua kesebelasan, yakni A dan B. Untuk pendukung A, tentu saja gol yang diciptakan oleh kesebelasan A merupakan hal yang menggembirakan. Hal itu beda dengan pendukung kesebelasan B. Gol yang diciptakan itu merupakan kesedihan untuk mereka. Jelas, fenomena yang terjadi di sini ialah gol. Akan tetapi, gol tersebut dilihat oleh orang secara berbeda satu sama lain. Pun tingkat intensitas kegembiraan dan kesedihan setiap orang berbeda satu sama lain. Artinya, gol itu pun tidak luput dari konstruksi seseorang, bukan gol yang dianggap gol belaka. Secara per definitif, gol adalah masuknya bola ke dalam gawang. Tapi orang melihatnya tidak hanya sekadar itu. Bisa saja gol itu merupakan tanda kehebatan, atau sebaliknya, kepayahan. Gol, sebagai objek, tidak bisa dipisahkan dari keterlibatan yang menonton pertandingan tersebut (subjek).

Ilustrasi lain ialah mawar. Secara umum mawar dianggap sebagai tanda cinta atau romansa. Kendati demikian, terdapat sebagian yang menganggap tidak seperti itu. Secara umum, banyak wanita yang merasa senang ketika lelakinya memberikan mawar. Tapi, ada yang malah sebaliknya. Mawar, sebagai objek, tidak selamanya dimaknai secara tunggal. Mau tidak mau hal seperti ini membuat kita mengajukan praasumsi bahwa dalam sebuah pengetahuan keterlibatan subjek terhadap objek pengetahuan tidak bisa dilepaskan.

Keterpisahan subjek dan objek disebabkan oleh asumsi dasar ontologis yang dualistik. Jelas, pola dualisme gagal dalam menjawab pola relasi kedua hal, yakni antara materi dengan kesadaran. Dalam pandangan dualistik, pemaknaan gol oleh kedua pendukung kesebelasan tersebut, hanya satu yang hakiki atau objektif. Padahal kita tahu, kesedihan (pendukung) kesebelasan B merupakan fenomena yang benar terjadi, objektif. Pun kegembiraan (pendukung) kesebelasan A merupakan fenomena yang tidak bisa ditolak, objektif. Dalam dualisme, hanya satu fenomena objektif. Pada kenyataannya tidak demikian. Fenomena tidak bisa hadir begitu saja dengan tanpa mengikutsertakan peran subjek. Objektifitas tidak bisa dilepaskan kaitannya dari subjektivitas.

Dengan demikian, ketika pengamen itu mengatakan “terimakasih atas partisipasinya,” maka sudah jelas pengamen itu menghargai keberadaan penumpangnya. Bukan kenapa, jika Anda pengguna setia bus, merupakan hal yang mudah ditemukan bahwa ada pengamen yang dengan seenaknya memainkan musik dengan bising, tanpa memedulikan keadaan penumpangnya. Tidur, atau tetap memaksa meminta uang walaupun orang yang dipintanya tidak memberi, yang boleh jadi tidak memunyai uang lebih, misalnya. Dengan mengucapkan kata “partisipasi”, maka merupakan hal yang niscaya pengamen tersebut memainkan musik yang diupayakan sedemikian rupa membuat para penumpang tidak terganggu kenyamanannya. Dalam hal ini, nyaman dimaksud, pengamen tersebut memainkan gitar dengan tidak terlalu sember, dan bernyanyi dengan suara yang nyaman didengar, tidak asal “bunyi”. Tentu saja, saya tidak bermaksud menetapkan standar di sini. Yang saya maksudkan, jika pengamen tersebut mengerti kata “partisipasi”, secara epistemologis, maka secara psikologis ia memunyai kesadaran akan hal-hal tersebut. Sebab, untuk orang yang melihat fenomena maraknya pengamen melulu sebagai kemalasan atau kebodohan, sebaik-baiknya pengamen dalam melakukan pekerjaannya, akan tetap dianggap sebagai hal yang menggangu. Kesadaran-kesadaran tersebutlah yang hendak saya tekankan di sini, bahwa pengamen tersebut tidak melihat dirinya terpisah begitu saja dengan penumpang, melaikan memiliki interkoneksi.

Hal ini yang akhirnya membuat saya mengerti kenapa pengamen ini terlihat santun dan sangat serius dalam melakukan aktivitasnya. Tidak asal menggenjreng gitar yang bikin memekakkan telinga itu, serta tidak asal bunyi yang malah bikin “polusi audio”, dan setelah itu dengan seenaknya menggerutu ketika tidak diberi uang. Dalam partisipasi, pengamen dan pendengarnya, dalam hal ini penumpang, tidak terpisah. Maka, pengamen yang menganggap dirinya sebagai partisipan pada “pentas” ini kali, memunyai kesadaran bahwa para pendengarnya juga patut mendapatkan suguhan yang memadai sesuai kemampuannya. Sebaliknya, penumpang pun sebagai partisipan yang diajak bepartisipasi, memunyai kesadaran bahwa kehadiran pengamen itu di dalam bus tidak bisa dilepaskan dari keberadaannya.

Faktor dominan dalam fenomena pengamen era kekinian tidak bisa dilepaskan dari persoalan ekonomi. Walaupun faktor ekonomi bukan satu-satunya faktor. Kadang, secara sosiologis dan kultur fenomena pengamen tidak hanya sekadar urusan kesulitan mendapatkan uang. Kadang “kebermengamenan” merupakan hal yang dicitrakan sebagai hal yang keren untuk kawula muda. Kita ingat bahwa gaya hippies sempat menjadi trendsetter kala itu di kalangan anak muda, atau paling tidak pada beberapa tahun ini gaya punk sangat in sekali di tengah geliat anak muda. Yang mana secara umum dalam pandangan masyarakat awam, hal tersebut masih dianggap sebagai hal yang tidak biasa. Akan tetapi, bagi orang yang melakukan hal tersebut, berdandan kumal adalah hal “keren”. Tidur di jalan adalah hal “keren”. Adalah soal citra bermain di sini. Bagaimana citra itu mereproduksi makna. Kekumalan secara umum merupakan hal yang dimaknai sangat tidak keren (kultur), kemudian dimaknai (reproduksi) menjadi hal “keren” sebagai sikap antikemapanan. Reproduksi ini mengandaikan ketidakmenerimaan masyarakat secara umum akan hal tersebut (kontrakultur). Jika, masyarakat sudah bisa menerima dengan baik fenomena kontrakultur tersebut, maka hal itu tidak bisa dianggap sebagai kontrakultur lagi, melainkan subkultur. Nah, hal ini pun jika kita amati, terjadi pada sebagian kemunculan fenomena pengamen yang belakangan marak. Persoalan citra bermain di sini. Mengamen adalah hal “keren”. Lihat saja, tidak sedikit para pengamen yang berpakaian “necis”. Tentu saja saya tidak sedang melakukan pengukuran (measured) di sini, bahwa pakaian menentukan identitas strata sosial seseorang. Atau pengamen selalu lusuh dan kumal. Yang patut dicatat di sini ialah, saya menggunakan metode fenomenologi dalam menulis cerita saya ini. Dalam fenomenologi, ia berusaha untuk membiarkan objek “berbicara” sendiri. Yang hendak saya tekankan adalah persoalan citra. Pengamen yang dianggap sebagai hal yang “kumal”, “lusuh”, dan tidak “keren”, menjadi “rapih”, “necis”, dan “keren”. Hal ini bisa saja dibangun atas dasar asumsi identitas pakaian sebagai representasi strata sosial. Kendati demikian, faktor citra tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Sekalipun ada pengamen yang “lusuh” dan “kumal”, hal-hal yang berkebalikan atasnya tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Bahkan, di sini ada istilah “punk kentrung”. Di maksud “punk kentrung” ialah sekelompok pengamen yang secara kultur mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang punk, yang menjadikan pengamen sebagai simbol identitas dari berbagai simbol identifikasi yang ada. Nah, pengamen ini berpakaian lusuh dan kumal bukan berarti sekadar berpakaian kumal dan lusuh, melainkan menganggap hal tersebut sebagai identitas, citra. Entah citra itu bisa dimaknai sebagai hal “keren” atau bukan, itu lain hal.

Ketika “kultur utama” mulai membelenggu masyarakat, maka akan lahir kultur yang menjadi antitesisnya, yakni kontrakultur. Kontrakultur tersebut, bagaimanapun, tidak bisa dilepaskan dari kultur utama itu sendiri. Dalam arti kontrakultur pada dasarnya merupakan dialektika terhadap kultur pusatnya. Ketika kontrakultur tersebut, secara perlahan diterima secara umum, maka berubahlah ia menjadi subkultur. Dari sini saya baru akan mengaitkan pada persoalan yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa kehadiran pengamen tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan orang yang, katakanlah itu, nonpengamen.

Untuk memermudahkan kajian kita ini kali, saya membatasi dua faktor terhadap fenomena ini, yakni ekonomi dan citra. Dan setting peristiwa ini, atau kontekstualisasinya, berada pada tataran bus.

Jika, penumpang menganggap bahwa kehadiran pengamen merupakan hal yang sangat menggangu, maka hal itu tidak bisa dibenarkan begitu saja. Tentu, ada banyak pengamen yang menggangu kenyamanan. Akan tetapi bukan hal itu yang saya maksudkan. Yang saya maksudkan adalah fenomena pengamen itu sendiri, bukan bagaimana pengamen itu menjalankan aktivitasnya. Kemuculan fenomena pengamen yang marak belakangan adalah satu hal, dan aktivitas pengamen adalah hal lain. Secara ekonomi, fenomena pengamen muncul akibat tidakmeratanya distribusi ekonomi, kesempatan berkerja, terbatasnya lapangan pekerjaan, dan hal-hal lain yang dikatagorikan sebagai struktural. Jika kaitannya dengan ekonomi, maka hal itu kita sebut sebagai pemiskinan struktural. Jadi, kemiskinan, salah satu hal yang membuat kemunculan fenomena pengamen bak cendawan di musim hujan, merupakan hal yang dikondisikan sedemikian, bukan melulu disebabkan kemalasan dan kebodohan. Nah, sebagai hal struktural, tentu masalahnya sangat kompleks dan organis. Hampir semua dari kita, secara tidak langsung, “terlibat” dalam pemiskinan struktural ini.

Dengan demikian, mungkin tidak terlalu menjadi masalah jika kita enggan memberi uang kepada pengamen, betapapun bagusnya pengamen itu bermusik. Akan tetapi, merupakan hal yang sangat bermasalah jika kita mengutuk kehadirannya, “kebermengamenan”, dan pada saat sama kita menolak kenyataan bahwa kita pun turut “beperan” didalamnya. Inilah kesadaran yang perlu kita tumbuhkembangkan pada diri kita jika bertemu dengan pengamen. Kesadaran organis. Kesadaran yang pada akhirnya, menjadikan kita untuk memiliki kesadaran empati. Jika pengamen adalah tanda (signifier dan signified) kemiskinan, maka secara tidak langsung kita memunyai “peranan” di sana. Sudah sepatutnya kita tidak menggerutu akan kehadiran mereka.

Pada sisi lain, jika fenomena pengamen yang belakangan muncul sebagai sebuah permainan rangakaian citra “kekerenan”, tidak boleh dilupakan juga bahwa dalam masyarakat modern yang sangat alienatif dan reikatif serta konsumer ini, akan mudah membuat orang menjadi hal yang saya sebut sebagai “masyarakat objek”. Masyarakat objek dimaksud ialah objektivikasi, yakni di mana terdapat tipologi umum pada setiap orang untuk mencitrakan dirinya agar “eksistensinya” muncul ke permukaan (surface) dan tampak (appearance). Masyarakat objek berakar tunjang pada pola relasi sosial yang teralienasi, dan hal itu yang pada akhirnya menyebabkan gejala atau patologis reifikasi. Jika, Anda menganggap pengamen yang ditemui dalam bus sebagai hal “yang lain”, “the other” bukan dalam pengertian kategoris, melainkan eksistensi, maka itulah gejala yang disebut sebagai alienasi dan reifikasi.

Partisipasi mengandaikan keorganisan. Pemaknaan “kebermengamenan” akan gagal kita tangkap jika peran pengamen, penumpang, supir dan kondektur saling dipisahkan satu sama lain.

Setelah saya tersenyum mendengar pengamen itu mengucapkan terima kasih atas partisipasi para penumpang, segera saja terhenti ketika dia menambahkan, bahwa untuk yang belum bepartisipasi saya ucapkan terima kasih juga. Nah, di sini pengamen itu telah melakukan reduksi bahwa partisipasi ialah Anda memberi uang untuknya. Dengan demikian, pengamen itu menganggap bahwa Anda, sebagai penumpang, jika tidak memberi uang adalah hal “yang lain” (the other). Secara psikologis, pengamen ini menganggap bahwa sikap kepedulian atau kepartisipasian itu diukur pada memberi uang atau tidak. Yang tidak memberi kepadanya dianggap tidak peduli. Yang memberi padanya dianggap peduli. Padahal belum tentu begitu. Bisa saja orang yang tidak memberinya merupakan sosok yang sangat peduli, hanya saja kebetulan orang itu tidak punya uang lebih. Pun boleh jadi orang yang memberi pada kenyataannya merupakan orang yang tidak peduli padanya. Ia memberi sebab takut dipelototin oleh pengamen itu jika tidak mengasih uang, misalnya.

Mendadak saya ingat, sehari sebelumnya saya menjumpai pengamen yang dalam keadaan mabuk hebat. Dia mengamen tidak menggunakan instrumen musik, melainkan hanya bernyanyi saja. Karena mabuk, suara dia terdengar bukan sebagai nyanyian, melainkan “bunyi”. Ia teriak, tentu di luar kontrol dia, dan menuding siapa saja dengan jarinya. Kadang di tengah lagu ia terhenti, mengingat apa lirik berikutnya. Kadang gagal, kadang ia berhasil mengingat. Jika gagal mengingat, ia akan mengulang dari awal. Ia berjalan dengan terhuyung, kadang menyenggol dengan kencang dan menabrak tubuh penumpang. Kadang ia meludah sembarangan di dalam bus berkali-kali. Kadang ia berada dalam posisi di antara keadaan terjatuh dan menahan jatuh. Pengamen itu asik dengan dunianya sendiri, dengan menafikan dunia penumpang. Inilah yang tidak disebut sebagai partisipatif. Menjadikan penumpang, sebagai objek partisipasinya, sebagai hal yang terpisah.

Perbedaan Ngamen Dengan Pengamen

Ngamen jika kita lihat dari sisi yang aktif dapat diartikan menjual “keahlian”, khususnya dalam bidang musik yang dapat  berpindah-pindah tempat atau berkeliling dari stau tempat ke tempat yang lain missal ada di warung, depan toko atau rumah, dijalanan, lampu merah yang mempunyai simpang-simpang jalan, sedangkan pengamen ituadalah  orang-orang yang melakukan kegiatan ngamen tersebut. Menjual keahlian karena dilihat dari sejarahnya banyak pengamen di kota-kota memang berlatar belakang sebagai pemain yang mempunyai musik-musik yang tinggi. maka dengan teman-temannya (pengamen) dia menggantungkan hidup dari kegiatan bermain musik keliling dengan menjual jasa secara suka rela, namun dengan harapan ada balasan berupa materi (uang). Kegiatan ini sudah ada yang melakukannya sebelum penamen-pengamen baru yang timbul dijaman sekarang ini. Mengamen bisa di katakan sebagai meminta sesuatu (uang) dengan usaha yg seminimal mungkin.

Jadi pengamen merupakan sesuatu yang sering bahkan sangat sering sekali kita lihat dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya bagi masyarakat perkotaan. Pengamen merupakan hal yang tidak asing lagi bagi kita, karena hampir di setiap tempat “mereka pengamen” hadir membawakan lagu-lagu mulai dari lagulagu yang beranekaragam sepertilagu band, dangdut, country, kroncong, pop, slow rook dan setersusnya. Juga ada yang menggunakan bahasa daerah, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Juga ada pengamen yang hanya sendiri, bahkan sampai - sampai berkelompok dengan membawa alat-alat yang ada pada mereka. Bahkan demikian juga banyak juga yang ada pengamen yang sama sekali tidak menggunakan istrumen musik sampai menggunakan beragam alat musik lainya.

Karakteristik Pengamen.

Pengamen melakukan pekerjaan dengan cara melihat jika di sebuah tempat itu rame atau sunyi, bahkan pengamen ingin didampingi dengan cara yang sesuai, maksutnya tukang kutup duit nantinya sambil mengulurkan sebuah topi ata kaleng-kaleng dimana itu adalah sebuah tampungan untuk uang yang diberi oleh pendengar musik sebagian Pengamen lainnya berputar-putar untuk saling mendapatkan pendengaran dari seseorangl lainya.

Hasil yang di peroleh dari pengamen yang telah berkumpul kemudian dipisah-pisahkan menurut jenisnya (uang kertas dan uang logam), sebelum akhirnya di bagi rata para pengamen yang mempunyai kelompok pengamen. Jadi hasil dari seseoarang pengamen adalah orang yang mempunyai modal atau dukungan modal untuk membeli beberapa yang pengamen butuhkan, kadang-kadang pengamen membeli rokok dan di lengketkan di tangah jari-jar sambil memainkan gitari, sehingga para Pegamen yang menjadi anak buahnya tidak perlu menganggu temannya yang sedang bermain, cukup untuk menepuk tangan sebelum mengulurkan topi untuk mengambil uang dari pendengar. Ongkos.

Para pengamen tentu mengunakan alat bantu yang sederhana, yaitu:
-          Guitar
-          Gendang
-          Seruling
-          Topi atau kaleng

Semua alat ini sangat berfungsi sekali untuk meringankan terhadap pengamen, Biasanya alat ini dipakai supaya lebih praktis, karena dengan memakai alat-alat yang ada diatas memudahkan seiring dengan apa yang pengamen lakukan.

Hubungan Masyarakat Dengan Pengamen

Hubungan yang ada pada masyarakat dengan pengamen merupakan hubungan yang tidak saling menguntungkan satu sama lain. Dikatakan tidak menguntungkan karena pengamen dapat mengganggu mereka (masyarakat) dengan aktivitas-aktivitas masyarakat, begitu juga dengan pengamen. Semakin banyak uang yang ia dapatkan dari masyarakat setempat maka semakin banyak juga keuntungan yang ia peroleh dari pengamen. Tetapi pengamen bisa ketagihan jika selalu berada ditempat yang banyak memberikan uanga, akan tetapi hubungan masyarakat dengan para pemulung adalah saling tidak menguntungkan dikernakan mengganggu.
Sebagian besar masyarakat tidak menyukai pengamen mereka merasa bahwa pengamen itu hanya mengganggu mereka atau merugikan, karena mereka harus memberi sebagian uang mereka untuk pengamen dimana jika tidak diberi ada sebagian pengamen yang tidak beranjak pergi. Di kafe-kafe atau diwarung-warung,  kos-kos, dan toko atau rumah dan institusi pendidikan misalnya kampus sering terpampang slogan atau tulisan yang intinya tidak melayani sumbangan dalam bentuk apapun. Sekalipun tidak ada tulisan tersebut, kebanyakan masyarakat begitu mengetahui ada pengamen mereka langsung menghidar atau pura-pura tidak tahu dan kalaupun terpaksa harus bertemu orang tersebut tidak akan memberinya uang atau tetap memberi tetapi dengan perasaan kesal, tidak ikhlas. Adapun yang memberi dengan ikhlas jarang sekali yang mau menghargai usala jasa dari pengamen, belum selesai menyanyikan lagu misalnya sudah dikasih uang supaya cepat pergi. 

PENGAMEN DALAM  AGAMA  ISLAM
Pengamen terhadap sedekah
Di dalam agama islam, banyak sekali menyinggung masalah-masalah yang ada pada manusia, salah satunya adalah bersedekah terhadap orang yang kurang mampu dalam memenuhi kebutuhannya, jadi didalam islam sangat lah sempurna dalam keseimbangan di dunia, saling tolong menolong terhadap sesama, dan banyak lainnya jika kita telusuri bersama terhap apa-apa yang menjadi pokok pembahasan di dunia ini. Salah satu contoh yang sudah tepat dalam pembahasan sebelumnya adalah tentang pengamen. Yang namanya pengamen itu sudah jelas menginginkan sesuatu terhadap si pendengar yaitu sejenis benda maupun uang yang ia inginkan. Tetapi dalam kehidupan islam orang yang memberikan sesuatu itu dengan ikhlas didalam hati dan apa yang ia berikan kepada si pengamen atau lainnya, itu adalah sedekah. Oleh sebab itu pengamen patutlah kita hargai jika kita ingin menolong sesama kita dengan cara bersedekah dan ingin mendapatkan pahala dari allah S.W.T. Sebagai mana allah telah menjelaskan didalam Al-Qur’an Surah Al-Qashash pada ayat 77 yang berbunyi sebagai berikut :

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ‎

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(QS. Al-Qoshosh Ayat 77)‎

Mengenai tinjauan Islam tentang  pengamen berkaitan erat dengan pemecahan kesejahtraan social. Syariat islam dengan tegas menyatakan,  bahwa semua itu adalah kewajiban tiap orang yang mempunyai kemampuan. Menurut peneliti pengamen itu mencari nafkah dengan kemampuan yang ia bisa tampilkan terhadap keahliannya yang ia miliki, baik itu dengan bermain gitar dan bernyanyi, maka tak ada salahnya menjadikan skillnya itu untuk menghidupi kebutuhan pribadi maupu yang mempunyai anak istrinya. Ya qaumi'malu 'ala syakilatihi, “bekerjalah kamu sesuai dengan skill”‎

Allah Ta’ala berfirman,

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (٢٧٣)

(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui. (Al Baqarah: 273).

Dari ayat ini kita dapat mengambil beberapa pelajaran, diantaranya adalah:

Dalam ayat ini, Allah menyebutkan enam kriteria orang yang berhak memperoleh sedekah dari kaum muslimin. Keenam kriteria tersebut yaitu:

Fakir, yaitu orang yang tidak memiliki suatu apapun atau memiliki sedikit kecukupan namun tidak mencukupi kebutuhannya meski setengahnya. Termasuk dalam kriteria pertama ini adalah golongan yang miskin, yaitu mereka memiliki kecukupan yang dapat memenuhi setengah kebutuhannya atau lebih, namun tidak seluruhnya [Tafsir As Sa’di hlm. 341].

Terikat jihad di jalan Allah. Dari keterangan para ahli tafsir firman Allah
 الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
  
mencakup mereka yang mengabdikan diri untuk melakukan ketaatan kepada Allah baik itu berupa jihad maupun yang selainnya sehingga hal tersebut menghalangi mereka untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidup.

Tidak mampu berusaha di bumi, yaitu mereka yang tidak dapat pergi (bersafar) mencari sumber penghidupan entah dikarenakan minimnya harta, lemahnya kondisi fisik akibat luka dan cedera, atau alasan yang semisal [Tafsir Al Qur-anil Karim, Surat Al Baqarah 3/367].

Terlihat berkecukupan (kaya), -padahal miskin-, karena memelihara diri dari meminta-minta. Orang-orang yang tidak mengetahui kondisi mereka menduga bahwa mereka itu berkecukupan karena sikap ‘iffah-nya dalam hal pakaian, perilaku, dan perkataan.

Memiliki siimah, yaitu tanda-tanda yang menunjukkan bahwa mereka itu fakir dan sangat membutuhkan uluran tangan. Hal ini hanya dapat diketahui oleh orang yang jeli dalam mengenal kondisi mereka.‎

Sebagian ulama mendefinisikan bahwa yang dimaksud siimah adalah tanda-tanda ketakwaan seperti bekas sujud, kekhusuyu’an dan ketawadhu’an [Tafsir Al Qurtubi 3/322; Asy Syamilah].

Tidak meminta-minta kepada orang secara mendesak. Hal ini bisa berarti bahwa mereka tidak meminta-minta secara mutlak karena pada redaksi sebelumnya disebutkan bahwa mereka memiliki sifat ‘iffah. Dengan demikian, mereka tidak meminta-minta kepada manusia sama sekali, baik dengan mendesak atau tidak mendesak. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ahli tafsir. Bisa juga berarti mereka meminta kepada orang karena teramat butuh, namun tidak mendesak-desak orang agar memenuhi permintaan mereka [Tafsir Al Qurtubi 3/322; Asy Syamilah].

Inilah keenam sifat yang dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin untuk memilih kepada siapa sedekah atau infak akan disalurkan.

Hukum Memberikan Uang Pada Pengamen

1. Haram, jika pemberian itu sebagai upah atau menolong kemaksiatan (menurut pendapat yang mengharamkan memakai alat-alat musik)
وَجُعِلَ فِى التَّنْبِيْهِ مِنَ الْمُحَرَّمَاتِ الغِنَاءُ وَفِيْهِ كَلاَمٌ ذَكَرْتُهُ فِي شَرْحِهِ وَلاَيَجُوْزُ أَخْذُ الْعِوَضِ عَلَى شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ كَبَيْعِ الْمَيْتَةِ اَمَّا اْلاِسْتِئْجَارُ عَلَى حَمْلِ الْخَمْرِ لِلإِرَاقَةِ اَوْ حَمْلِ الْمُحْتَرَمَةِ فَجَائِزٍ كَنَقْلِ الْمَيْتَةِ اِلَى الْمَزْبَلَةِ وَكَمَا يَحْرُمُ أَخْذُ اْلأُجْرَةِ عَلَى الْمُحَرَّمِ يَحْرُمُ إِعْطَاؤُهَا إِلاَّ لِضَرُوْرَةِ كَفَكِّ اْلأَسِيْرِ وَإِعْطَاءِ الشَّاعِرِ لِئَلاَّ يَهْجَوْهُ الظَّالِمُ لِيَدْفَعَ ظَلَمَهُ وَالْحَاكِمُ لِيَحْكُمَ بِالْحَقِّ فَلاَ يَحْرُمُ الإِعْطَاءُ عَلَيْهَا (مغنى المحتاج  الجزء 2 صحـ 456)
Dalam kitab Tanbih, menyanyi dikategorikan haram, sehingga tidak boleh mengambil upah atau ganti rugi atas sesuatu yang diharamkan. Adapun menyewa seseorang untuk membawa khomer untuk dibuang atau membawa sesuatu yang diharamkan seperti memindah bangkai ketempat sampah adalah boleh. Sama halnya haram meminta upah, haram juga memberikannya kecuali karena dhorurot seperti menebus sandra atau memberi tukang syi’ir agar tidak menyindir untuk menolak kedholiman atau memberi hakim supaya memutuskan hukum dengan benar maka tidak haram memberikan kepada mereka. (Mughni Al-Mukhtaaj, juz 2 hal 456)‎

2. Boleh, jika pemberian tersebut sebatas agar pengamen segera menyudahi lagunya dan tidak bermaksud menolong kemaksiatan.

(فائدة) صَدَقَةُ التَّطَوُّعِ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ لِلأَحَادِيْثِ الشَّهِيْرَةِ وَقَدْ تَحْرُمُ كَأَنْ ظَنَّ أَخْذَهَا يَصْرِفُهَا فِى مَعْصِيَةٍ وَقَدْ تَجِبُ كَأَنْ وَجَدَ مُضْطَرًّا وَمَعَهُ مَا يُطْعِمُهُ لَكِنْ بِبَدَلِهِ (بغية المسترشدين صحـ 107)

Shodaqoh tatowwu’ sunnah muakkad berdasarkan hadits masyhur dan terkadang bisa menjadi haram apabila menyangka digunakan untuk maksiat dan juga bisa menjadi wajib seperti orang yang dalam keadaan dlorurot dan ia mempunyai sesuatu untuk diberikannya tetapi dengan ganti rugi. (Bughyah al-Mustarsyidin, hal 107)

Fenomena pengamen di era globalisasi sebagian besar di latar belakangi oleh kemiskinan. Selain itu ada yang sengaja menjadi pengamen karena tidak mendapat pekerjaan, malas bekerja dan karena ingin melakukan bisnis pengamen. Respon masyarakat terhadap pengamen tidak begitu baik, sebagian besar masyarakat tidak menyukai pengamen, dan merasa terganggu dengan adanya pengamen. Fenomena ini semakin banyak dari waktu ke waktu. Dan penanganan pemerintah belum menunjukkan hasil yang di harapkan karena prospek pengamen semakin bertambah.

Menanggapi masalah pengamen sebaiknya pemerintah mengadakan survai tentang semua indikator yang membuat mereka mengamen. Setelah indikator tersebut sudah diketahui barulah pemerintah menentukan kebijakan sesuai dengan indikator di daerah tertentu. Jadi kebijakannya tidak disamaratakan antara daerah satu dengan daerah yang lain, karena indikatornya belum tentu sama. Pemerintah sebaiknya memberikan bimbingan atau pendidikan tentang keterampilan, dan memberikan bekal berwirausaha. Dengan begitu mereka mempunyai usaha yang tidak akan habis dan akan terus berlanjut dalam memenuhi kabutuhan dari pada hanya bantuan bahan pokok yang langsung habis tetapi tidak menghasilkan.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar