Selasa, 27 Desember 2016

Sejarah Gunung Pujut

Jika berbicara tentang cara masuknya islam ke indonesia tentu saja setiap tempat memiliki cerita yang berbeda-beda, mungkin ada yang dibawa oleh para pedagang, dibawakan oleh para alim ulama yang syiar kemana-mana, ada pula yang mengenal islam dari peperangan yang terjadi di daerahnya. Negara kita Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk yang memeluk agama islam terbanyak di dunia. Maka dari itu pasti banyak cerita dibalik itu semua. Di masa lalu lombok ada cerita mengenai Masjid Kuno Gunung Pujut ini sangat berkaitan dengan sajarah islam di lombok, dan sekarang masjid ini sudah menjadi wisata religi.Masjid ini sudah berdiri sejak tahun 1008 Hijriyah. Masjid Kuno Gunung Pujut terletak di Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. 


Pujut adalah nama salah satu kecamatan di bagian selatan Kabupaten Lombok Tengah Provinsi NTB, walaupun memiliki alam yang kering namun kecamatan pujut memberikan harta kekayaan yang memberikan kontribusi besar bagi kabupaten ini. Harta kekayaan tersebut antaranya andalah Bandara International Lombok (BIL), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika Resort dan Pelabuhan Ikan International Awang. Selain kekayaan tersebut Pujut juga memberikan kekayaan budaya dan religi yang sangat eksotis seperti upacara adat Bau Nyale (legenda Mandalika Nyale), kampung tradisional Sade, Makam Wali Yatok dan Masjid Kuno Pujut & Rembitan yang menjadi bukti sejarah bahwa di tanah Pujut ini dulu berkembang ajaran islam yang mengajarkan ilmu-ilmu makrifat. Ilmu makrifat oleh para waliyullah diajarkan dalam bentuk Paosan yaitu mempelajari ajaran makrifat dalam tembang-tembang mancapat yang tertulis pada kitab daun lontar.

Beberaoa kitab-kitab ajaran makrifat yang diajarkan oleh para waliyullah antaranya adalah Jatisware, Brambang Wulung, Langit Gite, Wirid Widayat Jati, Jimat Kalimosodo, Indarjaya, dll. Penyampaian ajaran makrifat ini dalam bentuk tembang baik menggunakan tembang Sinom, Maskumambang, Dandang Gendis, Pangkur, dan Durme. Budaya Paosan ini sampai sekarang tetap dilestarikan oleh paguyuban-paguyuban Paosan seperti, Pembasak Kabupaten Lombok Tengah, Paguyuban Pangeran Sangupati Desa Batujai, Paguyuban Kise Jati Desa Gapura, Paguyuban Puji Bakti Desa Sengkol, dll.

Mengenai Masjid Kuno Gunung Pujut, tidak banyak buku-buku sejarah yang menulisnya termasuk kurangnya tokoh masyarakat yang mengetahui sejarah Gunung Pujut itu sendiri. Dari narasumber beberapa tokoh Pujut penulis mencoba menggali kembali sejarah Gunung Pujut termasuk Masjid Kuno Gunung Pujut dan menuliskannya agar dapat memperkaya khasanah kita akan peninggalan sejarah Pujut.

Sejarah Pujut

Pujut merupakan wilayah kedatuan (kerajaan kecil) yang diperkirakan berdiri pada tahun caka 1255 atau 1355 M, perkiraan tahun berdirinya kedatuan pujut ini diambil dari sumber lontar yang berbahasa sasak berbunyi “Kengkang Pelapak Gedang Lembah Gunung Pujut dait Gunung Tengak dait Pelembah Polak Due”. Kengkang melambangkan angka 1, Pelepak Gedang Polak melambangkan angka 2, Gunung Pujut melambangkan angka 5 dan Gunung Tengak melambangkan angka 5,  sehingga jika angka ini digabungkan akan membentuk angka caka 1255.

Kedatuan pujut didirikan oleh seorang bangsawan Majapahit yang bernama Ame Mas Meraje Mulie dan menikah dengan puteri kerajaan Kelungkung Bali. Setelah melangsungkan pernikahan oleh mertuanya ‎Ame Mas Meraje Mulie disuruh oleh mertuanya untuk bersemedi di sebuah pulai ditimur Bali, pulau itu sekarang di sebut Nusa Penide (Penida berasal dari kata Penede artinya tempat memohon kepada Tuhan YME). Dalam semedinya beliau mendapat wangsit untuk berlayar ketimur dan apabila dalam pelayaran tersebut melihat cahaya di daratan maka disanalah tempat tinggalnya. Berdasarkan wangsit tersebut akhirnya bersama istri dan pengiringnya melakukan peleyaran ke arah timur dan akhirnya menemukan tanah petunjuk tersebut yaitu disebuah Bukit didataran bagian selatan Lombok yang kita kenal sekarang sebagai Gunung Pujut.

Ame Mas Meraje Mulie menganut paham Shiwa-Budha yang menjadi agama resmi di Majapahit, dengan demikian maka setibanya di Gunung Pujut ia mendirikan tempat pemujaan Shiwa-Budha yaitu Diwe Dapur, Diwe Pujut, Diwe Peringge dan Diwe Jomang dan membuat kampung bernama Tuban untuk mengenang asalnya dari Kadipaten Tuban Wilayah Kerajaan Majapahit. Kalau memang betul Ame Mas Meraje Mulie berasal dari Kadipaten Tuban maka dapat dipastikan bahwa ia masih merupakan keturunan Raja Daha Kediri dari garis keturunan Airlangga pendiri kerajaan Kediri.

Dari hasil pernikahannya dengan Puteri Kelungkung Ame Mas Meraje Mulie memiliki satu orang putra yaittu Ame Mas Mayang. Ame Mas Mayang memiliki empat orang putra/putri yaitu Sri Meraje Tinauran, Meraje Gune, Meraje Pati dan Meraje Tinolo. Meraje Gune memiliki seorang putra yaitu Meraje Galungan dan Meraje Pati memiliki seorang putra bernama Meraje Olem. Meraje Olem inilah yang menjadi Datu Pujut yang ke empat. Meraje Olem memiliki dua orang putra/puteri yaituSri Mas Jaye Diguna atau biasa disebut Balok Gare dan Sri Mas Jaye Wire Sentane atau biasa disebut Balok Pait.

Berdirinya Masjid Gunung Pujut 

Pada masa pemerintahan Meraje Olem agama Islam sudah berkembang dengan pesat di seluruh Nusantara termasuk pulau Lombok yang dibawa oleh para Waliyullah dari tanah Jawa atau biasa dikenal dengan nama Wali Songo. Meraje Olem suatu ketika berangkat ke tanah Jawa untuk mengunjungi tanah leluhurnya dan disana Meraje Olem sangat tertarik dengan agama Islam sehingga ia memeluk agama Islam dan belajar kepada Wali Songo. Setelah mempelajari Islam Meraje Olem kembali ke Pujut dan mengajarkan ajaran Islam kepada rakyatnya. Dibantu oleh Wali Yatok ia menyebarkan agama Islam tidak saja kepada masyarakat Pujut tetapi juga kepada kedatuan-kedatuan disekitarnya.

Sebagai tempat ibadah maka pada tahun caka 1509 atau 1587 M atau 1008 H Meraje Olem mendirikan Masjid di puncak Gunung Pujut (pada ketinggian 400 mdpl). Masjid Gunung Pujut sendiri memiliki desain arsitektur yang unik dan dapat ditandai dari bentuk atap 2 cungkup seperti masjid demak, bangunan masjid tidak memiliki jendela dengan satu pintu kayu didepan dan berdinding sangat pendek yaitu 1,5 meter sehingga untuk memasuki masjid maka harus menundukkan kepala. Bentuk arsitektur yang seperti ini barangkali memiliki makna-makna makrifat yang perlu untuk dikaji lebih dalam. Masjid Gunung Pujut memiliki ukuran 9 x 9 meter dengan empat buah tinga besar (agung) didalamnya yang menyokong kuncup atap atas.

Tahun meninggalnya meraje olem tidak banyak diketahui oleh masyarakat, tetapi setelah meninggal Meraje Olem dimakamkan di sebelah utara Gunung Pujut yang biasa disebut sebagai Makam Sempane. Untuk menandakan bahwa Meraje Olem telah memeluk agama Islam maka diatas makamnya ditanami oleh 9 buah pohon Kamboja yang sampai sekarang masih tumbuh dengan baik.

Masih banyak sejarah yang dapat digali terkait dengan Masjid Kuno Gunung Pujut antaranya adalah makna/simbol makrifat dalam arsitektur Masjid, kitab-kitab makrifat dalam bentuk daun Lontar, dan peran tokoh-tokoh Pujut dalam penyebaran ajaran Islam seperti Balok Gare, Balok Tui, Balok Senggal Jepun, Balok Serte, Balok Suralangu, dll.‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar