Jumat, 27 Mei 2016

Derai Air Mata Sang Bidadari Pada Peristiwa Haditsul Ifki (Kabar Burung)

Sudah rahasia umum, bahwa munculnya Islam dimuka bumi yang dibawa oleh Rasulullah saw, tidak pernah sepi dari tuduhan-tudahan miring yang sengaja dilakukan oleh orang-orang kafir ataupun munafiq yang ditujukan pada Islam.

Nah, kita tentunya ingat dengan peristiwa berita bohong atau yang masyhur dikenal dalam sejarah dengan sebutan “hadits ifky”. Yaitu, kisah tentang tuduhan selingkuh yang ditujukan kepada sayyidatuna Aisyah r.a. penyebar berita bohong ini adalah diplopori oleh seorang pemimpin munafiq yang bernama Abdullah bin Ubay bin salul.

Peristiwa ini bermula ketika Rasulullah saw hendak pergi ke medan pertempuran(perang bani musytoliq). Rasulullah saw mengundi semua istrinya. Jika salah satu diantara mereka namanya keluar, maka berhak pergi bersama Rasulullah. Begitulah kebiasaan rasulullah setiap kali hendak bepergian. Kebetulan pada undian kali ini, Aisyahlah yang namanya keluar. Sehingga ia berhak pergi bersama rasulullah saw. Alhasil, setelah perang selesai. Kalung aisyah hilang. Maka Iapun mencari kesana-kemari. Sehingga Ia tertinggal jauh dari kelompok para prajurit. Kebetulan, Sofwan bin Dikwan selaku ketua rombongan memeriksa rombongan kesana-kemari, untuk mengecek kelengkapan anggota. Sampai akhirnya Sofwan bertemu Aisyah yang sedang mencari kalungnya yang hilang. Berduaannya Sofwan dan Aisyah ini diketahui oleh seseorang. Sehingga pada akhirnya berita tersebut terdengar oleh pemimpin munafiq yang terkenal ulung dalam membuat-buat berita bohong. Sehingga Ia pun memanfaatkan berita tersebut, untuk disebarluaskan dengan bumbu-bumbu menarik yang Ia buat-buat.

‎Perang Bani Mushtaliq juga dikenali dengan nama Perang Muraisi'. Perang ini terjadi dalam bulan syaban, tahun kelima Hijrah. Rasulullah SAW telah membina kubu peperangan di sekeliling sebuah telaga yang disebut telaga Murasi' berhampiran Nejed. Buqat pertama kalinya, kaum Munafiq menyertai jentera tentera ISLAM untun pergi berperang. Sesungguhnya, orang Munafiq adalah orang ISLAM yang khianat. Mereka menyertai peperangan kali ini kerana mereka berpendapat orang ISLAM akan menang mudah.

Seperti kebiasaan, Nabi Muhammad SAW akan mengundi para isteri yang akan menemani baginda berangkat ke medan peperangan. Maka, Aisyah Humaira telah terpilih untuk menemani Rasulullah SAW. Dalam perjalanan itu, sang bidadari Aisyah Humaira memakai seutas rantai yang dipinjam daripada saudaranya, Asma.

MasyaALLAH, ujian dan ketentuan ALLAH buat hamba hambaNYA yang redha. Rantai milik sang bidadari telah terputus di tengah jalan. Hal ini menyebabkan Aisyah Humaira berasa cemas. Ketika itu beliau baru berusia 14 tahun, maka tanpa berfikir panjang beliau telah meninggalkan pasukan ISLAM untuk mencari rantai tersebut.

Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman;

إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالإفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الإثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ (11) 

Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. Janganlah kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kahan, bahkan ia baik bagi kalian. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab yang besar.(QS An-Nur: 11)


Ayat ini hingga sembilan ayat berikutnya yang jumlah seluruhnya adalah sepuluh ayat diturunkan berkenaan dengan Siti Aisyah Ummul Mukminin r.a. ketika ia dituduh berbuat serong oleh sejumlah orang yang menyiarkan berita bohong dari kalangan orang-orang munafik, padahal berita yang mereka siarkan itu bohong dan dusta belaka serta buat-buatan mereka sendiri. Peristiwa tersebut membuat Allah cemburu (murka) demi Siti Aisyah dan Nabi-Nya. Maka Allah Swt. menurunkan wahyu yang membersihkan kehormatan Siti Aisyah demi memelihara kehormatan Rasulullah Saw. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

{إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالإفْكِ عُصْبَةٌ}

Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari segolongan kalian juga,(An-Nur: 11)

Yakni sejumlah orang dari kalangan kalian sendiri; bukan satu atau dua orang, melainkan segolongan orang. Orang yang pertama menyebar isu keji ini adalah Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, pemimpin kaum munafik. Dialah orang yang mempunyai prakarsa menyebarkan isu dusta itu sehingga ada sebagian dari kalangan kaum muslim yang termakan dan terhasut oleh isu yang disebarkannya, yang akhirnya menjadi bahan pergunjingan mereka. Sedangkan sebagian kaum muslim lainnya tidak mempunyai tanggapan apa pun terhadap peristiwa itu. Keadaan ini berlanjut sampai hampir satu bulan lamanya. Akhirnya turunlah ayat-ayat Al-Qur'an yang menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. Keterangan mengenai kisah ini secara rinci didapat di dalam hadis-hadis sahih.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnul Musayyab dan Urwah ibnuzZubair, Alqamah ibnu Waqqas, serta Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah ibnu Mas'ud tentang kisah Aisyah istri Nabi Saw. saat para penyiar berita bohong melemparkan tuduhan mereka terhadapnya, lalu Allah mem­bersihkan nama Siti Aisyah r.a. melalui wahyu-Nya. Perawi mengatakan bahwa semua sumber menceritakan kepadaku sejumlah hadis mengenai kisah Siti Aisyah ini. Tetapi sebagian dari mereka ada yang lebih rinci dalam mengemukakan kisahnya dan lebih kuat daripada lainnya. Aku telah menghafal semua hadis yang diriwayatkan masing-masing dari mereka yang bersumber dari Siti Aisyah. Pada garis besarnya sebagian dari kisah mereka membenarkan sebagian lainnya.

Mereka mengisahkan bahwa Siti Aisyah r.a. istri Nabi Saw. pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. apabila hendak bepergian terlebih dahulu melakukan undian di antara para istrinya. Maka siapa pun di antara mereka yang keluar namanya dalam undian itu, Rasulullah Saw. mem­bawanya pergi.

Aisyah r.a. menceritakan bahwa lalu Rasul Saw. melakukan undian di antara kami untuk menentukan siapa yang akan menemaninya di antara kami dalam peperangan yang akan dilakukannya. Maka keluarlah bagianku, lalu aku berangkat bersama Rasulullah Saw. Demikian itu terjadi sesudah diturunkan ayat hijab; dan aku dibawa di atas sekedupku dan beristirahat di dalamnya.

Maka kami berangkat, dan manakala Rasulullah Saw. telah me­nyelesaikan tugasnya dalam perang itu, dan kamipun kembali serta berada di dekat Madinah, maka di suatu malam beliau menyerukan kepada rombongan untuk berangkat. Ketika seruan berangkat telah dikumandang­kan aku bangkit dan berjalan sampai melewati barisan pasukan, setelah kupenuhi hajatku, maka aku kembali ke sekedupku dan aku memegang dadaku, ternyata kalung manik-manikku telah terputus dan terjatuh, maka aku kembali ke tempat aku buang hajat dalam rangka mencari kalung itu, sehingga aku terlambat karena mencarinya.

Lalu datanglah rombongan yang membawaku dan mereka langsung mengangkat sekedupku lalu menaikkannya ke punggung unta yang menjadi kendaraanku, sedang mereka mengira bahwa aku berada di dalamnya.

Aisyah mengatakan, bahwa kaum wanita pada saat itu bertubuh kurus-kurus, tidak berat dan tidak gemuk karena daging, mereka hanya makan sedikit. Maka kaum yang mengangkat sekedupku tidak merasa aneh dengan keringanan sekedupku ketika mereka mengangkatnya dan menaikkannya ke punggung unta. Sedang aku adalah seorang wanita yang berusia sangat muda. Mereka langsung memberangkatkan untaku dan melanjutkan perjalanannya.

Aku baru menemukan kalungku setelah pasukan melanjutkan perjalanannya, dan aku mendatangi tempat mereka, yang ternyata sudah kosong tiada seorangpun yang tertinggal. Maka aku menuju ke tempat aku beristirahat dengan harapan bahwa kaum akan merasa kehilangan­ku lalu akan kembali menjemputku.

Ketika aku sedang duduk di tempat peristirahatanku itu tiba-tiba mataku mengantuk akhirnya aku tertidur. Dan tersebutlah bahwa Safwan ibnul Mu'attal Az-Zakwani beristirahat di belakang pasukan, dan dia melanjutkan perjalanannya di malam hari, lalu ia sampai ke tempat aku berada, dan dia melihat sosok manusia yang sedang tidur dalam kegelapan malam.

Ia mendatangiku dan mengenalku ketika dia melihatku, karena dia pernah melihatku sebelum diturunkan ayat yang memerintahkan berhijab, dan aku terbangun ketika mendengar ucapan istirja'-nya (kalimat Inna Lillahi wainna ilaihi raji'un) begitu ia mengenalku.

Maka dengan segera aku tutupi wajahku dengan kain jilbabku; demi Allah dia tidak berkata kepadaku barang sepatah katapun dan aku tidak pernah mendengar ucapan yang keluar darinya selain dari bacaan istirja'-nya tadi saat dia merundukkan unta kendaraannya, dan unta kendaraannya merundukkan kaki depannya lalu aku menaikinya.
Safwan berangkat seraya menuntun unta kendaraannya hingga kami sampai ke tempat pasukan berada sesudah mereka turun untuk istirahat di waktu tengah hari, maka binasalah orang yang binasa berkenaan dengan peristiwa yang kualami itu. Dan orang yang menjadi sumber berita bohong itu adalah Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, dialah yang berperan bagi tersiarnya berita tersebut.
Kami tiba di Madinah dan saya sakit selama kurang lebih satu bulan sejak kedatangan saya itu, sedangkan orang-orang ramai membicarakan tentang isu yang disebarkan oleh para penyiar berita bohong, dan saya sendiri tidak merasakan adanya berita bohong itu.

Dalam sakit itu saya merasakan bahwa Rasulullah Saw. berbeda dengan kebiasaannya. Saya tidak melihat lagi kasih sayang beliau saat saya sedang sakit. Melainkan beliau hanya masuk dan bersalam serta mengucapkan, 'Bagaimanakah keadaanmu sekarang?'

Sikap tersebut membuat saya curiga dan saya tidak merasakan adanya berita buruk yang ditujukan terhadap diri saya. Dan ketika saya telah sembuh dari sakit, saya keluar bersama Ummu Mistah menuju ke arah Manasi tempat kami biasa membuang hajat. Kami tidak keluar ke tempat itu melainkan hanya malam hari. Demikian itu terjadi sebelum kami membuat kakus di dekat rumah-rumah kami. Saat itu keadaan kami sama dengan keadaan orang-orang Arab dahulu dalam hal membuang hajat, yaitu di tempat yang jauh dari keramaian manusia, karena kami merasa terganggu dengan adanya kakus di dekat rumah kami.

Saya berangkat bersama Ummu Mistah. Dia adalah binti Abu Rahm ibnul Muttalib ibnu Abdu Manaf, sedangkan ibunya adalah anak perempuan Sakhr ibnu Amir, bibi Abu Bakar As-Siddiq. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Mistah ibnu Asasah ibnu Abbad ibnu Abdul Muttalib.

Ketika aku bersama dengan anak perempuan Abu Rahm alias Ummu Mistah kembali menuju ke rumahku setelah kami selesai dari urusan kami, tiba-tiba dalam perjalanan kembali itu Ummu Mistah kain kerudungnya tersangkut. Maka ia berkata, 'Celakalah Mistah.' Saya berkata kepadanya, 'Alangkah buruknya ucapanmu itu, kamu berani mencaci seorang lelaki yang ikut dalam Perang Badar.'

Ummu Mistah menjawab, 'Wahai saudariku, tidakkah engkau mendengar apa yang telah dikatakannya?' Aku bertanya, 'Apakah yang telah dikatakan oleh Mistah?' Maka Ummu Mistah menceritakan kepada saya isu yang disebarkan oleh para penyiar berita bohong itu, sehingga sakit saya kambuh lagi dan bertambah parah.

Ketika saya sampai di rumah, Rasulullah Saw. masuk menemui saya dan mengucapkan salam serta bersabda, 'Bagaimanakah keadaanmu?' Maka saya berkata kepadanya, 'Izinkanlah saya menemui kedua orang tua saya.' Saya bermaksud mengecek berita tersebut dari kedua orang tua saya, dan Rasulullah Saw. mengizinkan saya menemui mereka.

Ketika sampai di rumah kedua orang tua saya, saya bertanya kepada ibu saya, "Wahai ibuku, mengapa orang-orang ramai membicarakan perihal berita bohong itu?' Ibu saya berkata, 'Wahai anakku, tenangkanlah dirimu. Demi Allah, tidak sekali-kali ada seorang wanita yang cantik menjadi istri seorang lelaki yang sangat mencintainya, sedangkan lelaki itu mempunyai istri-istri yang lainnya, melainkan istri-istrinya yang lain pasti banyak mempergunjingkan tentangnya.'

Lalu saya berkata, 'Subhanallah, orang-orang ternyata ramai mem­bicarakannya.' Maka malam itu saya menangis terus hingga pagi harinya tanpa tidur, dan pada pagi harinya saya menangis lagi.
Rasulullah Saw. memanggil Ali ibnu Abu Talib dan Usamah ibnu Zaid saat wahyu datang terlambat dengan maksud meminta pendapat dan saran keduanya tentang menceraikan istrinya.

Usamah ibnu Zaid hanya mengisyaratkan kepada Rasulullah Saw. menurut apa yang diketahuinya, bahwa istri beliau adalah wanita yang bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Dia adalah orang yang menyukai keluarga Rasulullah Saw. Usamah mengatakan, 'Wahai Rasulullah, mengenai istrimu, sepanjang pengetahuanku baik-baik saja' Sedangkan Ali mengatakan 'Wahai Rasulullah, Allah tidak mempersempit dirimu, wanita selain dia banyak. Dan jika engkau tanyakan kepada si pelayan wanita itu, tentulah dia akan membenarkan berita itu.'

Maka Rasulullah Saw. memanggil Barirah dan bersabda kepadanya, 'Hai Barirah, apakah kamu melihat sesuatu yang mencurigakan pada diri Aisyah?'

Barirah menjawab, 'Demi Tuhan yang mengutusmu dengan hak, saya tidak mempunyai pendapat lain tentangnya yang saya sembunyi-sembunyikan, melainkan dia adalah seorang wanita muda yang masih berusia remaja, dia tertidur lelap melupakan adonan roti suaminya, lalu datanglah seseorang yang lapar dan langsung memakannya.'

Maka hari itu Rasulullah Saw. bangkit untuk menyangkal berita dari Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul. Beliau bersabda di atas mimbarnya:

"يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ مَنْ يَعْذِرُنِي مِنْ رَجُلٍ قَدْ بَلَغَنِي أَذَاهُ فِي أَهْلِ بَيْتِي، فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ عَلَى أَهْلِي إِلَّا خَيْرًا، وَلَقَدْ ذَكَرُوا رَجُلًا مَا عَلِمْتُ عَلَيْهِ إِلَّا خَيْرًا، وَمَا كَانَ يَدْخُلُ عَلَى أَهْلِي إِلَّا مَعِي"

Hai kaum muslim, siapakah yang mau membelaku dari sikap seorang lelaki yang telah menyakiti diriku melalui istriku. Demi Allah, aku tidak mengetahui perihal istriku melainkan hanya baik-baik saja. Dan sesungguhnya mereka menyebutkan perihal seorang lelaki yang sepanjang pengetahuanku tiada lain dia adalah orang yang baik-baik saja; dia tidak pernah masuk menemui istriku, melainkan selalu bersamaku.

Maka Sa'd ibnu Mu'az Al-Ansari r.a. berdiri dan berkata, 'Wahai Rasulullah, akulah yang membelamu terhadap dia. Jika dia dari kalangan kabilah Aus, kami akan penggal kepalanya. Dan jika dia dari kalangan saudara-saudara kami kabilah Khazraj, engkau perintahkan saja kepada kami, kami pasti melakukan apa yang engkau perintahkan.'

Siti Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa maka berdirilah Sa'd ibnu Ubadah, pemimpin orang-orang Khazraj. Dia adalah seorang yang saleh, tetapi karena terdorong oleh rasa hamiyyah(fanatik)nya, maka ia berkata kepada Sa'd ibnu Mu'az, "Kamu dusta. Demi Allah kamu tidak akan dapat membunuhnya, dan kamu tidak akan mampu membunuhnya. Seandainya dia berasal dari golonganmu, saya tidak suka ia dibunuh."

Usaid ibnu Hudair (anak paman Sa'd ibnu Mu'az) berdiri, lalu berkata kepada Sa'd ibnu Ubadah, "Kamu dusta. Demi Allah, kami benar-benar akan membunuhnya, sesungguhnya kamu orang munafik yang medebat orang munafik."

Kedua golongan besar Madinah itu —yakni kabilah Aus dan kabilah Khazraj— perang mulut, sehingga hampir saja mereka perang fisik, sedangkan Rasulullah Saw. berdiri di atas mimbarnya seraya terus-menerus melerai kedua golongan itu, hingga akhirnya mereka diam dan Rasulullah Saw. diam pula.

Siti Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, "Pada hari itu sepenuhnya aku menangis terus tanpa berhenti dan tanpa tidur, sehingga kedua orang tuaku menduga bahwa tangisanku akan menyebabkan hatiku pecah.
Ketika kedua orang tuaku sedang duduk di dekatku, sedangkan aku masih tetap menangis, tiba-tiba masuklah Rasulullah Saw. menemui kami, lalu bersalam dan duduk. Sejak tersiarnya berita bohong itu Rasulullah Saw. tidak pernah duduk, dan sudah selama sebulan wahyu tidak datang kepadanya mengenai perihal diriku."

Siti Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa setelah duduk Rasulullah Saw. membaca syahadat dan bersabda, "Amma ba'du. Hai Aisyah, se­sungguhnya telah sampai kepadaku berita tentang dirimu yang menyata­kan anu dan anu. Maka jika engkau bersih, tentulah Allah akan membersihkanmu. Dan jika engkau merasa berbuat dosa, maka mohonlah ampun kepada Allah dan bertobatlah kepada-Nya. Karena sesungguhnya seorang hamba itu apabila mengakui dosanya dan bertobat, niscaya Allah akan menerima tobatnya."

Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, "Setelah Rasulullah Saw. menyelesaikan sabdanya, barulah air mataku mengering sehingga aku tidak merasakan setetes air mata pun yang keluar. Lalu aku berkata kepada ayahku, 'Jawablah Rasulullah sebagai ganti dariku.' Ayahku berkata, 'Demi Allah, aku tidak mengetahui apa yang harus kukatakan kepada Rasulullah.' Aku berkata kepada ibuku, 'Jawablah Rasulullah sabagai ganti dariku.' Ibuku menjawab, 'Demi Allah, saya tidak mengetahui apa yang harus saya katakan kepada Rasulullah."

Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa ia mengatakan, "Aku adalah seorang wanita yang berusia masih terlalu muda, dan masih banyak bagian Al-Qur'an yang belum kuhafal. Demi Allah, aku merasa yakin bahwa kalian telah mendengar berita tersebut, sehingga sempat mempengaruhi diri kalian dan kalian mempercayainya. Jika aku katakan kepada kalian bahwa sesungguhnya diriku bersih dari berita bohong itu, dan Allah mengetahui bahwa diriku bersih, tentulah kalian tidak mempercayaiku. Dan seandainya aku mengakui sesuatu hal yang Allah mengetahui bahwa diriku bersih dari perbuatan tersebut, tentulah kalian akan mempercayainya. Demi Allah, aku tidak menemukan perumpamaan bagi diriku dan kalian kecuali seperti apa yang dikatakan oleh ayah Nabi Yusuf, yang disitir oleh firman-Nya:

{فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ}

maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku).Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan' (Yusuf: 18)

Kemudian aku berbaring di atas peraduanku seraya memalingkan tubuhku. Sedangkan aku saat itu, demi Allah, merasa yakin bahwa diriku bersih dari tuduhan tersebut, dan bahwa Allah pasti akan membersihkan diriku dari berita bohong itu. Akan tetapi, demi Allah, aku tidak berharap bahwa akan ada wahyu yang diturunkan mengenai diriku, karena menurut anggapanku diriku ini terlalu rendah untuk disebutkan oleh Allah Swt. dalam wahyu yang dibaca. Tetapi saya berharap semoga diperlihatkan oleh Allah kepada Rasul-Nya dalam mimpi, hal yang dapat membersihkan diriku dari berita bohong tersebut.

Demi Allah, saat itu Rasulullah Saw. masih belum meninggalkan tempat duduknya dan tiada seorang pun dari keluarganya yang keluar dari rumahnya, hingga turunlah wahyu kepadanya. Maka sebagaimana biasanya bila sedang menerima wahyu, beliau kelihatan payah, hingga tubuhnya mengucurkan keringat seperti mutiara yang berjatuhan, padahal saat itu sedang musim dingin. Hal itu terjadi karena beratnya wahyu yang sedang diturunkan kepadanya.

Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa setelah wahyu selesai diturunkan kepada Rasulullah Saw., beliau tersenyum. Kalimat yang mula-mula diucapkannya ialah:

"أَبْشِرِي يَا عَائِشَةُ، أَمَّا اللَّهُ فَقَدْ بَرّأك

Bergembiralah, hai Aisyah, sesungguhnya Allah telah mem­bersihkan dirimu.

Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ibunya berkata kepada-nya, "Mendekatlah kamu kepadanya." Aku menjawab, "Demi Allah, aku tidak mau mendekat kepadanya dan aku tidak mau memuji kecuali hanya kepada Allah Swt. yang telah menurunkan pembersihan diriku." Allah menurunkan firman-Nya yang berbunyi:

{إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالإفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ}

Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. (An-Nur: 11), hingga akhir ayat 21.

Setelah Allah Swt. menurunkan ayat yang membersihkan namaku ini, maka Abu Bakar r.a. yang tadinya biasa memberikan nafkah kepada Mistah ibnu Asasah karena masih kerabatnya dan termasuk orang miskin mengatakan, "Demi Allah, aku tidak akan memberinya lagi nafkah barang sedikit pun selama-lamanya sesudah apa yang ia katakan terhadap Aisyah." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:

{وَلا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ}

Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi(bantuan) kepada kaum kerabat(nya). (An-Nur: 22)

sampai dengan firman Allah Swt.:

{أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ}

Apakah kalian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nur: 22)

Maka Abu Bakar berkata, "Tidak, demi Allah, sesungguhnya kini aku suka bila diampuni oleh Allah." Maka ia kembali memberikan nafkahnya kepada Mistah sebagaimana biasanya. Dan Abu Bakar berkata, "Demi Allah, aku tidak akan mencabut nafkahku (kepadanya) untuk selama-lamanya."

Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, "Sebelum itu Rasulullah Saw. pernah bertanya kepada Zainab binti Jahsy yang juga istri beliau tentang perihal diriku. Rasulullah Saw. bersabda,  'Hai Zainab, apakah yang kamu ketahui dan yang kamu lihat (dari Aisyah)?' Zainab menjawab, 'Wahai Rasulullah, aku memelihara pendengaran dan penglihatanku. Demi Allah, aku tidak mengetahui kecuali hanya kebaikan saja'."

Siti Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, "Zainablah di antara istri Nabi Saw. yang setara denganku, maka Allah memeliharanya dengan sifat wara'." Akan tetapi, saudara perempuannya yang bernama Hamnah binti Jahsy bersikap oposisi terhadap Siti Aisyah, maka ia binasa bersama orang-orang yang binasa.

Ibnu Syihab mengatakan, "Demikianlah kisah yang sampai kepada kami tentang mereka."

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab sahih masing-masing melalui hadis Az-Zuhri. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Az-Zuhri. Ibnu Ishaq mengatakan pula, telah menceritakan pula kepadaku Yahya ibnu Abbad ibnu Abdullah ibnuz Zubair, dari ayahnya, dari Aisyah r.a. Dan telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm Al-Ansari, dari Amrah, bahwa ayahnya telah menceri­takan kepadanya dari Siti Aisyah hadis yang semisal dengan hadis di atas.

Kemudian Imam Bukhari mengatakan bahwa Abu Usamah telah meriwayatkan dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan, "Setelah perihal diriku menjadi buah bibir, sedangkan aku sendiri masih belum mengetahuinya, Rasulullah Saw. berdiri di kalangan para sahabatnya seraya berkhotbah. Mula-mula beliau membaca syahadat, lalu diiringi dengan puji dan sanjungan kepada Allah, setelah itu baru bersabda:

"أَمَّا بَعْدُ، أَشِيرُوا عَلَيّ فِي أُنَاسٍ أبَنُوا أَهْلِي، وَايمُ اللَّهِ مَا عَلِمْتُ عَلَى أَهْلِي مِنْ سُوءٍ، وأبَنُوهم بمَن وَاللَّهِ مَا علمتُ عَلَيْهِ مِنْ سُوءٍ قَطُّ، وَلَا يَدْخُلُ بَيْتِي قَطُّ إِلَّا وَأَنَا حَاضِرٌ، وَلَا غِبْتُ فِي سَفَرٍ إِلَّا غَابَ مَعِي".

'Amma ba'du. Hai kalian semua, berilah saya saran tentang orang-orang yang telah menuduh tidak baik terhadap keluarga (istri)ku. Demi Allah, tiada yang kuketahui tentang keluargaku melainkan yang baik-baik saja, dan tiada suatu keburukan pun yang kuketahui ada pada keluargaku, lalu dengan siapakah mereka menuduhnya berbuat tidak baik? Demi Allah, tiada suatu keburukan pun yang kuketahui darinya, dia tidak pernah masuk ke dalam rumahku melainkan aku selalu ada. Dan tidak pernah ia pergi dalam suatu perjalanan melainkan selalu bersamaku.'

Maka berdirilah Sa'd ibnu Mu'az Al-Ansari, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, berilah kami izin untuk memenggal kepala mereka.' Kemudian berdiri pulalah seorang lelaki dari kabilah Khazraj, suatu kabilah yang berasal darinya ibu sahabat Hassan ibnu Sabit, lalu lelaki itu berkata, 'Kamu dusta. Demi Allah, seandainya mereka dari kalangan kabilah Aus, aku tidak suka bila kamu memenggal kepala mereka'."

Siti Aisyah mengatakan, "Situasi menghangat sehingga hampir saja terjadi keributan di antara kabilah Aus dan kabilah Khazraj di dalam masjid, sedangkan aku tidak merasakan adanya peristiwa tersebut.

Pada petang harinya aku keluar untuk menunaikan hajatku bersama Ummu Mistah yang menemaniku. Di tengah jalan Ummu Mistah ter­sandung, lalu berkata, 'Celakalah Mistah!'

Maka aku bertanya kepadanya, 'Hai Ummu Mistah, mengapa engkau mencaci anakmu sendiri?' Ummu Mistah diam, dan tersandung lagi, maka ia mengatakan, 'Celakalah Mistah!* Aku beranya, 'Hai Ummu Mistah, mengapa engkau mencaci maki anakmu sendiri?' Kemudian tersandung lagi untuk yang ketiga kalinya dan mengatakan, 'Celakalah, si Mistah!'

Maka aku menghardiknya supaya jangan mencaci lagi, tetapi Ummu Mistah menjawab, 'Demi Allah, aku tidak memakinya melainkan demi membela kamu.' Aku bertanya, 'Mengapa engkau membelaku, apakah yang telah kulakukan?' Ummu Mistah menceritakan kisah tersebut dengan panjang lebar kepadaku, dan aku bertanya menegaskan, 'Apakah memang betul?' Ummu Mistah menjawab, 'Ya, demi Allah'

Maka aku pulang ke rumah dengan perasaan yang tidak menentu, lalu aku jatuh sakit, dan aku berkata kepada Rasulullah, 'Pulangkanlah aku ke rumah ayahku.' Maka Nabi Saw. mengirimkan aku bersama seorang budak sebagai temanku. Ketika aku masuk, kujumpai Ummu Ruman (ibuku) berada di lantai bawah, sedangkan Abu Bakar berada di lantai atas sedang membaca Al-Qur'an.

Ummu Ruman bertanya, 'Ada keperluan apakah, hai anak perempuanku hingga kamu datang ke sini?' Maka kuceritakan kepadanya kisah tersebut. Ternyata kisah tersebut belum sampai kepadanya seperti yang telah sampai kepadaku. Maka Ummu Ruman berkata, 'Tenangkanlah dirimu, hai anakku. Demi Allah, jarang sekali ada seorang wanita cantik istri seorang lelaki yang mencintainya, sedangkan lelaki itu mempunyai istri-istri yang lain, melainkan mereka iri terhadapnya dan selalu mempergunjingkannya.'

Maka aku bertanya, 'Apakah ayahku telah mengetahui kisah ini?' Ummu Ruman menjawab, 'Ya.' Aku bertanya, 'Begitu pula Rasulullah?' Ummu Ruman menjawab, 'Ya, Rasulullah pun telah mengetahuinya.'

Maka air mataku berkaca-kaca, lalu aku menangis, dan Abu Bakar mendengar suara tangisanku, sedangkan ia berada di lantai atas sedang membaca Al-Qur'an, lalu ia turun. Abu Bakar bertanya kepada ibuku  (Ummu Ruman), 'Mengapa dia menangis?' Ummu Ruman menjawab, 'Dia telah mendengar kisah dirinya yang menjadi buah bibir orang-orang banyak.' Maka Abu Bakar menangis dan berkata, 'Saya mohon kepadamu, hai anak perempuanku, agar kembali ke rumahmu' Maka aku pulang ke rumahku, sedangkan Rasulullah Saw. telah berada di rumah, lalu beliau bertanya kepada pelayan perempuanku tentang diriku, maka pelayan perempuanku menjawab, 'Wahai Rasulullah, tidak. Demi Allah, saya tidak mengetahui adanya suatu aib pun pada dirinya. Hanya, ketika ia sedang tertidur, datanglah kambing, lalu kambing itu memakan adonan rotinya.' Salah seorang sahabat Nabi Saw. menghardiknya seraya berkata, 'Berkatajujurlah kamu kepada Rasulullah!', hingga pelayan perempuanku itu takut karenanya. Maka berkatalah ia sekali lagi, 'Mahasuci Allah, demi Allah tiadalah yang kuketahui tentangnya melainkan seperti apa yang diketahui oleh seorang tukang kemasan tentang emas batangan merah (yang ada di hadapannya).'

Kemudian kisah tersebut sampai kepada lelaki yang dituduh terlibat dalam kejadian itu. Ia berkata, 'Mahasuci Allah. Demi Allah, aku tidak pernah membuka kemaluan seorang wanita pun.'

Siti Aisyah mengatakan bahwa lelaki itu gugur mati syahid dalam medan perang sebagai syuhada.
"Sejak itu kedua orang tuaku tetap berada denganku menemaniku, hingga datanglah Rasulullah Saw. dan masuk menemuiku. Seusai salat Asar beliau masuk menemuiku, sedangkan kedua orang tuaku mengapit diriku dari sisi kanan dan sisi kiriku.

Nabi Saw. mengucapkan puja dan puji kepada Allah Swt., lalu bersabda: 'Amma ba'du. Hai Aisyah, jika engkau melakukan suatu keburukan atau berbuat aniaya, maka bertobatlah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah menerima tobat hamba-hamba-Nya'.”

Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, "Datanglah seorang wanita dari kalangan Ansar, lalu ia duduk di dekat pintu. Maka aku berkata, Tidakkah engkau malu terhadap wanita ini bila engkau menyebutkan sesuatu (yang terdengar olehnya)?' Maka Rasulullah Saw. mengalihkan pembicaraannya kepada nasihat-nasihat.

Aku menoleh kepada ayahku dan kukatakan kepadanya, 'Jawablah Rasulullah Saw. sebagai ganti dariku' Ayahku menjawab, 'Apakah yang harus kukatakan kepadanya?'

Aku menoleh kepada ibuku dan berkata kepadanya, 'Jawablah Rasulullah sebagai ganti dariku.' Ibuku menjawab, 'Apakah yang harus kukatakan kepadanya?' Keduanya tidak mau menjawab.

Maka aku membaca syahadat dan memuji kepada Allah serta menyanjung-Nya dengan puja dan puji yang layak bagi-Nya, kemudian kukatakan, 'Amma ba'du. Demi Allah, jika kukatakan kepada kalian bahwa diriku tidak melakukannya, dan Allah menyaksikan bahwa sesungguhnya aku adalah orang benar, tentulah hal tersebut tidak berguna bagiku dalam tanggapan kalian, karena kalian telah membicarakannya dan isu tersebut telah meresap ke dalam hati kalian. Dan j ika aku katakan kepada kalian bahwa sesungguhnya aku melakukannya, sedangkan Allah mengetahui bahwa aku tidak melakukannya, tentulah kalian mengatakan bahwa itu memang salah dan dosaku. Sesungguhnya, demi Allah, aku tidak menemukan suatu perumpamaan pun bagi diriku dan kalian selain dari apa yang telah dialami oleh Nabi Ya'qub ayah Yusuf.' Ketika ia mengatakan seperti yang disitir oleh firman-Nya: 'maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan' (Yusuf: 18)

Pada saat itu Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Rasulullah Saw., maka kami diam. Setelah wahyu selesai darinya, tampak jelas tanda kegembiraan mewarnai wajah Rasulullah Saw. Lalu beliau bersabda seraya mengusap keringat dari dahinya: 'Bergembiralah engkau, hai Aisyah, sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu yang membersihkan namamu'.”

Siti Aisyah mengatakan bahwa saat itu ia dalam keadaan sangat marah, maka ayah dan ibunya berkata kepadanya, "Mendekatlah kamu kepadanya!" Maka aku menjawab, "Tidak, demi Allah, aku tidak mau mendekat kepadanya, dan aku tidak mau memujinya, serta aku tidak mau memuji kamu berdua, melainkan hanya memuji kepada Allah yang telah menurunkan wahyu tentang pembersihan namaku. Sesungguhnya kalian telah mendengar berita bohong itu, tetapi kalian tidak mengingkarinya dan tidak pula berupaya untuk mengubahnya."

Siti Aisyah mengatakan, "Adapun Zainab binti Jahsy, ia adalah seorang yang dipelihara oleh Allah berkat agamanya, karena itu ia tidak mengatakan kecuali kebaikan. Sedangkan saudara perempuannya (yaitu Hamnah binti Jahsy), ia binasa bersama orang-orang yang binasa. Dan orang yang gencar membicarakan berita bohong itu adalah Mistah, Hassan ibnu Sabit, dan seorang munafik (yaitu Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul). Dialah yang membubuhi asam dan garam berita bohong ini dan yang mempunyai peran penting dalam menyiarkan berita bohong ini. Yang lainnya adalah Hamnah."

Siti Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa Abu Bakar bersumpah tidak akan memberikan nafkahnya lagi kepada Mistah selama-lamanya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabatnya), orang-orang miskin. (An-Nur: 22)
Yang dimaksud dengan seseorang di antara kalian adalah sahabat Abu Bakar, sedangkan yang dimaksud dengan kerabat dan orang miskin adalah Mistah. Sampai dengan firman-Nya: Apakah kalian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nur: 22)

Maka Abu Bakar berkata, "Tidak, demi Allah, wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami benar-benar menginginkan agar Engkau memberikan ampunan bagi kami," lalu ia kembali memberikan nafkahnya kepada Mistah seperti semula.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui jalur ini secara ta'liq, tetapi dengan teks yang jazm (pasti) dari Abu Usamah, yaitu Hammad ibnu Usamah, salah seorang Imam yang ‎siqah.

Ibnu Jarir meriwayatkannya di dalam kitab tafsir, dari Sufyan ibnu Waki' secara panjang lebar dengan sanad yang sama dan lafaz yang semisal atau mendekatinya.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui Abu Sa'id Al-Asyaj, dari Abu Usamah sebagiannya.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Abu Salamah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah r.a. yang berkata, "Ketika diturunkan ayat yang membebaskan diriku dari langit, Nabi Saw. datang kepadaku dan menyampaikannya kepadaku. Maka aku berkata, 'Saya memuji kepada Allah dan tidak memuji kepadamu'."

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Adi, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Abdullah ibnu Abu Bakar, dari Amrah, dari Siti Aisyah yang mengatakan, "Setelah diturunkan wahyu yang membersihkan diriku, Rasulullah Saw. berdiri, lalu menceritakan hal tersebut dan beliau membacakannya. Setelah turun (dari mimbarnya) beliau memerintahkan agar menangkap dua orang laki-laki dan seorang wanita, kemudian mereka dijatuhi hukuman dera sebagai had mereka."

Para pemilik kitab sunan yang empat orang telah meriwayatkan hadis ini, selanjutnya Imam Turmuzi (salah seorang dari mereka) menilai bahwa hadis ini hasan. Dalam teks hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud disebutkan nama mereka yang dihukum dera itu, yaitu Hassan ibnu Sabit, Mistah ibnu Asasah, dan Hamnah binti Jahsy.

Demikianlah jalur-jalur yang meriwayatkan hadis ini melalui berbagai sumber dari Siti Aisyah Ummul Mu’minin r.a. yang terdapat di dalam kitab-kitab musnad, kitab-kitab sahih, kitab-kitab sunan, dan kitab-kitab hadis lainnya.

Telah diriwayatkan pula melalui hadis ibunya, yaitu Ummu Ruman r.a. Untuk itu Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami, Ali ibnu Asim, telah menceritakan kepada kami Husain, dari Abu Wa-il, dari Masruq, dari Ummu Ruman yang mengatakan bahwa ketika kami berada di dalam rumah Aisyah, tiba-tiba masuklah kepada Aisyah seorang wanita dari kalangan Ansar, lalu wanita itu berkata, "Semoga Allah membalas putranya (keponakannya) dengan pembalasan yang setimpal."

Maka Aisyah bertanya, "Mengapa?" Wanita itu berkata, "Sesungguh­nya dia termasuk orang yang mempergunjingkan berita dusta tersebut." Siti Aisyah bertanya, "Cerita tentang apa?" Wanita itu menerangkan segala sesuatunya kepada Aisyah. Lalu Aisyah bertanya, "Apakah berita itu telah sampai juga kepada Rasulullah?" Wanita Ansar itu menjawab, "Ya." Aisyah bertanya lagi, "Dan sampai pula kepada Abu Bakar?" Wanita itu menjawab, "Ya." Maka Aisyah jatuh terjungkal dalam keadaan pingsan, dan tidaklah ia sadar dari pingsannya kecuali badannya dalam keadaan demam dan menggigil.

Ummu Ruman melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia bangkit dan menyelimuti tubuh putrinya itu. Kemudian datanglah Nabi Saw., dan Nabi Saw. bertanya, "Ada apa dengan dia?" Ummu Ruman menjawab, "Wahai Rasulullah, dia terkena demam dan badannya menggigil." Nabi Saw. bersabda, "Barangkali setelah dia mendengar berita yang dipergunjingkan mengenai dirinya."

Ummu Ruman melanjutkan kisahnya, bahwa Siti Aisyah bangkit duduk, lalu berkata "Demi Allah, seandainya aku bersumpah kepada kalian (untuk membela diriku), kalian tidak akan percaya kepadaku. Dan seandainya aku meminta maaf kepada kalian, maka kalian tidak akan memaafkanku. Maka perumpamaanku dan perumpamaan kalian adalah sama dengan Ya'qub dan anak-anaknya saat dia mengatakan kepada mereka seperti yang disitir oleh firman-Nya: 'maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan' (Yusuf: 18)."

Ummu Ruman kembali melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Rasulullah Saw. keluar dan Allah menurunkan wahyu yang membersihkan kehormatan Aisyah. Kemudian Rasulullah Saw. kembali dengan ditemani oleh Abu Bakar, maka Rasulullah Saw. masuk (menemui Aisyah) dan bersabda, "Sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu yang membersihkan kehormatanmu, hai Aisyah."

Aisyah berkata, "Saya akan memuji kepada Allah dan tidak akan memujimu." Maka Abu Bakar berkata, "Beraninya kamu katakan demikian kepada Rasulullah Saw.?" Siti Aisyah menjawab, "Ya."

Tersebutlah bahwa di antara mereka yang membicarakan berita bohong itu adalah seorang lelaki yang penghidupannya dijamin oleh Abu Bakar, maka Abu Bakar bersumpah tidak akan bersilaturahmi lagi kepadanya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah. (An-Nur: 22), hingga akhir ayat.

Lalu Abu Bakar berkata, "Benar." Maka Abu Bakar kembali ber­silaturahmi kepada lelaki itu.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara tunggal tanpa Imam Muslim melalui jalur Husain.

Imam Bukhari telah meriwayatkannya pula melalui Musa ibnu Isma'il, dari Abu Uwanah dan dari Muhammad ibnu Salam, dari Muhammad ibnu Fudail; keduanya dari Husain dengan sanad yang sama. Di dalam teks hadis yang diriwayatkan oleh Abu Uwanah disebutkan bahwa Ummu Ruman telah menceritakan kepadaku. Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa Masruq mendengar hadis ini langsung darinya. Akan tetapi, hal ini disangkal oleh sejumlah huffaz (ahli hadis yang hafal) yang antara lain ialah Al-Khatib Al-Bagdadi. Demikian itu karena pernyataan yang dikatakan oleh ahli tarikh (sejarah) bahwa Ummu Ruman meninggal dunia di masa Nabi Saw. (sedangkan Masruq adalah seorang tabi'in yang ada sesudah Nabi Saw. wafat).

Al-Khatib mengatakan bahwa Masruq adalah orang yang me-mursal-kan hadis ini; dia mengatakan bahwa Ummu Ruman pernah ditanya, lalu ia menyebutkan hadis ini hingga selesai. Barangkali seseorang dari mereka menulis suilat(ditanya) dengan memakai alif sehingga menjadisa-altu (aku bertanya). Lalu orang yang menerima hadis ini menduga bahwa lafaz tersebut adalah sa-altu (aku bertanya) sehingga ia menduganya berpredikat muttasil.

Al-Khatib mengatakan juga bahwa Imam Bukhari telah meriwayat­kannya pula seperti itu dan dia tidak menyadari kealpaannya. Demikianlah apa yang dikutip dari perkataan Al-Khatib, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Sebagian dari mereka meriwayatkan hadis ini melalui Masruq, dari Abdullah ibnu Mas'ud, dari Ummu Ruman. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Firman Allah Swt.:

{إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالإفْكِ}

Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu. (An-Nur: 11)
Yakni kedustaan, kebohongan, dan berita buat-buatan itu.

{عُصْبَةٌ}

segolongan orang. (An-Nur: 11)
Maksudnya sejumlah orang dari kalian.

{لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ}

Janganlah kalian kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian. (An-Nur: 11)
Hai keluarga Abu Bakar.

{بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ}

Bahkan ia adalah baik bagi kalian. (An-Nur: 11)

Yaitu mengandung kebaikan bagi kalian di dunia dan akhirat; di dunia membuktikan kejujuran lisan kalian, dan di akhirat kalian akan memperoleh kedudukan yang tinggi. Sekaligus menonjolkan kehormatan mereka karena Aisyah memperoleh perhatian dari Allah Swt. saat Allah menurun­kan wahyu yang membersihkan dirinya di dalam Al-Qur'an yang mulia.

{لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلا مِنْ خَلْفِهِ}

Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur'an) ‎kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya. (Fushshilat: 42), hingga akhir ayat.

Karena itulah ketika Siti Aisyah sedang menjelang ajalnya, kemudian Ibnu Abbas masuk menjenguknya, maka Ibnu Abbas berkata menghibur hatinya, "Bergembiralah kamu, sesungguhnya kamu adalah istri Rasulullah Saw. dan beliau sangat mencintaimu. Beliau belum pernah kawin dengan seorang perawan selain engkau, dan pembersihan namamu diturunkan dari langit."

Ibnu Jarir mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Usman Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Aun, dari Al-Ma'la ibnu Irfan, dari Muhammad ibnu Abdullah ibnu Jahsy yang mengatakan bahwa Aisyah dan Zainab saling membanggakan diri. Zainab berkata, "Aku adalah wanita yang perintah perkawinanku diturunkan dari langit." Aisyah berkata, "Aku adalah wanita yang pembersihan namaku termaktub di dalam Kitabullah saat Safwan ibnul Mu'attal membawaku di atas kendaraannya." Zainab berkata, "Hai Aisyah, apakah yang kamu katakan ketika kamu menaiki unta kendaraannya?" Siti Aisyah menjawab, "Aku ucapkan, 'Cukuplah Allah bagiku, Dia adalah sebaik-baik Pelindung'." Zainab berkata, "Engkau telah mengucapkan kalimat orang-orang mukmin"

Firman Allah Swt:

{لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الإثْمِ}

Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. (An-Nur: 11), hingga akhir ayat.

Yakni bagi tiap-tiap orang di antara mereka yang membicarakan peristiwa itu dan menuduh Ummul Mu’minin Siti Aisyah r.a. berbuat keji (zina) akan mendapat bagian dari azabnya yang besar.

{وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ}

Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu. (An-Nur: 11)

Menurut suatu pendapat, makna ayat ialah orang yang mulai mencetuskan berita bohong. Menurut pendapat yang lainnya lagi ialah orang yang menghimpunnya, membubuhi asam garamnya, dan menyiarkan serta menenarkannya.

{لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ}

baginya azab yang besar. (An-Nur: 11)‎
sebagai pembalasan dari perbuatannya itu.

Menurut kebanyakan ulama, yang dimaksud oleh ayat ini tiada lain adalah Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul; semoga Allah menghukum dan melaknatnya. Dialah orang yang disebutkan di dalam teks hadis yang telah disebutkan di atas. Pendapat ini dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.

Menurut pendapat lainnya, yang dimaksud adalah Hassan ibnu Sabit, tetapi pendapat ini garib (menyendiri).

Seandainya tidak disebutkan di dalam kitab Sahih Bukhari sesuatu yang menunjukkan ke arah itu, tentulah penyebutannya di antara orang-orang yang terlibat dalam peristiwa ini tidak mengandung faedah yang besar. Karena sesungguhnya dia adalah seorang sahabat yang memiliki banyak keutamaan di antara sahabat-sahabat lainnya yang mempunyai keutamaan, sepak terjang yang terpuji, dan jejak-jejak peninggalan yang baik. Dia adalah seorang yang membela Rasulullah Saw. melalui syairnya, dan dialah orang yang Rasulullah Saw. bersabda kepadanya:

"هَاجِهِمْ وَجِبْرِيلُ مَعَكَ"

Balaslah cacian mereka, dan Jibril mendukungmu.

Al-A'masy telah meriwayatkan dari Abud Duha, dari Masruq yang mengatakan bahwa ketika ia sedang berada di rumah Siti Aisyah r.a., tiba-tiba masuklah Hassan ibnu Sabit. Lalu Siti Aisyah memerintahkan agar disediakan bantal duduk untuknya. Setelah Hassan keluar, aku berkata kepada Aisyah, "Mengapa engkau bersikap demikian?" Yakni membiar­kan dia masuk menemuimu. Menurut riwayat lain dikatakan kepada Aisyah, "Apakah engkau mengizinkan orang ini (Hassan) masuk menemuimu? Padahal Allah Swt. telah berfirman: 'Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab yang besar.' (An-Nur: 11)
Siti Aisyah menjawab, "Azab apa lagi yang lebih berat daripada kebutaan?" Sedangkan saat itu kedua mata Hassan ibnu Sabit telah buta, barangkali hal itulah yang dijadikan azab yang hebat baginya oleh Allah Swt. Kemudian Siti Aisyah berkata," Sesungguhnya dia pernah membela Rasulullah Saw. melalui syairnya."

Menurut riwayat yang lain, ketika Hassan hendak masuk menemuinya, ia mendendangkan sebuah bait syair yang memuji Siti Aisyah, yaitu:

حَصَان رَزَانٌ مَا تُزَنّ بِرِيبَةٍ ... وتُصْبح غَرْثَى مِنْ لُحوم الغَوَافل ...

Wanita yang anggun yang tidak patut dicurigai, tetapi pada pagi harinya haus dengan mempergunjingkan wanita-wanita yang terhormat lagi dalam keadaan lalai.

Selanjutnya Hassan mengatakan, "Adapun engkau tidak demikian." Menurut riwayat lain Hassan berkata, "Tetapi engkau tidaklah demikian."

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Quza'ah, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Alqamah, telah menceritakan kepada kami Daud, dari Amir, dari Aisyah, bahwa ia pernah berkata, "Aku belum pernah mendengar suatu syair pun yang lebih baik daripada syair Hassan, dan tidak sekali-kali saya mendendang­kannya melainkan saya berdoa semoga dia memperoleh surga, yaitu ucapannya kepada Abu Sufyan ibnul Haris ibnu Abdul Muttalib:

هَجَوتَ مُحَمَّدا فَأجبتُ عَنْهُ ... وَعندَ اللَّهِ فِي ذَاكَ الجزاءُ ...
فَإنَ أَبِي وَوَالده وعِرْضي ... لعرْضِ مُحَمَّد مِنْكُمْ وقاءُ ...
أَتَشْتُمُه، ولستَ لَه بكُفءٍ? ...فَشَرُّكُمَا لخَيْركُمَا الفدَاءُ ...
لِسَانِي صَارمٌ لَا عَيْبَ فِيه ...وَبَحْرِي لَا تُكَدِّرُه الدِّلاءُ ...

Engkau telah mengejek Muhammad, maka aku menjawabmu sebagai ganti darinya, dan hanya berharap pahala dari sisi Allah sajalah aku lakukan ini. Dan sesungguhnya ayahku dan anaknya serta kehormatanku kukorbankan demi membela kehormatan Muhammad dari ejekanmu. Apakah engkau mencacinya, sedangkan engkau tidak sepadan dengannya? Sebenarnya orang yang terburuk di antara kamu berdua menjadi tebusan bagi orang yang terbaik di antara kamu. Lisanku cukup tajam, tidak pernah tercela, dan lautku tidak akan kering oleh banyaknya timba (yang mengambili airnya).

Ketika dikatakan kepada Siti Aisyah, "Hai Ummul Mu’minin, bukankah ini namanya perkataan yang tidak berguna?" Siti Aisyah menjawab, "Tidak, sesungguhnya yang dikatakan perkataan yang tidak berguna ialah syair-syair yang membicarakan tentang wanita."

Ketika dikatakan kepadanya bahwa bukankah Allah Swt. telah berfirman: Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab yang besar. (An-Nur: 11)

Siti Aisyah menjawab, "Bukankah kedua matanya telah buta dan dilukai oleh pukulan pedang?" Ia bermaksud pukulan pedang yang dilakukan oleh Safwan ibnul Mu'attal As-Sulami terhadapnya saat Safwan mendengar berita bahwa Hassan ibnu Sabit membicarakan tentang berita bohong mengenai dirinya itu. Lalu Safwan memukulnya dengan pedang dan hampir membunuhnya.

Firman Alloh SWT ;

لَوْلا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ (12) لَوْلا جَاءُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَدَاءِ فَأُولَئِكَ عِنْدَ اللَّهِ هُمُ الْكَاذِبُونَ (13) 

Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang mukmin dan mu’minat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” Mengapa mereka(yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta. (QS An-Nur Ayat 12-13)

Hal ini merupakan pelajaran dari Allah kepada orang-orang mukmin dalam kisah Aisyah r.a. saat sebagian dari mereka memperbincangkan hal yang buruk dan pergunjingan mereka tentang berita bohong tersebut. Allah Swt. berfirman:

{لَوْلا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا}

Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu (yakni tuduhan yang dilontarkan terhadap diri Siti Aisyah r.a.) orang-orang mukmin dan mu’minat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri. (An-Nur: 12)

Yaitu mengapa pada diri mereka sendiri seandainya tuduhan seperti itu dilontarkan terhadap diri mereka. Jika tuduhan tersebut tidak layak dilontarkan terhadap diri mereka, maka terlebih lagi tidak layaknya jika dilontarkan kepada Ummul Mu’minin; ia lebih bersih dari pada diri mereka.

Menurut pendapat lain, ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Ayub Khalid ibnu Zaid Al-Ansari dan istrinya.

Seperti yang disebutkan di dalam riwayat Imam Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar, dari ayahnya, dari sebagian orang yang terkemuka dari kalangan Bani Najjar, bahwa Abu Ayub Khalid ibnu Zaid Al-Ansari ditanya oleh istrinya (yaitu Ummu Ayub), "Hai Abu Ayub, tidakkah engkau mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang tentang Aisyah r.a." Abu Ayub menjawab, "Ya, berita tersebut adalah dusta. Apakah engkau berani melakukan hal tersebut (seperti yang dituduhkan oleh mereka), hai Ummu Ayub?" Ummu Ayub menjawab, "Tidak, demi Allah, aku benar-benar tidak akan melakukan hal tersebut." Maka Abu Ayub menjawab, "Aisyah, demi Allah, lebih baik daripada kamu."

Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa setelah diturunkan ayat Al-Qur'an yang menyebutkan tentang apa yang telah dituduhkan oleh para penyiar berita bohong terhadap diri Aisyah, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. (An-Nur: 11) Maksudnya, Hassan dan teman-temannya yang mengatakan berita bohong itu. Kemudian Allah Swt. berfirman: Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang mukmin dan mu’minat tidak berprasangka baik. (An-Nur: 12), hingga akhir ayat. Yakni seperti apa yang dikatakan oleh Abu Ayub dan istrinya.

Muhammad ibnu Umar Al-Waqidi mengatakan telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Habib, dari Daud ibnul Husain, dari Abu Sufyan, dari Aflah maula Abu Ayyub, bahwa Ummu Ayyub berkata kepada Abu Ayyub, "Tidakkah engkau mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang tentang Aisyah?" Abu Ayyub menjawab, "Ya, benar, dan itu adalah berita bohong. Apakah kamu berani melakukan hal itu, hai Ummu Ayyub?" Ummu Ayyub menjawab, "Tidak, demi Allah." Abu Ayyub berkata, "Aisyah, demi Allah, lebih baik daripada kamu." Setelah diturunkan wahyu yang menceritakan tentang para penyiar berita bohong itu, Allah Swt. berfirman: Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang mukmin dan mukminat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (An-Nur: 12) Yaitu seperti yang dikatakan oleh Abu Ayyub saat berkata kepada istrinya, Ummu Ayyub.

Menurut pendapat yang lain, sesungguhnya orang yang berprasangka baik itu hanyalah, Ubay ibnu Ka'b.

Firman Allah Swt.:

{ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ}

orang-orang mukmin (tiada) berprasangka. (An-Nur: 12), hingga akhir ayat.

Artinya, mengapa mereka tidak berprasangka baik, karena sesungguhnya Ummul Mu’minin adalah orang yang ahli kebaikan dan lebih utama sebagai ahli kebaikan. Hal ini berkaitan dengan hati, yakni batin orang yang bersangkutan.
Firman Allah Swt.:

{وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ}

Dan (mengapa tidak) berkata, "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (An-Nur: 12)

Kemudian lisan mereka mengatakan bahwa berita tersebut adalah dusta dan bohong belaka yang mereka lontarkan terhadap pribadi Siti Aisyah Ummul Mu’minin. Karena sesungguhnya kejadian yang sebenarnya sama sekali tidak mengandung hal yang mencurigakan, sebab Siti Aisyah Ummul Mu’minin datang dengan mengendarai unta Safwan ibnul Mu'attal di waktu tengah hari, sedangkan semua pasukan menyaksikan kedatangan tersebut dan Rasulullah Saw. ada di antara mereka. Seandainya hal tersebut mengandung kecurigaan, tentulah kedatangan tersebut tidak dilakukan secara terang-terangan, tentu pula kedatangan keduanya tidak mau disaksikan oleh semua orang yang ada dalam pasukan itu. Bahkan dengan segala upaya seandainya mengandung hal yang mencurigakan, tentu kedatangan mereka dilakukan dengan sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui oleh orang lain. Berdasarkan kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa apa yang mereka lontarkan terhadap diri Siti Aisyah berupa tuduhan tidak baik hanyalah bohong belaka dan buat-buatan, serta tuduhan keji dan merupakan transaksi yang merugikan pelakunya.
Allah Swt. berfirman:

{لَوْلا جَاءُوا عَلَيْهِ}

Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan. (An-Nur:. 13)

Yakni untuk membuktikan apa yang mereka katakan dalam tuduhannya itu.

{بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ}

empat orang saksi. (An-Nur: 13)
untuk mempersaksikan kebenaran dari apa yang mereka tuduhkan.

{فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَدَاءِ فَأُولَئِكَ عِنْدَ اللَّهِ هُمُ الْكَاذِبُونَ}

Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta. (An-Nur: 13)‎
Menurut hukum Allah, mereka adalah orang-orang yang dusta lagi durhaka.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar