Selasa, 06 Desember 2016

Ilmu Kedokteran Islam Seakan Tinggal Sejarah

Kita sudah mengetahui bahwa Islam sempat berjaya di zaman keemasan, sempat menguasai sepertiga dunia hanya dalam waktu 30 tahun. Belum ada sejarah lain yang tercatat selain Islam. Begitu juga kemajuan ilmu pengetahuan, baik ilmu dunia maupun agama.

Salah satunya ilmu kedokteran di mana Islam sempat menjadi pusat kedokteran dunia dan berkembang sangat pesat. Hanya saja umat Islam lalai akan ajaran agamanya sendiri sehingga masa kejayaan ini menjadi pudar. Dahulunya ilmu kedokteran sangat berkembangan oleh ilmuan muslim tetapi sekarang kita sudah mengetahui bahwa ilmu kedokteran atau ilmu pengetahuan secara umum berkembang di tangan Yahudi dan nashrani.

Inilah yang disayangkan oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, beliau berkata:

ضَيَّعُوا ثُلُثَ العِلْمِ وَوَكَلُوهُ إِلَى اليَهُوْدِ وَالنَّصَارَى.

“Umat Islam telah menyia-nyiakan sepertiga Ilmu (ilmu kedokteran) dan meyerahkannya kepada umat Yahudi dan Nasrani.”

Beliau juga berkata mengenai pentingnya ilmu kedokteran,

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

لا أعلم علما بعد الحلال والحرام أنبل من الطب إلا أن أهل الكتاب قد غلبونا عليه.

“Saya tidak mengetahui sebuah ilmu -setelah ilmu hala dan haram- yang lebih berharga yaitu ilmu kedokteran, akan tetapi ahli kitab telah mengalahkan kita”‎

Ada baiknya jika kita mengetahui sejarah kejayaan Islam di masa lampau. Agar kita bisa belajar dari sejarah dan suatu saat insyaAllah kita dengan pertolongan Allah berusaha meraih kembali kejayaan kedokteran islam.

Ikhtiar manusia dalam mengatasi penyakit yang dideritanya telah berkembang sejak ribuan tahun lalu. Berawal dari insting yang diberikan Allah, manusia mampu mengatasi penyakitnya. Selanjutnya pengetahuan mengenai penyakit dan ilmu pengobatan terus berkembang seiring perkembangan peradaban manusia.‎

Dalam perjalanannya, ilmu pengetahuan seolah-olah terbagi dua kutub yang berbeda, antara pengobatan timur dan pengobatan barat. Kini seakan-akan barat mengklaim perkembangan ilmu kedokteran saat ini murni dari peradaban barat.

Padahal, ketika era kegelapan mencengkram Barat pada abad pertengahan, perkembangan ilmu kedokteran diambil alih dunia Islam yang tengah berkembang pesat di Timur Tengah. Pada abad ke-9 M hingga ke-13 M, dunia kedokteran Islam berkembang begitu pesat. Sejumlah Rumah Sakit besar berdiri. Pada masa kejayaan Islam, Rumah Sakit tak hanya berfungsi sebagai tempat perawatan dan pengobatan para pasien, namun juga menjadi tempat menimba ilmu para dokter baru.‎

Sekolah kedokteran pertama yang dibangun umat Islam adalah sekolah Jindi Shapur di Baghdad. Khalifah Al-Mansur dari Dinasti Abbasiyah yang mendirikan kota Baghdad mengangkat Judis Ibn Bahtishu sebagai dekan sekolah kedokteran itu. Pendidikan kedokteran yang diajarkan di Jindi Shapur sangat serius dan sistematik. Era kejayaan Islam telah melahirkan sejumlah tokoh kedokteran terkemuka, seperti Al-Razi, Al-Zahrawi, Ibnu-Sina, Ibnu-Rushd, Ibn-Al-Nafis, dan Ibn- Maimon.
Rumah Sakit terkemuka pertama yang dibangun umat Islam berada di Damaskus pada masa pemerintahan Khalifah Al-Walid dari Dinasti Umayyah pada 706 M. Namun, rumah sakit terpenting yang berada di pusat kekuasaan Dinasti Umayyah itu bernama Al-Nuri. Rumah sakit itu berdiri pada 1156 M, setelah era kepemimpinan Khalifah Nur Al-Din Zinki pada 1156 M.
Tak heran, bila penelitian dan pengembangan yang begitu gencar telah menghasilkan ilmu medis baru. Era kejayaan peradaban Islam ini telah melahirkan sejumlah dokter terkemuka dan berpengaruh di dunia kedokteran, hingga sekarang. `’Islam banyak memberi kontribusi pada pengembangan ilmu kedokteran.”‎

Perkembangan Kedokteran Pada Masa Sebelum Masehi

Ilmu kedokteran pada masa purba berkembang seiring dengan perkembangan kecerdasan dan kreativitas manusia. Sejarah mencatat pada masa purba telah dikenal pijat-memijat, ramu-ramuan obat dan juga alat-alat perdukunan. Hal ini didasarkan pada insting (gharizah) yang dianugerahkan Allah Swt, bermula dari pengalaman seseorang salah saru bagian tubuhnya mengalami sakit, secara refleks ia memijat bagian yang sakit tersebut. Apa bila tidak mengalami kemajuan mereka mulai melihat binatang-binatang yang makan buah atau tanaman tertentu bila sakit, kemudian dicoba sendiri dan bila sembuh diberikan ramuan tersebut pada orang lain, bahkan sejarah mencatat pada masa purba pula sudah dikenal pembedahan. Kemudian pengetahuan tersebut diturunkan secara generasi ke generasi, namun biasanya kemampuan pengobatan tersebut masih diliputi oleh unsur syirik, penyembahan pada nenek moyang dan sebagainya.‎

Perkembangan Kedokteran Pada Masa Sebelum Nabi

Masa Sumeria dan Arkadia

Sumeria termasuk wilayah Irak sekarang, yaitu di dekat sungai Furat (Eufrat) & sungai Dajlah (Tigris). Menurut data sejarah, tabib-tabib bangsa Sumeria telah mengenal pengobatan sejak 4000 tahun sebelum masehi. Pada masa tersebut terdapat dua cara pengobatan; Pertama, menggunakan pengobatan dukun (menggunakan ramuan, pijatan, lalu dijampi dengan meminta bantuan jin). Kedua, dengan pengobatan yang ilmiah dimasa itu (ramuan herba, madu, al-kayy bakar, lasah (fisioterapi), bahkan para tabib telah menuliskan ilmu-ilmunya dalam buku-buku yang dibuat dari tanah liat.
Sedangkan Arkadia berada di Utara Irak bagian tengah tepatnya di pertemuan antara sungai Furat (Eufrat) & sungai Dajlah (Tigris), kedokteran sempat mencapai masa gemilang dimasa Raja Sargon, yang bahkan dari sejarah dikisahkan putri Raja Sargon, Anhiduana selain menjadi pendeta juga sebagai pengkaji berbagai jenis pengobatan.‎

Babilonia

Bangsa Babiluuniyah (Babilon) masih serumpun dengan bangsa Arkadia dengan Raja Hamurabi sebagai raja sangat terkenal. Dimasa Raja Hamurabi kemajuan segala ilmu didapat. Bidang kedokteran yang berkembang saat itu antara lain al-kayy bakar, lasah (fisioterapi), ilmu peramu obat (farmakologi) dan bahkan konon telah ada obat-obatan jaman Babilonia dalam bentuk pil. Dibidang kedokteran didapati yang terkenal dimasa itu adalah dibedakannya antara tabib dengan kahin (dukun). Tabib berperan sebagaiahli pengobatan yang jauh dari tahayul, sedangkan kahin/dukun masih menghubungkan segala sesuatu dengan hal yang di luar jangkauan akal.
Mesir

Mesir di masa Fir’aun telah memiliki peradaban yang tinggi mengungguli peradaban bangsa lain, termasuk di dalamnya ilmu kedokteran. Pada masa Fir’aun Ramses II (sekitar + 1200 tahun sebelum masehi) di kota Thebe dan Memphis telah didirikan pusat pengkajian ilmu kedokteran.‎

Di Mesir pun dikenal dua macam pengobatan; Pertama dengan khahin (dukun) yang meminta bantuan pada jin berupa sihir-sihir. Di masa itu dikenal pula pembedahan namun dilakukan hanya dengan menggunakan telunjuk dan dikatupkan kembali dengan ibu jari, dan konon tidak meninggalkan bekas, selain itu juga dikenal pula pengobatan pijat jarak jauh, pengobatan ini dilakukan oleh kahin-kahin (dukun-dukun) yang telah meminta bantuan jin lewat sihir-sihir mereka. Kedua dengan pengobatan ilmiah. Pengobatan ini hingga saat ini telah membuat takjub ilmu kedokteran modern saat ini. Mereka telah mampu melakukan pembedahan besar. Perkembangan kedokteran Mesir telah mengenal anastesi yang dinamakan Taftah. Mereka pun telah mengenal cara diagnosa dengan menggunakan detak nadi pasien. Diagnosa warna lidah pun telah dikenal saat itu. Dapat disimpulkan metode kedokteran di masa Mesir telah maju.‎

Persia

Bangsa Persia merupakan serumpun dengan bangsa Aria India, Yunani, Romawi, Isbanji, Jerman dan rumpun Aria Eropa. Bangsa ini hidup pada sekitar 3000 tahun sebelum masehi. Ilmu Kedokteran pada masa itu sangat tinggi. Mereka mengkitabkan ilmu kedokteran dalam lempengan tanah liat, kulit dan lembaran tembaga. Aksara yang digunakan adalah tulisan paku yang berasal dari aksara Sumeria.
Cabang ilmu kedokteran yang berkembang pada masa itu adalah; kedokteran mata -berkembang di kota Syahran, kedokteran kandungan di kota Madyan dan kedokteran umum di kota Jundi Kirman. Metode bedah yang dikembangkan sangat baik mereka sangat baik dalam menjahit kembali bagian tubuh yang dibedah. Mereka menggunakan afium (opium) sebagai anastesi (pembiusan). Alat-alat kedokteran pun telah berkembang sangat baik, mereka telah menggunakan logam sebagai alat kedokteran & bedah.
Untuk sekolah kedokteran mereka sangat tertata rapi. Mereka memiliki kurikulum yang sudah terstruktur baik, dengan tingkat-tingkat pemahaman yang diberikan.
Hindustan

Hindustan kita kenal dengan sistem kasta atau strata sosialnya. Kasta-kasta tinggi menjadi penguasa dan kasta rendah menjadi pekerja. Begitu pula dalam kedokteran, ilmu kedokteran Hindustan banyak dimonopoli oleh kasta Brahmana dan beberapa orang dari kasta Ksatria.‎

Lembaga pengkajian kedokteran sudah sangat maju di sana, diantaranya terdapat di Mathura, Pataliputra dan Indraprahasta. Di Hindustan berkembang berbagai macam metode kedokteran; Pertama yang berasaskan agama, yang berpangkal pada Atharwaweda (weda) atau Ayurweda. Kedua metode tidak berasaskan agama, melainkan berasaskan ilmu kedokteran murni. Ketiga metode campuran, yaitu metode kedokteran yang dicampur dengan sihir.‎

Pengobatan yang bersumber dari kitab Weda serta kitab-kitab Upanisad dan Ramapitara antara lain: penyembuhan dengan terapi pernafasan yang biasa disebut Yoga, penyembuhan dengan terapi upawasa (puasa) dan tapa, penyembuhan dengan terapi Dahtayana (tenaga dalam) hingga pengobatan dengan perabaan jarak jauh. Ada juga pengobatan dengan terapi air, pengobatan dengan tusukan dan bedah. Dalam kitab Hindu “Susruta Samhita” diceritakan bahwa Susruta dapat membentuk telinga buatan pada seorang yang telinganya terpotong. Susruta ini sebenarnya adalah seorang tabib bedah saat itu, namun tabib-tabib Hindustan setelahnya selalu memejamkan mata, memanggil nama Susruta agar membantu dalam pembedahan secara gaib. Dalam hal ramuan obat, peramu obat Hindustan hampir sama dengan peramu dari Persia.‎

Walaupun tabib-tabib Hindustan sudah sangat maju dalam pengobatan, mereka masih mencampurkan antara ilmu kedokteran dengan praktek kahin (perdukunan). Kemajuan yang gemilang yang didapat dari pengobatan Hindustan adalah, tabib-tabib mereka telah dapat melakukan pembedahan minor pada daging tumbuh dan semacamnya.‎

Suriah & Iskandariah

Kedokteran bangsa Suriah dan Iskandariah masih berpangkal pada ilmu kedokteran Mesir Purba dan ilmu kedokteran Funisia. Kitab-kitab kedokteran bangsa suriah ditulis dalam bahasa Suryani, yaitu bahasa serumpun Arab. Cabang-cabang kedokteran yang berkembang di Suriah adalah: (1) Pengobatan al-kayy yang dikenal dengan pengobatan al-kayy Syam. (2) Pembedahan besar dan pembedahan kecil (3) Lasah (fisioterapi) otot, syaraf dan tulang (4) Pengobatan al-hijamah / bekam dan fashid. (5) pengobatan dengan ramuan herbal.
Pada masa agama Nasrani berkembang di Suriah, ilmu kedokteran Suria mengalami kemunduran. Rahib-rahib Nasrani ikut turun tangan mengobati pesakit menggantikan tabib-tabib. Mereka membawakan pengobatan doa dan pengampunan, perabaan kasih Al-Masih, percikan air suci Maria, sentuhan Salib Suci dan lainnya mirip kahin-kahin (dukun) Dewa Ba’al. Hampir semua penyakit dihubungkan dengan kutukan, dosa dari Nabi Adam dan Hawa dan semua itu harus ditebus dengan perabaan kasih Al-Masih, percikan air suci Maria, sentuhan Salib Suci dan lainnya.
Seorang gila dianggap kerasukan setan dan kena rayuan bisikan Iblis. Setan itu bermukim di kepala orang gila tersebut oleh karenanya perlu dikeluarkan dengan jalan memahat kepala orang gila tersebut agar setannya keluar dari lobang pahatan, Pengobatan semacam ini terdapat juga di Iskandariah, Romawi sampai ke Andalusia pada kurun waktu 1500 Masehi.
Romawi & Yunani

Sejarah Yunani dan Romawi telah ada semenjak 500 tahun sebelum Masehi. Di sana telah banyak dokter/tabib terkenal, namun dokter/tabib Yunani dan Romawi biasanya merangkap sebagai kahin (dukun) atau sebaliknya. Kahin-kahin tersebut dianggap sebagai perantara bagi dewa-dewa Olympus. Bentuk pemujaan dewa-dewa tersebut tecermin dari penggunaan nama dan simbol keagamaan Yunani dan Romawi.
Dalam hal penggunaan nama, istilah dan lambang hingga saat ini pun masih digunakan nama, istilah dan lambang yang berpangkal dari simbol keagamaan Yunani dan Romawi purba dan tidak sedikit dokter-dokter muslim terbawa latah mengikutinya.‎

Di antara nama-nama yang digunakan dalam kedokteran modern saat ini adalah:

Aesculapius: dewa obat-obatan berwujud ular
Hygeia: dewi kesehatan
Psyiko: dewa kejiwaan
Venus: dewi kebirahian
Adapun lambang-lambang yang masih digunakan sekarang adalah:

Lambang Piala dan Ular
Lambang Tongkat dan Ular
Tanda Rx, “Recipe-Recipere” (diberikan atau diambilkan)
 ‎
Semua lambang berasal dari “Lambang Altar” Dewa Jupiter atau Zeus Pater. Lambang ini dianggap sebagai azimat penangkal dan induk penyembuhan. Tabib-tabib Yunani biasa menuliskan surat obat (resep) yang terdapat tulisan “semoga Dewa Jupiter segera memberikan kesembuhan”‎

Kita dapat melihat bentuk ikut-ikutnya dokter saat ini dalam sebuah ajaran agama pagan yang mengimani dewa dan dewi Yunani dalam sumpah kedokteran modern yang kita kenal dengan Sumpah Hippokrates;

I swear by Apollo Physician and Asclepius and Hygieia and Panaceia and all the gods and goddesses, making them my witnesses, that I fulfil according to my ability and judgement this oath and this covenant.

Saya bersumpah demi (Tuhan) … bahwa saya akan memenuhi sesuai dengan kemampuan saya dan penilaian saya guna memenuhi sumpah dan perjanjian ini.

Now if I carry out this oath, and break it not, may I gain for ever reputation among all men for my life and for my art; but if I transgress it and forswear myself, may the opposite befall me.

Apabila saya menjalankan sumpah ini, dan tidak melanggarnya, semoga saya bertambah reputasi dimasyarakat untuk hidup dan ilmu saya, akan tetapi bila saya melanggarnya, semoga yang berlawanan yang terjadi.

And whatsoever I shall see or hear in the course of my profession, as well as outside my profession in my intercourse with men, if it be what should not be published abroad, I will never divulge, holding such things to be holy secrets.

Dan apa pun yang saya lihat dan dengar dalam proses profesi saya, ataupun di luar profesi saya dalam hubungan saya dengan masyarakat, apabila tidak diperkenankan untuk dipublikasikan, maka saya tak akan membuka rahasia, dan akan menjaganya seperti rahasia yang suci.

Into whatsoever houses I enter, I will enter to help the sick, and I will abstain from all intentional wrongdoing and harm, especially from abusing the bodies of man or woman, slave or free.

Ke dalam rumah siapa pun yang saya masuki, saya akan masuk untuk menolong yang sakit dan saya tidak akan berbuat suatu kesalahan dengan sengaja dan merugikannya, terutama menyalahgunakan tubuh laki-laki atau perempuan, budak atau bukan budak.

To hold him who has taught me this art as equal to my parents and to live my life in partnership with him, and if he is in need of money to give him a share of mine, and to regard his offspring as equal to my brothers in male lineage and to teach them this art-if they desire to learn it-without fee and covenant; to give a share of precepts and oral instruction and all the other learning of my sons and to the sons of him who instructed me and to pupils who have signed the covenant and have taken an oath according to medical law, but to no one else.

Memperlakukan guru yang mengajarkan ilmu (kedokteran) ini kepada saya seperti orangtua saya sendiri dan menjalankan hidup ini bermitra dengannya, dan apabila ia membutuhkan uang, saya akan memberikan, dan menganggap keturunannya seperti saudara saya sendiri dan akan mengajarkan kepada mereka ilmu ini bila mereka berkehendak, tanpa biaya atau perjanjian, memberikan persepsi dan instruksi saya dalam pembelajaran kepada anak saya dan anak guru saya, dan murid-murid yang sudah membuat perjanjian dan mengucapkan sumpah ini sesuai dengan hukum kedokteran, dan tidak kepada orang lain.

I will use treatment to help the sick according to my ability and judgment, but never with a view to injury and wrongdoing. neither will I administer a poison to anybody when asked to do so, not will I suggest such a course.

Saya akan menggunakan pengobatan untuk menolong orang sakit sesuai kemampuan dan penilaian saya, tetapi tidak akan pernah untuk mencelakai atau berbuat salah dengan sengaja. Tidak akan saya memberikan racun kepada siapa pun bila diminta dan juga tak akan saya sarankan hal seperti itu.

Similarly I will not give to a woman a pessary to cause an abortion. But I will keep pure and holy both my life and my art. I will not use the knife, not even, verily, on sufferers from stone, but I will give place to such as are craftsmen therein.

Juga saya tidak akan memberikan wanita alat untuk menggugurkan kandungannya, dan saya akan memegang teguh kemurnian dan kesucian hidup saya maupun ilmu saya. Saya tak akan menggunakan pisau, bahkan alat yang berasal dr batu pada penderita(untuk percobaan), akan tetapi saya akan menyerahkan kepada ahlinya.‎

Sumpah Hippocrates itu mengundang 8 buah nasehat atau peringatan yaitu :

Mengajarkan Ilmu Kedokteran kepada mereka yang berhak menerimanya.
Mempraktekan Ilmu Kedokteran hanya untuk memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi pasien.
Tidak mengerjakan sesuatu yang berbahaya bagi pasien.
Tidak melakukan keguguran buatan yang bersifat kejahatan.
Menyerahkan perasat-perasat tertentu kepada teman-teman sejawat ahli dalam lapangan yang bersangkutan.
Tidak mempergunakan kesempatan untuk melakukan kejahatan atau godaan yang mungkin timbul dalam mengerjakan praktek kedokteran.
Hidup dalam keadaan suci dan sopan santun.
Memelihara rahasia jabatan.
 ‎
Sumpah Hippocrates tersebut telah dijadikan dasar penyusunan sumpah dokter sebagai yang telah dikukuhkan oleh Mukhtamar Ikatan Dokter Sedunia (The Word Medical Association) di kota Geneva dalam tahun 1948, yang kemudian di kenal sebagai “Deklarasi Geneva” 1948.
Adapun sumpah kedokteran muslim yang sekarang disebut dengan istilah  “Kode Etik Profesi” adalah sebagai berikut.

“Saya bersumpah dengan nama ALLAH yang Maha Agung  dan Nabi-Nya yang Mulia Muhammad SAW  untuk menjadi orang yang dipercaya, berpegang teguh pada syarat-syarat kemuliaan dan kebaikan dalam melaksanakan profesi kedokteran. Saya akan mengobati orang-orang miskin secara gratis, tidak meminta upah yang melebihi upah pekerjaan saya. Jika saya memasuki rumah, mata saya tidak akan melihat segala apa yang terjadi didalamnya, lidah saya tidak akan mengucapkan rahasia-rahasia yang diamanatkan kepada saya. Saya tidak akan menggunakan hasil kerja saya untuk merusak ahlak yang terpuji, tidak akan bantu membantu untuk melakukan dosa. Selamanya tidak akan memberi racun atau menunjukkannya, tidak akan memberi obat yang ada bahayanya bagi orang yag hamil, juga tidak akan menggugurkan kandungannya. Saya akan menjadi orang terhormat, mejaga kebaikan orang-orang yang mengajari saya dengan mengajari anak-anak mereka sepadan dengan apa yang saya pelajari dari orang tua meraka. Selama saya perpegang teguh dengan janji saya dan dapat dipercaya dengan sumpah saya tersebut, maka semua manusia menghormati saya. Jika saya melanggar itu, maka saya siap menjadi orang yang terhina.”  ALLAH menjadi saksi atas apa yang saya ucapkan.‎

Analisis pemikiran Ar Razi dan Ibnu Sina

A. AR-RAZI
Dunia keilmuan, khususnya kedokteran modern, harus mengakui peran dan gagasan tokoh Islam yang satu ini. Selain seperti yang kita kenal, Ibnu Shina yang merupakan perintis awal Ilmu kedokteran. Dia adalah Muhammad bin Zakaria Al-Razi, atau lebih dikenal dengan nama Al-Razi. Menempati bidang ini pada usia yang dapat dibilang sudah tidak muda lagi.
Ia lahir di Rayy, dekat Teheran, Iran, pada tahun 846 M. (w. dikota yang sama pada tahun 925 M). Al-Razi yang bernama lengkap Abu Bakar Muhammad Zakaria al-Razi sebagai seorang pribadi atau pemikir, dia sangat disegani dan dihormati kalangan sarjana barat. Seperti A.J. Aberry, yang menulis pengantar dalam buku Al-Razi, The Spiritual Physic of Rhazes (penyembuhan rohani). Walaupun sudah menginjak usia tua, ketekunannya dalam bidang kedokeran menghasilkan karya-karya sangat monumental. Humayun bin Ishaq adalah gurunya di Baghdad.
Dengan karya-karya yang dihasilkan dalam bidang kedokteran, pengabdian dan kejeniusan al-Razi diakui oleh Barat. Banyak ilmuan Barat menyebutnya sebagai pionir terbesar dunia Islam dibidang kedokteran. “Razhes merupakan tabib terbesar dunia Islam, dan satu yang terbesar sepanjang sejarah”, jelas Max Mayerhof. Sementara sejarawan barat terkenal, George Sarnton, mengomentari al-Razi , “AL-Razi dari Persia, dia juga kimiawan dan fisikawan. Dia bisa dinyatakan salah seorang salah seorang perintis latrokimia zaman renaisans,,,maju dibidang teori, dia memadukan pengetahuannya yang luas melalui kebijaksanaan Hippokratis”.‎

Dalam karyanya, Al-Mansuri” (Liber Al-Mansofis) Ia menyoroti tiga aspek penting dalam kedokteran, antara lain; kesehatan publik, pengobatan preventif, dan perawatan penyakit khusus. Bukunya yang lain berjudul ‘Al-Murshid’. Dalam buku itu, Al-Razi mengupas tentang pengobatan berbagai penyakit. Buku lainnya adalah ‘Al-Hawi’. Buku yang terdiri dari 22 volume itu menjadi salah satu rujukan sekolah kedokteran di Paris. Dia juga menulis tentang pengobatan cacar dan cacar air dalam Kitab fil al-Jadari wal-Hasba yang merupakan catatan pertama tentang metode diagnosis dan perawatan atas dua penyakit dan gejal-gejalanya.

B. IBNU SINA‎

Dunia Islam memanggilnya Ibnu Sina, tapi kalangan Barat menyebutnya dengan panggilan Avicenna. Ia merupakan seorang ilmuan, filsuf dan dokter pada abad ke-10. Selain itu dia juga dikenal dengan penulis yang produktif. Dan sebagian banyak tulisannya berisi tentang filsafat dan pengobatan. Karya-karyanya membanjiri literatur modern dan mengilhami karya-karya pemikir barat. Abu Ali Al-Hussain bin Abdullah bin Sina lahir di Afshana, dekat kota Bukhara, Uzbeskiztan pada tahun 981 M. Kecerdasannya ditunjukkan pada usia 17 tahun, dengan tingkat kejeniusan yang sangat tinggi dia telah memahami seluruh teori kedokteran yang ada pada saat itu dan melebihi siapun juga. Karena kecerdasannya itu dia diangkat sebagai konsultan dokter-dokter praktisi.
Pengaruh pemikiran dan telaahnya di bidang kedokteran tidak hanya tertuju pada dunia Islam tetapi juga merambah Eropa. Berbicara tentang karya-karyanya, tulisannya mencapai 250 karya. Baik dalam bentuk risalah maupun buku. Karyanya bayak dijadikan rujukan dalam bidang kedokteran oleh banyak kalangan pemikir. Diantaranya Qanun fi Thib, dalam buku ini berisi tentang bagaimana cara penyembuhan dan obat-obatan. Dalam dunia Barat kitab ini diterjemahkan dengan nama The Canon of Madicine. Dan ada pula yang menyebutnya Ensiklopedia pengobatan. Asy-Syifa, dalam buku ini berisi menganai berbagai jenis penyakit, obatnya dan sekaligus cara pengobatannya berkaitan dengan penyakit bersangkutan.

Metode Dasar antara Al-Razi dan Ibnu Sina Dalam Ilmu Kedokteran
Sebelum membandingkan kedua pemikiran tokoh tersebut, perlu dijelaskan bagaimana landasan pengobatan menentukan adanya gejala penyakit sehingga bidang medis menjadi sebuah ilmu yang terstruktur. Yang nantinya menjadi dasar pemikiran kedua tokoh tersebut. Kembali pada Abad kesembilan atau tepatnya pada akhir abad kesembilan, tradisi kedokteran Islam berkembang pesat. Hal itu ditandai dengan terintegrasinya sistem patologi jenaka (humoral) dari Galen dalam kedokteran Islam. Patologi Humoral didasarkan pada empat gagasan humor (darah, lendir, empedu biru, dan empedu hitam) dan kaitannya dengan empat elemen (udara, air, api dan tanah), juga pada empat kualitas (panas, basah, dingin, kering).‎

Keseimbangan humor dan kualitas ini menentukan kesehatan, karena itu, ketidak seimbangan dianggap sebagai sebab timbulnya penyakit. Inilah titik sebab kenapa perawatan dan pengobatan itu dilakukan, agar dapat membangun atau memelihara kembali keseimbangan kondisi tubuh yang kacau (sakit). Artinya internal tubuh didapat dalam keadaan baik sebagaimana fungsinya dan tentunya harus didukung kondisi atau cuaca lingkungan yang kondisif. Melalui penggunaan jenis-jenis makanan, obat-obat tertentu dan melalui pengeluaran darah kotor serta pencahar (obat cuci perut).
Sistem yang menjelaskan ilmu kedokteran ini, telah didasari dengan tingkat argumentasi logis tertentu. Didukung dengan observasi medis untuk menentukan adanya penyakit yang hinggap dan memberikan penawarnya (obat). Maka dari itu diskursus teoritis sangat ditekankan pada observasi klinis, dan pertimbangan teoritis memainkan peran utama dalam strukturisasi dan organisasi pengetahuan medis. Artinya, penelitian atau pengamatan medis tidak hanya bergerak dalam ranah teori atau wacana. Tapi juga harus didukung pengamatan empiris (klinis).
Kalau kedua dasar dalam membentuk sebuah ilmu pengetahuan medis tersebut dapat dilakukan dengan dengan seimbang. Maka kegiatan keilmuan akan menjadi sempurna dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga dapat menjadi disiplin ilmu yang dapat diaplikasikan atau diamalkan. Hal itulah yang dikembangkan ilmu kedokteran Islam dengan sistemisasi dan rasionalisasi. Dimana yang pertama kali dilakukan adalah usaha untuk mengorganisir bidang luas ilmu kedokteran dan semua cabangnya menjadi satu struktur komprehensif dan logis.‎

Tapi sejarah mengatakan, dalam keilmuan medis ada yang fokus pada pengkajian atau pengamatan klinis dalam membangun keilmuannya. Dengan menekankan pada kedokteran klinis atau kedokteran kasus dalam prosedur perawatannya. Representasi yang cukup mewakili dalam penggunaan metode ini adalah Al-Razi. Dalam tulisan-tulisannya dapat dilihat bagaimana al-Razi mengungkapkan kritikan terhadap teoritis atas ilmu kedokteran yang diwarisinya. Dimana dia memfokuskan pada metode dan praktek.
Dalam karyanya yang lain, Al-Razi memberi tekanan lebih besar pada diagnosis dan terapi observasional daripada diagnosis teoritis atas sakit dan perawatannya. Metodenya ini dibuktikan dalam karyanya yang berjudul Kitab fi al-Jadari wal-Hasba (buku tentang cacar dan cacar air). Ketidak sepakatannya dengan metode teoritis semakin jelas jika dilihat dari kitab terbesarnya, al-Hawi fi al-Tibb. Karena kitab ini sudah jelas tidak diatur menurut paradigma teoritis formal. Didalamnya berisi tentang ensiklopedi kedokteran klinis hasil observasi al-Razi sendiri.

Dalam keilmuan medisnya, baik dari karya kitab, risalah-risalah maupun metode pengobatan , Al-Razi menggunakan klasifikasi ilmu kedoktran terapis, bukan teoritis. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dasar perawatannya mengandalkan hasil-hasil eksperimentasi. Seperti yang dikatakan John L.E. “Al-Razi tidak melakukan perawatan berdasarkan kesimpulan logis; namun ia melakukan apa yang sering mampu mengendalikan ekperimentasi”. Dan terakhir, secara logis penulis mempunyai kesimpulkan sementara bahwa al-Razi menolak metode teoritis (logis), kecuali sesuai, setelah dilakukan ekperimentasi (pengamatan empiris).‎

Masih membahas metode dasar keilmuan medis (kedokteran), Ibnu Sina mempunyai metode yang berbeda dari al-Razi dalam melakukan kajian keilmuan medis. Ia lebih memfokuskan pada kajian teoritis, dan melakukan sistematisasi ilmu kedokteran sebagai sebuah disiplin ilmu. Oleh karena itu ia terkenal sebagai bapak kedokteran Islam, bahkan dunia. dalam perjalanan intelektual Ibnu Sina, dalam hal ini bidang medis, ia melakukan kajian ulang terhadap warisan-warisan karya medis.‎

Hal itu dimenivestasikan dalam karya monumentalnya, al-Qanun fil al-Tibb (kanon kedokteran). Magnum opusnya al-Qanun ditulis dengan maksud membuat karya kanonis definitif mengenai kedokteran, yang sangat komprehensif sekaligus teoritis. Semua refleksi teoritis dan sistematis atas karya-karya sebelumnya tercover dalam buku ini. Berawal dari anatomi, kemudia fisiologi, patologi dan akhirnya terapi. Walaupun dia juga melakukan observasi, kegiatannya ini terbilang lemah atau tidak fokus dilakukan.
Corak teoritis dalam karya kedokterannya, bisa dibilang terpengaruh dengan pemikirannya dalam bidang filsafat yang tak lepas dari pengaruh Aristoteles. Dimana ia lebih menekankan pada pendekatan logis sistematis. Sistem ilmu kedoteran yang disusun olehnya, menghasilkan koherensi dari aplikasi kontinyu dengan memegang prinsip logis dan teoritis. Kekhasan karya-karya Ibnu Sina dapat merubah tradisi ilmu kedokteran Islam yang mengutamakan praktek dalam pengobatan. Yang tidak melihat relevansinya terhadap kajian teoritis.
Jika dilhat lagi keidealan ilmu pengetahuan yang terungkap dalam paragraf-paragraf pertama, kedua pemikiran antara al-Razi dan Ibnu Sina dapat digabungkan menjadi disiplin Ilmu kedokteran yang kuat. Walaupun Ibnu Sina mendapat penghargaan atas disiplin Ilmu kedokteran, namun ia lemah dalam pengamatan empiris. Tapi tidak lantas dapat disimpulkan keduanya menolak pendekatan teoritis atau observatif. Hanya saja titik perhatiannya terfokus salah satu metode yaitu antara obserfatif dan teoritis logis.

Al-Razi tidak menolak kesimpulan logis dalam ilmu medis, tapi menerima dengan syarat melakukan ekperimentasi lebih dulu. Sedangkan Ibnu Sina tidak juga menolak metode observatif atau klinis, bahkan dia melakukannya. Tapi hanya saja, pusat perhatiannya lebih pada logis teoritis. Pemikiran kedua tokoh kedokteran tersebut mempunyai kekhasan tersendiri. Oleh karena itu metode keduanya dapat memberi masukan satu sama lain. Sebagai contoh, pengamatan medis secara Al-lRazi sebagai dasar perawatannya dapat diperkuat dengan diskursus teoritis logia ala Ibnu Sina.

Warisan-warisan Islam dalam bidang kedokteran tersebut tidak hanya menjadi kenangan masa lampau. Tapi lewat karya dokter-dokter Islam, para ilmuwan Timur maupun Barat dapat menguras habis teori-teori atau metode pengobatan dan analisis berbagai penyakit beserta obatnya. Dengan begitu literature-literatur Islam dalam ilmu medis dapat mengilhami banyak ilmuwan atau dokter dunia.‎

Ar-Razi dan Ibnu Sina adalah salah satu dari sekian banyak dokter Islam yang menurut penulis paling berpengaruh dalam keilmuan ini. Dimana dapat dilihat penjelasan di atas, khazanah pemikiran dan kontribusinya sangat luas dan kaya. Dengan dasar kekhasan pemikiran kedua tokoh tersebut penulis menempatkan bab khusus untuk membanding metode atau titik fokus dalam kegiatan kedokterannya. Dan didapatkan suatu keharmonisan yang saling melengkapi jika metode-metode tersebut dikaji dan diaplikasikan dengan tetap memagang prinsib keseimbangan.
Hal itu sudah terwujud dengan melihat perkembangan kedokteran sekarang. Seperti, cara pengobatan yang sudah maju, penemua penawar (obat) bagi penyakit-penyakit, adanya dokter-dokter profesional dan sebagainya.

Saran

Dengan ini semua seharusnya Islam tidak hanya berbangga diri tapi dijadikan suatu cambukkan untuk terus semangat, kreeatif dan berkerja keras dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar