Senin, 07 November 2016

Ketika Kebodohan Merajalela Karena Diangkatnya Ilmu

Dalam Ash-Shahiihain diriwayatkan ‎

 عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ لَأُحَدِّثَنَّكُمْ حَدِيثًا لَا يُحَدِّثُكُمْ أَحَدٌ بَعْدِي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَقِلَّ الْعِلْمُ وَيَظْهَرَ الْجَهْلُ وَيَظْهَرَ الزِّنَا وَتُشْرَب الخَمْرُ وَتَكْثُرَ النِّسَاءُ وَيَقِلَّ الرِّجَالُ حَتَّى يَكُونَ لِخَمْسِينَ امْرَأَةً الْقَيِّمُ الْوَاحِدُ

Anas bin Malik yang menyatakan: Saya akan sampaikan hadits yang mungkin tidak ada yang menyampaikannya seorang pun sepeninggalku. Saya mendengar Rasul SAW bersabda: di antara tanda akhir jaman; sedikitnya ilmu, munculnya kebodohan, merajalela perzinahan, merebaknya khamr,  banyaknya kaum wanita sedikitnya pria, sehingga satu pria berbanding lima puluh wanita.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Syaqiiq, ia berkata : “Aku pernah bersama ‘Abdullah dan Abu Musa. Mereka berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

إن بين يدي الساعة لأيَّاماً يُنزَلُ فيها الجهلُ، ويُرْفَعُ العلم.

“Sesungguhnya menjelang hari kiamat kelak, akan ada hari-hari yang diturunkanya kebodohan dan diangkatnya ilmu”.

Dan dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia bekata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

يتقارَبُ الزَّمان، ويُقْبَضُ العلم، وتَظْهَرُ الفِتَنُ، ويُلقى الشُّحُّ، ويَكْثر الهَرْج.

“Telah semakin dekat jaman dimana akan diangkat ilmu, fitnah merajalela, penyakit kikir akan dijatuhkan (dalam hati manusia), dan banyaknya ‘harj’ (pembunuhan)”.

Berkata Ibnu Baththaal rahimahullah :

وجميع ما تضمَّنَهُ هذا الحديث من الأشراط قد رأيناها، فقد نقص العلم، وظهر الجهل، وأُلْقِي الشحّ في القلوب، وعمّت الفتن، وكثرَ القتل.

“Seluruh tanda-tanda tentang hari kiamat yang terdapat dalam hadits ini telah kita lihat. Sungguh, ilmu telah berkurang, kebodohan merajalela, sifat kikir telah dijatuhkan/dijangkitkan dalam hati (manusia), firnah telah tersebarnya, dan pembunuhan banyak terjadi”.

Ibnu Hajar mengomentari hal itu dengan berkata :

الذي يظهر أن الذي شاهده كان منه الكثير، مع وجود مقابله، والمراد من الحديث استحكام ذلك، حتى لا يبقى مما يقابله إلا النادر، وإليه الإشارة بالتعبير يقبض العلم، فلا يبقى إلا الجهل الصرف، ولا يمنع من ذلك وجودُ طائفة من أهل العلم، لأنهم يكونون حينئذ مغمورين في أولئك.

“Yang nampak, tanda-tanda hari kiamat yang disaksikannya itu memang sudah banyak terjadi, bersamaan dengan adanya realitas yang sebaliknya. Dan yang dimaksud oleh hadits adalah dominannya hal-hal tersebut sehingga tidak tersisa hal yang tidak seperti itu melainkan sedikit. Inilah yang diisyaratkan oleh hadits dengan ungkapan : ‘diangkatnya ilmu’; tidaklah tinggal/tersisa kecuali hanyalah kebodohan. Namun hal itu tidaklah menghalangi untuk tetap adanya sekelompok ahli ilmu (ulama) di tengah umat, karena pada waktu itu mereka tertutup oleh dominasi masyarakat yang bodoh akan ilmu agama”

Diangkatnya ilmu terjadi dengan diangkatnya (diwafatkannya) para ulama, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata : Aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إن الله لا يَقْبِضُ العلمَ انتزاعاً ينتزعُه من العباد، ولكنْ يقبِضُ العلم بقبض العلماء، حتى إذا لم يبقَ عالماً؛ اتَّخذ الناس رؤوساًَ جُهَّالا، فسُئِلوا ؟ فأفتوا بغير العلم، فضلّوا وأضلوا.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari manusia. Namun Allah akan mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Hingga ketika tidak tersisa lagi seorang berilmu (di tengah mereka), manusia mengangkat para pemimpin yang jahil. Mereka ditanya, dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Hingga akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (orang lain)”.

An-Nawawiy berkata :

هذا الحديث يُبَيِّنُ أن المراد بقبض العلم في الأحاديث السابقة المطلقة ليس هو محوُه من صدور حفَّاظه، ولكن معناه : أن يموتَ حملتُه، ويتخذ الناس جُهَّالا يحكمون بجهالاتهم، فيضلُّون ويُضِلُّون.

“Hadits ini memberikan penjelasan akan maksud ‘diangkatnya ilmu’ - sebagaimana tertera dalam hadits-hadits secara mutlak – bukanlah menghapuskannya dari dada para penghapalnya. Namun maknanya adalah : wafatnya para pemilik ilmu tersebut. Manusia kemudian mengambil orang-orang bodoh yang menghukumi sesuatu dengan kebodohan mereka. Akhirnya mereka pun sesat dan menyesatkan orang lain”.

Dan yang dimaksud dengan ‘ilmu’ di sini adalah ilmu mengenai Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah, yang itu merupakan ilmu warisan para nabi ‘alaihis-salaam. Dan ulama adalah pewaris para nabi. Oleh karena itu, kepergian mereka sama dengan perginya ilmu, matinya sunnah, berkembangnya kesesatan, dan meratanya kebodohan.

Makna secara hakiki ialah Allah SWT mencabut ilmu dari dunia ini, hingga yang ada hanyalah orang bodoh.

هذا الحديث  يبينُ أن المراد بقبض العلم في الأحاديث السابقة المطلقة ليس هو محوُه من صدور حفَّاظه، ولكن معناه : أن يموتَ حملتُه، ويتخذ الناس جُهَّالا يحكمون بجهالاتهم، فيضلُّون ويُضِلُّون.

Hadits ini memberikan penjelasan akan maksud ‘diangkatnya ilmu’ - sebagaimana tertera dalam hadits-hadits secara mutlak – bukanlah menghapuskannya dari dada para penghafalnya Namun maknanya adalah : wafatnya para pemilik ilmu tersebut.  kemudian manusia mengambil orang-orang bodoh yang menghukumi sesuatu dengan kebodohan mereka Akhirnya mereka pun sesat dan menyesatkan orang lain.

Mereka orang awam berperasangka anaknya kiai akan menjadi kiai walau jalannya tidak sama dengan ayahnya.
Padahal tidak demikian 
Anaknya kiai jika tingkah dan amalnya tidak sejalan dengan Rasulullah SAW maka jangan ikuti Fatwanya, bgitu juga sebaliknya, siapapun itu jika fatwa yang dari lisannya sejalan dengan ajaran Nabi maka angkatlah dia sebagai kiai dan penda'i.

Menurut hadits ini, pada suatu saat Allah SWT mencabut ilmu dengan mewafatkan kaum ulama. Ulama merupakan lambang kemajuan ilmu. Tanpa ulama ilmu akan pudar. Jika ulama telah tiada maka orang bodohlah yang menjadi pemimpin yang memfatwakan dengan kebodohan. Akhirnya, manusia banyak yang sesat. Yang benar disingkirkan dan salah dipelihara. Yang benar dianggap salah, yang salah dianggap benar. Mungkin saja, pada waktu itu banyak orang pintar, orang cerdas di bidang pengatahun, seni dan teknologi, tapi bodoh di bidang aqidah dan keimanan. Mungkin pula ada orang yang memiliki pengetahuan tentang al-Qur’an dan sunnah, tapi tidak memiliki keberanian untuk menerangkannya, karena merasa takut kehilangan pengaruh atau jabatan. Orang yang demikian tidak tergolong ulama, walau pun berilmu. Ulama adalah orang yang berilmu dan pandai mengamalkannya serta tidak merasa takut oleh siapa pun selain oleh Allah SWT. Firman-Nya:

إِنَّمَا يَخْشَى الله مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاؤُا إِنَّ الله عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.Qs.35:28

Berdasar ayat ini, yang takut kepada Allah itu adalah ulama. Oleh karena itu ulama hanya takut oleh Allah dan tidak takut oleh yang lainnya. Jika ada orang yang takut oleh selain Allah, maka tidak termasuk golongan ulama, walau pun berilmu. Tidak semua orang berilmu itu masuk kategori ulama, tapi setiap ulama pasti berilmu. Orang yang berilmu dan hanya takut oleh Allah, itulah ulama. Tampaknya bisa dibedakan antara ilmuwan dengan ulama. Siapa pun yang berilmu bisa disebut ilmuwan, tapi belum tentu masuk ke kategori ulama yang diridlai Allah SWT.

Dengan demikian diangkatnya ilmu dan munculnya kebodohan sebagai tanda akhir zaman itu, mungkin saja dalam kenyataannya masih banyak ilmuwan. Namun ilmuwan itu tidak bertindak sebagai ulama, sehingga yang nampak dipermukaan adalah kebodohan. Tampaknya jika hal ini terjadi, ulama dianggap sudah wafat, walau ilmuwan banyak yang hidup. Kalau sudah demikian, maka kebenaran semakin tersembunyi kebathilan semakin nampak. Orang yang berbuat salah bisa bebas dari hukuman, orang yang benar bisa dihukum, karena hakim yang berkuasa tidak menjalankan dan tidak menegakkan kebenaran.

Coba bayangkan ada jalan yang panjangnya kira-kira berkilo-kilo meter. Setiap sekian ratus meter didirikan pos sebagai tempat lampu penerang supaya orang dan rumah yang ada sekitar bisa mendapat cahaya.

Kalau di salah satu pos ada lampu yang mati, bagaimana keadaan orang sekitar pos itu? Pasti kesusahan. Dan dia harus berjjalan jauh guna mendapat cahaya yang masih menyala di pos lain. Ini jelas menyulitkan.

Begitu juga kiranya sang ulama. Ulama memang banyak tapi kesemuanya sudah punya pos dan bidang yang didalami masing-masing. Kalau ulama satu meninggal memang ada uda ulama lain yang masih ada, tapi belum tentu ulama yang tersisa itu menekuni sesuai apa yang ditekuni oleh ulama yang wafat itu. Kalau beliau sudah wafat maka satu pos keilmuan hilang. Dan bagaimana juga nasib para murid serta warganya yang selama ini berguru dan mendapat tuntunan beliau.

Bahkan sayyidina Umar pernah berkata dalam sebuah atsar yang dikutip oleh Imam Al-Ghozali dalam kitabnya Ihya’:

موت ألف عابد قائم الليل صائم النهار أهون من موت عالم بصير بحلال الله وحرامه

"kematian seribu org ahli ibdah yang rajin sholat malam dan puasa disiangnya itu tdk sebanding dengan kematian seorang ulama yang mengerti halal haramnya aturan Allah swt (syariah)"

Karena memang manfaatnya sangat jauh berbeda, dan ulama punya kredit poin yang jauh lebih baik dari pada seorang ahli ibadah. Orang ahli ibadah manfaatnya buat dia sendiri, karena ibadahnya hanya bisa menyelamatkan dirinya dan pahalanya pun hanya khusus sendiri.

Berbeda dengan seorang ulama, yang manfaatnya dirasa oleh banyak orang. Bayangkan saja berapa banyak orang yang akhirnya bisa beribadah dgn baik karena tuntunan si ulama tersebut. Ini juga yang telah dijelaskan oleh Nabi saw dalam haditsnya:  

وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ

"Keutamaan orang berilmu dibanding orang yang beribadah itu seperti keutamaan bulan malam purnama diatas bintang-bintang. Dan ulama ialah ahli para waris Nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewarisi dinar dan dirham akan tetapi mewarisi ilmu" (HR Ibnu Majah, Tirmidzi dan Abu Daud)

Orang alim seperi bulan, orang yang ahli ibadah hanya seperti bintang yang sinarnya tidak cukup menerangi semesta bumi. Berbeda dengan seorang alim yang Nabi saw gambarkan layaknya bulan purnama yang menyinari seluruh isi bumi. Jadi ya memang sangat layak kita bersedih untuk kematian seorang ulama.
Tapi dari itu semua, sangat tidak layak kalau tiba-tiba kita mengatakan seseorang itu munafiq hanya karena tidak terlihat sedih. Karena sejatinya, kesedihan bukan terpancar dari linangan air mata saja. Kesedihan banyak bentuknya dan tidak melulu dengan tangisan. Pelabelan munafiq bukanlah perkara yang sepele, terlebih lagi bahwa jika itu dilabelkan kepada saudara muslimnya sendiri.

Kendatipun telah banyak kyai atau ulama yang telah wafat, dan wafatnya kyai atau ulama adalah sebuah musibah dalam agama, maka harapan kita adalah lahirnya kembali ulama yang meneruskan perjuangannya. Aamiin

Harapan ini sebagaimana yang dikutip oleh Imam al-Ghazali dari Khalifah Ali bin Abi Thalib Ra.:

إذا مات العالم ثلم في الإسلام ثلمة لا يسدها الا خلف منه


“Jika satu ulama wafat, maka ada sebuah lubang dalam Islam yang tak dapat ditambal kecuali oleh generasi penerusnya.” (Ihya ‘Ulumiddin juz 1 halaman 15).

Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengingatkan dan menasehatkan :

عليكم بالعلم قبل أن يرفع، ورفعه هلاك العلماء، فوالذي نفسي بيده ليودن رجال قتلوا في سبيل الله شهداء أن يبعثهم الله علماء لما يرون من كرامتهم، وإن أحدا لم يولد عالما، وإنما العلم بالتعلم

“Wajib atas kalian untuk menuntut ilmu, sebelum ilmu tersebut dihilangkan. Hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya para ‘ulama. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh orang-orang yang terbunuh di jalan Allah sebagai syuhada, mereka sangat menginginkan agar Allah membangkitkan mereka dengan kedudukan seperti kedudukannya para ‘ulama, karena mereka melihat begitu besarnya kemuliaan para ‘ulama. Sungguh tidak ada seorang pun yang dilahirkan dalam keadaan sudah berilmu. Ilmu itu tidak lain didapat dengan cara belajar.” [lihat Al-’Imu Ibnu Qayyim, no. 94].‎

اَلْقُضَاةُ ثَلاَثَةٌ: إِثْنَانِ فِي النَّارِ وَوَاحِدٌ فِي الجَنَّةِ رَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِى الجَنَّةِ وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَلَمْ يَقْضِ بِهِ وَجَارَ فِى الْحُكْمِ فَهُوَ فِيْ النَّارِ وَرَجُلٌ لَمْ يَعْرِفِ الْحَقَّ فَقَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ

Hakim itu terbagi kepada tiga golongan, dua golongan masuk neraka dan hanya satu yang masuk surga; seseorang mengetahui kebenaran kemudian menegakkan kebenaran tersebut, maka dia masuk surga. Seseorang tahu akan kebenaran tapi tidak mau menghukum dengan kebenaran itu bahkan dia berbuat jahat dalam meng-hukum, maka ia masuk neraka. Seorang lagi tidak mengetahui kebenaran, kemudian menghukum manusia atas dasar kebodohan, maka ia juga masuk neraka. Hr. Empat ahli hadits ‎dan dianggap shahih oleh al-Hakim.‎

Hadits ini menandaskan bahwa dari tiga hakim hanya satu yang akan masuk surga yaitu yang tahu betul tentang kebenaran dan menghukum dengan kebenaran tersebut. Sementara yang lainnya menjadi ahli neraka, karena tidak menjalankan hukumnya berdasar kebenaran. Sungguh sedikit jumlah orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya itu. Orang yang tidak menegakkan kebenaran, walau dia berilmu adalah termasuk bodoh. Dengan demikian يظهر الجهل   atau munculnya kebodohan yang menjadi tanda akhir zaman itu bisa jadi kebodohan orang pinter. Maksudnya banyak orang pinter, tapi bodoh dalam beramal.

Saat ini diakui bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi itu semakin berkembang, tapi ternyata masih banyak kema’siatan dan kemunkaran yang merajalela. Ahli hukum, sarjana hukum, juga semakin bertambah jumlahnya, tapi banyak orang yang melanggar hukum, tidak mendapat hukuman.

Adapun ilmu keduniaan, maka itu merupakan tambahan. Bukanlah ia yang dimaksud dalam hadits-hadits, dengan alasan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Mereka ditanya, dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Hingga akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (orang lain)”. Kesesatan hanyalah terjadi karena kebodohan dalam agama. Dan ulama yang hakiki adalah ulama yang mengamalkan ilmu-ilmu mereka, mengarahkan dan menunjukkan umat ke jalan lurus dan petunjuk. Ilmu tanpa disertai amalan tidaklah banyak bermanfaat. Bahkan dapat menjadi bencana bagi pemiliknya. Telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dengan lafadh :

وينقص العمل

“Dan amal pun berkurang”.

Berkata Al-Imam Muarrikh (ahli sejarah) Islam Adz-Dzahabi setelah menyebutkan sekelompok ulama :

وما أوتوا من العلم إلا قليلاً، وأما اليوم؛ فما بقي من العلوم القليلة إلا القليل، في أناس قليل، ما أقل مَن يعمل منهم بذلك القليل، فحسبنا الله ونعم الوكيل.

“Tidaklah mereka diberikan ilmu melainkan sedikit. Adapun hari ini, tidaklah tersisa dari ilmu-ilmu yang sedikit tersebut melainkan lebih sedikit lagi di tangan orang-orang yang jumlahnya sedikit pula. Dan betapa sedikit lagi orang-orang yang beramal dengan ilmu mereka yang sedikit itu. Hasbunallaah, wa ni’mal-wakiil (Semoga Allah mencukupkan kita, dan Dia-lah sebaik-baik Pengurus)”.

Jika realita itu terjadi di jaman Adz-Dzahabiy, maka bagaimana realita yang terjadi di jaman kita sekarang ? Ssungguhnya semakin jauh dari jaman kenabian, semakin sedikit ilmu dan semakin banyak kebodohan. Para shahabat radliyallaahu ‘anhum adalah generasi yang paling mengetahui dari umat ini, kemudian ‎tabi’iin, dan kemudian tabi’ut-taabi’iin. Mereka generasi terbaik sebagaimana sabda Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

خير الناس قرني، ثم الذُن يلونهم، ثم الذين يلونهم.

“Sebaik-bak manusia adalah generasiku, kemudian setelah mereka (tabi’in), dan kemudian setelah mereka (tabi’ut-tabi’in)”.

Ilmu tentang agama akan senantiasa berkurang, kebodohan bertambah, hingga kelak orang-orang tidak tahu apa yang difardlukan/diwajibkan oleh Islam. Diriwayatkan dari Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

يدرس الإسلام كما يدرس وشي الثوب، حتى لا يدرى ما صيام، ولا صلاة، ولا نسك، ولا صدقة؟ ويُسرى على كتاب الله في ليلة فلا يبقى في الأرض منه آية، وتبقى طوائف من الناس : الشيخ الكبير، والعجوز يقولون : أدركنا آباءنا على هذه الكلمة؛ يقولون : (لا إله إلا الله)، فنحن نقولها. فقال له صلة : ما تغني عنهم (لا إله إلا الله) وهم لا يدرون ما صلاة، ولا صيام، ولا نسك، ولا صدقة؟ فأعرض عنه حذيفة، ثم رددها عليه ثلاثاً، كل ذلك يُعرض عنه حذيفة، ثم أقبل عليه في الثالثة، فقال : يا صلة! تنجيهم من النار ثلاثاً.

“Islam akan pudar (hilang) sebagaimana pudarnya warna pakaian yang telah usang. Hingga tidak diketahui apa itu shalat, puasa, haji, dan shadaqah (zakat). Dan terbanglah Al-Qur’an pada suatu malam hingga tidak tersisa satu pun ayat darinya di muka bumi. Tinggallah sekelompok orang-orang yang telah tua dan lemah berkata : ‘Kami dapati bapak-bapak kami kalimat ini’ – mereka mengatakan : ‘Laa ilaha illallaah (tidak ada tuhan yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah)’ – maka kami pun mengatakannya juga.

Shilah bertanya kepada Hudzaifah : “Apa gunanya Laa ilaha illallaah bagi mereka sedangkan mereka tidak mengetahui apa itu shalat, puasa, haji, dan shadaqah (zakat) ?”. Hudzaifah berpaling darinya, hingga Shillah mengulangi pertanyaannya tersebut tiga kali. Hudzaifah selalu berpaling pada setiap pertanyaan tersebut, hingga akhirnya ia menghadap kepada Shillah pada kali yang ketiga dan berkata : “Wahai Shillah ! Kalimat itu menyelamatkan mereka dari neraka” – ia mengulanginya sampai tiga kali.

‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu berkata :

لَيُنْزَعَنَّ القُرْآن من بين أظْهُرِكُم، يُسرى عليه ليلاً، فيذهب من أجواف الرجال، فلا يبقى في الأرض منه شيءٌ.

“Sungguh Al-Qur’an akan dicabut dari kalian, yaitu ia akan diterbangkan pada suatu malam, hingga ia lenyap dari hati manusia dan tidak ada lagi yang tersisa di muka bumi sedikitpun”.

Ibnu Taimiyyah berkata :

يُسرى به في آخر الزمان من المصاحف والصدور، فلا يبقى في الصدور منه كلمة، ولا في المصاحف منه حرفٌُ.

“Kelak Al-Al-Qur’an akan dihilangkan di akhir jaman dari mushhaf-mushhaf dan dada-dada manusia. Tidak tertinggal satu kalimat pun dari dada-dada manusia hafalan, dan satu huruf pun dari mushhaf-mushhaf”.

Ibnu Katsir berkata :

في معنى هذا الحديث قولان :
أحدهما : أن معناه أن أحداً لا يُنكر منكراً، ولا يزجر أحداً إذا رآه قد تعاطى منكراً، وعبَّر عن ذلك بقوله : ((حتى لا يقال : الله، الله))؛ كما تقدَّمَ في حديث عبد الله بن عمر : ((فيبقى فيها عجاجةٌ، لا يعرفون معروفاً، ولا يُنكرون منكراً)).
والقول الثاني : حتى لا يُذكر الله في الأرض، ولا يُعرف اسمه فيها، وذلك عند فساد الزمان، ودمار نوع الإنسان، وكثرة الكفر والفسوق والعصيان.

“Ada dua pendapat mengenai makna hadits ini :

Pertama : Bahwasannya maknanya adalah seseorang tidak lagi mengingkari kemunkaran, tidak pula melarang orang lain ketika melakukan kemunkaran. Pengertian ini diambil dari sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam: ‘Hingga tidak lagi diucapkan : Allah, Allah'; sebagaimana telah disebutkan dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar : ‘Hingga tinggallah di dalamnya orang-orang bodoh yang tidak mengetahui/mengajak kepada yang ma’ruf dan tidak pula mengingkari yang munkar’.

Kedua : Hingga tidak disebutkan lagi lafadh Allah di bumi. Tidak pula diketahui nama-Nya di dalamnya. Hal itu terjadi pada saat jaman telah rusak, nilai kemanusiaan telah hancur, serta merajalelanya kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan”.

Pelajaran yang bisa diambil 

1. Tanda-tanda akhir zaman cukup banyak yang diungkapkan dalam berbagai hadits, Ungkapan Rasul SAW tersebut tentu saja merupakan kepastian yang tidak perlu diragukan. Dengan mengetahui tanda akhir zaman tersebut bukan hanya sebagai pengetahuan, tapi sebagai peringatan. Setiap muslim mesti mewaspadai sutau yang bakal terjadi, jangan sampai tertimpa dampak negatifnya.

2. Memperhatikan data yang ada berdasar hasil penelitian ilmiyah, jelaslah bahwa tanda akhir zaman itu sudah nampak seperti (1) munculnya  kebodohan di permukaan, sedangkan kecerdasan semakin meredam. (2)  merajalelanya perzinahan, ternyata bukan hanya di kalangan dewasa, tapi juga di kalangan remaja bahkan anak-anak; (3) merajalelanya mabuk-mabukan, baik khamr berupa minuman keras maupunj narkoba, bahkan sampai ke penjara dan aparat keamanan yang terkena; (4) semakin sedikitnya kepemimpinan pria, atau eksistensinya di permukaan baik dunia social, politik mapun perekonomian.

3. Jumlah manusia yang berjenis kelamin pria, saat ini memang masih lebih banyak di banding kaum wanita. Artinya bila ditinjau dari jumlah atau kuantitas, belum menunjukkan akhir zaman. Namun semakin lama semakin menipis, karena pengaruh kromosom. Walau secara jenis kelamin pria masih banyak jumlahnya, tapi eksistensinya semakin menurun. Sama halnya jumlah ilmuwan semakin bertambah, tapi yang berkuasa di permukaan banyak yang bukan ahlinya. Tanda akhir zaman tidak bisa dihindari bakal terjadi, yang perlu diwaspadai adalah dampak negatifnya. Oleh karena itu setiap umat Islam mesti berusaha saling mengingatkan sesamanya, jangan sampai menjadi korban akhir zaman.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar