Senin, 21 November 2016

Penjelasan Hukum Perkawinan Sejenis

Bila dicermati dengan seksama, secara bahasa, perpaduan antara kata “perkawinan” dengan kata “sejenis” yang sering dijumpai pada istilah “perkawinan sejenis”, terdapat ketidakcocokan makna. Hal itu dikarenakan, perkawinan adalah penggabungan, persilangan, dan pembastaran dari dua jenis kelamin yang berbeda, laki-laki dengan perempuan pada manusia, atau jantan dengan betina pada hewan dan tumbuhan. Sehingga tidak tepat jika perkawinan itu terjadi hanya antara satu jenis makhluk hidup.

Meski fenomena ini dilegalkan di sebagian wilayah di negara-negara Eropa (Barat), namun hal itu lebih layak disebut dengan hubungan sejenis, karena tidak lebih dari sekedar pelampiasan nafsu birahi dengan cara yang salah. Adapun pernikahan, memiliki makna yang jauh lebih luas dan mulia dari pada sekedar pelampiasan nafsu. Demikian pula perkawinan dalam syariat Islam tidak dibenarkan, kecuali dari dua jenis kelamin yang berbeda.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا

Dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan. [an-Nabâ’/78:8].

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. [ar-Ra’d/13:38].

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. [ar-Rûm/30:21].

Dalam bahasa Arab, kata “zauj” dan “azwaj” bermakna istri atau suami. Kata ini tidak terwujud, kecuali bila diawali dengan pernikahan atau perkawinan antara dua individu berjenis kelamin yang berbeda.

Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala.

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. [an-Nisâ’/4:3].

Banyak ayat senada yang memerintahkan untuk menikahi wanita (lawan jenis).

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

تَزَوَّجُوْا الْوَلُوْدَ الْوَدُوْدَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمُ

Nikahilah wanita yang penyayang dan subur. karena aku berbangga dengan banyaknya jumlah kalian- ummatku-(yakni pada hari kemudian).

HUKUM HUBUNGAN SEJENIS
Jika menelaah peradaban manusia, sebenarnya fenomena penyimpangan seksual sudah terjadi jauh sebelum masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tepatnya pada masa Nabi Lûth yang diutus untuk kaum Sadoum. Hampir semua kitab tafsir mengabadikan kisah tersebut dengan menyingkap kandungan ayat-ayat yang berkaitan dengan kisah Nabi Lûth. Sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ ﴿٢٨﴾ أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ وَتَقْطَعُونَ السَّبِيلَ وَتَأْتُونَ فِي نَادِيكُمُ الْمُنْكَرَ ۖ فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا ائْتِنَا بِعَذَابِ اللَّهِ إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ

Dan (ingatlah) ketika Lûth berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu. Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu ?” Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan, “Datangkanlah kepada kami azab Allâh, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” [al-‘Ankabût/29:28-29]‎
Juga firman-Nya :

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ ﴿٥٤﴾ أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ ﴿٥٥﴾ فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوا آلَ لُوطٍ مِنْ قَرْيَتِكُمْ ۖ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ ﴿٥٦﴾ فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلَّا امْرَأَتَهُ قَدَّرْنَاهَا مِنَ الْغَابِرِينَ ﴿٥٧﴾ وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا ۖ فَسَاءَ مَطَرُ الْمُنْذَرِينَ

Dan (ingatlah kisah) Lûth, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fâhisyah itu sedang kamu melihatkan(nya)? Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu(mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu),” maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: “Usirlah Lûth beserta keluarganya dari negerimu; karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (mendakwakan dirinya) bersih,” maka Kami selamatkan dia beserta keluarganya, kecuali isterinya. Kami telah mentakdirkan dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). [an-Naml/27:54-58].

Demikianlah sejarah yang memberikan pemahaman betapa hina perbuatan keji ini, dan kehinaan bagi pelakunya.

Selanjutnya dalam khazanah keilmuan Islam khususnya ilmu fiqh, praktek homoseksual dan lesbian telah dibahas tuntas, bahwa hukumnya haram. Penyimpangan seksual ini yang dalam Islam sering disebut al-fâhisyah (dosa besar) merupakan perilaku sangat menjijikkan dan bertentangan dengan kodrat ataupun tabiat manusia. Para Ulama selain mengharamkannya, juga sangat mengutuk serta mengecam perbuatan itu. Namun demikian, pendapat para ulama tidaklah berlebihan dalam masalah tersebut karena telah jelas dalil-dalil yang mereka kemukakan.

Bila ditelusuri secara bahasa, sebenarnya tidak ada perbedaan penggunaan kata antara homoseksual dengan lesbian. Dalam bahasa Arab keduanya dinamakan al liwath. Pelakunya dinamakan al-luthiy (lotte). Namun demikian, Imam al-Mawardi rahimahullah membedakannya. Beliau menyebut homoseksual dengan liwath, dan lesbian dengan sihaq atau musâhaqah.

Adapun hukum perbuatan ini sangat jelas disebutkan dalam al-Qur’ân, Hadits dan ijmâ’ para Ulama. Allâh Azza wa Jalla menggambarkan azab yang menimpa kaum Nabi Lûth dalam firman-Nya :

فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ ﴿٨٢﴾ مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ ۖ وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ

Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Lûth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Rabbmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim. [Hûd/11:82-83]

Tidaklah Allâh Azza wa Jalla menurunkan azabnya kecuali kepada orang-orang yang zhalim (melakukan hal yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla ). Dalam sebuah hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي عَمَلَ قَوْمِ لُوْطٍ

Dari Jâbir bin Abdullâh Radhiyallahu anhu , ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah perbuatan kaum Lûth”

Para Ulama juga sudah Ijmâ’, bahwa perilaku homoseksual dan lesbian adalah haram. Ini sudah menjadi Ijma’ (kesepakatan) Ulama Islam. Artinya, tidak ada diantara para Ulama yang berselisih tentang masalah ini. Jadi, tidak ada seorang Ulama pun yang berpendapat tentang kehalalannya. Hal ini sudah menjadi ketetapan hukum sejak dahulu sampai hari kemudian.
Ibnu Qudâmah al-Maqdisi menyebutkan bahwa penetapan hukum haramnya praktek homoseksual adalah Ijma’ (kesepakatan) Ulama, berdasarkan nash-nash al-Qur’ân dan al-Hadits. Sehingga, dapat diambil kesimpulkan tentang haramnya hubungan sejenis menurut syari’at Islam.
Jika seseorang melakukan tindakan homoseksual tapi ia masih meyakini keharamannya, maka ia “hanya” melakukan dosa besar.

Adapun jika ia telah “melegalkan” homoseksual tersebut melalui akad nikah pasangan sejenis, maka ia telah melakukan kekafiran karena tindakan tersebut bermakna penghalalan homoseksual.

Sanksi untuk orang yang melegalkan homoseksual adalah hukuman mati, yaitu dipenggal dengan pedang, bukan hukuman rajam. Hal itu seperti halnya sanksi untuk orang yang melegalkan pernikahan dengan mahramnya adalah hukuman mati dengan pedang, bukan hukuman rajam.

Dalil dari hal ini adalah hadits:

عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ لَقِيتُ خَالِي وَمَعَهُ الرَّايَةُ فَقُلْتُ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةَ أَبِيهِ مِنْ بَعْدِهِ أَنْ أَضْرِبَ عُنُقَهُ أَوْ أَقْتُلَهُ وَآخُذَ مَالَهُ

Dari Barra’ bin Azib, ia berkata, “Saya bertemu dengan pamanku (dalam riwayat Tirmidzi dan lainnya disebutkan bernama Abu Burdah bin Niyar) dan ia membawa panji perang. Saya bertanya kepadanya ‘Paman hendak pergi ke mana?’ Ia menjawab ‘Rasulullah SAW mengutusku kepada seorang laki-laki yang menikahi istri bapaknya setelah bapaknya meninggal. Rasulullah SAW memerintahkanku untuk memenggal kepalanya dan menyita hartanya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, dan Ahmad. Hadits ini dinyatakan hasan oleh Tirmidzi. Asy-Syaukani berkata: Hadits ini memiliki banyak sanad, para perawi salah satu sanadnya adalah para perawi Shahih Bukhari)

Imam Asy-Syaukani berkata, “Hadits ini merupakan dalil bahwasanya imam (khalifah) boleh memerintahkan hukuman mati terhadap orang yang menyelisihi perkara yang qath’i dalam syariat Islam, seperti masalah ini. Sebab Allah SWT telah berfirman, “Dan janganlah kalian menikahi wanita yang telah dinikahi oleh bapak kalian…”(QS. An-Nisa’ [4]: 22). Namun hadits ini harus dibawa pada pengertian bahwa orang yang Nabi SAW memerintahkan untuk dihukum mati tersebut adalah orang yang telah mengetahui keharaman perbuatannya (menikahi istri bapaknya / janda bapaknya) dan ia melakukannya dengan menghalalkannya. Hal itu merupakan penyebab kekafiran, sehingga orang murtad dihukum mati berdasar dalil-dalil yang telah disebutkan.” (Nailul Authar, 9/70)
SOLUSI HUBUNGAN SEJENIS
Untuk mengetahui solusi yang perlu diambil dalam pencegahan tindakan hubungan sejenis maupun pengobatan bagi pelaku penyimpangan tersebut, sebaiknya kita mengetahui penyebab terjadinya homoseksual dan lesbian itu.

Terdapat penyebab yang berbeda-beda yang mengakibatkan berbeda pula penanganannya. Penyebab utama yang sudah pasti menyebabkan fenomena ganjil ini adalah kurangnya iman yang membuat seseorang tidak tunduk dan patuh terhadap syari’at Islam yang sudah jelas mengharamkan praktek homoseksual dan lesbian ini. Selain itu terdapat penyebab secara psikologis, diantaranya trauma masa lalu (pernah mengalami pelecehan seksual, misal disodomi), membenci lawan jenis, keluarga yang tidak harmonis (ayah atau ibu yang kasar), atau pernah dikecewakan pasangan, dan lingkungan yang buruk (maksiat yang menghalalkan free sex, praktek homoseksual dan lesbian).

Untuk mencegah praktek hubungan sejenis diantaranya pendidikan Islam sejak kecil, sehingga menjauhkan generasi muda dimulai dari sekedar fikiran negatif hingga perbuatannya. Yaitu pendidikan Islam secara benar dengan tunduk dan patuh terhadap syari’at Islam serta berjalan di atas fitrah sebagai manusia. Hubungan keluarga yang harmonis berlandaskan syari’at Islam serta lingkungan yang agamis juga memiliki peranan yang sangat penting. Selain itu, perhatian dari orang tua kepada anaknya sejak kecil (aktivitasnya dan lingkungan di sekitarnya) dan perlindungan terhadap bahaya yang mengancam merupakan hal yang tidak boleh dilupakan. Sementara itu, dengan menyibukkan diri pada hal-hal yang bermanfaat seperti menuntut ilmu (terutama ilmu agama) juga menjadi benteng pertahanan yang akan menjauhkan diri dari orientasi aneh yang menjurus pada hubungan ganjil ini.

Adapun jika seseorang tersebut sudah terlanjur memiliki keluarga yang tidak agamis dan harmonis, maka segeralah bentengi diri dengan iman, sehingga tidak jatuh pada trauma mendalam yang memicu pada kebencian berlebihan terhadap lawan jenis. Sedangkan apabila berada pada lingkungan yang buruk dan penuh maksiat, hendaklah segera hijrah kepada lingkungan yang baik (terutama lingkungan agamis yang selalu mengamalkan syariat Islam secara baik).

Diantara solusi yang dapat ditempuh oleh pelaku hubungan sejenis, adalah keinginan yang kuat untuk berubah dengan diawali taubat nasuha (tidak akan mengulangi kembali perbuatan dosa), kemudian berusaha secara sabar, sungguh-sungguh dan disiplin mengontrol hasrat diri, melupakan trauma masa lalu (apabila ia merupakan penyebab perilaku menyimpang ini). Selanjutnya dukungan dari orang-orang sekitar, baik para orang tua, kerabat dan teman yang baik, bahkan psikolog sangatlah diperlukan. Dengan melakukan terapi kognitif, seperti membangunkan kesadaran bahwa apa yang pelaku perbuat merupakan kesalahan tanpa menyudutkan dan menumbuhkan motivasi pada diri si pelaku. Juga dengan terapi behavior, yaitu si pelaku dimasukkan dalam lingkungan yang lebih bersih dan baik (terutama lingkungan Islami), yang mendukung kesembuhannya serta dijauhkan dari komunitasnya.
Saya pribadi tak mendukung pernikahan sesama jenis. Salah satu alasannya sederhana saja, namun tidak pula sederhana-sederhana amat: selama belum ada bukti saintifik, yang dipercaya semua otoritas medis di dunia, bahwa homoseksual merupakan murni perkara genetika, saya akan terus ogah mendukung pernikahan LGBT.

Keogahan ini bukan berarti kemudian saya menginginkan para LGBT itu mati ditolak bumi atau diusir dari tanahnya macam Syiah di Sampang. Buat apa pula berharap seperti itu? Bebal sekali rasanya. Semua ini seperti halnya selera makanan: Anda menyukai bakso menggunakan bihun, saya tidak. Walau begitu, toh kita sama-sama paham, dengan atau tanpa bihun, semangkuk bakso tetaplah semangkuk bakso. Gak nyambung? Yo pancen, sengojo ra disambungke, ben utekmu mikir. Emang sengaja dibikin gak nyambung, biar Anda mikir.

Sudah, mikirnya? Lanjut…

Mengapa saya lebih memilih argumentasi saintifik? Sebab argumentasi moral cenderung menggelikan, dalam derajat tertentu malah menjijikkan, kelewat abstrak, dan memiliki keruwetan yang njlimet untuk diuji keabsahannya.

Sejauh ini, faktanya, memang tak ada orang yang terlahir sebagai homoseksual atau memiliki gay gene—istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh Magnus Hirscheld pada tahun 1899—sejak orok. Bahwa ada kemungkinan seseorang menjadi homoseksual, itu jelas, dan karenanya disebut gay is chance.

Singkat kata, saya percaya gay adalah produk yang nurture, bukan nature.

Salah satu literatur yang dapat Anda baca terkait gay gene adalah Exploding The Gene Myth: How Genetic Information Is Produced and Manipulated by Scientists, Physcians, Employers, Insurance Companies, Educators, and Law Enforcers karya Ruth Hubbard, salah seorang profesor biologi dari Universitas Harvard.

Atau Anda juga bisa membaca dua buah riset Dean Hamer, ilmuwan Amerika yang juga seorang gay. Riset Hamer pertama dilakukan pada tahun 1993, yang merupakan lanjutan dari riset dari Michael Bailey dan Richard Pillard dua tahun sebelumnya.

Dengan melibatkan 40 pasang kakak beradik homoseksual, Hamer menunjukkan dalam riset tersebut bahwa satu atau beberapa gen yang diturunkan oleh ibu dan terletak di kromosom Xq28 sangat berpengaruh terhadap pembentukan sifat homoseksual. Dengan demikian, menurut Hamer, homoseksual terlahir secara alamiah, dari sononya udah begitu, dan karenanya mustahil ter/disembuhkan.

Enam tahun kemudian, dengan tetap mengadaptasi metode Bailey dan Pillard, Hamer melakukan riset kedua, namun kali ini melibatkan responden yang lebih banyak. Hasilnya justru berkebalikan dari riset pertamanya. Riset terakhirnya ternyata menunjukkan, bahwa gen ternyata bukanlah faktor utama yang melahirkan homoseksual.

Hamer sadar riset pertamanya telah keliru. Dan ia pun berjiwa besar, meminta maaf di berbagai forum kesehatan internasional.

Riset mengenai gay gene terus berlanjut. Masih di tahun 1999, George Rice, salah seorang profesor dari Universitas Western Ontario, Kanada, mengadaptasi riset Hamer dengan melibatkan 52 pasang kakak beradik homoseksual sebagai responden. Riset tersebut hasilnya juga memperlihatkan tidak ada kesamaan penanda di kromosom Xq28. Dengan demikian, pengaruh bawaan yang menimbulkan sifat homoseksual dapat ditiadakan.

Bahwa ada kecenderungan (muatan) politis dalam setiap riset tentu tak dapat dihindari. Di Amerika sendiri, misalnya, agar argumennya tampak lebih berbobot dan tidak sekadar cocokologi ayat suci, kaum Kristen fundamentalis di sana kerap membuat riset, buku, hingga menggelar aksi demonstrasi yang bertujuan menentang hak-hak kaum LGBT. Strategi tersebut, saya kira, pasti nanti akan ditiru oleh ormas-ormas yang galak di negeri ini. Atau sudah ditiru, ya?

Namun, ketimbang sikap para bigot yang doyan ngamukan gak mutu itu, saya sebenarnya jauh lebih tertarik dengan kehebohan para “humanis” di Indonesia yang mendukung legalisasi pernikahan sejenis. Benarkah mereka mendukung pernikahan sejenis berdasarkan kehendak moral? Jujur dan siapkah mereka untuk menerima dengan dada lapang jika suatu saat nanti ada keturunan mereka yang jadi homoseksual?

Dan jika menurut mereka dukungan ini adalah soal merayakan pluralisme, sanggupkah mereka menerima perbedaan dalam bentuk lain yang jauh lebih ekstrem lagi radikal? Saya sih sangat skeptis mereka mampu melakukannya.

Tapi, ya, demi kosmetik sosial yang lebih menor, para “humanis liberal” ini tentu tak akan berhenti membela kemanusiaan. Sebab, sebagaimana yang pernah dikatakan Greg Gutfeld:

“Preaching tolerance makes you look cooler, than saying something like, ’please lower my taxes.’”

Mengkhutbahkan toleransi membuat Anda lebih keren—daripada ngomong: “Tolong turunkan nilai pajak saya.”
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar