Sabtu, 04 Juni 2016

Penjelasan Hukum Mimpi Dalam Islam

Termasuk hal yang kita ketahui bersama bahwa kebenaran yang wajib kita ikuti adalah kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berupa wahyu yang berasal dari Allah ta'aalaa. Hanya dengan inilah dibangun syariat, baik yang berkaitan dengan aqidah (keyakinan) atau ahkam (hukum-hukum). 

Berkata Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu:‎

أنَّ الحقَّ الذي لا باطلَ فيه هو ما جاءت به الرسلُ عن الله، وذلك في حقِّنا، ويعرف بالكتاب والسنة والإجماع، وأمَّا ما لم تجئ به الرسلُ عن الله؛ أو جاءت به ولكن ليس لنا طريقٌ موصِلَةٌ إلى العلم به ففيه الحقُّ والباطلُ، فلهذا كانت الحجةُ الواجبةُ الاتباعِ للكتاب، والسنة، والإجماع؛ فإنَّ هذا حقٌّ لا باطلَ فيه
"Sesungguhnya kebenaran yang tidak ada kebathilan di dalamnya adalah apa yang dibawa oleh para rasul dari Allah. Dan dalam agama kita dikenal dengan Al-Quran, As-Sunnah, dan Al-Ijma'. Adapun sesuatu yang tidak berasal dari para rasul yang bersumber dari Allah ta'aalaa ; atau yang berasal dari mereka akan tetapi tidak ada jalan untuk mengetahuinya maka di dalamnya ada kebenaran dan kebathilan. Oleh karena itu hujjah yang wajib diikuti hanyalah Al-Quran, As-Sunnah, dan Al-ijma'; karena ini adalah kebenaran yang tidak kebathilan di dalamnya" (Majmu' Al-Fatawa 5/19)‎

Dan termasuk wahyu adalah mimpi para nabi, karena sesungguhnya mimpi para nabi adalah dari Allah semata, yang dibangun di atasnya syariat. Adapun mimpi dari selain mereka maka tidak boleh dibangun syariat di atasnya. 

Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: 

ورؤيا الأنبياء وحيٌ؛ فإنها معصومةٌ من الشيطان، وهذا باتفاق الأمة، ولهذا أقدم الخليلُ على ذبح ابنِهِ إسماعيل إ بالرؤيا، وأما رؤيا غيرهم فتُعْرَض على الوحي الصريح؛ فإن وافقتْه وإلاَّ لم يُعْمَلْ بها

"Dan mimpi para Nabi adalah wahyu, karena mimpi mereka terjaga dari syetan; dan ini sudah menjadi kesepakatan umat (Islam); oleh karena itu Al-Khalil (Nabi Ibrahim 'alaihissalaam) mau menyembelih putranya Ismail 'alaihissalaam hanya karena mimpi. Adapun mimpi selain mereka maka harus dicocokkan dengan wahyu yang jelas; kalau cocok (maka diterima), kalau tidak maka tidak boleh diamalkan"(Madaarijussalikin 1/51)

Perkara mengenai mimpi seringkali dibangkitkan dan merupakan perkara yang paling banyak menimbulkan rasa ingin tahu di kalangan kita. Di dalam membincangkan peristiwa Isra’ Mi’raj perkara mimpi pun turut disebutkan terutama sekali dalam membincangkan adakah baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam diisra’kan dalam keadaan jaga atau mimpi?

Pada menegakkan pendapat Aisyah yang mengatakan bahawa baginda diisra’kan dengan keadaan tidur (mimpi), pernah diberikan alasan dengan berhujjahkan firman Allah surah al-Isra’ ayat 60 ini:

وَإِذْ قُلْنَا لَكَ إِنَّ رَبَّكَ أَحَاطَ بِالنَّاسِ وَمَا جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلاَّ فِتْنَةً لِلنَّاسِ
وَالشَّجَرَةَ الْمَلْعُونَةَ فِي الْقُرْآنِ وَنُخَوِّفُهُمْ فَمَا يَزِيدُهُمْ إِلاَّ طُغْيَانًا كَبِيرًا (60)
“Dan (ingatlah) ketika Kami mewahyukan kepadamu (wahai Nabi Muhammad):  “Sesungguhnya Tuhanmu (ilmu dan kekuasaanNya)meliputi sekalian manusia.” Dan Kami tidak menjadikan pandangan (pada malam Mi’raj) yang telah kami perlihatkan kepadamu melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (demikian juga) pokok (zaqqum) yang dilaknat di dalam al-Quran. Dan Kami menakutkan mereka, namun yang demikian itu tidak menambah (ketakutan) kepada mereka melainkan (menambah) kederhakaan yang melampau.”

Akan tetapi hujjah ini dibantah dengan firman Allah surah al-Isra’ ayat 1:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً...

Tafsirnya :
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam...”

Jadi para al-Mufassirin (ahli tafsir) berpendapat, dengan mengatakan bahawa jika dalam keadaan tidur, tidak mungkin disebut perkataan “diperjalankan”. Selain itu, pandangan mata sering juga disebut ‘ar-Ru’ya’ (mimpi) sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas, yang mana pandangan mata itu apa yang diperlihatkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada malam baginda “diperjalankan”.

Apa makna ar-Ru’ya?
ar-Ru’ya bermakna suatu keadaan yang mulia dan mempunyai tingkatan yang tinggi. Hal ini dapat kitani fahami dari hadits baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh al-Imam Bukhari di dalam kitab beliau; ‘Shahih Bukhari’:

أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَمْ يَبْقَ مِنْ النُّبُوَّةِ إِلاَّ الْمُبَشِّرَاتُ، قَالُوا وَمَا الْمُبَشِّرَاتُ قَالَ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ
“Sesungguhnya Abu Hurairah berkata, aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada yang tersisa selepas kenabian kecuali khabar gembira”. Maka bertanya sahabat: “Apa dia khabar gembira itu?”, bersabda bagindaRasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Mimpi yang baik”.

Dan disebutkan juga perkara mimpi ini di dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam  yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim di dalam ‘Shahih Muslim’:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: كَشَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السِّتَارَةَ وَالنَّاسُ صُفُوفٌ خَلْفَ أَبِي بَكْرٍ فَقَالَ:
 أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّهُ لَمْ يَبْقَ مِنْ مُبَشِّرَاتِ النُّبُوَّةِ إِلاَّ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ يَرَاهَا الْمُسْلِمُ أَوْ تُرَى لَهُ أَلاَ وَإِنِّي نُهِيتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُم‎

“Dari Ibnu ‘Abbas berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membuka tirai, lantas baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melihat orang ramai berbaris-baris di belakang Abu Bakar, maka baginda bersabda: “Hai sekalian manusia, sesungguhnya tidak terdapat lagi berita-berita gembira tentang kenabian kecuali mimpi yang baik, yang dialami oleh seorang muslim, atau diperlihatkan baginya (mimpi itu), dan sesungguhnya aku telah dilarang dari membaca al-Quran ketika rukuk dan sujud. Adapun ketika rukuk maka kamu agungkanlah Allah, dan ketika kamu bersujud bersungguh-sungguhlah (perbanyakkanlah) berdoa, sebenarnya doa kamu (pada ketika itu) akan diterima Allah.”

Adapun selain daripada perkara mimpi, hadits ini juga sebenarnya merupakan hujjah yang melarang kita untuk membaca ayat suci al-Quran ketika melakukan rukuk dan sujud serta saranan agar memperbanyakkan doa ketika melakukan sujud kerena sebahagian ulama berpendapat bahawa waktu kita bersujud itulah waktu kita paling dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kita perhatikan lagi hadits ini...

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ تَحَلَّمَ بِحُلْمٍ لَمْ يَرَهُ كُلِّفَ أَنْ يَعْقِدَ بَيْنَ شَعِيرَتَيْنِ وَلَنْ يَفْعَلَ وَمَنْ اسْتَمَعَ إِلَى حَدِيثِ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ أَوْ يَفِرُّونَ مِنْهُ صُبَّ فِي أُذُنِهِ الآنُكُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ صَوَّرَ صُورَةً عُذِّبَ وَكُلِّفَ أَنْ يَنْفُخَ فِيهَا وَلَيْسَ بِنَافِخٍ‎

“Dari Ibnu 'Abbas, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa menyatakan dia bermimpi padahal tidak, maka dia akan dibebani untuk menyatukan dua biji gandum padahal dia tak akan dapat melakukannya. Dan barangsiapa yang mencuri dengar pembicaraan suatu kaum padahal mereka tidak menyukai baginya (telah menyingkir untuk menghindarinya), maka akan dituang ke dalam telinganya cairan tembaga pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang mengambar (melukis, menenun atau mengukir) maka dia akan disiksa dan dibebani untuk menghidupkannya padahal dia tidak akan mampu.”
Dengan hadits di atas, kita perlu sedar dan menginsafi bahawa kitani sebagai umat Islam dilarang sama sekali berbuat dusta ke atas perkara-perkara yang berkaitan dengan mimpi. Termasuklah di sini hal yang kurang wajar seperti mereka-reka, mempersendakan atau mem’paibun’kan mimpi.

Jadi pada keseluruhannya, berdasarkan daripada hadits-hadits yang telah dibawakan itu tadi, dapatlah kitani fahami bahawa mimpi mempunyai nilai penting di dalam Islam. Ia banyak kali disebutkan di dalam al-Quran, contohnya seringkali disebutkan di dalam surah Yusuf, sebagaimana yang sering kitani dengar kisah hidup Nabi Allah Yusuf 'alaihissalam. Begitu juga banyak disebutkan di dalam hadits-hadits baginda Rasulullah Shallallhu 'alaihi wasallam antaranya sepertimana yang telah disebutkan tadi. 

Oleh yang demikian, kitani perlu berhati-hati serta percaya bahawa mimpi ada yang benar dan dapat dipercayai... contohnya saja sebagaimana yang dinyatakan di awal-awal tadi, iaitu hadits dari Ibnu ‘Abbas berkenaan dengan mimpi baik seorang muslim. Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah membahagikan mimpi menjadi beberapa bahagian. Ini dapat diketahui berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Muhammad bin Sirin, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَنْ  مُحَمَّدُ بْنُ سِيرِينَ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ:
 قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا اقْتَرَبَ الزَّمَانُ لَمْ تَكَدْ تَكْذِبُ رُؤْيَا الْمُؤْمِنِ وَرُؤْيَا الْمُؤْمِنِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنْ النُّبُوَّةِ وَمَا كَانَ مِنْ النُّبُوَّةِ فَإِنَّهُ لاَ يَكْذِبُ 
قَالَ مُحَمَّدٌ وَأَنَا أَقُولُ هَذِهِ قَالَ وَكَانَ يُقَالُ: الرُّؤْيَا ثَلاَثٌ حَدِيثُ النَّفْسِ وَتَخْوِيفُ الشَّيْطَانِ وَبُشْرَى مِنْ اللَّهِ فَمَنْ رَأَى شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلاَ يَقُصَّهُ عَلَى أَحَدٍ وَلْيَقُمْ فَلْيُصَلِّ قَالَ وَكَانَ يُكْرَهُ الْغُلُّ فِي النَّوْمِ وَكَانَ يُعْجِبُهُمْ الْقَيْدُ وَيُقَالُ الْقَيْدُ ثَبَاتٌ فِي الدِّينِ


“Dari Muhammad bin Sirin, sesungguhnya dia mendengar Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda : “Jika telah menghampiri zaman, mimpi seseorang yang beriman itu hampir-hampir tidak dusta dan mimpi seorang mukmin adalah juz dari 46 juz kenabian, dan sesungguhnya juz kenabian itu bukanlah dusta, Muhammad bin  Sirin berkata : “Dan beliau mengataka: “Mimpi ada tiga :

Percakapan (bisikan) jiwa,
dan bisikan setan (yang menakut-nakuti)
dan kabar gembira dari Allah.

Maka barangsiapa bermimpi sesuatu yang dia benci janganlah menceritakannya pada seseorang dan hendaklah berdiri lalu melakukan sembahyang, Abu Hurairah berkata, “Dan beliau membenci al-Ghulu (mimpi tangan yang terikat di leher) ketika tidur dan mereka telah dikagumkan dengan perkara yang berkaitan (agama) dan dikatakan perkara yang berkaitan bererti ketetapan dalam agama.”

Jadi, janganlah kitani cuba memperkecilkan jika ada di antara kitani yang beria-ia membenarkan mimpi yang dialaminya kerana ulama berpendapat bahawa membenarkan mimpi yang dapat dipercaya adalah diperbolehkan dan mimpi itu mempunyai penafsiran atau maksud tersirat yang baik, dan mungkin ada yang tidak memerlukan penafsiran. Dalam mimpi yang baik, Allah memperlihatkan kuasaNya meliputi keindahan, rahmat, hidayah dan kelembutan yang mampu memberikan kegembiraan kepada mukmin yang bermimpi. Mengenai hal ini, ulama bersepakat dan tidak mengingkari akan mimpi yang benar kecuali dia seorang pendusta atau orang mu’tazilah.

Adapun jenis mimpi yang pertama sepertimana yang dinyatakan di dalam hadits iaitu ‘Bisikan Jiwa’. Ia merupakan gambaran dari keinginannya atau pengaruh dari apa yang terjadi pada dirinya dalam hidupnya. Kebanyakan manusia bermimpikan sesuatu dalam tidurnya apa yang menjadi bisikan hatinya, apa yang memenuhi fikirannya atau apa yang berlaku pada dirinya ketika ia dalam keadaan terjaga, sehinggakan perkara tersebut terbawa-bawa ke dalam tidurnya.

Manakala jenis yang kedua iaitu gangguan dari syaitan yang bertujuan untuk menakut-nakutkan manusia. Hal ini terjadi karena syaitan dapat menggambarkan dalam tidur seseorang perkara yang menakutkan sehinggakan seseorang itu berada dalam kesedihan dan bermurungan.

Para ulama sebenarnya berbeza pendapat mengenai hakikat mimpi yang benar. Ada yang mengatakan, mimpi yang benar itu adalah mengetahui bahagian-bahagian tertentu yang tidak dihalang oleh apapun, contohnya mimpi itu datang ketika tidur yang nyenyak. Maka dari itu, kebanyakan mimpi yang benar itu terjadi di akhir malam kerana sedikitnya tidur, dan untuk itu Allah memberikan bagi orang yang memiliki mimpi yang benar pengetahuan, dan menjadikan apa yang dia lihat menjadi nyata dan difahami secara benar.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menyarankan agar mimpi buruk itu tidak diceritakan kepada orang lain, atau dilupakan.

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, bahwa ada seorang Arab badui datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bertanya,

“Ya rasulullah, aku bermimpi kepalaku dipenggal lalu menggelinding kemudian aku berlari kencang mengejarnya”.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada penanya,

لاَ تُحَدِّثِ النَّاسَ بِتَلَعُّبِ الشَّيْطَانِ بِكَ فِى مَنَامِكَ

“Jangan kau ceritakan kepada orang lain kelakuan setan yang mempermainkan dirimu di alam mimpi”.

Setelah kejadian itu, aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan dalam salah satu khutbahnya,

لاَ يُحَدِّثَنَّ أَحَدُكُمْ بِتَلَعُّبِ الشَّيْطَانِ بِهِ فِى مَنَامِهِ

“Jangan sekali-kali kalian menceritakan ulah setan yang mempermainkan diri kalian di  alam mimpi” (HR Muslim 2268).

Dalam riwayat lain, beliau menjamin ketika seseorang melupakan mimpi itu, dan memohon perlindungan dari setan, maka mimpi itu tidak akan berdampak buruk baginya. Beliau bersabda,

وَإِذَا رَأَى مَا يَكْرَهُ فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ شَرِّهَا، وَمِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ، وَلْيَتْفِلْ ثَلاَثًا، وَلاَ يُحَدِّثْ بِهَا أَحَدًا، فَإِنَّهَا لَنْ تَضُرَّهُ

Apabila kalian mengalami mimpi buruk, hendaknya meludah ke kiri 3 kali, dan memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan setan dan dari dampak buruk mimpi. Kemdian, jangan ceritakan mimpi itu kepada siapapun, maka mimpi itu tidak akan memberikan dampak buruk kepadanya.” (HR. Bukhari 7044, Muslim 2261, dan yang lainnya)

Ketika menjelaskan hadis tentang mimpi buruk di atas, An-Nawawi mengatakan,

وأما قوله صلى الله عليه وسلم في الرؤيا المكروهة ولا يحدث بها أحدا فسببه أنه ربما فسرها تفسيرا مكروها على ظاهر صورتها وكان ذلك محتملا فوقعت كذلك بتقدير الله تعالى فإن الرؤيا على رجل طائر ومعناه أنها اذا كانت محتملة وجهين ففسرت بأحدهما وقعت على قرب تلك الصفة

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mimpi buruk, agar tidak diceritakan orang lain, sebabnya adalah: terkadang ada orang menafsirkan mimpi itu dengan tafsir yang buruk sebagaimana yang digambarkan dalam mimpi itu, meskipun masih ada banyak kemungkinkan, kemudian tafsir buruk itu terjadi dengan taqdir Allah ta’ala. Karena mimpi yang dialami seseorang ibarat sesuatu yang terbang. Artinya, ketika mimpi itu memiliki dua kemungkinan makna, kemudian ditafsirkan pada salah satu maknanya, maka maka akan terjadi sesuai yang mendekati sifat tersebut. (Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi, 15/18)‎‎
Tidak boleh menjadikan mimpi Sebagai Hukum

Dijadikannya mimpi sebagai sumber dalam beragama pada hakekatnya adalah pendustaan terhadap kabar Allah dan tuduhan kepada Nabi Muhammad bahwa beliau shallallahu 'alaihi wasallam tidak menyampaikan semua risalah yang telah dibebankan kepada beliau.
  
Asy-Syathiby rahimahullahu menyebutkan bahwa menetapkan hukum dengan mimpi mengharuskan adanya pembaharuan wahyu setelah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan ini tertolak berdasarkan ijma' ulama. (Lihat Al-I'tisham 2/81)
Berkata Asy-Syaukany rahimahullahu:
 
ولا يخفاك أنَّ الشرعَ الذي شرَعه اللهُ لنا على لسان نبيِّنا r قد كمَّله اللهُ ﻷ ، وقال: (الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ ) المائدة :3، ولم يأتِنَا دليلٌ يدُلُّ على أنَّ رؤيتَه في النوم بعد موته r إذا قال فيها بقولٍ أو فَعَلَ فيها فعلاً يكون دليلاً وحجَّةً، بل قَبَضَهُ الله إليه عند أنْ كَمَّلَ لهذه الأمة ما شَرَعَه لها على لسانِه، ولم يبق بعد ذلك حاجةٌ للأمة فى أمرِ دينها، وقد انقطعت البعثةُ لتبليغ الشرائع وتبيينِها بالموت، وإن كان رسولاً حيًّا وميتًا، وبهذا تعلَمُ أنْ لو قدَّرْنَا ضبطَ النائم لم يكن ما رآه مِنْ قوله r أو فِعْلِه حُجَّةً عليه، ولا على غيره مِنَ الأمة

"Tidak samar bagimu bahwa syariat yang Allah syariatkan untuk kita dengan lisan Nabi kita shallallahu 'alaihi wasallam telah Allah 'azza wa jalla sempurnakan, Allah berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ‎
"Hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian" (QS. Al-Maidah:3)
Dan tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa seseorang apabila bermimpi melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam setelah beliau meninggal; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan sesuatu atau melakukan sesuatu; kemudian (ucapan dan perbuatan) tersebut menjadi dalil dan hujjah. Allah telah mencabut nyawa beliau ketika Allah telah menyempurnakan syariat-Nya untuk ummat ini dengan lisan Nabi-Nya. Dan setelah itu ummat sudah tidak butuh lagi tambahan dalam urusan agamanya. Sudah terputus tugas untuk menyampaikan risalah dengan kematian beliau, meskipun beliau tetap sebagai seorang rasul baik ketika hidup ataupun sesudah matinya. Dengan demikian kamu mengetahui bahwa seandainya ada seseorang yang mengingat benar mimpinya; maka apa yang dia lihat dalam mimpi tersebut; baik berupa ucapan Nabi shallallahu 'alaihiwasallam atau perbuatan beliau; tidak bisa dijadikan hujjah atas dirinya dan atas orang lain"( Irsyadul Fuhuul Ilaa Tahqiiqil Haqqi Min 'Ilmil Ushuul 2/1020-1021)

Menetapkan sebuah hukum dengan mimpi saja adalah menyelisihi ijma' (kesepakatan ulama).
 
Al-Qadhi 'Iyadh rahimahullah telah menukil ijma' bahwa tidak boleh kita bersandar kepada mimpi dalam menetapkan hukum-hukum syariat. (Tharhu At-Tatsriib, Al-Qadhi 'Iyadh 8/215)

Dan telah berkata Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu:
 
وَالرُّؤْيَا المحْضةُ الَّتِي لا دليلَ يَدُلُّ على صحَّتِهَا لا يَجُوزُ أن يُثْبَتَ بها شَيْءٌ بالاتفاق 

"Dan mimpi yang tidak ada dalil atas kebenarannya; tidak boleh suatu hukum agama ditetapkan dengannya berdasarkan kesepakatan para ulama" ( Majmu' Al-Fatawa 27/458)

Mimpi selain para nabi dan rasul tidak ma'shum (terjaga dari kesalahan).
 
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata:
 
ورؤيا الأنبياء وحيٌ؛ فإنها معصومةٌ من الشيطان، وهذا باتفاق الأمة 

"Dan wahyu para Nabi adalah wahyu, karena mimpi mereka terjaga dari syetan; dan ini sudah menjadi kesepakatan umat (islam)" (Madarijussalikin 1/51)

Dengan demikian mimpi selain para nabi ada kemungkinan tidak benar, karena ada kemungkinan orangnya berdusta, atau mimpi tersebut dari syetan, atau mimpi tersebut adalah kejadian yang terbawa mimpi.

Berkata Syeikhul Islam rahimahullahu:
 
 فأمَّا المناماتُ فكثيرٌ منها بل أكثرُها كذِبٌ... فرَاِئيْ المنام غالبًا ما يكون كاذبًا؛ وبتقدير صدقه فقد يكون الذي أخبره بذلك شيطان

"Adapun mimpi-mimpi maka banyak atau sebagian besarnya adalah dusta…, yang mengaku bermimpi pada umumnya pendusta, seandainya dia jujurpun maka terkadang yang datang kepadanya adalah syetan" (Majmu' Al-Fatawa 27/457-458)

Dengan demikian dalam menilai sebuah mimpi maka kita harus kembali kepada dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah, apabila sesuai maka yang dipakai untuk menentukan hukum adalah dalil tersebut bukan mimpinya; karena hukum-hukum agama tidak dibangun di atas mimpi. 

Dan apabila mimpi tersebut menyelisihi dalil maka mimpi tersebut ditolak, bagaimanapun keshalihan orang yang bermimpi tersebut atau bagaimanapun kejelasan apa yang dia lihat; dan kita harus meyakini bahwa mimpi tersebut dusta dan berasal dari syetan atau hanya sekedar mimpi kosong belaka.
Faidah (manfaat) mimpi :

Faidah mimpi hanyalah sebatas peringatan atau kabar gembira, sehingga hal tersebut mendorong dirinya untuk melakukan yang baik atau meninggalkan yang buruk. 

Berkata Asy-Syathiby rahimahullahu: ‎

لأنَّ الرؤيا مِن غيرِ الأنبياء لا يُحْكَمُ بها شرعًا على حالٍ؛ إلاَّ أنْ نَعْرِضَها على ما في أيدِيْنا من الأحكام الشرعِيَّة، فإنْ سَوَّغَتْها عُمِلَ بمقتضاها؛ وإلا وجب تركُها والإعراضُ عنها، وإنما فائدتها البشارةُ والنذارةُ خاصَّةً، وأما استفادةُ الأحكام فلا

"… Sesungguhnya mimpi dari selain para Nabi secara syara'i tidak boleh dijadikan landasan untuk menghukumi perkara apapun; kecuali setelah ditimbang dengan hukum syariat; apabila diperbolehkan maka bisa diamalkan; bila tidak diperbolehkan maka wajib ditinggalkan dan berpaling darinya. Faidah dari mimpi tersebut hanyalah memberi kabar gembira atau peringatan; adapun menentukan sebuah hukum dengannya maka tidak boleh sama sekali" (Al-I'tisham 2/78)

Berkata Abdurrahman bin Yahya Al-Mu'allimy (wafat tahun 1386 H) rahimahullahu:
 
اتفق أهلُ العلم على أنَّ الرؤيا لا تصلح للحجة، وإنما تبشير وتنبيه، وتصلح للاستئناس بها إذا وافقت حجة شرعية صحيحة

"Para ulama telah bersepakat bahwa mimpi tidak bisa dijadikan hujjah (dalil), mimpi hanyalah sebatas memberi kabar gembira atau peringatan, dan bisa juga kita ambil ibrah apabila sesuai dengan dalil syar'i yang shahih" (At-Tankiil 2/242)

Cara mengetahui yang halal dan yang haram, serta mengetahui aqidah dengan mimpi adalah cara yang dipakai oleh orang nashrani.
 
Berkata Abu Abdillah Al-Qurthuby (wafat tahun 671 H) rahimahullahu:
فإن معظم معتمدهم في أمور دياناتهم إنما هو الإنجيل، ونقله غير متواتر لا سيما والأحداث عندهم في أكثر الأحيان بمنامات يدعونها، يجعلونها أصولاً يعولون عليها 

"Sesungguhnya sebagian besar keyakinan mereka (orang nashrani) dalam masalah agama berdasarkan injil yang penukilannya tidak mutawatir, terlebih-lebih dalam meriwayatkan kejadian-kejadian tersebut kebanyakannya dengan mimpi, kemudian menjadikan mimpi tersebut sebagai ushul (dalil)" (Al-I'laamu bimaa fii Diini An-Nashaaraa Minal Fasaadi Wal Auhaam, Al-Qurthuby 2/246)

Doktor Muhammad Dhiya' Al-A'zhami mengatakan:
 
كَتَب هذا السِفْرَ صاحبُ الإنجيل يوحنا في عهد إمبراطور الدولة الرومانية الغربية عام 81م إلى 96م. وهو رؤيا منامية ادعاها يوحنا، وادعى أنه أوحى إليه فيها كثير من حقائق الديانة المسيحية، وأحداث المستقبل 

"Kitab (mimpi) ini ditulis oleh Yohana (penulis injil) di masa Imperatur Romawi Barat tahun 81 Masehi sampai tahun 96 Masehi, kitab ini berisi mimpi-mimpi yang dialami oleh Yohana, dan dia mengaku bahwasanya wahyu turun kepadanya, mimpi-mimpi tersebut berisi tentang beberapa hakikat agama nashrani dan kejadian-kejadian yang akan datang" (Diraasaat Fil Yahuudiyyah wal Masiihiyyah wa Adyaanil Hindi hal. 391)
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar