Kamis, 01 Desember 2016

Tafkir Fitnah Yang Paling Berbahaya Melanda Umat

Dunia Islam dan kaum muslimin dewasa ini cukup menyedihkan. Tuduhan demi tuduhan dilemparkan musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala, akibat ulah sebagian kelompok kaum muslimin. Musuh-musuh Islam terus mengintai negara dan masyarakat Islam; mengintai kapan kaum muslimin berbuat salah, kapan menjadi materialis dan kapan cinta dunia menguasainya.

Akhirnya, masa-masa yang ditunggupun tiba. Kaum muslimin hidup bergelimang dunia dan dosa. Kebodohan menjadi ciri mereka, menyebabkan keluar dan menyelisihi syariat. Tanpa sadar membuat kerusakan di bumi dan seisinya. Padahal sesuatu yang menyelisihi, pasti berbahaya; apalagi dalam permasalahan agama.

Kehinaan dan fitnah pun melanda kaum muslimin, sebagai konsekwensi akibat melanggar dan jauhnya mereka dari syariat RasulNya.

Allah Azza wa Jalla berfirman,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih”. [an Nur/24 :63].

Bermunculanlah penyakit dan fitnah dalam tubuh kaum muslimin. Membuat mereka bingung, sedih dan berpecah-belah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengembalikan dan mempersatukan kaum muslimin di atas ajaran agama Islam yang benar.

Diantara fitnah yang muncul dan sangat berbahaya dalam tubuh kaum muslimin, yaitu fitnah takfir. Takfir ialah vonis kafir terhadap orang lain yang menyimpang dari syari’at Islam. Fitnah ini berawal dari munculnya sekte Khawarij pada zaman Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Fitnah ini pernah mengguncang dunia Islam. Menumpahkan ribuan, bahkan jutaan darah kaum muslimin. Telah banyak harta dan jiwa yang dikorbankan kaum muslimin untuk meredam fitnah ini.

Fitnah takfir (bermudah-mudahan dalam mengafirkan) sesama muslim merupakan bahaya laten yang harus diwaspadai oleh semua pihak. Karena, cepat atau lambat ia akan menghancurkan  masyarakat muslim, dari lingkup yang paling kecil (keluarga), hingga yang paling besar (negara). Tak heran, bila terkadang kita dikejutkan oleh sebuah fenomena; ada seorang anak yang mengafirkan ayah dan ibunya. Mengafirkan adik, kakak dan saudara-saudaranya. Bahkan mengafirkan pemerintah dan masyarakatnya. Tak berhenti sampai di situ. Ternyata sikap bermudah-mudahan dalam mengafirkan sesama muslim itu berujung pada keyakinan halalnya darah-darah mereka.

Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallamjauh-jauh hari telah memperingatkan semua itu, sebagaimana dalam sabdanya:

إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِصَاحِبِهِ: يَا كَافِرُ, فَإِنَّهَا تَجِبُ عَلَى أَحَدِ هِمَا فَإِنْ كَانَ الَّذِي قِيْلَ لَهُ كَافِرًا فَهُوَ كَافِرٌ وَإِلاَّ رَجَعَ إِلَيْهِ مَا قَالَ

“Jika seorang lelaki berkata kepada kawannya: ‘Hai kafir, maka sungguh perkataan itu mengenai salah satu dari keduanya. Bila yang disebut kafir itu memang kafir maka jatuhlah hukuman kafir itu kepadanya. Namun bila tidak, hukuman kafir itu kembali kepada yang mengatakannya.” (HR. Ahmaddari sahabat Abdullah bin ‘Umar. Disahihkan oleh Asy Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq-nya terhadap ‎Musnad Al Imam Ahmad no. 2035, 5077, 5259, 5824)

Lihatlah, sejak pembunuhan khalifah dan menantu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu, disusul dengan terbunuhnya khalifah dan menantu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, hingga pemberontakan mereka terhadap negara Islam Bani Umayyah dan Abbasiyah, serta negara-negara Islam hingga saat ini.

Pertama kali muncul, mereka mencela sebaik-baiknya orang shalih waktu itu. Yaitu Khalifah Ali Radhiyallahu ‘anhu. Bukanlah satu hal aneh, karena tokoh pertama mereka yang bernama Dzul Khuwaishirah telah mencela sebaik-baiknya makhluk Allah, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dikisahkan dalam riwayat dibawah ini :

أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقْسِمُ قِسْمًا أَتَاهُ ذُو الْخُوَيْصِرَةِ وَهُوَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اعْدِلْ فَقَالَ وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَعْدِلْ قَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ فَقَالَ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ائْذَنْ لِي فِيهِ فَأَضْرِبَ عُنُقَهُ فَقَالَ دَعْهُ فَإِنَّ لَهُ أَصْحَابًا يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلَاتَهُ مَعَ صَلَاتِهِمْ وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ

“Sesungguhnya Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu anhu bercerita,”Ketika kami bersama Rasululluh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau membagi-bagikan sesuatu. Datanglah Dzul Khuwaishirah seorang yang berasal dari Bani Tamim kepada beliau, lalu berkata,’Wahai Rasulullah berbuat adillah!’ Lalu beliau menjawab,’Celaka kamu, siapakah yang berbuat adil, jika aku tidak berbuat adil? Engkau telah rugi dan celaka jika aku tidak adil’. Umar berkata,’Wahai Rasulullah izinkanlah aku memenggal lehernya’. Beliau menjawab, ’Biarkan dia! Sesungguhnya dia memiliki pengikut. Salah seorang dari kalian akan meremehkan shalatnya dibanding shalat mereka dan puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca al-Qur’an, tapi hanya ditenggorokan mereka saja. Mereka meninggalkan agama, sebagaimana anak panah keluar dari busurnya’.” [Mutafaqun alaihi].

Nampaklah, bahwa kemunculan Khawarij berawal dari persoalan harta dan penentangan terhadap pemimpin. Sungguh benar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ

“Sesungguhnya setiap umat memiliki fitnah, dan fitnah umatku adalah harta”.

Dzul Khuwaishirah menentang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan slogan keadilan. Menuntut keadilan, hak dan persamaan. Dia menuduh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuat tidak adil, sehingga menuntut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan keadaan pengikutnya.

Tuduhan dan tuntutan seperti ini ditujukan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentunya, kepada orang yang berada dibawah (sesudah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), dari para penguasa dan wali amri kaum muslimin lebih gampang dan mudah bagi mereka menyampaikan tuntutannya. Ketika pengikut Dzul Khuwaishirah muncul pada zaman Ali bin Abi Thalib, juga karena persoalan harta dan penentangan mereka terhadap kebijakan Khalifah Ali Radhiyallahu ‘anhu. Setelah itu, mereka mengkafirkan pelaku dosa besar, menghalalkan darah dan harta kaum muslimin seluruhnya, kecuali anggota sektenya. Inilah yang melandasi pemberontakan mereka dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan dalam haditsnya,

إِنَّ مِنْ ضِئْضِئِ هَذَا قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنْ الرَّمِيَّةِ يَقْتُلُونَ أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الْأَوْثَانِ لَئِنْ أَنَا أَدْرَكْتُهُمْ قَتَلْتُهُمْ قَتْلَ عَادٍ

“Sesungguhnya di belakang orang ini akan lahir satu kaum yang membaca al- Qur’an, tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka lepas dari Islam, seperti lepasnya anak panah dari busurnya. Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan penyembah berhala. Sungguh, jika aku mendapatkan mereka, niscaya aku bunuh mereka dengan cara pembunuhan kaum ‘Ad”.[Diriwayatkan oleh Abu Daud].

Dan dalam riwayat yang lainnya:

هُمْ شَرُّ قَتْلَى قُتِلُوا تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ

“Mereka adalah sejelek-jelek orang yang terbunuh di bawah langit” [Diriwayatkan oleh At Tirmidzi, no. 2926 dan Ibnu Majah dalam Muqaddimah, no.173].‎

Kaum Khawarij ini diperangi kaum muslimin, hingga hampir hilang dari permukaan bumi. Memang, kumpulan mereka ini masih ada di beberapa tempat, seperti : di Oman, Maroko, Al Jazair dan Zanjibar. Diwakili oleh sekte Ibadhiyah. Meskipun demikian, pemikiran dan aqidah mereka masih eksis dan bertebaran di sekitar kaum muslimin. dan terkadang sebagian kaum muslimin tidak sadar memiliki pemikiran dan aqidah mereka ini.

Kemudian lebih dari seperempat abad yang lalu muncullah istilah takfir dan hijrah, ditandai dengan satu kejadian besar. Yaitu pembunuhan terhadap penulis kitab At Tafsir wal Mufassirun, Syaikh Muhammad Husein Adz Dzahabi.

Jamaah takfir wal hijrah ini dikatakan oleh para peniliti, sebagai bagian dari Jamaah Ikhwanul Muslimin. Mereka kecewa dengan sikap dan tindakan tokoh-tokoh pemimpin Ikhwanul Muslimin dengan peran mereka dalam politik negeri Mesir. Lalu mengangkat panji hakimiyah sebagai simbol pemisah kafir dan Islam. Pada akhirnya, mereka mengkafirkan seluruh kaum muslimin, baik penguasa maupun rakyatnya –tentu- kecuali anggota jamaah mereka.

Dari takfir ini, mereka melakukan pembunuhan, peledakan dan pelecehan hak para ulama serta kaum muslimin. Mereka mengambil pemikirannya berdasarkan tulisan dan pernyataan Sayyid Quthub yang telah menjadi imam dan pemikir sejatinya. Kita akan semakin jelas melihatnya, jika mencermati dan menelaah pemikiran Sayyid Quthub, salah seorang tokoh legendaris Jamaah Ikhwanul Muslimin. Mereka banyak menjadikan pemikiran tokoh intelektual ini dalam kaidah beragama. Menyebabkan mereka menjadi orang yang cepat memvonis kafir terhadap orang lain. Mencela para ulama yang tidak cocok atau dianggap tidak sesuai dengan mereka. Hal ini tidaklah mengherankan. Karena orang yang telah terkena fitnah takfir, tentunya tidak lepas dari gaya penampilan para pendahulu mereka dari kalangan Khawarij. Beberapa pemikiran Sayyid Quthub tentang takfir, dapat diketahui besarnya bahaya yang muncul karenanya.

Tentang takfir ini, Sayyid Quthub mengkafirkan hampir seluruh kaum muslimin, termasuk para muadzin yang selalu melantunkan kalimat tauhid. Seperti ini dapat dilihat pada tulisan beliau. Diantara pernyataan beliau, ialah:

1. Manusia telah murtad kepada penyembahan makhluk (paganisme) dan kejahatan agama serta telah keluar dari Laa ilaha Illa Allah. Walaupun sebaian mereka masih selalu mengumandangkan Laa ilaha Illa Allah diatas tempat beradzan”.

2. Manusia telah kembali kepada kejahiliyahan, dan keluar dari Laa ilaha Illa Allah … Manusia seluruhnya -termasuk orang–orang yang selalu mengumandangkan kalimat Laa ilaha illa Allah pada adzan-adzan di timur sampai barat bumi ini tanpa pengertian dan pembuktian nyata- bahkan mereka ini lebih berat dosa dan adzabnya pada hari kiamat; karena mereka telah murtad kepada penyembahan makhluk, setelah jelas bagi mereka petunjuk dan setelah mereka berada di agama Allah.

3. Masyarakat yang menganggap dirinya muslim masuk ke dalam lingkungan masyarakat jahiliyah, bukan karena meyakini uluhiyah kepada selain Allah. Bukan pula karena menunjukkan syi’ar-syi’ar peribadatan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi mereka masuk ke dalam lingkup ini karena tidak beribadah kepada Allah saja dalam hukum-hukum kehidupannya.

4. Orang yang tidak mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hakimiyah –di semua zaman dan tempat- adalah orang-orang musyrik. Tidak mengeluarkan mereka dari kesyirikan ini, walaupun mereka berkeyakinan terhadap Laa ilaha illa Allah dan tidak pula syi’ar (peribadatan) yang mereka tujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

5. Di permukaan bumi ini, tidak ada satupun negara Islam dan tidak pula masyarakat muslim.

Sayyid Quthub mengkafirkan masyarakat kaum muslimin yang ada. Karena –masyarakat muslim itu- tidak menggunakan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam mengatur kehidupan mereka. Akan tetapi, beliau mensifatkan penyembah berhala -dari kalangan kaum musyrikin- dengan pernyataannya: “Kesyirikan mereka yang hakiki bukanlah pada permasalahan ini -yaitu penyembahan berhala untuk mendekatkan diri dan meminta syafaat di hadapan Allah- dan tidak pula islamnya orang yang masuk Islam karena meninggalkan permohonan syafaat kepada para berhala tersebut”.

Perhatikanlah pernyataan beliau ini. Bukankah menyelisihi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini?

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),”Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu,” [an Nahl/16 :36]

إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu”, [an Nisa/4 :48].

Bahkan para Rasul berdakwah mengajak kaumnya untuk tidak menyembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyatakan,

يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Ilah bagimu selainNya”. [al A’raf/7 :59].

Kemudian kaum ‘Ad membantah ajakan nabi mereka dengan menyatakan,

قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ مَاكَانَ يَعْبُدُ ءَابَآؤُنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَآ إِن كُنتَ مِنَ الصَّادِقِينَ

“Mereka berkata,”Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami, maka datangkanlah adzab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” [al A’raf/7 :70].

Demikian juga kaum Nabi Nuh Alaihissallam, ketika didakwahi untuk tidak menyembah orang shalih yang diyakini dapat memberi syafaat dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka menyatakan,

وَقَالُوا لاَ تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمْ وَلاَتَذَرُنَّ وَدًّا وَلاَسُوَاعًا وَلاَيَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

“Dan mereka berkata,”Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) ilah-ilah kamu, dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa’, yaghuts, ya’uq dan nasr,” [Nuh/71 :23].

Ternyata dakwah para Rasul ialah mengajak manusia menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi syirik dalam peribadatan, bukan syirik hakimiyah; tidak seperti yang mereka inginkan. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan dalam pernyataan beliau :

يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

“Wahai Bani Adam, sesungguhnya jika kamu menjumpaiKu dengan membawa sepenuh bumi kesalahan, kemudian menjumpaiKu dalam keadaan tidak menyekutukanKu, sungguh Aku akan memberimu sepenuh pengampunan bumi” [Diriwayatkan oleh At Tirmidzi, no.3463].

يَا مُعَاذُ أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا أَتَدْرِي مَا حَقُّهُمْ عَلَيْهِ قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَنْ لَا يُعَذِّبَهُمْ

“Wahai Mu’adz, tahukah engkau, apa hak Allah atas hambaNya?Dia (Mu’adz) menjawab,“Allah dan RasulNya lebih mengetahui.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,“MenyembahNya dan tidak menyekutukanNya. Apakah engkau tahu, apa hak mereka atas Allah?” Mu’adz menjawab,“Allah dan RasulNya lebih mengetahui.” Beliau menjawab,“Tidak mengadzab mereka.” [Muttafaqun Alaihi]

Subhanallah! Seandainya memang benar perkataan dan pernyataan Sayyid Quthub ini, tentulah apa yang didakwahkan para Rasul tersebut tidak sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan umat manusia. Ini sungguh kesalahan yang sangat fatal sekali.

Pemikiran takfir ini terus merebak di kalangan para pemuda kaum muslimin yang bersemangat. Sehingga, akibatnya mereka mengorbankan diri untuk meledakkan bom, merusak dan membunuh dengan dalih jihad suci melawan orang kafir. Bahkan lebih dari itu, mereka melecehkan para ulama dan mengkafirkannya. Lantaran para ulama itu tidak mengkafirkan orang yang telah kafir. Sungguh mengerikan akibat ditimbulkan dari pemikiran takfir ini.

Maka, sudah seharusnya kaum muslimin senantiasa waspada terhadap kembalinya pemikiran-pemikiran yang merusak ini. Yaitu dengan menuntut ilmu agama dari para ulama, dan tidak tergesa-gesa memvonis kafir (takfir) terhadap orang lain, serta senantiasa menyerahkan permasalahan kepada ahlinya.‎

Mengapa Fitnah Takfir Itu Bergulir hingga Hari Ini?

Bergulirnya fitnah takfir hingga hari ini mempunyai banyak sebab. Di antaranya:

– Dangkalnya ilmu dan kurangnya pemahaman tentang agama.

– Memahami agama tidak dengan pemahaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya.

– Jeleknya pemahaman yang dibangun di atas jeleknya niat.

– Adanya kecemburuan (ghirah) terhadap agama yang berlebihan atau semangat yang tidak pada tempatnya. (Lihat Fitnatut Takfir, hlm. 13 dan 19Zhahiratut-Tabdi’’ Wat-Tafsiq Wat-Takfir Wa-Dhawabithuha, hlm. 14).

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar