Jumat, 24 Juni 2016

Kisah Kaum 'Aad Yang Dihancurkan Dengan Awan Yang Mematikan

Seorang Raja besar pernah hidup dan membawa pengaruh besar terhadap peradaban terdahulu, dia disebut 'Shedd Ad Ben Ad' atau 'Shed Ad bin Ad'. Dia penduduk pertama negara Arab yang dikenal dengan sebutan 'Adites' berasal dari nenek moyang mereka yang disebut kaum Ad, cucu Ham.

Adites mungkin adalah manusia Atlantis atau 'Ad-lantis'. Menurut Lenormant dan Chevallier dalam bukunya 'Ancient History of the East' disebutkan bahwa mereka telah dibentuk seorang raja dan dari mana asal usul mereka yang diberikan kehidupan selama beberapa abad, kaum Ad diduga berasal dari timur laut.

Dia menikahi seribu wanita, memiliki empat ribu anak dan hidup selama 1200 tahun. Setelah kematiannya, anaknya Shadid dan Shedad memerintah berturut-turut di kerajaan Adites. Pada saat kedua turunan Ad memimpin seribu suku yang masing-masing terdiri dari beberapa ribu pria, maka terjadi penaklukan besar dikaitkan dengan penundukan Shedad. Semua orang-orang Saudi dan Irak migrasi dari Kanaan, mereka berdiri di Suriah dan invasi Mesir juga dikaitkan dengan ekspedisi Shedad.

Kaum Ad Adalah Bangsa Ad-lantis (Atlantis)

Shedad telah membangun istana yang dihiasi dengan kolam yang luar biasa dan dikelilingi oleh taman yang megah, sebuah istana yang disebut Irem. Istana itu dibangun Shedad dan disebutkan telah meniru keindahan surga di langit. Dengan kata lain, seorang Raja besar dan kuat di zaman kuno, memuja matahari, menaklukkan ras dan sebagai bangsa yang pertama kali menyerbu Arab. Mereka adalah bangsa Ad-lantis, dimana Raja-nya mencoba untuk membuat sebuah istana dan taman Eden. 

Adites diingat orang Arab sebagai ras besar dan beradab, digambarkan sebagai laki-laki bertubuh raksasa, kekuatan ras-nya mampu memindahkan blok besar batu. Ras mereka merupakan arsitek dan pembangun, mengangkat monumen kekuasaan, sehingga orang-orang Arab saat ini masih ada yang menyebut sisa reruntuhan situs sebagai 'Bangunan Adites'. 

Kaum ‘Aad merupakan bangsa Arab yang menempati Al-Ahqaf yaitu bukit-bukit pasir. Tempat itu terletak di Yaman dari Amman dan Hadhramaut di sebuah tempat yang dekat dengan laut, disebut juga Asy-Syahr. Nama lembahnya adalah Mughits, kaum ‘Aad lebih banyak tinggal di perkemahan yang memiliki pasak tiang-tiang yang besar dan tinggi sebagaimana firman Allah Ta’ala :

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ

Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum Ad? (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. [QS Al-Fajr : 6-7]

Maksudnya adalah kaum ‘Aad Iram. Kaum ini adalah kaum ‘Aad yang pertama, sedangkan kaum ‘Aad yang kedua maka mereka adalah yang terakhir. Kaum ‘Aad hidup berkelompok-kelompok seperti qabilah dan mereka mempunyai keahlian membangun bangunan yang tinggi-tinggi seperti baru saja disebutkan dalam firman Allah Ta’ala. Sebagian ulama dan ahli sejarah mengatakan Nabi Hud ‘Alaihissalam adalah orang pertama yang berbicara dengan bahasa Arab. Wahb bin Munabbih menyebutkan bahwa ayahnya Nabi Hud yang pertama kali berbicara dengan bahasa Arab. Sebagian mereka berkata bahwa Nuh-lah yang pertama kali berbicara dengan bahasa Arab, sementara yang lainnya berkata bahwa ia adalah Adam. Allahu a’lam.

Diriwayatkan bahwa bangsa Arab sebelum Isma’il adalah bangsa Arab Aribah, mereka merupakan suatu kabilah yang banyak, diantara mereka adalah ‘Aad, Tsamud, Jurhum, Thasm, Jadis, Umaim, Madyan, Imlaq, Abil, Jasim, Qaththan dan lainnya. Dalam Shahih Ibnu Hibban, diriwayatkan dari sahabat Abu Dzar -radhiyallahu ‘anhu- dalam sebuah hadits yang panjang setelah menyebutkan kisah para Nabi dan Rasul, Rasulullah bersabda, “…Dari mereka terdapat 4 orang Arab yaitu Hud, Shalih, Syu’aib dan Nabimu wahai Abu Dzar.” [Shahih Ibnu Hibban (361)].

Nabi Hud ‘Alaihissalam Diutus Allah kepada Kaum ‘Aad

Kaum ‘Aad adalah kaum yang durhaka kepada Allah Ta’ala dengan menjadi kaum yang pertama kali menyembah berhala setelah peristiwa banjir besar dan luluh lantaknya umat manusia yang kafir. Berhala mereka ada tiga yaitu Shad, Shamuda, Hara. Oleh karena itu, Allah Ta’ala utus saudara mereka, Hud ‘Alaihissalam untuk mengembalikan mereka kepada aqidah tauhid yang bersih dari syirik. Allah Ta’ala berfirman :

وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلا تَتَّقُونَ

Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” [QS Al-A’raaf : 65].

Mereka adalah bangsa Arab yang keras tabiat, kafir, angkuh dan menyembah berhala. Kemudian Nabi Hud menyeru mereka untuk kembali ke jalan Allah Azza wa Jalla, mengesakanNya dengan melaksanakan ibadah secara ikhlas kepadaNya, namun mereka mendustakan beliau, menentangnya dan mengejeknya. Allah Ta’ala berfirman :

قَالَ الْمَلأ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ إِنَّا لَنَرَاكَ فِي سَفَاهَةٍ وَإِنَّا لَنَظُنُّكَ مِنَ الْكَاذِبِينَ

Pemuka-pemuka yang kafir dari kaumnya berkata: “Sesungguhnya kami benar-benar memandang kamu dalam keadaan kurang akal dan sesungguhnya kami menganggap kamu termasuk orang-orang yang berdusta”. [QS Al-A’raaf : 66]. Maksudnya adalah perkara yang beliau serukan kepada kaumnya untuk diikuti adalah sebuah kedustaan terhadap kegiatan penyembahan berhala yang telah berlangsung ini yang mana kaum yang durhaka tersebut mengharapkan kemenangan, rizki hanya dari berhala-berhala tersebut.

Nabi Hud berkata, seperti difirmankan Allah Ta’ala :

قَالَ يَا قَوْمِ لَيْسَ بِي سَفَاهَةٌ وَلَكِنِّي رَسُولٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ أُبَلِّغُكُمْ رِسَالاتِ رَبِّي وَأَنَا لَكُمْ نَاصِحٌ أَمِينٌ

Hud berkata: “Hai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikit pun, tetapi aku ini adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku menyampaikan amanat-amanah Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagimu”. [QS Al-A’raaf : 67-68]. Maksudnya adalah perkara ini bukan kedustaan seperti yang dikira kaumnya beliau. Nabi Hud telah berusaha menyampaikan dengan bahasa yang lugas, fasih dan sederhana. Ini merupakan berkah dan nasehat bagi kaumnya dan kasih sayang beliau kepada mereka serta beliau sangat ingin kaumnya menuju jalan hidayah. Beliau tidak pernah meminta upah atau balasan tetapi beliau melaksanakan dakwahnya dengan penuh keikhlasan demi mencari ridha Allah.

Kaum ‘Aad berkata kepada Nabi Hud :

قَالُوا يَا هُودُ مَا جِئْتَنَا بِبَيِّنَةٍ وَمَا نَحْنُ بِتَارِكِي آلِهَتِنَا عَنْ قَوْلِكَ وَمَا نَحْنُ لَكَ بِمُؤْمِنِينَ إِنْ نَقُولُ إِلا اعْتَرَاكَ بَعْضُ آلِهَتِنَا بِسُوءٍ قَالَ إِنِّي أُشْهِدُ اللَّهَ وَاشْهَدُوا أَنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ مِن دُونِهِ فَكِيدُونِي جَمِيعًا ثُمَّ لاَ تُنظِرُونِ

“Hai Hud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata, dan kami sekali-kali tidak akan meninggalkan sembahan-sembahan kami karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kamu. Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.” Hud menjawab, “Sesungguhnya aku jadikan Allah sebagai saksiku dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan, dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.” [QS Hud : 53-55]

Firman Allah Swt. yang mengatakan:

{إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُمْ مَا مِنْ دَابَّةٍ إِلا هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا}

Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. (Hud: 56)

Maksudnya, semuanya berada di bawah kekuasaan dan keperkasaan-Nya. Dialah Tuhan, Hakim yang seadil-adilnya dan tidak pernah lalim dalam keputusan-Nya; sesungguhnya Dia berada pada jalan yang lurus.

Al-Walid ibnu Muslim telah meriwayatkan dari Safwan ibnu Amr, dari Aifa' ibnu Abdul Kala'i sehubungan dengan firman-Nya: Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus. (Hud: 56) Aifa' mengatakan bahwa Allah memegang ubun-ubun semua hamba­Nya, lalu Dia mengajari orang mukmin, sehingga terasa bagi orang mukmin bahwa Dia lebih sayang ketimbang seorang ayah kepada anaknya. Lalu Aifa' membacakan firman-Nya:

{مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ}

apakah yang memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.(Al-Infithar: 6)

Dalam jawaban Nabi Hud ini terkandung hujah yang mematahkan dan dalil yang pasti yang menunjukkan kebenaran dari apa yang disampaikannya kepada mereka; juga menunjukkan kebatilan dari apa yang mereka kerjakan, yaitu penyembahan mereka kepada berhala-berhala. Padahal berhala-berhala itu tidak dapat memberikan manfaat, tidak pula dapat mendatangkan mudarat, bahkan berhala-berhala itu adalah benda-benda mati yang tidak dapat mendengar, tidak dapat melihat, tidak dapat melindungi, dan tidak dapat memusuhi. 

Sesungguhnya yang berhak disembah secara murni dan ikhlas hanyalah Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Di tangan kekuasaan-Nyalah kerajaan, dan Dialah yang mengaturnya. Tidak ada sesuatu pun melainkan berada di bawah kepemilikan, pengaruh, dan kekuasaan-Nya; maka tidak ada Tuhan selain Dia, dan tidak ada Rabb selain Dia.

Firman-Nya 

فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقَدْ أَبْلَغْتُكُمْ مَا أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَيْكُمْ وَيَسْتَخْلِفُ رَبِّي قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلا تَضُرُّونَهُ شَيْئًا إِنَّ رَبِّي عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَفِيظٌ (57) وَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا هُودًا وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ بِرَحْمَةٍ مِنَّا وَنَجَّيْنَاهُمْ مِنْ عَذَابٍ غَلِيظٍ (58) وَتِلْكَ عَادٌ جَحَدُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَعَصَوْا رُسُلَهُ وَاتَّبَعُوا أَمْرَ كُلِّ جَبَّارٍ عَنِيدٍ (59) وَأُتْبِعُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا لَعْنَةً وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ أَلا إِنَّ عَادًا كَفَرُوا رَبَّهُمْ أَلا بُعْدًا لِعَادٍ قَوْمِ هُودٍ (60) 

Jika kalian berpaling, maka sesungguhnya aku telah menyampai­kan kepada kalian apa (amanat)yang aku diutus (untuk menyampaikan)«ya kepada kalian. Dan Tuhanku akan meng­ganti (kalian)dengan kaum yang lain (dari) kalian; dan kalian tidak dapat membuat mudarat kepada-Nya sedikit pun. Sesungguhnya Tuhanku adalah Maha Pemelihara segala sesuatu. Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Hud dan orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami; dan Kami selamatkan (pula) mereka (di akhirat) dari azab yang berat. Dan itulah (kisah)kaum Ad yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Tuhan mereka, mendurhakai rasul-rasul Allah, dan mereka menuruti perintah semua penguasa yang sewenang-wenang lagi menen­tang(kebenaran). Dan mereka selalu diikuti dengan kutukan di dunia ini dan (begitu pula) di hari kiamat. Ingatlah, sesungguhnya kaum 'Ad itu kafir kepada Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum 'Ad (yaitu) kaum Hud itu.

Nabi Hud berkata kepada kaumnya, "Jika kalian berpaling dari apa yang aku sampikan kepada kalian ini yang menganjurkan beribadah kepada Allah, Tuhan kalian semata—tiada sekutu bagi-Nya—dan hujah untuk itu telah ditegakkan atas kalian melalui penyampaianku kepada kalian akan risalah Allah yang telah mengutusku dengan membawanya.

{وَيَسْتَخْلِفُ رَبِّي قَوْمًا غَيْرَكُمْ}

'Dan Tuhanku akan mengganti kalian dengan kaum yang lain dari kalian.” (Hud: 57)

Kaum yang menyembah-Nya semata, tidak mempersekutukan-Nya, dan tidak peduli terhadap kalian, karena sesungguhnya kalian tidak dapat menimpakan mudarat terhadap-Nya karena kekafiran kalian terhadap­Nya, bahkan kekafiran kalian itu akibatnya akan menimpa diri kalian sendiri."

{إِنَّ رَبِّي عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَفِيظٌ}

Sesungguhnya Tuhanku adalah Maha Pemelihara segala sesuatu. (Hud: 57)

Yakni Maha Menyaksikan dan Maha Memelihara semua ucapan dan perbuatan hamba-hamba-Nya, lalu kelak Dia akan membalaskannya kepada mereka. Jika baik, maka balasannya baik; dan jika buruk, maka balasannya buruk pula.

{وَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا}

Dan tatkala datang azab Kami. (Hud: 58)
berupa angin yang sangat dingin dan kencang, maka Allah membinasakan mereka sampai keakar-akarnya dan menyelamatkan Hud dan para pengikutnya dari azab yang keras berkat rahmat dan belas kasihan-Nya.

{وَتِلْكَ عَادٌ جَحَدُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ}

Dan itulah (kisah) kaum ‘Ad yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Tuhan mereka. (Hud: 59)
Mereka kafir kepada ayat-ayat Tuhannya dan durhaka kepada rasul-rasul Allah. Dikatakan demikian karena orang yang kafir terhadap seorang nabi, berarti sama saja dengan kafir kepada semua nabi, sebab pada hakikatnya tidak ada perbedaan di antara mereka, karena semuanya wajib diimani. Kaum ‘Ad kafir terhadap Nabi Hud, maka kekufuran mereka disamakan dengan kafir terhadap semua rasul.

{وَاتَّبَعُوا أَمْرَ كُلِّ جَبَّارٍ عَنِيدٍ}

dan mereka menuruti perintah semua penguasa yang sewenang-wenang lagi menentang (kebenaran). (Hud: 59)

Mereka menolak mengikuti rasul mereka yang benar, dan mereka lebih memilih mengikuti perintah penguasa yang sewenang-wenang lagi pengingkar kebenaran. Karena itulah mereka selalu diikuti oleh laknat Allah dan hamba-hamba-Nya yang beriman di dunia ini setiap kali mereka disebut-sebut. Di hari kiamat kelak mereka akan dipanggil di hadapan para saksi:

أَلا إِنَّ عَادًا كَفَرُوا رَبَّهُمْ

Ingatlah, sesungguhnya kaum 'Ad itu kafir kepada Tuhan mereka. (Hud: 60), hingga akhir ayat.
As-Saddi mengatakan bahwa tidak sekali-kali ada seorang nabi yang diutus sesudah kaum 'Ad, melainkan mereka dilaknati melalui lisan nabi itu.

Kaum ‘Aad Meminta Disegerakan Adzab

Akhirnya apa yang terjadi pada kaum Nuh pun berulang pada kaum ‘Aad, mereka meminta disegerakan adzab karena mereka mendustakan bahwa Nabi Hud adalah utusan Allah, mereka tidak mempercayai bahwa adzab itu adalah haq karena mereka tidak beriman kepada Allah. Mereka menyangka Nabi Hud adalah seorang pendusta padahal sebaliknya, merekalah yang pendusta. Mereka berkata, seperti difirmankan Allah :

قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ مَا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ

Mereka berkata: “Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami? Maka datangkanlah azab yang kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar”. [QS Al-A’raaf : 70]

Melalui firman-Nya:
{وَأَمَّا عَادٌ فَأُهْلِكُوا بِرِيحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍ * سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيهَا صَرْعَى كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ * فَهَلْ تَرَى لَهُمْ مِنْ بَاقِيَةٍ}
Adapun kaum 'Ad, maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang, yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus-menerus; maka kamu lihat kaum 'Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk). Maka kamu tidak melihat seorang pun yang tinggal di antara mereka. (Al-Haqqah: 6-8)
Setelah mereka membangkang dan durhaka kepada Nabi-Nya, maka Allah membinasakan mereka dengan angin yang sangat dingin. Angin tersebut dapat menerbangkan seseorang dari mereka, lalu menjatuhkan­nya dengan kepala di bawah sehingga kepalanya hancur dan terpisah dari tubuhnya. Karena itulah dalam ayat ini disebutkan oleh firman-Nya:
{كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ}
seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk). (Al-Haqqah: 7)
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan bahwa mereka mendiami negeri Yaman, tepatnya di suatu daerah yang terletak di antara Amman dan Hadramaut. Tetapi sekalipun demikian, mereka berhasil menyebar ke seluruh penjuru bumi dan dapat mengalahkan penduduknya berkat kekuatan yang diberikan oleh Allah kepada mereka. Mereka adalah orang-orang yang menyembah berhala, bukan menyembah Allah. Kemudian Allah mengutus kepada mereka Nabi Hud a.s. yang nasabnya berasal dari kalangan menengah mereka dan berkedudukan' terhormat di kalangan mereka.
Maka Nabi Hud a.s. memerintahkan kepada mereka agar mengesa­kan Allah, jangan menjadikan bersama-Nya tuhan-tuhan selain Dia, dan jangan menganiaya manusia lagi. Tetapi mereka menolak seruannya, bahkan mendustakannya. Mereka mengatakan, "Siapakah yang lebih kuat dari kami?'
Tetapi ada segolongan orang dari mereka yang mengikuti Nabi Hud a.s., hanya jumlahnya sedikit dan mereka menyembunyikan keimanannya. 
Setelah kaum ‘Ad bertambah durhaka terhadap Allah dan mendustakan Nabi-Nya serta banyak menimbulkan kerusakan di muka bumi, dengan berlaku sewenang-wenang padanya dan meninggalkan jejak-jejak mereka di setiap tanah tinggi tempat-tempat bermainnya tanpa ada gunanya, maka Nabi Hud a.s. berkata kepada mereka yang disitir oleh firman-Nya:
{أَتَبْنُونَ بِكُلِّ رِيعٍ آيَةً تَعْبَثُونَ * وَتَتَّخِذُونَ مَصَانِعَ لَعَلَّكُمْ تَخْلُدُونَ * وَإِذَا بَطَشْتُمْ بَطَشْتُمْ جَبَّارِينَ * فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ}
Apakah kalian mendirikan pada tiap-tiap tanah tinggi bangunan untuk bermain-main, dan kalian membuat benteng-benteng dengan maksud supaya kalian kekal (di dunia)? Dan apabila kalian menyiksa, maka kalian menyiksa sebagai orang-orang kejam dan bengis. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. (Asy-Syu'ara: 128-131)
Tetapi mereka menjawab, seperti yang disebutkan di dalam ayat-ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
{قَالُوا يَا هُودُ مَا جِئْتَنَا بِبَيِّنَةٍ وَمَا نَحْنُ بِتَارِكِي آلِهَتِنَا عَنْ قَوْلِكَ وَمَا نَحْنُ لَكَ بِمُؤْمِنِينَ. إِنْ نَقُولُ إِلا اعْتَرَاكَ بَعْضُ آلِهَتِنَا بِسُوءٍ}
Kaum 'Ad berkata "Hai Hud. kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata, dan kami sekali-kali tidak akan meninggalkan sembahan-sembahan kami karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kamu. Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan keburukan kepadamu.” (Hud: 53-54)
Yang dimaksud dengan su' atau keburukan ialah penyakit gila.
{قَالَ إِنِّي أُشْهِدُ اللَّهَ وَاشْهَدُوا أَنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ * مِنْ دُونِهِ فَكِيدُونِي جَمِيعًا ثُمَّ لَا تُنْظِرُونِ * إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُمْ مَا مِنْ دَابَّةٍ إِلا هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}
Hud menjawab, "Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah oleh kamu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu daya kalian semuanya terhadapku dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Tuhanku dan Tuhan kalian. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.” (Hud: 54-56)
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan bahwa setelah mereka membang­kang, tidak mau beriman dan hanya tetap kepada kekufurannya, maka Allah menahan hujan dari mereka selama tiga tahun —menurut apa yang didugakan oleh mereka (para perawinya)— sehingga keadaan tersebut membuat mereka benar-benar parah. Konon di zaman itu apabila orang-orang mengalami musim paceklik yang parah, dan mereka me­mohon kepada Allah agar dibebaskan dari paceklik, maka sesungguhnya mereka hanya mendoa kepada-Nya di tempat suci-Nya, yaitu di tempat bait-Nya.
Tempat tersebut di masa itu telah dikenal, sedangkan di tempat itu terdapat para penghuninya dari golongan amatiq (raksasa). Mereka adalah keturunan dari ‘Amliq Ibnu Lawuz ibnu Sam ibnu Nuh. Pemimpin mereka saat itu adalah seorang lelaki yang bernama Mu'awiyah ibnu Bakar. Sedangkan ibunya berasal dari kaum ‘Ad yang dikenal dengan nama Jahlazah, anak perempuan Al-Khubairi.
Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya, bahwa lalu kaum 'Ad mengirim­kan suatu delegasi yang jumlahnya kurang lebih tujuh puluh orang menuju tanah suci, untuk meminta istisqa (hujan) di tanah suci buat kaumnya.
Mereka bersua dengan Mu'awiyah ibnu Bakar di luar kota Mekah, lalu mereka tinggal di rumahnya selama satu bulan. Selama itu mereka mabuk-mabukan dan mendengarkan nyanyian yang didendangkan oleh dua orang penyanyi wanita Mu'awiyah.
Walaupun telah cukup lama mereka tinggal di tempat Mu'awiyah, tetapi ternyata mereka tidak beranjak juga dari rumahnya, sedangkan Mu'awiyah merasa kasihan kepada kaumnya (yang merasa terganggu dengan kehadiran mereka); sementara itu Mu'awiyah sendiri merasa malu untuk mengusir mereka pergi dari rumahnya. Maka ia membuat syair yang menyindir mereka untuk pergi, lalu memerintahkan kepada biduannya untuk mendendangkan syair itu kepada mereka. Isi syair tersebut adalah seperti berikut:
أَلَا يَا قَيْلُ وَيْحَكَ قُْم فَهَيْنم ...لَعَلَّ اللَّهَ يُصْبحُنَا غَمَاما ...
فَيَسْقي أرضَ عادٍ إِنَّ عَادًا ... قَد امْسَوا لَا يُبِينُونَ الكَلاما ...
مِنَ الْعَطَشِ الشَّدِيدِ فَلَيْسَ نَرجُو... بِهِ الشيخَ الكبيرَ وَلَا الغُلاما ...
وَقَد كانَت نساؤهُم بخيرٍ ... فَقَدْ أَمْسَتْ  نِسَاؤهم عَيَامى
وَإِنَّ الوحشَ تأتيهمْ جِهارا ... وَلَا تَخْشَى لعاديَ سِهَاما ...
وَأَنْتُمْ هاهُنَا فِيمَا اشتَهَيْتُمْ ...نهارَكُمُ وَلَيْلَكُمُ التَّمَامَا ...
فقُبّحَ وَفُْدكم مِنْ وَفْدِ قَوْمٍ ... ولا لُقُّوا التحيَّةَ والسَّلاما ...

Ingatlah, hai Qil, celakalah engkau, bangunlah dan sadarlah engkau, mudah-mudahan Allah memberikan hujan di pagi hari.
Karenanya maka tanah kaum 'Ad menjadi tersirami hujan.
Sesungguhnya kaum Ad sekarang menjadi orang-orang yang tidak mengerti perkataan karena rasa haus berat yang menimpa mereka.
Kami tujukan kata-kata ini bukan kepada orang yang sudah pikun, bukan pula kepada anak-anak
Dahulu kaum wanita mereka dalam keadaan baik-baik, tetapi sekarang kaum wanita mereka dalam kesedihan dan kemurungan.
Dan sesungguhnya binatang-binatang liar berani datang kepada mereka secara terang-terangan, tanpa rasa takut sedikit pun kepada anak panah pemburu.
Sedangkan kalian di sini tenggelam ke dalam hura-hura sepanjang siang dan malam hari.
Maka seburuk-buruk delegasi dari suatu kaum adalah delegasi kalian.
Mereka tidak mendapat kehormatan, tidak pula mendapat salam (kesejahteraan).

Setelah syair tersebut dikemukakan kepada mereka, barulah mereka sadar akan tugas kedatangannya ke tanah suci itu. Lalu mereka bangkit menuju tanah suci dan berdoa untuk kaumnya. Mereka berdoa dipimpin oleh ketua mereka yang dikenal dengan nama Qil ibnu Anaz.
Maka Allah memunculkan tiga jenis awan, ada yang putih, ada yang hitam, dan ada yang merah. Lalu Qil mendengar suara dari langit yang mengatakan, "Pilihlah untukmu atau untuk kaummu dari awan-awan ini!"‎
Qil berkata, "Saya memilih awan yang hitam ini, karena sesungguh­nya awan hitam ini banyak mengandung air." Maka dijawablah oleh seruan itu, "Ternyata kamu memilih awan yang mengandung debu yang membinasakan." Maka tidak ada seorang pun dan tidak ada seorang tua pun dari kaum 'Ad serta tidak ada seorang anak pun dari mereka melain­kan binasa saat itu, kecuali Bani Wuzyah Al-Muhannada. 
Menurut Ibnu Ishaq, Banil Wuzyah adalah suatu kabilah dari kaum 'Ad yang tinggal di Mekah, maka mereka tidak tertimpa azab yang menimpa kaumnya.

Muhammad ibnu Ishaq mengatakan bahwa Banil Wuzyah adalah orang-orang yang tersisa dari keturunan kaum 'Ad karena selamat dari azab itu; mereka disebut generasi terakhir dari kaum 'Ad.
Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya, bahwa Allah lalu mengarak awan hitam itu —menurut kisah mereka— yaitu awan yang dipilih oleh Qil ibnu Anaz. Di dalam awan itu terkandung azab yang akan membinasakan kaum 'Ad. Awan itu muncul dari suatu lembah di tempat mereka yang dikenal dengan nama Lembah Mugis. Ketika mereka (kaum 'Ad) melihat awan hitam itu datang bergulung-gulung, mereka merasa gembira dan mengatakan, "Inilah awan yang akan membawa hujan kepada kita." Tetapi dijawab oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:
{بَلْ هُوَ مَا اسْتَعْجَلْتُمْ بِهِ رِيحٌ فِيهَا عَذَابٌ أَلِيمٌ * تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا}
Bukan, bahkan itulah azab yang kalian minta supaya disegerakan. yaitu angin yang mengandung azab yang pedih, yang menghancur­kan segala sesuatu. (Al-Ahqaf: 24-25)
Yakni yang membinasakan segala sesuatu yang dilewatinya.
Disebutkan bahwa orang yang mula-mula melihatnya dan mengenal bahwa apa yang dikandungnya itu merupakan angin puting beliung, menurut yang dikisahkan para perawinya, ialah seorang wanita 'Ad yang dikenal dengan sebutan Mumid.
Setelah Mumid melihat dengan jelas apa yang terkandung di dalam awan tersebut, ia menjerit dan pingsan. Ketika ia sadar, kaumnya ber­tanya, "Hai Mumid, apakah yang telah engkau lihat?" Mumid menjawab, "Saya melihat angin yang di dalamnya terdapat semisal api digiring oleh banyak kaum laki-laki yang menuntunnya dari depan."
Maka Allah menimpakan angin itu kepada mereka, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: selama tujuh malam dan delapan hari terus-menerus. (Al-Haqqah: 7)
Al-husumah artinya terus-menerus, tiada henti-hentinya. 
Maka tidak ada seorang pun dari kaum 'Ad melainkan binasa. Sedangkan Nabi Hud a.s. menurut kisah yang sampai kepadaku (Ibnu Ishaq) bersama orang-orang yang beriman berlindung di dalam sebuah tempat perlindungan; tidak ada sesuatu pun yang menimpa dia bersama para pengikutnya, melainkan hal-hal yang menyegarkan dan mengenakkan. Sesungguhnya angin puting beliung itu menimpa perkampungan kaum 'Ad, lalu mener­bangkannya di antara langit dan bumi, kemudian menghancurkan mereka ke daerah berbatuan.
Muhammad ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya ini secara panjang lebar hingga selesai, tetapi konteks yang diketengahkannya garib, hanya di dalamnya terkandung banyak faedah yang dapat disimpulkan darinya. 
Allah Swt. telah berfirman:
{وَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا نَجَّيْنَا هُودًا وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ بِرَحْمَةٍ مِنَّا وَنَجَّيْنَاهُمْ مِنْ عَذَابٍ غَلِيظٍ}
Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Hud dan orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami, dan Kami selamatkan ‎(pula) mereka (di akhirat) dari azab yang berat.(Hud: 58)
Memang telah disebutkan di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya hal yang berdekatan pengertiannya dengan kisah yang diutarakan oleh Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar tadi.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ، حَدَّثَنِي أَبُو الْمُنْذِرِ سَلَّامُ بْنُ سُلَيْمَانَ النَّحْوِيُّ، حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ أَبِي النَّجُود، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنِ الْحَارِثِ الْبَكْرِيِّ قَالَ: خَرَجْتُ أَشْكُو الْعَلَاءَ بْنَ الْحَضْرَمِيِّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَمَرَرْتُ بِالرَّبَذَةِ فَإِذَا عَجُوزٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ مُنْقَطِعٌ بِهَا، فَقَالَتْ لِي: يَا عَبْدَ اللَّهِ، إِنَّ لِي إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَاجَةً، فَهَلْ أَنْتَ مُبَلِّغِي إِلَيْهِ؟ قَالَ: فَحَمَلْتُهَا فَأَتَيْتُ الْمَدِينَةَ، فَإِذَا الْمَسْجِدُ غَاصٌّ بِأَهْلِهِ، وَإِذَا رَايَةٌ سَوْدَاءُ تَخْفِقُ، وَإِذَا بِلَالٌ مُتَقَلِّدٌ بِسَيْفٍ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: مَا شَأْنُ النَّاسِ؟ فَقَالُوا: يُرِيدُ أَنْ يَبْعَثَ عَمْرَو بْنَ الْعَاصِ وَجْهًا. قَالَ: فَجَلَسْتُ، فَدَخَلَ مَنْزِلَهُ -أَوْ قَالَ: رَحْلَهُ فَاسْتَأْذَنْتُ عَلَيْهِ، فَأَذِنَ لِي، فَدَخَلْتُ فَسَلَّمْتُ، قَالَ: هَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ تَمِيمٍ شَيْءٌ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، وَكَانَتْ لَنَا الدّبَرة عَلَيْهِمْ، وَمَرَرْتُ بِعَجُوزٍ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ مُنْقَطِعٍ بِهَا، فَسَأَلَتْنِي أَنْ أَحْمِلَهَا إِلَيْكَ، وَهَا هِيَ بِالْبَابِ. فَأَذِنَ لَهَا، فَدَخَلَتْ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنْ رَأَيْتَ أَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَ تَمِيمٍ حَاجِزًا، فَاجْعَلِ الدَّهْنَاءَ. فَحَمِيَتِ الْعَجُوزُ وَاسْتَوْفَزَتْ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَإِلَى أَيْنَ يُضْطَرُّ مُضطَرُك ؟ قَالَ: قُلْتُ: إِنَّ مَثَلِي مَثَلُ مَا قَالَ الْأَوَّلُ: "معْزَى حَمَلت حَتْفَهَا"، حَمَلْتُ هَذِهِ وَلَا أَشْعُرُ أَنَّهَا كَانَتْ لِي خَصْمًا، أُعُوذُ بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ أَنْ أَكُونَ كَوَافِدِ عَادٍ! قَالَ: هِيهْ، وَمَا وَافِدُ عَادٍ؟ -وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْحَدِيثِ مِنْهُ، وَلَكِنْ يَسْتَطْعِمُهُ -قُلْتُ: إِنْ عَادًا قُحطوا فَبَعَثُوا وَافِدًا لَهُمْ يُقَالُ لَهُ: "قَيْلُ"، فَمَرَّ بِمُعَاوِيَةَ بْنِ بَكْرٍ، فَأَقَامَ عِنْدَهُ شَهْرًا يَسْقِيهِ الْخَمْرَ وَتُغَنِّيهِ جَارِيَتَانِ، يُقَالُ لَهُمَا: "الْجَرَادَتَانِ"، فَلَمَّا مَضَى الشَّهْرُ خَرَجَ إِلَى جِبَالِ مَهْرة، فَقَالَ: اللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ أَنِّي لَمْ أَجِئْ إِلَى مَرِيضٍ فَأُدَاوِيهِ، وَلَا إِلَى أَسِيرٍ فَأُفَادِيهِ. اللَّهُمَّ اسْقِ عَادًا مَا كُنْتَ تَسْقِيهِ، فَمَرَّتْ بِهِ سَحَّابَاتٌ سُودُ، فَنُودِيَ: مِنْهَا "اخْتَرْ". فَأَوْمَأَ إِلَى سَحَابَةٍ مِنْهَا سَوْدَاءَ، فَنُودِيَ مِنْهَا: "خُذْهَا رَمَادًا رِمْدِدا، لَا تُبْقِي مِنْ عَادٍ أَحَدًا". قَالَ: فَمَا بَلَغَنِي أَنَّهُ بُعث عَلَيْهِمْ مِنَ الرِّيحِ إِلَّا قَدْرُ مَا يَجْرِي فِي خَاتَمِي هَذَا، حَتَّى، هَلَكُوا -قَالَ أَبُو وَائِلٍ: وَصَدَقَ -قَالَ: وَكَانَتِ الْمَرْأَةُ وَالرَّجُلُ إِذَا بَعَثُوا وَافِدًا لَهُمْ قَالُوا: "لَا تَكُنْ كَوَافِدِ عَادٍ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Hubab, telah menceritakan kepadaku Abul Munzir Salam ibnu Sulaiman An-Nahwi, telah menceritakan kepada kami Asim ibnu Abun Nujud, dari Abu Wail, dari Al-HariS Al-Bakri yang menceritakan bahwa ia berangkat untuk mengadukan perkara kepada Rasulullah Saw. tentang Al-Ala ibnul Hadrami. Aku (Al-Haris) melewati Rabzah, ternyata aku bersua dengan seorang nenek tua dari Bani Tamim yang tidak dapat melanjutkan perjalanannya. Nenek itu berkata, "Hai hamba Allah, sesungguhnya saya mempunyai suatu keperluan dengan Rasulullah, maka sudilah kiranya engkau membawa saya menghadap kepadanya." Saya membawa nenek itu sampai di Madinah, dan saya menjumpai masjid penuh sesak, lalu saya melihat bendera hitam berkibar dan sahabat Bilal menyandang pedangnya berdiri di hadapan Rasulullah Saw. Saya bertanya, "Apakah gerangan yang terjadi dengan orang banyak ini?" Mereka (yang ditanya) menjawab, "Beliau Saw. hendak mengirimkan Amr ibnul As (bersama pasukannya) ke suatu daerah." Maka saya duduk, lalu masuk ke dalam rumahnya atau ke dalam kemahnya dan meminta izin agar diperkenankan masuk, kemudian saya diberi izin untuk masuk menemuinya. Saya masuk dan mengucapkan salam penghormatan, lalu beliau Saw. bertanya, "Apakah antara kamu dan Bani Tamim terdapat suatu masalah?" Saya menjawab, "Ya, dan saya beroleh kemenangan atas mereka. Kemudian saya bersua dengan seorang nenek tua dari kalangan Bani Tamim yang tidak dapat melanjutkan perjalanannya. Nenek itu meminta kepada saya untuk membawanya sampai ke hadapanmu, sekarang dia berada di pintu." Nenek tua itu pun diizinkan masuk. Saya berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya jika engkau setuju membuat batas antara kami dan Bani Tamim, jadikanlah Dahna sebagai batasannya." Dengan serta merta si nenek tua itu menjadi panas dan bergejolak, lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, apakah yang hendak dilakukan oleh orang yang meminta kepadamu dengan paksa ini?" Saya berkata, "Sesungguhnya perumpamaanku sama dengan apa yang dikatakan oleh orang-orang terdahulu, 'Orang yang meminta belasungkawa kepadaku ternyata membawa sendiri kematiannya.' Saya telah membawa nenek ini tanpa menyadari bahwa dia mempunyai rasa permusuhan terhadap diri saya. Saya berlindung kepada Allah bila diri saya ini seperti delegasi kaum 'Ad." Rasulullah Saw. bertanya kepadaku, "Apakah yang dimaksud dengan delegasi kaum 'Ad?" Padahal Rasulullah Saw. lebih mengetahui­nya, tetapi hanya meminta ketegasan dariku. Saya bercerita, bahwa sesungguhnya dahulu kaum 'Ad mengalami musim paceklik yang sangat parah. Lalu mereka mengirimkan suatu delegasinya yang dipimpin oleh seseorang dari mereka yang dikenal dengan nama Qil. Qil bersua dengan Mu'awiyah ibnu Bakar, lalu ia tinggal padanya selama satu bulan, ia menghabiskan hari-harinya dengan minum khamr dan mendengar nyanyian dari dua orang penyanyi. Setelah satu bulan tinggal, maka Qil berangkat ke Bukit Mahrah, lalu ia berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa saya bukan datang kepada yang sakit, lalu saya mengobatinya; juga bukan kepada tawanan, lalu saya menebusnya. Ya Allah, siramilahkaum 'Ad selagi Engkau masih memberi mereka air." Maka lewatlah kepadanya berbagai kumpulan awan hitam, lalu diserukan kepadanya, "Pilihlah mana yang kamu suka!" Maka Qil mengisyaratkan kepada awan yang paling hitam, lalu diserukan kepadanya, "Ambillah awan yang mengandung debu ini yang tidak akan menyisakan seorang pun dari kaum 'Ad." Al-Haris mengatakan, "Tidak ada yang sampai kepadaku berita yang menyatakan bahwa Allah mengirimkan angin kepada mereka kecuali sekadar apa yang dimasukkan ke dalam cincinku ini (yakni tidak banyak) hingga mereka binasa." Abu Wail mengatakan bahwa Al-Haris benar. Sesudah peristiwa itu istilah "Janganlah kamu seperti delegasi kaum ‘Ad" menjadi tenar. Tersebutlah bahwa lelaki dan wanita itu apabila mengirimkan utusannya (delegasinya) selalu berpesan kepada mereka, "Janganlah kamu seperti delegasi kaum "Ad."
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh imam Ahmad di dalam kitab musnadnya. Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Abdu ibnu Humaid, dari Zaid ibnul Hubab dengan sanad yang sama dan lafaz yang semisal.
Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Salam ibnu Abul Munzir, dari Asim (yaitu Ibnu Bandalah). Melalui jalur ini pula Ibnu Majah meriwayatkannya dari Abu Wail, dari Al-Haris ibnu Hisan Al-Bakri dengan lafaz yang semisal.
Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Abu Kuraih, dari Zaid ibnu Hubab, tetapi di dalam sanadnya disebutkan dari Al-Haris ibnu Yazid Al-Bakri, lalu ia menceritakannya. Ibnu Jarir meriwayatkannya pula dari Abu Kuraib, dari Abu Bakar ibnu Ayyasy, dari Asim Al-Haris ibnu Hisan, kemudian ia mengetengahkannya. Ibnu Jarir mengatakan bahwa dia tidak melihat nama Abu Wail dalam salinannya.

Nabi Hud sedih mendengar perkataan kaumnya yang bodoh. Nabi Hud berdo’a kepada Allah :

قَالَ رَبِّ انْصُرْنِي بِمَا كَذَّبُونِ قَالَ عَمَّا قَلِيلٍ لَيُصْبِحُنَّ نَادِمِينَ فَأَخَذَتْهُمُ الصَّيْحَةُ بِالْحَقِّ فَجَعَلْنَاهُمْ غُثَاءً فَبُعْدًا لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

“Ya Tuhanku, tolonglah aku karena mereka mendustakanku.” Allah berfirman: “Dalam sedikit waktu lagi pasti mereka akan menjadi orang-orang yang menyesal.” Maka dimusnahkanlah mereka oleh suara yang mengguntur dengan hak dan Kami jadikan mereka (sebagai) sampah banjir maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang lalim itu. [QS Al-Mu’minuun : 39-41]

Kemudian Allah mengirimkan awan hitam yang telah dipilih Qail kepada kaum ‘Aad, hingga awan itu keluar di sebuah lembah yang dinamakan Al-Mughits. Penduduk kaum ‘Aad melihatnya dan mereka bergembira ria, mereka berkata, “Inilah hujan untuk kami!”. Allah Ta’ala berfirman :

فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ قَالُوا هَذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا بَلْ هُوَ مَا اسْتَعْجَلْتُمْ بِهِ رِيحٌ فِيهَا عَذَابٌ أَلِيمٌ تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوا لا يُرَى إِلا مَسَاكِنُهُمْ كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ

Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami”. (Bukan)! bahkan itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa. [QS Al-Ahqaf : 24-25]

Yakni demikianlah hukuman Kami terhadap orang yang mendustakan rasul-rasul Kami dan menentang perintah Kami.
Dalam sebuah hadis disebutkan kisah mereka, hadisnya garib sekali dan termasuk salah satu hadis yang berpredikat garib lagi tersendiri.
Imam Ahmad mengatakan telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Habbab, telah menceritakan kepadaku Abul Munzir alias Salam ibnu Sulaiman An-Nahwi yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Asim ibnu Abun Nujud, dari Abu Wa'il, dari Al-Haris Al-Bakri yang menceritakan bahwa ia pergi untuk mengadu kepada Rasulullah Saw. tentang Al-Ala ibnul Hadrami. Dalam perjalanannya ia bersua dengan seorang nenek-nenek dan kalangan Bani Tamim, yaitu Rabzah. Nenek-nenek itu tidak mampu lagi meneruskan perjalanannya. Maka ia berkata kepadaku (Al-Haris Al-Bakri), "Hai hamba Allah, sesungguhnya aku mempunyai suatu keperluan dengan Rasulullah Saw, maka sudikah engkau menyampaikan­nya kepada beliau Saw.?" Maka aku menaikkannya ke unta kendaraanku dan kuantarkan ia ke Madinah, yang saat itu Masjid Nabawi kelihatan penuh dengan banyak orang. Tiba-tiba kelihatan sebuah panji berwarna hitam berkibar lalu kelihatan sahabat Bilal r.a. menyandang pedangnya berada di hadapan Rasulullah Saw. Lalu aku bertanya, "Ada apa dengan orang-orang banyak ini?" Mereka menjawab, "Rasulullah Saw. akan mengirimkan Amr ibnul As r.a. bersama pasukan kaum muslim ke suatu tujuan."
Al-Haris melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia masuk ke dalam rumah atau kemah Rasulullah Saw. Sebelumnya ia meminta izin untuk bersua dengan beliau, kemudian diberi izin. Lalu masuklah ia dan mengucapkan salam. Maka Rasulullah Saw. bertanya, "Apakah antara kamu dan Bani Tamim terdapat sesuatu (permusuhan)?" Aku (Al-Haris) menjawab, "Ya, dan kami beroleh kemenangan atas mereka. Dan di tengah jalan saya bersua dengan seorang nenek-nenek dari Bani Tamim yang tidak mampu meneruskan perjalanannya, lalu ia meminta kepadaku untuk membawanya ke hadapan engkau, sekarang dia berada di depan pintu." Lalu nenek-nenek itu diizinkan untuk masuk, maka masuklah nenek-nenek itu.
Lalu aku berkata, "Wahai Rasulullah, sudilah kiranya engkau membuatkan pembatas antara kami dan Bani Tamim. Jika engkau berkehendak, maka buatkanlah padang sahara sebagai pembatasnya." Maka dengan serta merta nenek-nenek itu emosi dan bangkit seraya berkata, "Wahai Rasulullah, apakah yang diinginkan oleh orang yang memintamu dengan mendesak ini?"
Al-Haris melanjutkan kisahnya, maka aku menjawab, "Sesungguhnya nasibku sekarang adalah yang seperti dikatakan oleh pepatah masa dahulu, 'serigala berbulu domba.' Sesungguhnya aku membawa nenek-nenek ini tanpa menyadari bahwa dia adalah musuhku, kukira dia temanku, aku berlindung kepada Allah dan rasul-Nya bila nasibku menjadi seperti utusan kaum ‘Ad."
Rasulullah Saw. bertanya kepadaku, "Bagaimanakah kisah utusan kaum 'Ad itu?" Padahal beliau Saw. lebih mengetahui kisah tersebut daripada dia, tetapi beliau mendesaknya agar menceritakan kisah itu. Maka ia menjawab, bahwa sesungguhnya kaum ‘Ad mengalami musim paceklik yang berkepanjangan, lalu mereka mengirimkan seorang utusan yang dikenal dengan nama Qil. Qil dalam perjalanannya bersua dengan Mu'awiyah ibnu Bakar, lalu Qil tinggal padanya selama satu bulan. Mu'awiyah memberinya minuman Khamr dan menghiburnya dengan dua orang penyanyi yang dikenal dengan julukan Jarradatain.
Setelah berlalu masa satu bulan, Qil berangkat menuju Bukit Mahrah, lalu berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku datang bukan kepada orang sakit yang memerlukan pengobatan dariku, tidak pula kepada tawanan yang perlu aku tebus. Ya Allah, berilah kaum 'Ad hujan selama Engkau akan memberi mereka hujan."
Maka berlalulah iringan awan hitam, lalu ada suara yang berseru dari dalam awan tersebut, "Pilihlah!" Maka Qil mengisyaratkan tangannya ke arah suatu kumpulan awan yang berwarna hitam pekat. Kemudian diseru dari arah awan, "Terimalah awan ini dalam rupa debu dan angin yang sangat kuat, yang tiada menyisakan seorang manusia pun dari kaum 'Ad dapat hidup."
Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa menurut berita yang sampai kepadaku tiadalah kadar angin yang dikirimkan kepada mereka melainkan sebesar lubang cincinku, dan mereka semuanya binasa.
Abu Wa'il mengatakan bahwa lalu Nabi Saw. membenarkan kisah tersebut. Dan tersebutlah apabila mereka mengirimkan delegasi yang terdiri dari seorang wanita dan seorang laki-laki, mereka mengatakan, "Janganlah kamu seperti delegasi (utusan) kaum 'Ad."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi, Imam Nasai, dan Imam ibnu Majah, ‎
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Ma'ruf, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Amr, bahwa Abun Nadr pernah menceritakan hadis berikut dari Sulaiman ibnu Yasar, dari Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa ia belum pernah melihat Rasulullah Saw. bilamana tertawa kelihatan langit-langitnya, sesungguhnya tertawa beliau hanyalah tersenyum. Siti Aisyah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah Saw. apabila melihat mendung atau angin yang besar, maka terlihat ada perubahan pada roman muka beliau. Lalu Siti Aisyah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang merasa gembira bila mereka melihat awan karena adanya harapan akan turun hujan. Tetapi aku amati apabila engkau melihatnya, ada perasaan kurang senang di wajahmu." Maka Rasulullah Saw. menjawab:
"يَا عَائِشَةُ، مَا يُؤَمِّنُنِي أَنْ يَكُونَ فِيهِ عَذَابٌ، قَدْ عُذِّبَ قَوْمٌ بِالرِّيحِ، وَقَدْ رَأَى قَوْمٌ الْعَذَابَ فَقَالُوا: هَذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا"
Hai Aisyah, saya merasa khawatir bila di dalam awan itu terdapat azab, karena ada suatu kaum yang telah diazab melalui angin yang besar(awan), kaum itu melihat kedatangan azab tersebut, lalu mereka mengatakan, 'Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami.”
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini melalui Ibnu Wahb.,
Jalur lain. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, dari Sufyan, dari Al-Miqdam ibnu Syuraih, dan ayahnya, dari Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. apabila melihat awan muncul di cakrawala langit dan arah mana pun, beliau meninggalkan pekerjaannya. Dan jika beliau berada di dalam salatnya, mengucapkan doa berikut:
"اللَّهُمَّ، إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِيهِ"
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari keburukan yang terkandung di dalam awan ini.
Dan jika ternyata awan itu hilang, maka beliau memuji kepada Allah Swt. Jika hujan turun, maka beliau membaca doa:
"اللَّهُمَّ، صَيِّبًا نَافِعًا"
Ya Allah, (jadikanlah hujan ini) hujan yang bermanfaat.
Jalur lain. Imam Muslim di dalam kitab sahihnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar At-Tahir, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Juraij menceritakan hadis berikut kepadanya dan Ata ibnu Abu Rabah, dari Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bila ada angin bertiup sangat kuat, beliau mengucapkan doa berikut:
"اللَّهُمَّ، إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا، وَخَيْرَ مَا فِيهَا، وَخَيْرَ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا، وَشَرِّ مَا فِيهَا، وَشَرِّ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ"
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kebaikannya dan kebaikan yang ada padanya serta kebaikan dari apa yang Engkau kirimkan melaluinya. Dan aku berlindung kepada Engkau dari keburukannya dan keburukan yang ada padanya serta keburukan dari apa yang Engkau kirimkan melaluinya.
Siti Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa apabila langit mendung, roman muka beliau berubah dan melangkah keluar dan masuk serta mondar-mandir. Dan apabila turun hujan, barulah beliau merasa tenang. Hal itu diketahui oleh Siti Aisyah r.a., lalu ia menanyakan kepada beliau tentang sikapnya itu. Maka beliau Saw. menjawab:
"لَعَلَّهُ يَا عَائِشَةُ كَمَا قَالَ قَوْمُ عَادٍ: {فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ قَالُوا هَذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا}
Hai Aisyah, barangkali hal itu seperti apa yang dikatakan oleh kaum 'Ad, "Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka, 'Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami'(Al-Ahqaf: 24)
وَقَالَ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا عَبْدَانُ بْنُ أَحْمَدَ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ زَكَرِيَّا الْكُوفِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو مَالِكٍ، عَنْ مُسْلِمٍ الْمُلَائِيِّ، عَنْ مُجَاهِدٍ وَسَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم: "مَا فُتِحَ عَلَى عَادٍ مِنَ الرِّيحِ إِلَّا مِثْلُ مَوْضِعِ الْخَاتَمِ، ثُمَّ أُرْسِلَتْ عَلَيْهِمْ [فَحَمَلَتْهُمُ] الْبَدْوَ إِلَى الْحَضَرِ فَلَمَّا رَآهَا أَهْلُ الْحَضَرِ قَالُوا: هَذَا عَارَضٌ مُمْطِرُنَا مُسْتَقْبَلُ أَوْدِيَتِنَا. وَكَانَ أَهْلُ الْبَوَادِي فِيهَا، فَأُلْقِي أَهْلُ الْبَادِيَةِ عَلَى أَهْلِ الْحَاضِرَةِ حَتَّى هَلَكُوا. قَالَ: عَتَتْ عَلَى خُزَّانِهَا حَتَّى خَرَجَتْ مِنْ خِلَالِ الْأَبْوَابِ"
Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdan Ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Zakaria Al-Kufi, telah menceritakan kepada kami Abu Malik ibnu Muslim Al-Mala'i, dari Mujahid dan Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah tidak membukakan angin terhadap kaum ‘Ad kecuali hanya semisal dengan lubang tempat cincin. Kemudian angin itu dikirimkan menuju daerah pedalaman mereka, lalu ke daerah perkotaan mereka. Dan ketika penduduk perkotaan melihat datangnya angin itu (yang berupa awan hitam), mereka mengatakan, "Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami sedang menuju ke lembah-lembah kami." Sedangkan penduduk pedalaman telah berada di dalam angin itu (terbawa terbang), lalu mereka ditimpakan kepada penduduk perkotaan hingga semuanya binasa. Angin itu memporak-porandakan kantung-kantung tempat mereka berada sehingga keluarlah angin itu dari celah-celah pintu-pintu tempat mereka. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.‎

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar