Senin, 16 Januari 2017

Ibnu Khalikan Sang Penulis Biografi

Ibnu Khalikan adalah seorang sejarawan Arab Muslim dari keluarga terhormat, keturunan Barmak (Baramikah). Nama lengkapnya adalah abu Abbas Syamsuddin ‎ Ahmad bin Muhammmad bin Ibrahim ‎bin Khalikan‎ al-Barmaki al- Irbili al-Syafi’i . Lahir pada hari kamis 11 Rabi’al-Tsani 608 H/23 September 1211M di Irbil, Irak dan wafat di Damaskus, Suriah 16 Rajab 681H/ 21 Oktober 1282M. Ayahnya bernama Shihabuddin Muhammad, ia adalah seorang guru di Madrasah al-Muzaffariyyah yang didirikan oleh Muzaffaruddin Gokburi (saudara ipar Sultan Saladin, Pendiri Dinasti Ayubiyah [1174-1252]. Ibunya bernama Umm Aminah seorang wanita yang hebat karena berhasil melahirkan tokoh sejarah terkemuka. Di usia dua tahun ayahnya telah meninggal dunia, sebagai pengganti ayah dan gurunya, ia dibimbing oleh Syarifuddin al-Irbili.

Ibnu Khalikan digambarkan sebagai orang shaleh, baik, dan terpalajar, ahli hukum, fiqh, sastra dan ilmu nahwu Perangainya menyenangkan, pembicaraannya serius dan penuh dengan petunjuk. Postur tubuhnya tinggi besar, wajahnya tampan dan sikapnya bersahabat. Ibnu Khalikan merupakan seorang intelektual yang mempunyai pikiran yang tajam, peneliti yang cerdas, adil dalam segala masalah hukum, bersifat sosial. Dia juga menyenangi puisi, khususnya diwan karya Muntanabbi: (penyair berbahasa Arab 915 M-965 M). Oleh sebab itu, dia banyak berteman dengan budayawan dan sastrawan Mesir.

Dalam thabaqat-nya al-Subki al-Syafi’i menguraikan biografi Ibnu Khalikan secara panjang lebar yang semuanya berisi pujian. Demikian juga al-Suyuthi dalam Husn al-Muhadharah fi Akhbar Mishr wa al-Qahairah. Menurutnya, Ibnu Khilikan lahir sekitar tahun 600 H atau delapan tahun sebelum kelahirannya. Ia juga menegaskan bahwa al-Muayyid al-Thusi memberikan sertifikasi kepada Ibnu Khalikan, berguru pada Ibn Yunus; Ibn Syadad; berjumpa dengan para Ulama’ pada zaman itu, menetap di Mesir sekaligus menjadi qadhi> di sana dan akhirnya menjadi qadhi> di Syam. Ibnu Khaldun juga menegaskan bahwa Ibnu Khilikan adalah sosok yang kaya, cerdas, eksentrik, berwawasan luas dan banyak mengetahui sejarah para tokoh. 
Ketika usianya mencapai delapan belas tahun Ibnu Khilikan mulai menuntut ilmu di Mosul Aleppo, 626 H/1229 M ia dibimbing oleh Ulama’ terkenal semisal ‘Izz Ibn Athir ( ahli sejarah), Baha’ Ibn Syaddad (ahli sejarah, fiqh dan hadith) dan Ibnu Ya’isy. Ibnu Khilikan belajar berbagai macam ilmu di antaranya; ilmu hukum, fiqh, hadith, ilmu bahasa, nahwu dan syair . Selanjutnya ia meneruskan studinya di Damaskus di bawah bimbingan Ibnu al-Shalah (ahli fiqh, tafsir, dan hadith). Setelah itu, Ibnu Khilikan mengajar di Halaba, Damaskus Syiria hingga ia merantau ke Mesir pada tahun 636H/1239 M.
 
Kemudian di tahun 646 H/1249 M ia diangkat menjadi wakil (naib) Qadhi al-Qudhat Mesir pada usia 29 tahun . Pada waktu itu ketua pengadilan dijabat oleh Badruddin Yusuf bin Hasan al-Bukhari al-Sinja>ri> atau qadhi> Sinjar. Ibnu Khilikan menikah pada tahun 1252 M di Mesir. Karirnya di bidang hukum berlanjut di Damaskus, di sini ia dipercaya menjadi Qadhi al-Qudhat oleh Sultan Baybars (penguasa dinasti Mamluk) pada tahun 659 H/1261 M. Dalam kedudukannya sebagai qadhi al-Qudhat, ia juga membawahi seluruh pengadilan yang berada di wilayah Suriah. Selama menjabat sebagai ketua pengadilan ia menerapkan madhab Syafi’i. Hakim yang bermadhab Maliki, Hanafi dan Hambali menjadi wakilnya. Kemudian hakim tersebut atas perintah Baybars, pada tahun 664 H/1266 M dipromosikan menjadi ketua pengadilan.

Setelah kurang lebih 10 tahun menjalankan tugasnya di Damaskus, Ibnu Khilikan melepaskan semua jabatannya dan mengajar di Madrasah al-Fakhriyyah Kairo selama tujuh tahun. Kemudian ia ditunjuk lagi menjadi qadhi Syiria pada tahun 676 H/1277 M setelah Baybars meninggal dunia. Untuk kedua kalinya ia melepaskan jabatan tersebut pada tahun 680 H. Setahun kemudian Ibnu Khilikan wafat. Menjelang akhir hayatnya ia mengajar di Madrasah al-Aminiyah.

Ketika gubernur Damaskus, Sunqur al-Asyqar melakukan pemberontakan terhadap Sultan Nasir Muhammad bin Qalawun (sultan Dinasti Mamluk), Ibnu Khilikan dituduh mengeluarkan fatwa yang membenarkan pemberontakan tersebut, sehingga ia dipenjara. Setelah pasukan Sunqur dapat dikalahkan oleh Qalawun (Safar 679 H/1280 M) dan tentara Qalawun dapat memasuki kota Damaskus, Ibnu Khilikan dibebaskan atas perintah langsung dari Sultan Nasir Muhammad bin Qalawun.

Peradilan di Masa Ibnu Khillikan
1. Kondisi Sosial Politik di Masa Ibnu Khillikan.
Ibnu Khillikan hidup pada masa Dinasti Mamluk yaitu sebuah Dinasti Arab terakhir pada abad pertengahan. Dinasti Mamluk sebagaimana namanya, merupakan dinasti para budak yang berasal dari berbagai suku dan bangsa dan menciptakan suatu tatanan oligarki militer di wilayah asing. Wilayah kekuasaan dinasti ini meliputi Suriah dan Mesir, yang sebelumya dikuasai oleh tentara salib. Selama beberapa waktu mereka berhasil menahan laju serangan tentara Mongol pimpinan Hulagu Khan dan Timurlenk. Berkat kegigihan mereka Mesir dapat bertahan dan tetap bisa menyaksikan kesinambungan budaya dan institusi politis mereka.  
Sekitar dua dan tiga perempat abad (1250-1517 M) dinasti Mamluk menguasai Mesir dan Suriah dan dapat memelihara keutuhan daerah ini, meskipun mereka terdiri dari berbagai ras yang berbeda-beda.
Fondasi kekuasaan Mamluk diletakkan oleh Syajar al-Durr, janda Malik al-Shalih (w. 1249 M) salah satu penguasa dari Dinasti Ayyubiyah. Ia adalah seorang budak dari Turki atau Armenia. Pada awalnya ia adalah seorang pengurus rumah tangga dan salah satu harem khalifah al-Musta’shim. Kemudian ia mengabdi pada Malik al-Shalih, ketika ia melahirkan seorang anak laki-laki, khalifah kemudian membebaskannya. Alasan pengangkatan Syanjar al-Durr sebagai sulthanah pertama di mesir adalah adanya persaingan dari kalangan kaum Mamluk itu sendiri. Sebenarnya terdapat beberapa orang yang yang sangat berambisi menduduki jabatan Sultan, seperti Aybak, Baybars dan Qutus. Disamping alasan tersebut, posisi Syanjar al-Durr adalah istri penguasa Dinasti Ayyubiyah.‎

Setelah menjabat sebagai Sulthanah selama kurang lebih delapan puluh hari, posisi Syanjar al-Durr atas kesepakatan para amir digantikan oleh panglima utama kerajaan (atabeg al-‘askar) ‘Izzuddin Aybak. Pada tahun-tahun pertama pemerintahannya, Aybak berusaha menghabiskan sisa-sisa legitimasi Ayyubiyah dengan memecat raja kecil al-Asyraf. Dan melakukan konsolidasi dari seluruh wilayah kekuasaannya, disamping itu dia juga menjaga wilayah perbatasan dari serangan musuh. ‎

Setelah pemerintahan Aybak berakhir (647-655 H/1250-1257 M). Dinasti Mamlukiyah diperintah oleh anak laki-laki Aybak, Sultan Nur al-Din Ali selama dua tahun (655-657H/1257-1259 M). Kemudian digantikan oleh Qutus yang berkuasa pada tahun 657-658 H/ 1259-1260 M). Prestasi terbesar yang diraih Qutus adalah kemenangannya melawan pasukan Tartar Hulagu yang dipimpin oleh Kitbugha dalam pertempuran di Ain Jalut pada tanggal 13 September tahun 1260 M. Dalam pertempuran ini Baybars memimpin barisan depan, dan menetpakan dirinya sebagai panglima perang meskipun demikian kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan Qutus. Karena prestasi yang diraih Baybars menharapkan kota Aleppo sebagai hadiah, dan tanda pengakuan atas gerakan militernya. Namun Sultan tidak mengabulkan permintaan tersebut sehingga dalam perjalanan pulang melalui Suriah Qutus di bunuh oleh Baybars. Dengan meninggalnya Qutus jabatan Sultan di gantikan oleh Baybars. 
Baybars menjadi Mamluk agung yang pertama, penguasa dan pendiri sejati kekuasaan Mamluk. Kemenangan pertamanya ia dapatkan dalam peperangan melawan Mongol di Ain Jalut; tetapi puncak ketenarannya ia dapatkan berkat perjuangan gigihnya melawan Tentara salib. Perlawanan itulah yang menghancurkan inti pertahanan pasukan Franka, dan memungkinkan terwujudnya kemenangan terakhir yang diraih oleh oleh para penerusnya, yaitu Qalawun dan al-Asyraf. 
Kemajuan pesat yang dicapai oleh Baybars meliputi berbagai bidang, baik politik, ekonomi, sosial , hukum maupun angkatan perang. Baybars berhasil mengorganisir angkatan perangnya, membangun kembali angkatan laut, dan memperkuat benteng Suriah. Baybars mengangkat kelompok militer sebagai elit politik. Disamping itu, untuk memperoleh simpati dari kerajaan-kerajaan Islam lainnya, Baybars membaiat keturunan Bani Abbas yang berhasil meloloskan diri dari serangan bangsa Mongol, al-Mustanshir sebagai khalifah. Dengan demikian, khilafah Abbasiyah, setelah dihancurkan oleh tentara Hulago di Baghdad, berhasil dipertahankan oleh dinasti ini dengan Kairo sebagai pusatnya. Ia juga berhasil menggali sejumlah kanal, memperbaiki pelabuhan, serta menghubungkan Kairo dan Damaskus dengan layanan burung pos, yang hanya membutuhkan waktu empat hari. Baybar juga membangun sarana umum, mempercantik masjid, menetapkan pajak untuk negara, zakat dan sedekah. Di antara beberapa monumen arsitektur; yaitu masjid agung di Kairo dan Damaskus, dan sekolah yang menyandang namanya yang masih ada hingga sekarang. ‎

2. Sistem Peradilan di Masa Ibnu Khillikan‎

Sejarah mencatat pada masa akhir Daulah Abbasiyah, keadaan pemerintah telah mengalami kemunduran, demikian halnya dalam masalah peradilan tidak luput dari kerusakan. Hal-hal yang dipentingkan dalam peradilan, yaitu kecakapan hakim dan kebaikan budi pekertinya sudah tidak diperhatikan lagi (seorang hakim yang di angkat adalah mereka yang telah terpilih dan dipandang mempunyai kemampuan yang sempurna dalam ilmu hukum). Orang-orang yang diangkat untuk menjadi hakim, diharuskan membanyar sejumlah uang kepada pemerintah pada tiap-tiap tahun.  
Dengan lemahnya pemerintahan, maka lemah pula kekuasaan hakim dan berangsur-angsur sempitnya daerah hukum yang menjadi wewenang hakim. Hingga kekuasaan kehakiman yang pada awalnya mempunyai kekuasaan yang penuh, pada masa ini hanya mempunyai kewenangan dalam wilayah ahwal al-Shahsiyah (hukum keluarga) saja .
Disamping itu hakim yang terpilih di ambil dari para hakim yang hanya bertaqlid pada suatu madhab. Pihak penguasa atau masyarakat setempat yang menentukan wewenang akan madhab yang dipakai dalam memutuskan suatu kasus. Di Iraq hakim memutuskan perkara dengan madhab Hanafi. Di Syam dan Maghribi, hakim memutuskan perkara dengan madhab Malik dan di Mesir, hakim memutuskan perkara dengan Madhab Syafi’i. 
  
Lain halnya dengan Dinasti Mamluk. Sistem peradilan pada masa Dinasti Mamluk mengalami kemajuan yang cukup berarti bagi sistem peradilan Islam. Baybars merupakan Sultan pertama di Mesir yang mengangkat empat orang hakim mewakili empat madhab yang berkembang pada wilayah kekuasaannya. Keempat hakim tersebut diketuai oleh seorang Hakim Agung (Qadhi al-Qudhat). Adapun madhab yang dianut adalah madhab Syafi’i, hal ini dikarenakan mayoritas penduduk wilayah Mesir, Suriah dan Damaskus pada waktu itu menganut madhab Syafi’i. Inilah yang penulis sebut sebagai sebuah terobosan baru di bidang peradilan. Baybars mengangkat Ibnu Khillikan sebagai Qadhi al-Qudhat pada bulan Dhu al-Qa’dah tahun 659 H/1261 M menggantikan Najmuddin bin Shadruddin (615-679 H). Dalam kedudukannya sebagai Qadhi al-Qudhat, ia juga membawahi seluruh pengadilan yang berada di wilayah Suriah. Adapun hakim dari madhab lain adalah; Syamsuddin Abdullah bin Muhammad ‘Atha’ untuk madhab Hanafi, Zainuddin Abd Salam al-zawawi untuk madhab Maliki dan Syamsuddin Abd Rahman ibn al-Syaikh Abi Umar untuk madhab Hanbali.  ‎

Sebagai hakim agung Ibnu Khillikan berusaha seadil mungkin dalam memutuskan perkara. Kehati-hatian beliau dapat terlihat ketika menangani kasus penduduk yang bermadhab selain Syafi’i. Ibnu Khillikan memberi wewenang penuh kepada wakilnya untuk memutuskan perkara berdasarkan madhab yang dianutnya. Dalam memutuskan perkara sedapat mungkin diputuskan atas kesepakatan bersama. Hal ini yang dianut dalam sistem pengadilan kita yaitu dalam tiap perkara ada satu hakim yang menjabat sebagai ketua dan dua hakim sebagai wakilnya.
Setelah menjabat sebagai Qadhi al-Qudhat Ibnu Khillikan menghabiskan sebagian waktunya untuk belajar ilmu hukum, menjadi imam masjid, berdiskusi dengan ulama’-ulama’ setempat tentang masalah hukum, dan undang-undang, sehingga diperoleh manfaat dari diskusi tersebut.
Karena keadilan dan kepandaiannya dalam berbagai ilmu, Ibnu Khillikan dikenal oleh masyarakat luas, khususnya wilayah Damaskus, Mesir dan Suriah. Setelah menjabat hakim agung selama sepuluh tahun, Ibnu Khillikan di berhentikan oleh Sultan Baybars. Dijelaskan bahwa alasan diberhentikannya Ibnu Khillikan adalah adanya kekhawatiran salah satu menteri dan sahabat Baybars, yaitu Baha’uddin bin Hana. Baha’uddin menginginkan jabatan Ibnu Khillikan sebagai hakim agung. Maka berbagai cara ia gunakan untuk menyingkirkan Ibnu Khillikan sehingga ia berhasil termasuk mempengaruhi Sultan untuk memecatnya.  
Setelah Baha’uddin bin Hana menggantikan posisinya sebagai hakim, masyarakat merasa tidak puas dengan putusan-putusan yang diambil Baha’uddin, selain itu mereka juga tidak menyukai tingkah laku Baha’uddin yang telah menyingkirkan Ibnu Khillikan. Hampi tiap hari sahabat-sahabat Ibnu Khillikan mendatangi rumahnya untuk memberi dukungan supaya ia mau menjabat hakim lagi. Kemudian ia ditunjuk lagi menjadi qadhi Syiria pada tahun 676 H/1277 M setelah Baybars meninggal dunia.

Karya-Karya Ibnu Khilikan
a. Wafayat al-A’yan wa Anba’ Abna’ al-Zaman ( kematian orang terkenal dan sejarah para pelopor zaman)‎

Ibnu Khilikan mulai menulis karyanya yang paling penting Wafayat al-A’yan wa Anba’ Abna’ al-Zaman ( kematian orang terkenal dan sejarah para pelopor zaman) ketika menetap di Kairo tahun 654 H pada usia 46 tahun. Penulisan ini sempat terhenti ketika sampai pada artikel tentang Yahya bin Khalid bin Barmak. Hal ini dikarenakan beliau menjabat sebagai qadhi di Damaskus. Baru pada tanggal 12 Jumadi al-Akhir 672 H/4 Januari 1274 M, beliau melanjutkan kembali tulisannya yang sempat tertunda sekaligus merevisinya.‎

Sebelum muncul Ibnu Khilikan sejarah Islam sempat kehilangan kaya-karya penting tentang biografi para tokoh populer di bidang pemikiran dan karya ilmiyah. Dari sini Wafayat al-A’yan karya Ibnu Khilikan menjadi populer dan dianggap penting sebagai sumber primer catatan biografi dan sejarah sastra. Buku ini dibuat dengan cara mengumpulkan bahan dari berbagai sumber dan disusun berdasarkan urutan abjad. Penggunaan urutan huruf abjad dimaksudkan untuk mempermudah pembacanya. Contoh: Ibnu Khilikan menulis nama orang yang awal hurufnya hamzah kemudian huruf keduanya hamzah juga, selain itu ia juga lebih mendahulukan nama Ibrahim dari pada Ahmad, alasannya huruf ba’ lebih dekan dengan hamzah dari pada ha. Jika ada dua tokoh yang sama namanya, tetapi berbeda keahliannya, maka kedua-duanya ditulis karena menurutnya itu membawa maslahah .‎

Adapun sumber rujukan yang dijadikan dasar penulisan buku ini banyak sekali antara lain: 
1. ‘Izz Ibn Athir. Mukhtasar al-ansab au al-Lubab fi Tahdib al-Ansa
2. Bayasi. Al-I’lam bi al-Hurub al-Waqi’ah fi sadri al-Islam 
3. Azadi. Badai al-Bidayah
4. Ibnu Yunus. Tarikh misra
5. Ibnu Abi al-Tuya. Al-Tarikh al-Kubra
6. Ibnu Khatib al- Baghdadi. Tarikh Baghdadi. dst
Isi buku Wafayat al-A’yan membicarakan (800) tokoh terkemuka kalangan satrawan, penyair, politikus, penguasa dan fuqaha’ yang memberikan kontribusi signifikan dalam berbagai bidang pemikiran. Tokoh yang dimasukkan, Khalikan tidak memasukkan biografi para sahabat Nabi SAW, generasi kedua Islam atau tabi’in dengan sedikit pengecualian, dan semua khalifah. Ini dilakukan karena menurutnya informasi tentang mereka mudah didapat dalam karya biografi dan sejarah lainnya.‎

Wafayat al-A’yan dimaksudkan sebagai ikhtisar sejarah dan merupakan sumber informasi, khususnya tentang peristiwa pada masanya atau hampir semasa dengannnya. Semasa hidupnya Ibnu Khilikan berusaha meningkatkan kualitas buku ini. Hal ini terlihat dari autobiografinya yang penuh dengan perbaikan dan catatan pinggir. Menurut Phillip K. Hitti kitab Wafayat al-A’yan adalah koleksi akurat dan penting yang menghimpun 685 biografi tokoh Islam terkemuka. Karya ini menjadi kamus biografi nasional pertama yang berbahasa Arab. Menurutnya Ibnu Khilikan telah bersusah payah menuliskan dengan baik ejaan nama-nama, menyajikan data yang akurat jejak-jejak genealogi, fakta-fakta aktual, menunjukkan karakteristik individu, menggambarkan beberapa peristiwa penting, seta diperkaya dengan puisi dan anekdot. Hasilnya karya ini merupakan biografi umum terbaik yang pernah ditulis. 
 
Buku ini telah diterjemahkan ke berbagai ba hasa antara lain : ‎
1. Wustanfeld telah mempublikasikan buku ini di Gotenjen sekitar tahun 1835 dan 1843 M.
2. Mac Guckin de Slane menterjemahkannya ke bahasa Prancis dan Inggris lebih dari 2700 halaman (4 jilid) dan terbit di Paris dan Leiden sekitar tahun 1843-1871 M. dengan judul Ibn Khaallikans Biographical Dictionary. 
3. Muhammad Ibn Shakir (w. 1362 M) telah memplubikasikannya dalam edisi Mesir dan diterbitkan oleh Bulaq antara tahun 1275 H/1858 M dan 1299 H/ 1882 M.
4. Di Teheran Iran telah diterbitkan oleh percetakan Hajariyah pada tahun 1284 H/ 1867 M. 5. 
5. Lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Turki di Istambul pada tahun 1280 H/ 1863 M. 
6. Di Amsterdam lebih dari tiga belas biografi dari manuskrip diplubikasikan oleh Pijnappel pada tahun 1845 M
Kegunaan kitab ini adalah jelas nyata, menurut pendapat sarjana oriental Mr. Brockelmann- " Ini adalah salah satu bantuan yang paling utama kepada studi tentang sejarah berkaitan kesusasteraan dan biografis." Oleh karena itu, mempunyai suatu kepentingan yang besar bagi sipil dan sejarah Orang-Orang Islam berkaitan kesusasteraan. Dari penampilan yang pertamanya hingga sekarang reputasinya telah melanjut dan tidak berkurang. Buku ini juga sebagai materi pelengkap para siswa riset Islam seperti halnya para guru dan sejarawan. 

b. al- Tarikh al- Akbar fi Thabaqat al- ‘Ulama wa akhbarihim.
Selain Wafayat al-A’yan wa Anba’ al-Zaman Ibnu Khalikan juga memiliki karya lain yaitu al- Tarikh al- Akbar fi Thabaqat al- ‘Ulama wa akhbarihim. Namun kitab ini sepertinya bukan karya Ibnu Kalikan , tetapi milik Muhammad Baha’uddin, saudaranya yang menjadi qadhi di Ba’labak Libanon.  ‎

c. Karya-karya lain berupa catatan syair-syair yang merefleksi sosok utuh dirinya berikut kondisi sosial politik budaya yang melingkupinya pada saat itu.
 
Salah satu bukti tentang kemasyhuran Ibnu Khilikan, adalah ketika beliau menjabat kembali sebagai qadhi di Syiria, setelah tujuh tahun ditinggalkan dan digantikan oleh Ibnu al-Sha’igh. Kembalinya Ibnu Khilikan sebagai qadhi menjadi hari yang sangat populer. Saat itu koleganya dari kalangan penyair seperti Nuruddin bin Mush’ab dan Rasyiduddin al-Faruqi berdatangan memberi ucapan selamat dan berbagai pujian. Mereka menggambarkan bahwa kembalinya Ibnu Khalikan menjadi qadhi Syam ibarat hari-hari ketika Nabi Yusuf berkuasa di Mesir. Laksana tujuh tahun diliputi krisis berkepanjangan lalu tiba masa subur yang menggembirakan. Tampaknya ini merupakan kritik terhadap kepemimpinan Ibnu al-Sha’igh dan penghormatan terhadap Ibnu Khilikan.
  
Ibnu Khilikan juga memiliki kedekatan dengan beberapa anak penguasa, dan menulis syair yang indah tentang mereka. Diceritakan suatu ketika ketika salah satu dari mereka datang berkunjung ke rumah Ibnu Khilikan, ia menggelar sorbannya sebagai suatu penghormatan, akan tetapi ketika hal tersebut diketahui keluarganya, maka keluarganya melarang tamu tersebut menginjak sorban tersebut. Ibnu Khilikan sangat terpukul dan sangat sedih sehingga ia melantunkan syair yang isinya permohonan agar tidak dilarang bertemu dengan “pujaannya”. Al-Tabrizi mengatakan bahwa pujaan yang dimaksud adalah raja muda al-Mas’ud bin al-Zahir (penguasa Hamata Syiria). 
  
Tuduhan miring lainnya yang ditujukan kepada Ibnu Khilikan dilontarkan warga Damaskus yang menduga ia memalsukan sisilah pribadi, mengonsumsi mariyuana (hasyis), dan menyukai anak laki-laki. Menanggapi hal ini Ibnu Khilikan menolak tuduhan pertama dan kedua akan tetapi ia tidak merespon tuduhan ketiga. Meskipun demikian, hal- hal tersebut tidak mengurangi penghormatan kita terhadap kontribusi beliau di bidang sejarah.
  
Menurut Shalahuddin al-Safadi dalam al-Wafaya>t bi al-Wafaya>t, Ibnu Khalikan meninggal saat masih menjabat qadhi> wilayah Ba’labak Libanon tahun 683 H. Namun ia sama sekali tidak menerima atau meminta baik gaji ataupun tunjangan apapun selain untuk makan sehari-hari. Ibnu Khilikan wafat dalam keadaan miskin dan terlupakan, bahkan masih terlilit hutang yang dilunasi lewat hasil penjualan karya-karyanya. Beliau dimakamkan di sebelah makam seorang zahid bernama Abdullah al-Yunaini. ‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar