Minggu, 02 Oktober 2016

Hikayat Datu Abulung Al-Banjari

Syekh Abdul Hamid Abulung al-Banjari atau lebih dikenal dengan Datu Abulung adalah salah satu ulama Banjar yang berpengaruh pada masanya. Ia adalah ulama yang pernah menggemparkan Kalimantan dengan paham Wahdatul Wujud. Ia dihukum mati oleh keputusan Sultan Tahmidillah, atas pertimbangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang waktu itu menjabat sebagai mufti besar.

Riwayat singkat Syaikh Abdul Hamid Abulung 

Dalam sejarah pemikiran keagamaan di kalimantan Selatan, pada abad ke 18 tersebutlah tiga tokoh yang ternama dan masyhur di tengah-tengah masyarakat waktu itu yaitu: 
1. Syekh Abdul Hamid, dikenal dengan Datu Abulung 
2. Syekh Muhammmad Arsad Al-Banjari, dikenal dengan Datu Kalampayan. 
3. Syekh Muhammad Nafis bin Idris binAl- Husayn, dikenal dengan Datu Nafis. 

Pada masa pemerintahan Sultan Tahilullah Syekh Abdul Hamid muda dan Syekh Muhammmad Arsyad Al-Banjari keduanya sama-sama diberangkatkan ke Makkah Al- Mukarramah untuk menuntut ilmu agama. Tidak diketahui dengan jelas berapa lama, kepada siapa saja dan ilmu apa saja yang beliau pelajari di tanah suci Makkah Al- Mukarramah. Saat kepulangan dari menuntut ilmu pun tidak diketahui pula kapan waktunya. Sepulang dari menuntut ilmu di Tanah Suci Makkah, Syekh Abdul Hamid Ablung mulai mengajarkan ilmu-ilmu yang sudah didapatnya dari guru-guru beliau di Tanah Suci Makkah Mukarramah . Sampai sekarang belum ditemukan ahli sejarah yang menulis atau mencatat dengan jelas tentang riwayat hidup syekh Abdul Hamid Abulung atau yang dikenal juga dengan sebutan Datu Abulung. Diberi gelar dengan Datu Abulung karena ia tinggal dan dimakamkan di desa Abulung Martapura. Namun, cerita yang didapatkan tentang hal ihwal beliau ini hanya melalui penuturan atau cerita dari beberapa tokoh masyarakat yang di dengar dari guru-guru atu orang- orang tua yang menceritakannya kembali secara turun temurun. 

Tidak ada catatan atau pun cerita yang jelas tentang asal usul Syekh Abdul Hamid, baik tentang tempat maupun tahun kelahiran. Silsilah keturunan , baik dari pihak bapak maupun ibu, keturunan, tempatnya dibesarkan, tempat tinggal dan tempat mejelis pengajiannya, guru-guru dalam menuntut ilmu, kitab-kitab yang dipelajari maupaun yang di ajarkan serta murid- murid yang pernah menimba ilmu kepadanya. Menurut salah satu hikayat yang diperoleh bahwa Abdul Hamid Abulung adalah urang buana (seorang keturunan asli banjar), namun tidak diketahui dengan jelas berasal dari kampung mana dan keturunan siapa. 

Hal ini disebabkan karena ia adalah orang yang berkelana. Konon dari kecil ia sudah meninggalkan kampung halaman dan orang tuanya untuk berkelana. Terhadap cerita masyhur dan tersebar di masyarakat sekarang sekarang bahwa Seykh Abdul Hamid Abulung adalah seorang yang mempunyai ilmu yang sangat tinggi di bidang ilmu tasawuf dan ilmu hakikat, sampai-sampai bagi orang awam yang belum menguasai tingkatan-tingkatan ilmu tauhid dan tasawuf akan kebingungan mendengar penuturan-penuturan yang disampaikan dan dikeluarkannya. Bahlkan sampai ada yang mengatakan bahwa ia mengajarkan sekaligus menyebarkan satu paham yang menyesatkan. 

Padahal waktu itu masyarakat di sekitarnya masih lebih banyak yang awam daripada yang sudah banyak belajar tentang ilmu tasawuf dan ilmu hakikat . Di antara ilmu-ilmu yang diajarkan oleh beliau adalah ilmu Tasawuf. Namun ilmu tasawuf yang diajarkan beliau kepada orang awam sangat berlainan fahamnya dari pelajaran ilmu tasawuf yang telah dikenal dan dipelajari masyarakat sebelumnya. 

Datu Abulung mengajarkan bahwa: Tiada yang maujud hanya dia Tiada yang maujud selain-Nya Tiada aku melainkan Dia Dia adalah aku dan aku adalah dia. Dalam pelajaran Syekh abbdul Hamid Abulung juga diajarkan bahwa; Syariat yang diajarkan selama inin adalah “kulit”belum sampai kepada “isi” (hakikat). Sedangkan pelajaran yang selama ini diyakini dan dipahami oleh masyarakat umum, yaitu: Tiada yang berhak dan patut disembah hanya Allah Allah adalah Khalik dan selainya adalah makhluk, tiada sekutu bagi-Nya Ajaran inilah yang dikatakan Datu Abulung hanya kulit, belum sampai kepada isi dan hakikat. 

Ajaran Datu Abulung itu merupakan hasil pengaruh dari ajaran Abu Yazid Al-bustami (M.874),Husein bin Mansur Al-Hallaj (858-922), yang kemudian memasuki Indonesi melalui Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin di Sumatera dan Syekh Siti Jenar di pulau Jawa . 

B. Menuntut Ilmu ke Tanah Haram 

Menurut cerita, Abdul Hamid setibanya di Tanah Haram tidak berkumpul bersama para Thalabah atau penuntut ilmu lainnya untuk menuntut ilmu kepada para sekh yang menetep atau yang sesekali berziarah dan berhaji di negeri itu, na,mun ia berjalan dan terus berkelana serta mengembara untuk menemui pengajian- pengajian agama, majelis muzakarah serta perkumpulan-perkempulan orang. 

Dalam perjalanan itu apabila bertemu dengan orang di suatu pengajian dan perkumpulan ia akan bertanya kepada orang –orang tersebut: Siapakah tuhan Alllah itu ? Di manakah Tuhan Alllah itu ? Apa bedanya manusia dengan Tuhan Alllah ? pertanyaan inilah yang selalu ditanyakan oleh Abdul hamid kepada siapa saja yang ditemukannya di manapun ia berada. 

Tidak ada catatan tentang guru-guru atau orang-orang yang pernah Abdul Hamid temui untuk belajar atau bertanya tentang berbagai masalah agama, terutama tentang ilmu tasawuf dan ilmu tauhid, berbeda dengan Muhammmad Arsyad dan Muhammmad Nafis yang dalam berbagai catatan atau pun riwayat yang menyatakan bahwa mereka pernah belajar kepada beberapa ulama yang terkenal pada masa itu, antara lain: 

1. Syaikh Abdullah bin Hijazi As-syarqawi Al-Azhari (1150 H./1737 M-1227H/1812 M). 
2. Syaikh Muhammmad bin abdul Karim As-Samman Al-Madani (1132 H-1189H) 
3. Syaikh abdurrahman bin Abdul Aziz Al- Maghribi 
4. Syaikh Shiddiq bin Umar Khan. 
5. Syaikh muhammmad Al-Jawhari Al- Mishri (1132 H- 1186 H/1720.-1772 M) 
6. Syaikh abdullah bin syaikh Ibrahim Al- Mir Ghani. 
7. Syaikh Yusuf Abu dzarrah Al-Mishri. 
8. Syaikh Abu Fauzi Ibrahim bin Muhammmad Al-Ra’is Al-zamzami Al- Makki (1110 H-1194 H). 
9. Syaikh Athaillah bin ahmad Al-mishsri Al-Azhar. 
10. Syaikh Muhammmad bin Sulaiman Al- Kurdi Madinah. 
11. Syaikh ahmad bin Abdul Mun’in Ad- Damanhuri. 
12. Syaikh Sayyid abul Faydh Muhammmad Murtadha’ Az-Zabidi. 
13. Syaikh Hasan bin Ahmad ‘Akisy Al- Yamani 
14. Syaikh Salim bin Abdullah Al-Bashri. 
15. Syaikh Sayyid Abdurrahman bin Sulayman Al-Ahdal. 
16. Syaikh Abdurrahman bin Abdul Mubin Al-Fathani. 
17. Syaikh Abdul Ghani bin Syaikh Muhammad Hilal 
18. Syaikh Abid As-Sindi 
19. Syaikh Abdul Wahab Ath-Thanthawi. 
20. Syaikh muhammmad bin Ahmad Al- Jawahir. 
21. Syaikh muhammad Zayn bin Faqih Jalaluddin Aceh . 

C. Kembali ke Tanah Air dan Mengembangkan Ilmunya 

Tidak diketahui dengan jelas berapa tahun Syaikh Abdul Hamid tinggal di Tanah Haram untuk menuntut ilmu dan tidak diketahui pula tahun berapa ia kembali ke Tanah Banjar, karena kedatangannya ke kampungnya itu tidak melapor ke kerajaan yang dulu mengirimnya untuk menutut ilmu ke Tanah Haram bersama Syaikh Muhammmad Arsyad. 

Pada masa pemerintahan Sultan Tahmidillah pengajian keagamaan semakin merak. Hal ini dikarenakan banyaknya pengajian- pengajian aecara umum di bidang keagamaan, namun kebanyakan para ulama saat mengadakan pengajian yang sifatnya lebih banyak menekankan pada ketauhidan dan kesyari’atan.

Kesemarakan ini juga disebabkan adanya Syaikh Abdul Hamid Abulung yang juga membuka pengajian, namun pengajian Syaikh Abdul Hamid Abulung memberikan pengajian yang lebih menekankan pada tasawuf ketauhidan. Kebanyakan akidah masyarakat banjar pada ketika itu adalah akidah Ahlussunnnah wal jama’ah, seperti yang telah diajarkan dan ditanamkan oleh pengajar Islam kerajaan Banjar yang pertama yaitu Kyai Khatib Dayyan. Akidah ini telah berurat berakar di dalam hati masyarakat Banjar. 

Namun keyakinan yang telah tertanam di masyarakat itu terusik dengan tersebar dan tersiarnya ajaran Syaikh Abdul Hamid Abulung menyatakan bahwa ajaran yang selama ini diberikan yaitu berupa tauhid dan syari’at hanyalah bagian luar atau ilmu kulit dari ilmu kesejatian atau hakikat, bukan ilmu yang sebenarnya. 

Demi mendengar semua itu maka gemparlah masyarakat ketika itu dan menjadi pembicaraan serta perbantahan dan perselisihan, sebab mereka merasa bahwa ajaran tersebut sangat berbeda dan bertolak belakang dengan ajaran yang selama ini mereka terima yang disampaikan oleh para ulama dan para juru dakwah sejak zaman Kyai Khatib dayyan . Kegemparan masyarakat itu akhirnya sampai juga ke telinga Sultan Tahmidullah dan ia segera bertukar pendapat dengan para ulama pada saat itu. 

Untuk mengadakan penyelidikan dan mendengar langsung kabar tentang ajaran yang disampaikan oleh Syaikh Abdul Hamid, maka sultan memerintahkan agar syaikh Abdul Hamid Abulung dipanggil dan dihadirkan ke istana. Kemudian sultan mengutus dua orang pegawai istana untuk menemui syaikh Abdul Hamid Abulung di rumhanya dan mengajaknya ke istana atas perintah sultan. 

Sesampai di rumah Syaikh Abdul Hamid Abulung kedua utusan istana mengetuk pintu seraya memberi salam. “ Assalamu’alaikum” ucap kedua utusan istana “Wa’alaikumusalam” jawab Syaikh Abdul Hamid “mari masuk dan silakan duduk!, “ kata syaikh Abdul Hamid kepada kedua tamunya. “Terima kasih,” jawab kedua utusan istana itu, sambil masuk dan duduk di hadapan Syaih Abdul Hamid. “ada keperluan apa kalian datang ke rumahku ini ?” tanya syaikh Abdul Hamid. “Begini tuan, kami berdua diutus ke rumah tuan syaikh Abdul Hamid untuk mengundak tuan agar dapat hadir di istana sekarang,” kata kedua utusan sultan menerangkan maksud kedatangan mereka itu. “Maaf saudara, di sini tidak ada Abdul Hamid. 

Di sini hanya ada “Tuhan” jawab Syaikh Abdul Hamid dengan mantap dan penuh wibawa. “jadi bagaimana ini ? apa yang harus kami katakan kepada sultan ?,” tanya kedua utusan tadi dengan perasaan bingung. “ katakan saja kepada sultan bahwa di rumah ini tidak ada Abdul Hamid yang ada hanya ada “Tuhan”,” ucap Abdul Hamid. “Baiklah kalau begitu, akan kami katakan kepada sultan seperti apa yang tuan sarankan,” kata kedua orang utusan istana itu sambil beranjak keluar dari rumah Syaikh Abdul Hamid. 

Sesampai di istana kedua orang utusan itu menyampaikan apa-apa yang mereka alami di rumah Syaikh Abdul Hamid, dan mereka meyampaikan apa-apa yang dikatakannya bahwa syaikh Abdul Hamid tidak ada dan yang ada hanya “Tuhan”. Mendengar jawaban tersebut maka sultan memerintahkan kedua orang utusannya kembali untuk memangggil dan mengundang “Tuhan” agar dapat berhadir ke istana. “Katakanlah kepadanya bahwa “Tuhan” dipanggil dan diundang ke istana oleh sultan,” perintah sultan kepada kedua utusannya. Maka berangkat lagi kedua utusan istana itu ke rumah Syaikh Abdul Hamid. 

Sesampai kedua utusan tersebut di tempat tinggal Syaikh Abduk Hamid mereka kembali mengetuk pintu rumah Syaikh Abdul Hamid. “Assalamu’alikum,”kedua utusan tersebut memberi salam. “Wa’alaikumus salam,” terdengar jawaban Syaikh Abdul Hamid. Apakah ada keperluan lagi sehingga kalian berdua kembali lagi datang ke sini ?.” lanjutnya. “Memang kami mempunyai keperluan yang amat sangat,” sahut salah satu utusan. “kami diperintahkan sultan untuk memanggil “Tuhan” dan mengundangnya datang ke istana,” sambung utusan tadi. “Tuhan” tidak ada yang ada Abdul Hamid,’ jawab Syaikh Abdul Hamid Abulung dengan tegas. 

Jawaban Syaikh Abdul Hamid Abulung yang tegas tersebut membuat kedua utusan sultan kebingungan dan kehilangan akal. Kali ini kedua utusan sultan harus kembali kecewa karena gagal menghadirkan Syaikh Abdul Hamid Abulung ke istana disebabkan jawabannya yang menyatakan bahwa “Tuhan” tidak ada yang ada hanya Abdul Hamid. Dari jawaban tersebut timbullah masalah yang sangat pelik yang dihadapi sultan. Sultan pun segera meminta pendapat para ulama. 

Setelah bertukar pendapat dengan sultan, mendengar beberapa kesaksian dan meneliti serta menelaah bebrapa kitab yang muktamad, akhirnya para ulama berkesimpulan bahwa ajaran yang disampaikan Syaikh Abdul Hamid Abulung dapat menyesatkan keyakinan dan akidah masyarakat awam, dapat membawa kesyirikan dan merusak kehidupan keagamaan. Dan para ulama menyatakan bahwa kewajiban seorang pemimpin untuk menyelamatkan akidah rakyat yang dipimpinnya seperti yang terdapat dalam kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah karangan Imam Abu Hasan Ali al-Mawardi. 

Oleh karena itu, disarankan kepada sultan agar memberikan keputusan dan hukuman yang seadil-adilnya demi kemaslahatan masyarakat banyak . Setelah sultan mengambil keputusan maka diperintahkan utusan untuk memanggil syaikh Abdul Hamid Abulung dengan perintah dan pesan siapa pun yang ada, apakah “Tuhan” ataukah Abdul Hamid yang ada itulah yang dipanggil untuk datang ke istana. Akhirnya Syaikh Abdul Hamid mau berhadir ke istana untuk menemui sultan. 

Sultan menerangkan maksudnya mengapa dia sampai memanggilnya ke istana. Dan juga mengatakan bahwa keputusan sultan dari hasil musyawarah dengan para ulama adalah menyingkirkan atau membunuh Tuan Syaikh Abdul Hamid Abulung. “saya tidak akan mengubah keyakinan saya karena saya yakin seyakin-yakinnya bahwa apa yang saya ajarkan itu tidak sesat seperti yang disangka orang, karena kmungkinan besar mereka belum memahami dan belum mengerti dengan ilmu yang saya ajarkan saat ini,” ucapnya dengan tegas. “saya akan hadapi apaun resikonya atas apa yang saya lakukan dan saya yakini, dan saya tidak akan mundur setapak dan sejengkal pun walaupun berbagai ancaman dan hukuman yang akan ditimpakan kepada saya, karena saya yakin makhluk apa pun yang ada di dunia ini tidak akan memberi bekas kepada saya, baik api, tanah, air, dan makhluk lainnya, ”sambung Abdul Hamid dengan mantap. Akhirnya Abdul Hamid Abulung dimasukan ke dalam keranjang yang terbuat dari besi yang sangat berat, ukuran kerangkeng besi tersebut di buat seukuran dengan tubuh, hanya cukup untuk berdiri, kemudian bersama dengan kerangkeng itu Abdul Hamid Abulung dibenamkan ke dasar sungai di Lok Buntar, sekitar 15 Km dari makamnya sekarang yaitu di desa Sungai Batang Martapura . 

Tanpa diketahui orang suatu keanehan terjadi, apabila waktu shubuh telah tiba kurungan besi yang sangat berat itu muncul di permukaan air sungai dan Syaikh Abdul Hamid melaksanakan kefardhuan shalat shubuh di atas air dan keluar dari kurungan besi. Setelah selesai melakukan ibadahnya beliau masuk kembali ke dalam kurungan besi itu dan kurungan besi yang berat tersebut perlahan tenggelam kembali ke dasar sungai. 

Demikian juga kurungan besi itu akan muncul ke permukaan air sungai apabila waktu shalat fardhu telah tiba dan apabila telah selesai melaksanakan kefardhuannya serta ibadah yang lainnya kurungan besi itun kembali tenggelam ke dasar sungai. Pada suatu malam hari menjelang waktu shubuh sepuluh orang pencari ikan menjala di sekitar sungai tempat Syaikh Abdul Hamid Abulung ditenggelamkan. 

Pada saat asyik-asyiknya mereka mencari ikan, samara-samara mereka mendengar suara azan. Perlahan-lahan mereka mendekati sumber suara adzan tersebut, dari kejauhan mereka melihat keganjilan dan keanehan yang terjadi pada diri Syaikh Abdul Hamid Abulung. Sejak melihat keganjilan tersebut mereka mengangkat beliau menjadi guru mereka. Dari beliau mereka belajar berbagai ilmu pengetahuan agama Islam. Setelah direndam beberapa lama di air Datu Abulung tidak juga mati. 

Bahkan terjadi peristiwa ajaib, yaitu bila tiba waktu shalat, beliau keluar dari kurungan dan melakukan shalat di atas air. Peristiwa ini terjadi berulang-ulang , Maka sultan meerintahkan punggawanya untuk mengangkat dan mengeluarkan nya kemudian membawanya ke istana untuk menemuinya, namun sebelum syaikh Abdul Hamid Abulung datang ke istana sultan melakukan siasat untuk menjebaknya di perjalanan dengan meletakan perangkap di tempat Syaikh Abdul Hamid lewat, kemudian sultan memerintahkan punggawanya untuk membawa syaikh Abdul Hamid kembali ke istana. Saat Abdul Hamid melewati sebuah jalan ia memijak sebuah lobang yang diatasnya ditutupi dedaunan, maka melesetlah sebilah tombak tajam tersebut berhenti di udara dan jatuh ke tanah tepat di belakang tubuhnya tanpa diketahuinya. 

Tidak lama kemudian sampailah Syaikh Abdul Hamid di hadapan sultan di istana dan ia mengatakan bahwa ia tidak dapat dibinasakan dengan alat dan benda apa pun. “Tuan Syaikh, sekarang aku sadar bahwa ilmu yang engkau miliki itu memang benar adanya dan orang yang mengatakan bahwa tuan Syaikh itu tidak mengerjakan shalat itu juga tidak benar, tetapi aku mohon pengertian Tuan Syaikh untuk memahami keadaan masyarakat sekarang ini sebab mereka masih banyak yang belum mengerti tentsng ilmu yang diajarkan Tuan Syaikh sehingga mereka banyak yang menjadi sesat, sedangkan ini semua adalah tanggung jawab saya sebagai sultan di kerajaan Banjar ini,” ucap sultan “ kalau begitu baiklah dan mungkin juga ajalku sudah dekat,”kata Syaikh Abdul Hamid Abulung. “saya sebagai sultan dan mewakili seluruh rakyat di sini mengucapkan maaf dan ampun serta terima kasih yang setinggi- tingginya atas pengertian tuan Syaikh Abdul Hamid atas semua ini,”ucap sultan . 

Di hadapan sultan Datu Abulung mengatakan bahwa beliau tidak dapat dibinasakan dengan alat apapun dan jika raja ingin membinasakannya haruslah dengan senjata yang berada di dinding rumah beliau dan menancapkan di dalam daerah lingkaran yang beliau tunjukan dibelikat beliau. Kemudian sultan mendengarkan penjelasan Datu Abulung, maka raja memerintahkan kepada ajudannya untuk mengambil senjata yang telah disebutkan Datu Abulung. 

Setelah mendapatkan senjata tersebut ajudannya menyerahkannya kepada sultan. Sebelum senjata itu ditudukkan ke tempat yang telah dikatakan oleh Datu Abulung, beliau minta izin dulu untuk shalat sunnah dua rakaat, dan permintaan itu dikabulkan oleh sultan. Setelah Datu Abulung shalat dua raka’at senjata tersebut ditusukkan di tempat yang sudah beliau tunjukan, maka memancarlah darah segar dari situ. 

Namun yang sangat aneh dan mengagumkan adalah bahwa dari ceceran darah segar tersebut bergerak perlahan-lahan dan membentuk sebuah tulisan, tulisan tersebut secara perlahan- lahan pula menjadi sebuah kalimat: “Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah” Tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah Sultan dan orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut tercengang serta terkagum-kagum sambil mengucapkan: “Innaa lillahhi wa innaa ilaihi raaji’un” 

Dengan kejadian tersebut terbukti lah bahwasanya ajaran yang disebarkan oleh Datu Abulung tidaklah sesat, dengan kata lain ajarnya sesuai saja dengan kaidah Islam. Akan tetapi ajaran tersebut sudah menduduki tahap yang paling tinggi yang apabila dipelajari oleh orang awam bisa-bisa terjadi kesalahpahaman atau sesat.

Kemudian Sultan Tahmidullah II yang memerintah periode 1761-1801 membangun Masjid Jami Syekh Abdul Hamid Abulung sebagai bentuk penebusan dosa karena telah memerintahkan para algojo raja untuk mengeksekusi Datu Abulung.‎

1 komentar:

  1. Ajaran yg benar memang seperti Datuk Abulung/ syeh Abdulhamid.

    BalasHapus