Minggu, 29 Mei 2016

Janganlah Menuduh Wanita Baik-Baik Berbuat Selingkuh

Perzinaan terdapat banyak akibat yang terjadi setelah kenikmatan yang diharamkan dalam beberapa saat itu, yaitu pembunuhan dalam beberapa segi, Pertama  pada penempatan seba kehidupan (sperma) bukan pada tempatnya yang sah. Ini biasanya disusul keinginan untuk menggugurkan, yakni membunuh janin yang dikandung. Kalau dilahirkan hidup, maka biasanya ia dibiarkan begitu saja tanpa ada yang memelihara dan mendidiknya, dan ini merupakan salah satu bentuk pembunuhan. Perzinaan juga merupakan pembunuhan terhadap masyarakat yang merajalela ditengah-tengahnya keburukan ini, karena disni menjadi tidak jelas atau bercampur baur keturunan seseorang serta menjadi hilang kepercayaan menyangkut kehormatan dan anak, sehingga hubungan antar masyarakat melemah yang akhirnya mengantar kepada kematian ummat. Disisi lain perzinaan juga membunuh masyarakat dari segi kemudahan atau melampiaskan nafsu, sehingga kehidupan rumah tangga menjadi sangat rapuh, padahal ia merupakan wadah yang terbaik untuk mendidik dan mempersiapkan generasi muda memikul tanggung jawabnya. 

Qodzf  adalah menuduh perempuan baik-baik berbuat zina tanpa adanya alasan yang menyakinkan. Dalam islam, kehormatan merupakan suatu hak elementer yang harus dilindungi. Menuduh  zina yang yang kemudian ternyata tidak terbukti akan sangat berbahaya akan menimbulkan efek lanjutan.

Saat kaum muslimin kurang peduli dengan aturan-aturan syari’at, maka efek negatif menjadi sebuah keniscayaan, cepat ataupun lambat. Misalnya, yang berkenaan wanita yang keluar rumah dengan penampilan yang tidak sesuai syari’at plus tanpa kebutuhan mendesak. Akibatnya, sering memancing perbuatan kriminal. Isu pergaulan bebas serta isu kesetaraan gender yang sering digembar-gemborkan berbagai media massa, menambah suasana semakin parah. Akhirnya, biduk rumah tangga yang selama ini adem ayem mulai dihantui berbagai problem dan diterpa badai fitnah. Mulai dari tuduhan selingkuh yang diarahkan kepada pasangan hidup, meragukan anak yang terlahirkan dari rahim sang istri sebagai anak dia bahkan sampai pada tahap penolakan terhadap anak yang dilahirkan istri. 

Menuduh Selingkuh Adalah Dosa Besar
Dalam Islam menuduh seorang wanita muslimah berbuat zina adalah perkara besar dan termasuk dosa besar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ الهِl وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِالهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ الهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ

“Hindarilah oleh kalian tujuh hal yang membinasakan.” Ada yang bertanya: “Apakah tujuh hal itu wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab : “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharam oleh Allah Azza wa Jalla kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, kabur dari medan perang, menuduh zina terhadap wanita suci yang sudah menikah dan lengah. ” [Muttafaqun ‘Alaihi]

Oleh karena itu Islam menetapkan hukuman khusus bagi seorang yang menuduh orang lain berzina kemudian tidak mampu mendatangkan empat saksi yang melihat langsung kejadiannya.

Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman;

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (4) إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (5) 

Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang -menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan memper­baiki (dirinya),maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS An-Nur Ayat 4-5)

Di dalam ayat ini diterangkan hukum dera bagi orang yang menuduh wanita yang baik-baik berbuat zina. Yang dimaksud dengan istilah muhsanah dalam ayat ini ialah wanita merdeka yang sudah balig lagi memelihara kehormatan dirinya. Jika yang dituduh melakukan zina itu adalah seorang lelaki yang terpelihara kehormatan dirinya, maka begitu pula ketentuan hukumnya, yakni si penuduh dikenai hukuman dera. Tiada seorang pun dari kalangan ulama yang memperselisihkan masalah hukum ini. Jika si penuduh dapat membuktikan kebenaran dari persaksiannya, maka terhindarlah dirinya dari hukuman had (dan yang dikenai hukuman had adalah si tertuduhnya). Karena itulah Allah Swt. menyebutkan dalam firman-Nya:

{ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ}

dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (An-Nur: 4)

Ada tiga macam sangsi hukuman yang ditimpakan kepada orang yang menuduh orang lain berbuat zina tanpa bukti yang membenarkan kesaksiannya, yaitu:
Pertama, dikenai hukuman dera sebanyak delapan puluh kali.

Kedua, kesaksiannya tidak dapat diterima buat selama-lamanya.

Ketiga, dicap sebagai orang fasik dan bukan orang adil, baik menurut Allah maupun menurut manusia.

Kemudian Allah Swt. menyebutkan dalam firman selanjutnya:

{إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا}

kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan mem­perbaiki (dirinya). (An-Nur: 5), hingga akhir ayat.

Para ulama berselisih pendapat tentang makna yang direvisi oleh pengecualian ini, apakah yang direvisinya itu adalah kalimat terakhirnya saja, sehingga pengertiannya ialah tobat yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan dapat menghapuskan predikat fasiknya saja, sedangkan kesaksiannya tetap ditolak untuk selama-lamanya, sekalipun ia telah bertobat. Ataukah yang direvisi oleh istisna adalah kalimat yang kedua dan yang ketiganya? Adapun mengenai hukuman dera bila telah dijalani yang bersangkutan, maka selesailah, baik ia bertobat ataupun tetap masih menjalankan perbuatannya itu, tidak ada masalah lagi sesudah itu, tanpa ada perselisihan di kalangan ulama mengenainya.

Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Syafii berpendapat bahwa jika orang yang bersangkutan telah bertobat, maka kesaksiannya dapat diterima kembali dan terhapuslah predikat fasik dari dirinya. Hal ini telah di-nas-kan oleh penghulu para tabi'in, yaitu Sa'id ibnul Musayyab dan sejumlah ulama Salaf.

Imam Abu Hanifah mengatakan, sesungguhnya yang direvisi oleh istisna hanyalah jumlah yang terakhir saja. Karena itu, menurutnya terhapuslah predikat fasik bila yang bersangkutan bertobat (setelah menjalani hukuman had), sedangkan kesaksiannya tetap ditolak untuk selamanya. Orang yang berpendapat demikian dari kalangan ulama Salaf ialah Qadi Syuraih, Ibrahim An-Nakha'i, Sa'id ibnu Jubair, Mak-hul, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Jabir.

Asy-Sya'bi dan Ad-Dahhak mengatakan bahwa kesaksiannya tetap tidak dapat diterima, sekalipun telah bertobat, kecuali jika ia mengakui bahwa tuduhan yang dilancarkannya adalah bohong semata, maka barulah dapat diterima kesaksiannya (di masa mendatang). Hanya Allah-Iah Yang Maha Mengetahui.

Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman;

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ (6) وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ (7) وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ (8) وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ (9) وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ حَكِيمٌ (10) 

Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina),padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan(sumpah) yang kelimd; bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. Dan andaikata tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atas diri kalian dan (andaikata) Allah tidak Penerima Tobat lagi Mahabijaksana, (niscaya kalian akan mengalami kesulitan). (QS An-Nur Ayat 6-10)‎

Di dalam ayat-ayat ini terkandung jalan keluar bagi para suami dan hukum yang mempermudah pemecahan masalah bila seseorang dari mereka menuduh istrinya berbuat zina, sedangkan ia sulit menegakkan pem­buktiannya, yaitu hendaknya dia melakukan li’an terhadap istrinya, seperti yang diperintahkan oleh Allah Swt. Yaitu dengan menghadapkan istrinya kepada hakim, lalu ia melancarkan tuduhannya terhadap istrinya di hadapan hakim. Maka imam akan menyumpahnya sebanyak empat kali dengan nama Allah, sebagai ganti dari empat orang saksi yang diperlukannya, bahwa sesungguhnya dia benar dalam tuduhan yang dilancarkannya terhadap istrinya.

{وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ}

Dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. (An-Nur: 7)

Jika si suami telah menyatakan sumpah li'an-nyaitu, maka istri yang dituduhnya berbuat zina itu secara otomatis terceraikan darinya secara ba'in,menurut pendapat Imam Syafii dan sejumlah banyak orang dari kalangan ulama. Kemudian bekas istrinya itu haram baginya untuk selama-lamanya, dan si suami melunasi mahar istrinya, sedangkan bekas istrinya itu dikenai hukuman zina. Tiada jalan bagi si istri untuk menghindarkan hukuman yang akan menimpa dirinya kecuali bila ia mau mengucapkan sumpah Li’an lagi. Maka ia harus mengucapkan sumpah sebanyak empat kali dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya suaminya itu termasuk orang-orang yang dusta dalam tuduhan yang dia lancarkan terhadap dirinya.

{وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ}

dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar. (An-Nur: 9)
Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:

{وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ}

Istrinya itu dihindarkan dari hukuman. (An-Nur: 8).
Yakni hukuman had.

{أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْها إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ}

oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (An-Nur: 8-9)

Dalam teks sumpah disebutkan secara khusus dengan istilah gadab yang artinya murka, mengingat kebanyakan seorang suami itu tidak akan mau membuka aib keluarganya dan menuduh istrinya berbuat zina kecuali bila dia benar dalam tuduhannya dan menyaksikan apa adanya. Sebalik­nya pihak si istri pun mengetahui kebenaran dari apa yang dituduhkan oleh dia (suaminya) terhadap dirinya. Karena itulah dalam sumpah yang kelima harus disebutkan sehubungan dengan hak dirinya, bahwa murka Allah akan menimpa dirinya (jika suaminya benar). Orang yang dimurkai oleh Allah ialah seseorang yang mengetahui kebenaran, kemudian berpaling darinya.

Lalu Allah menyebutkan belas kasihan-Nya terhadap makhluk-Nya dalam menetapkan hukum syariat bagi mereka, yaitu memberikan jalan keluar dan pemecahan dari kesempitan yang mengimpit diri mereka. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

{وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ}

Dan andaikata tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atas diri kalian. (An-Nur: 10)

tentulah kalian berdosa dan tentulah kalian akan mengalami banyak kesulitan dalam urusan-urusan kalian.

{وَأَنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ}

dan (andaikata) Allah tidak Penerima Tobat. (An-Nur: 10)
kepada hamba-hamba-Nya, sekalipun hal itu sesudah sumpah yang berat.

{حَكِيمٌ}

lagi Mahabijaksana. (An-Nur: 10)

dalam menetapkan syariat-Nya dan dalam menetapkan apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang-Nya. Banyak hadis yang menyebut­kan anjuran mengamalkan ayat ini, kisah latar belakang penurunannya, dan berkenaan dengan siapa saja ayat ini diturunkan dari kalangan para sahabat.

Sedangkan dari sunnah diantaranya hadits Sahl bin Sa’ad as-Sâ’idi Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

أَنَّ عُوَيْمِرَ أَتَى عَاصِمَ بْنَ عَدِيٍّ وَكَانَ سَيْدَ بَنِيْ عَجْلاَن فَقَالَ كَيْفَ تَقُوْلُوْنَ فِيْ رَجُلٍ وَجَدَ مَعَ امْرَأَتِهِ رَجُلاً أَيَقْتُلُهُ فَتَقْتُلُوْنَهُ أَمْ كَيْفَ يَصْنَعُ سَلْ لِيْ رَسُوْلَ اللهِ عَنْ ذَلِكَ ! فَأَتَى عَاصِمٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ – فَكَرِهَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَسَائِلَ- فَسَأَلَهُ عُوَيْمِرُ فَقَالَ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ كَرِهَ الْمَسَائِلَ وَ عَابَهَا. قَالَ عُوَيْمِرُ: وَ اللهِ لاَ أَنْتَهِي حَتَّى أَسأَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ. فَجَاءَ عُوَيْمِرُ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ! رَجُلٌ وَجَدَ مَعَ امْرَأَتِهِ رَجُلاً أَيَقْتُلُهُ فَتَقْتُلُوْنَهُ أَمْ كَيْفَ يَصْنَعُ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَدْ أَنْزَلَ اللهُ الْقُرْآنَ فِيْكَ وَ فِيْ صَاحِبِكَ. فَأَمَرَهُمَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمُلاَعَنَةِ بِمَا سَمَّى اللهُ فِيْ كِتَابِهِ فَلاَعَنَهَا ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنْ حَبَسْتَهَا فَقَدْ ظَلَمْتَهَا فَطَلَّقَهَا فَكَانَتْ سُنَّةً لِمَنْ كَانَ بَعْدَهَا فِيْ الْمُتَلاَعِنَيْنِ ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : انْظُرُوْا فَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أَسْحَم أَدْعَج الْعَيْنَيْنِ عَظِيْم الأَلْيَتَيْنِ خَدَلَّج السَّاقَيْنِ فَلاَ أَحَسَبُ عُوَيْمِرًا إِلاَّ وَقَدْ صَدَقَ عَلَيْهَا وَ إِنْ جَاءَتْ بِهِ أُحَيْمِر كَأَنَّهُ وَحَرَةٌ فَلاَ أَحْسَبُ عُوَيْمِرًا إِلاَّ وَقَدْ كَذَبَ عَلَيْهَا. فَجَاءَتْ بِهِ عَلَى النَّعْتِ الّذِيْ نَعَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ تَصْدِيْقِ عُوَيْمِرٍ فَكَانَ بَعْدُ يُنْسَبُ إِلَى أُمِّهِ

Sesungguhnya ‘Uwaimir Radhiyallahu anhu mendatangi ‘Ashim bin ‘AdiRadhiyallahu anhu yang beliau adalah kepala bani ‘Ajlân seraya berkata: Bagaimana pendapatmu tentang seorang yang mendapati seorang lelaki bersama istrinya, apakah ia boleh membunuhnya lalu kalian (balas-red) membunuhnya atau bagaimana ia harus berbuat ? Tanyakanlah hal ini untukku kepada Rasulullah! Lalu ‘Ashim Radhiyallahu anhu mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata : “Wahai Rasulullah! – Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai pertanyaan seperti itu- lalu ‘Uwaimir Radhiyallahu anhu bertanya kepada Ashim Radhiyallahu anhu dan ia jawab bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai pertanyaan tersebut dan mencelanya. ‘Uwaimir Radhiyallahu anhu berkata : ‘Demi Allah ! aku tidak akan berhenti sampai aku bisa bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu. Lalu ‘Uwaimir Radhiyallahu anhu datang dan berkata : Wahai Rasulullah! Seorang lelaki mendapatkan lelaki lain bersama istrinya, apakah ia boleh membunuhnya lalu kalian (akan balas-red) membunuhnya atau bagaimana seharusnya ia berbuat ? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan Al-Qur`an tentangmu dan istrimu. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan keduanya bermulâ’anah (saling melaknati) dengan yang telah Allah sebutkan dalam kitabNya. Lalu keduanya melakukan mulâ’anah. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika kamu menahan dia berarti kamu menzhaliminya.” Lalu Uwaimir Radhiyallahu anhu menceraikan istrinya. Kemudian jadilah itu sebagai sunnah bagi generasi setelah keduanya dalam mula’anah. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Perhatikanlah! Apabila perempuan itu melahirkan anak yang hitam, bermata lebar dan hitam, pantatnya besar dan kedua betisnya besar, maka aku yakin bahwa ‘Uwaimir jujur dalam hal ini dan bila melahirkan anak yang putih kemerahan, maka saya yakin bahwa ‘Uwaimir telah berdusta. Lalu wanita itu melahirkan seorang bayi yang memiliki sifat seperti yang disebutkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kejujuran ‘Uwaimir. Setelah itu, anak tersebut dinasabkan kepada ibunya. [HR Bukhâri no. 4745 (lihat Fat-hul-Bâri 8/448) dan Muslim no. 1492]

Demikian juga hadits Anas Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

إِنَّ هِلاَلَ بْنَ أُمَيَّةَ قَذَفَ امْرَأَتَهُ بِشَرِيكِ ابْنِ سَحْمَاءَ وَكَانَ أَخَا الْبَرَاءِ بْنِ مَالِكٍ لِأُمِّهِ وَكَانَ أَوَّلَ رَجُلٍ لاَعَنَ فِي الْإِسْلَامِ قَالَ فَلَاعَنَهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْصِرُوهَا فَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أَبْيَضَ سَبِطًا قَضِيءَ الْعَيْنَيْنِ فَهُوَ لِهِلَالِ بْنِ أُمَيَّةَ وَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أَكْحَلَ جَعْدًا حَمْشَ السَّاقَيْنِ فَهُوَ لِشَرِيكِ ابْنِ سَحْمَاءَ قَالَ فَأُنْبِئْتُ أَنَّهَا جَاءَتْ بِهِ أَكْحَلَ جَعْدًا حَمْشَ السَّاقَيْنِ

Sesungguhnya Hilal bin Umayyah Radhiyallahu anhu menuduh istrinya berzina dengan Syarik bin Sahma` Radhiyallahu anhu . Hilal Radhiyallahu anhu adalah saudara seibu dari al-Barâ’ bin Mâlik Radhiyallahu anhu dan beliau adalah lelaki pertama yang melakukan mulâ’anah dalam Islam. Beliau berkata : Lalu Hilal Radhiyallahu anhu melakukan mulâ’anah terhadap istrinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Pehatikanlah wanita itu! apabila ia melahirkan anak yang putih, berambut lurus dan matanya tidak bening maka ia milik Hilal bin Umayyah dan bila melahirkan anak berbola mata hitam, keriting dan kedua betisnya kecil, maka ia dari Sarik bin Sahma`. Anas Radhiyallahu anhu berkata: Saya diberitahu wanita itu melahirkan anak yang berbola mata hitam, keriting dan kecil kedua betisnya. (HR Muslim no 2749).

Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman;‎

إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (23) يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (24) يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ اللَّهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ وَيَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ الْمُبِينُ (25) 

Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hari itu Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah Yang Benar, lagi Yang menjelaskan(segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya). (QS An-Nur ayat 23-25)‎

Hal ini merupakan ancaman dari Allah Swt. kepada orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik yang sedang dalam keadaan lengah berbuat zina, sedangkan mereka adalah wanita-wanita yang beriman. Disebutkan secara mayoritas mu’minat, maka Ummahatul Mu’minin termasuk ke dalam pengertian ini secara prioritas lebih dari semua wanita yang baik-baik. Terlebih lagi wanita yang menjadi penyebab turunnya ayat ini yaitu Siti Aisyah bintis Siddiq r.a.

Para ulama rahimahumullah telah sepakat secara bulat, bahwa orang yang mencaci Siti Aisyah sesudah peristiwa turunnya ayat ini lalu menuduhnya berbuat zina sesudah ada keterangan dari Al-Qur'an yang membersihkan kehormatan dirinya. Maka orang tersebut adalah kafir karena menentang Al-Qur'an.

Tetapi sehubungan dengan Ummahatul Mu’minin lainnya, ada dua pendapat. Menurut pendapat yang paling sahih, mereka pun sama dengan Siti Aisyah r.a. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Firman Allah Swt.:

{لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ}

mereka kena laknat di dunia dan akhirat. (An-Nur: 23), hingga akhir ayat.

Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya:

{إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ}

Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. (Al-Ahzab: 57), hingga akhir ayat.

Sebagian ulama berpendapat bahwa hal ini hanyalah khusus bagi Siti Aisyah r.a.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Hirasy, dari Al-Awwam, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini:Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina). (An-Nur: 23 ) Bahwa ayat ini secara khusus diturunkan berkenaan dengan Siti Aisyah.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair dan Muqatil ibnu Hayyan.

Ibnu Jarir telah meriwayatkan hal ini melalui Siti Aisyah. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdah Ad-Dabbi, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Umar ibnu Abu Salamah, dari ayahnya, dari Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa ia pernah dituduh berbuat zina, sedangkan ia dalam keadaan lalai (tidak menyadarinya), lalu berita itu sampai kepadanya. Ketika Rasulullah Saw. sedang duduk di rumah Siti Aisyah, tiba-tiba wahyu diturunkan kepadanya.

Siti Aisyah mengatakan, "Apabila wahyu sedang diturunkan kepada Rasulullah Saw. maka beliau mengalami suatu keadaan seperti orang yang sedang dalam keadaan mengantuk. Ketika wahyu diturunkan kepadanya, beliau sedang duduk di dekatku, kemudian beliau duduk tegak seraya mengusap wajahnya dan berkata, 'Hai Aisyah, bergembiralah.' Aku menjawab, 'Saya memuji kepada Allah, bukan memuji kepadamu.' Lalu Nabi Saw. membacakan firman-Nya: 'Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina).' (An-Nur: 23) sampai dengan firman-Nya: 'Mereka(yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh orang-orang yang menuduhnya. Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).' (An-Nur: 26)."

Demikianlah bunyi hadis yang diketengahkan oleh Ibnu Jarir, di dalamnya tidak terdapat suatu ketentuan yang menyatakan bahwa hal ini khusus menyangkut Siti Aisyah. Bahkan yang disebutkan di dalamnya hanya menyatakan bahwa peristiwa Siti Aisyah adalah yang melatarbelakangi turunnya ayat ini, sedangkan mengenai ketentuan hukumnya bersifat umum mencakup selainnya.

Barangkali pendapat tersebut yang mengatakan bahwa hal ini khusus bagi Siti Aisyah hanyalah menurut pendapat Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang sependapat dengan dia.

Ad-Dahhak, Abul Jauza, dan Salamah ibnu Nabit mengatakan yang dimaksud oleh ayat ini ialah istri-istri Nabi Saw. secara khusus, bukan wanita lainnya.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina). (An-Nur: 23), hingga akhir ayat. Yakni istri-istri Nabi Saw. yang dituduh berbuat zina oleh orang-orang munafik, maka Allah melaknat dan murka terhadap mereka, serta mereka akan kembali dengan membawa murka dari Allah Swt. Hal ini hanya berlaku berkenaan dengan istri-istri Nabi Saw. Kemudian diturunkan sesudahnya firman Allah Swt. yang menyebutkan:Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi. (An-Nur: 4) sampai dengan firman-Nya: maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(An-Nur: 5) Allah menurunkan ayat yang menyangkut masalah hukuman had dan tobatnya. Tobat diterima, tetapi kesaksian yang bersangkutan tidak diterima.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Al-Awwam ibnu Hausyab, dari seorang Syekh dari kalangan Bani Asad, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ia menafsirkan surat An-Nur, dan ketika sampai pada firman-Nya:Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina). (An-Nur: 23), hingga akhir ayat. Maka Ibnu Abbas mengatakan bahwa hal ini berkenaan dengan Aisyah dan istri-istri Nabi Saw. yang lainnya. Di dalam ayat ini tidak jelas disebutkan ketentuan hukumnya, dan tidak disebutkan bahwa tobat mereka diterima. Kemudian Ibnu Abbas melanjutkan tafsirannya sampai pada firman Allah Swt.: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi. (An-Nur: 4) sampai dengan firman-Nya: kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya). (An-Nur: 5). hingga akhir ayat. Maka Allah Swt. menjadikan bagi mereka jalan untuk tobat, dan tidak menjadikan bagi mereka yang menuduh istri-istri Nabi Saw. jalan untuk tobat.

Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa lalu sebagian dari para hadirin di majelis itu berniat bangkit menuju kepada Ibnu Abbas dengan maksud akan mencium kepalanya karena tafsir yang ia kemukakan tentang surat An-Nur ini sangat baik, sebagai ungkapan rasa terima kasihnya.

Perkataan Ibnu Abbas Mubhamah mengandung pengertian umum tentang pengharaman menuduh berzina setiap wanita yang baik-baik, dan bahwa pelakunya mendapat laknat di dunia dan akhirat.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, bahwa hal ini berkenaan dengan Siti Aisyah dan orang-orang yang melakukan perbuatan serupa terhadap kaum muslimat di masa sekarang. Maka bagi mereka ancaman yang telah disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya. Akan tetapi, Siti Aisyah saat itu dijadikan sebagai teladan dan contoh dalam masalah ini.

Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat ini mengandung pengertian yang umum, dan pendapat inilah yang benar menurutnya.
Pendapat yang mengatakan bermakna umum diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Ia mengatakan:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ -ابْنُ أَخِي ابْنِ وَهْبٍ -حَدَّثَنَا عَمِّي، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانَ بْنِ بِلَالٍ، عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ أَبِي الغَيث عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ". قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: "الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ".

telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdur Rahman (anak lelaki saudara Wahb), telah menceritakan kepadaku pamanku, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Bilal, dari Saur ibnu Zaid, dari Abul Gais, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Jauhilah tujuh macam dosa yang membinasakan.” Ketika ditanyakan, "Apa sajakah itu, wahai Rasulullah? Rasulullah Saw. bersabda,"Mempersekutukan Allah, melakukan sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh berzina wanita-wanita yang baik-baik, yang lalai lagi beriman."

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab sahihnya masing-masing melalui hadis Sulaiman ibnu Bilal dengan sanad yang sama.

قَالَ الْحَافِظُ أَبُو الْقَاسِمِ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرو بْنِ خَالِدٍ الحَذَّاء الْحَرَّانِيُّ، حَدَّثَنِي أَبِي، (ح) وَحَدَّثَنَا أَبُو شُعَيب الْحَرَّانَيُّ، حَدَّثَنَا جَدِّي أَحْمَدُ بْنُ أَبِي شُعَيب، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ أَعْيَنَ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ صِلَة بْنِ زُفَر، عَنْ حُذَيْفَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:"قَذْفُ الْمُحْصَنَةِ يَهْدِمُ عَمَلَ مِائَةِ سَنَةٍ"

Al-Hafiz Abul Qasim At-Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Umar Abu Khalid At-Ta-i Al-Mahrami, telah menceritakan kepadaku Abi Tabrani mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Syu'aib Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami kakekku (yaitu Ahmad ibnu Abu Syu'aib), telah menceritakan kepadaku Musa ibnu A'yun, dari Lais, dari Abu Ishaq, dari Silah ibnu Zufar, dari Huzaifah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Menuduh wanita yang baik-baik berbuat zina dapat menggugurkan amal (baik) seratus tahun.

Firman Allah Swt.:

{يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

Pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (An-Nur: 24)

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Yahya Ar-Razi, dari Amr ibnu Abu Qais, dari Mutarrif, dari Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sesungguhnya mereka adalah orang-orang musyrik. Manakala mereka merasakan bahwa tiada yang dapat masuk surga kecuali ahli salat, mereka berkata, "Marilah kita mengingkari perbuatan-perbuatan kita dahulu (semasa di dunia)." Maka ketika mereka hendak mengingkari perbuatannya, dikuncilah mulut mereka, dan bersaksilah kedua tangan dan kedua kaki mereka (menyatakan perbuatan mereka yang sesungguhnya) sehingga mereka tidak dapat menyembunyikan kepada Allah suatu amal perbuatan pun.

Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir mengatakan:

حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، عَنْ دَرَّاج، عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، عَنْ رسول الله صلى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:"إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ، عُرف الْكَافِرُ بِعَمَلِهِ، فَيَجْحَدُ وَيُخَاصِمُ، فَيُقَالُ لَهُ: هَؤُلَاءِ جِيرَانُكَ يَشْهَدُونَ عَلَيْكَ. فَيَقُولُ: كَذَبُوا. فَيَقُولُ: أَهْلُكَ وَعَشِيرَتُكَ. فَيَقُولُ: كَذَبُوا، فَيَقُولُ: احْلِفُوا. فَيَحْلِفُونَ، ثُمَّ يُصمِتهم اللَّهُ، فَتَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَيْدِيهِمْ وَأَلْسِنَتُهُمْ، ثُمَّ يُدْخِلُهُمُ النَّارَ"

telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris, dari Darij dari Abu Haisam, dari Abu Sa'id, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Apabila hari kiamat telah terjadi, maka diperkenalkanlah kepada orang kafir amal perbuatannya, lalu ia mengingkarinya dan berkilah. Maka dikatakan kepadanya, "Itulah mereka para tetanggamu yang mempersaksikan kamu.” Dia berkata, "Mereka dusta.” Kemudian dikatakan pula, "Itulah mereka keluarga dan kaum kerabatmu.” Ia menjawab, "Mereka dusta.” Lalu dikatakan, "Bersumpahlah kamu!" Maka mereka berani bersumpah, setelah itu Allah membuat mereka bisu (tidak dapat bicara), maka bersaksilah terhadap mereka kedua tangan dan lisan mereka, lalu Allah memasukkan mereka ke dalam neraka.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ أَيْضًا: حَدَّثَنَا أَبُو شَيْبَةَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بن أبي شيبة الكوفي، حدثنا مِنْجَاب بْنُ الْحَارِثِ التَّمِيمِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الأسَدِيَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عُبَيْدٍ المُكْتب، عَنْ فُضَيل بْنِ عَمْرٍو الفُقَيمي، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضْحِكَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجذُه، ثُمَّ قَالَ: "أَتُدْرُونَ مِمَّ أَضْحَكُ؟ " قُلْنَا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: "مِنْ مُجَادَلَةِ الْعَبْدِ رَبَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يَقُولُ: يَا رَبِّ، أَلَمْ تُجِرْني مِنَ الظُّلْمِ؟ فَيَقُولُ: بَلَى. فَيَقُولُ: لَا أُجِيزُ عليَّ شَاهِدًا إِلَّا مِنْ نَفْسِي. فَيَقُولُ: كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ شَهِيدًا، وَبِالْكِرَامِ عَلَيْكَ شُهُودًا فَيُخْتَمُ عَلَى فِيهِ، وَيُقَالُ لِأَرْكَانِهِ: انْطِقِي فَتَنْطِقُ بِعَمَلِهِ، ثُمَّ يُخَلِّي بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَلَامِ، فَيَقُولُ: بُعدًا لَكُنّ وسُحْقًا، فعنكُنَّ كنتُ أُنَاضِلُ".

Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Syaibah Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Abu Syaibah Al-Kufi, telah menceritakan kepada kami Minjab ibnul Haris At-Tamimi, telah menceritakan kepada kami Abu Amir Al-Asadi, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Ubaidul Maktab, dari Fudail ibnu Amr Al-Faqimi, dari Asy-Sya'bi dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa ketika kami berada di rumah Nabi Saw, tiba-tiba beliau tertawa sehingga gigi serinya kelihatan, kemudian beliau bersabda:"Tahukah kalian mengapa aku tertawa?” Kami menjawab, "Allah da Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau Saw. bersabda, "Karena perdebatan seorang hamba kepada Tuhannya, ia berkata, 'Wahai Tuhanku, bukankah Engkau melindungi diriku dari kezaliman?' Allah berfirman, 'Aku tidak memperkenankan seorang saksi pun kecuali dari pihak-Ku. 'Allah berfirman, "Cukuplah hari ini engkau sebagai saksi terhadap dirimu dan juga para malaikat yang mulia-mulia.” Maka dikuncilah mulutnya, lalu dikatakan kepada seluruh anggota tubuh si hamba itu, 'Berbicaralah kamu. ' Maka seluruh anggota tubuh si hamba itu membicarakan tentang amal perbuatan­nya. Kemudian Allah membiarkannya berbicara kembali, maka si hamba itu berkata (kepada seluruh anggota tubuhnya),'Celakalah kalian dan binasalah kalian, padahal aku berjuang untuk kalian'.”

Imam Muslim dan Imam Nasai telah meriwayatkannya pula melalui Abu Bakar ibnu AbuNadr, dari ayahnya, dari Abdullah Al-Asyja'i, dari Sufyan As-Sauri dengan sanad yang sama. Kemudian Imam Nasai berkata, bahwa ia tidak mengetahui seseorang meriwayatkan hadis ini dari Sufyan selain Al-Asyja'i. Dengan demikian, hadis ini berpredikat garib. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.
Demikianlah menurut komentar Imam Nasai.

Qatadah mengatakan, "Hai anak Adam, demi Allah, sesungguhnya pada dirimu terdapat saksi-saksi yang tidak diragukan lagi dari badanmu sendiri. Maka waspadalah terhadap kesaksian mereka dan bertakwalah kepada Allah dalam rahasia dan terang-terangan kamu, karena sesungguhnya bagi Allah tiada sesuatu pun yang tersembunyi. Kegelapan bagi Allah adalah sinar, dan rahasia bagi Allah adalah hal yang terang. Maka barang siapa yang mampu mati dalam keadaan berbaik prasangka kepada Allah, lakukanlah, dan tidak ada kekuatan (untuk mengerjakan amal ketaatan) kecuali dengan pertolongan Allah."

{يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ اللَّهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ}

Di hari itu Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya. (An-Nur: 25)

Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan dinahum ialah hisab (perhitungan amal) mereka, dan semua lafaz dinahum yang terdapat di dalam Al-Qur'an artinya hisab mereka. Hal yang sama telah dikatakan pula oleh selain Ibnu Abbas.

Menurut qiraat jumhur ulama, bacaan nasab lafazal-haq karena berkedudukan sebagai sifat dari ‎dinahum.

Sedangkan Mujahid membacanya rafa' karena menjadi sifat bagi lafaz Allah. Sebagian ulama Salaf membacanya demikian di dalam mushafUbay ibnu Ka'b, yakni dengan bacaan rafa'.

Firman Allah Swt.:

{وَيَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ الْمُبِينُ}

dan tahulah mereka bahwa Allah-lah Yang Benar lagi Yang Menjelaskan. (An-Nur: 25)

Yakni janji, ancaman, dan hisabnya. Dia adalah Mahaadil yang tidak pernah curang dalam hisab-Nya.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar