Sabtu, 21 Januari 2017

Sejarah Madzhab Dzahiriyah Yang Pernah Ada

Segala Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT.yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan maunahNya kepada kita sekalian.Shalawat dan Salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW. yang membawa kita dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang yakni ajaran agama Islam. Dalam ilmu ushul fiqh dikenal para ulama-ulama yang berjtihad  dalam merumuskan hukum-hukum fiqh, berikut ini Madzhab-madzhab Ahli Sunnah yang masih berkembang, diantaranya adalah Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal. Dan kita juga perlu untuk mngetahui Madzhab-madzhab Sunni yang telah lenyap diantaranya adalah Madzhab Al- Auza’i, Madzhab Ats- Tsauri, Madzhab Al- Laits, Madzhab Adh- Dhahiri dan Madzhab Ath- Thabari. Dan kita harus mengerti ijtihad apa yang telah mereka lakukan? Dan landasan dasar apa yang mereka gunakan, sehingga kita mengetahui hukum-hukum itu diambil. 

Pada kesempatan kali ini saya akan menjelaskan metode ijtihad dari Madzhab-madzhab Sunni yang telah lenyap yaitu dari Madzhab Adh- Dhahiri beliau merupakan salah satu diantara mazhab fiqih kalangan ahlusunnah wal jamaah, dan beliau juga  banyak menghafal hadits-hadits dan merupakan seorang faqih mujtahid atas sebuah mazhab yang berdiri sendiri di luar mazhab empat yang terkenal setelah sebelumnya beliau menjadi mengikut mazhab Asy-Syafi’iyah.

Mazhab Zahiriyyah adalah sebuah mazhab yang membangun fahamnya dengan memahami sumber ajaran Islam secara tekstual. Mazhab Zahiriyyah merupakan salah satu mazhab fikih yang pertama kali muncul di Spanyol dan Afrika Utara. Selain nama Zahiriyyah, aliran ini juga dikenal dengan nama mazhab ad-Daudi. Para pengikut mazhab ini disebut dengan az-Zahiriyyah (Penganut ajaran lahiriyah). Hingga sekarang, pemikiran-pemikiran aliran ini masih bisa ditemukan, bahkan sering menjadi bahan perbandingan ketika melakukan pembahasan-pembahasan kontemporer. Mazhab ini berkembang sejak abad ke-3 hingga ke-8 hijriyah. Mazhab ini pertamakali dibangun oleh tokoh fikih terkenal bernama Daud bin Ali bin Khalaf al-Isfahani (202-270 H) yang berjuluk Abu Sulaiman. Sebagai salah satu aliran yang cukup besar, adalah sangat menarik untuk mengkajinya. Mazhab Zahiriyyah merupakan salah satu hasil dinamika perkembangan pemikiran ummat Islam.
Pembangun Madzhab ini, ialah Abu Sulaiman Daud ibn Ali Al Asfahani yang kemudian dikenalkan dengan nama Daud Ad Dhahiri. Beliau dilahirkan di Kufah dalam tahun 202 H, dibesarkan di Bagdad dan wafat di sana dalam tahun 270 H. Mula-mula beliau bermadzhab Syafi’i, dan amat teguh memegang hadits. Beliau pernah belajar pada Ishaq ibn Rahawaih, salah seorang fuqoha’ madrasah Al Hadits, pada tahun 233 H.
            
Walaupun beliau ini mempelajari madzhab Asy Syafi’i secara mendalam, sedang ayahnya bermadzhab Hanafi, namun pada kemudiannya beliau menentang madzhab Asy Syafi’i, lantaran Asy Syafi’i mempergunakan qiyas dan memandangnya sebagai sumber hukum. Oleh karenanyalah fuqoha’-fuqoha’ Syafi’iyah menentangnya. Daud pernah berkata : “Saya telah mempelajari dalil-dalil yang dipergunakan oleh Asy Syafi’i untuk menentang istihsan. Maka saya mendapati bahwa dalil-dalil itu juga membatalkan qiyas.” Daud berpendapat bahwa nash-nash yang dipergunakan oleh Ahlurra’yi dalam memandang qiyas sebagai dasar hukum, adalah berguna di waktu tidak ada sesuatu nash dari Kitabullah atau Sunnatur Rasul, dan beliau berpendapat bahwa apabila kita tidak memperoleh nash dari Al-Quran dan As-Sunnah, maka hendaklah kita memusyawaratkan hal itu dengan para Ulama, bukan kita berpegang kepada pendapat ijtihad sendiri.
Madzhab beliau ini dikenal dengan nama madzhab Dhahiri, karena beliau berpegang kepada dhahir Al-Quran dan As-Sunnah, tidak menerima adanya ijma’ terkecuali ijma’ yang diakui oleh semua ulama. Madzhab ini diikuti oleh banyak ulama. Diantaranya, ialah anaknya sendiri Muhammad ibn Daud, wafat tahun 297 H. dan Ibnul Mukhallis yang wafat dalam tahun 324 H.

Madzhab ini berkembang di Andalusia hingga abad ke-5 H. kemudian berangsur-angsur mundur, hingga lenyap sama sekali, di abad ke-8.

Pandangan Ulama Dzahiri tentang Ar ra’yu dan sumber hukum lainnya
Mengenai ra’yu dalam hal ini Ibnu Hazm berpendapat bahwa tidak ada ra’yu dalam agama. Seseorang tidak berhak berijtihad dengannya dan tidak sah mengistimbatkan hukum dengannya. Karena nash adalah hukum Allah Swt, sedangkan apa yang dihasilkan oleh ra’yu berarti telah membuat hukum sendiri dan bukan hukum Allah SWT. seseorang juga tidak berhak berpendapat dengan membawa nama Allah kecuali hanya Rasul-Nya. Barang siapa yang berbicara dengan ra’yunya dalam agama sungguh dia telah mengada-ada dan berbohong kepada Allah Swt.
Adapaun dalil-dalil yang digunakan sebagai rujukan yaitu :
1.      Dalil dari nash
Firman Allah SWT.
ما فرطنا فى الكتاب من شىء( الأنعام
Artinya : “Tiadalah kami alpakan sesuatupun di dalam kitab”. (al An’am: 38)
Dalil ini menunjukkan bahwa al Quran adalah penjelas bagi syariah secara mutlak, dan seseorang tidak berhak menambah-nambahkan hukum di dalamnya. Dan juga firman Allah Swt:
يا أيها الذين أمنوا أطيع الله وأطيع الرسول وأولى الأمرمنكم فان تنازعتم فى شىء فردوه الى الله والرسول انكنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر (النساء
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan ta’atilah Rasul-(Nya), dal ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian”. (an Nisa: 59)
Ayat ini secara jelas membatasi hukum-hukum syariah itu hanya kepada al Quran, Hadits dan ijma’ saja. Maka ketika ditemukan perselisihan seharusnya dikembalikan kepada keduanya, dan tidak berhak merujuk kepada yang lain. Sekiranya ra’yu itu adalah tempat untuk diizinkan atau diperbolehkan pastilah akan ada nash yang menyinggung hal itu”.
Firman Allah Swt:
ان يتبعون الا الظن وان الظن لا يغني من الحق شيئا(النجم
Artinya : “Mereka tidak lain hanya mengikuti prasangka sedang sesungguhnya prasangka itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”. (an Najm: 28)
Ibnu Hazm mengambil ayat ini sebagai dasar peniadaannya terhadap hukum yang berlandaskan dugaan. Beliau berkata: “Tidak sah pengambilan hukum yang berlandaskan dugaan secara mutlak”.
Firman Allah Swt:
اليوم اكملت لكم دينكم (المائدة
Artinya : “Pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu”. (al Maidah: 3)
Ibnu Hazm berkata: Inilah agama tidak ada agama selain ini. Adapun ra,yu dan qiyas adalah dugaan dan dugaan itu adalah batil”.
2.      Perkataan Shahabat
Kita dapat menjumpai perkataan sahabat mengenai hal ini, seperti perkataan Umar Ra: (“Hindarilah penggunaan ra’yu kalian dalam agama”). (“Berhati-hatilah kalian terhadap orang yang menggunakan ra’yunya karena sesungguhnya mereka adalah musuh Hadits”). (“Wahai manusia sesungguhnya ra’yu yang benar itu hanya ada pada Rasulullah Saw karena Allah Swt sendiri yang langsung memberitahukannya. Adapun yang ada pada kita hanyalah dugaan dan afektasi semata”). Abu Bakar juga berkomentar: (“Bumi yang mana yang kujumpai dan langit yang mana yang kutempati bernaung, jika aku pernah berpendapat dalam kitab Allah Swt dengan ra’yuku atau terhadap apa yang aku tidak ketahui”).
Mengenai perangkat hukum lainnya yang disepakati jumhur Ulama seperti qiyas dan yang juga menjadi perselisihan Ulama seperti: istihsan, Istishab, Maslah al Mursalah, Urf dan lain-lain, maka mazhab ini tidak memasukkannya sebagai sumber hukum bahkan tidak membolehkan untuk mengambilnya. Kita dapat mengetahui hal ini sebagaimana telah disebutkan bahwa mazhab ini sangat anti terhadap ra’yu dan hanya mengambil hukum dari zhahir nash saja. Sedangkan perangkat-perangkat hukum di atas sangat erat kaitannnya dengan ra’yu.

Sumber-sumber hukum Madzhab Dhahiri
Beliau menerangkan bahwasannya sumber-sumber hukum yang diambil yaitu :
1.      Al Quran
2.      As Sunnah
3.      Ijma’
4.      Dalil
Adapun uraiannya adalah sebagai berikut :
a.       Al Quran
Yaitu sumber yang paling pokok dalam syariah, sumber-sumber yang lain pun merujuk padanya. Adapun kedudukan al Quran adakala sudah dipahami dari konteks kalimatnya sendiri dan tidak membutuhkan penjelasan dari Hadits, dan adakalanya pula membutuhkan penjelasan dari Hadits. Seperti penjelasan ayat yang mujmal yang membutuhkan perincian, semisal ayat tentang shalat, puasa, zakat, haji, maka perinciannya dijelaskan oleh hadits. Dan penjelasan al Quran ini kadangkala jelas bisa langsung difahami dan adapula yang tidak langsung bisa memahaminya kecuali orang yang mempunyai ilmu yang memadai terhadap hal tersebut.
Firman Allah SWT. :
فسألوا أهل الذكر ان كنتم لا تعلمون (النحل: 43,الأنبيا:7
Artinya : ” Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui ” (an Nahl: 43 dan al Anbiya: 7).

Ibnu Hazm berkomentar tentang penjelasan al Quran ini. “penjelasan terhadap al Quran ini akan berbeda hasilnya, sebagian ada yang jelas dan yang lain akan samar yang menyebabkan seeorang cepat memahami dan sebagian yang lain akan lambat memahaminya. Hal ini tergantung kepada orang yang menjelaskannya. Dari hal inilah akan muncul perbedaan pemahaman”. Ibnu Hazm juga mengingkari adanya kontraversi antara ayat-ayat al Quran dengan berkata: “Sungguh benar tidak ada kontraversi dan perselisihan dalam al Quran. Bukti terhadap hal itu adanya al Quran sebagai wahyu, sekiranya kita jumpai kontraversi dalam al Quran berarti kita juga akan menjumpai perselisihan, sedangkan Allah Swt telah menafikan perselisihan di dalamnya melalui firman-Nya:

ولو كان من عندغيرالله لوجدوا فيه اختلافا كثيرا(النساء:82)
Artinya : “Sekiranya al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. (an Nisa: 82).
b.      As Sunnah
Yaitu rujukan kedua yang mendasar dalam syariah. Ibnu Hazm mengartikan dengan menaati apa yang diperintahkan Rasulullah Saw,sebagaimana firman Allah Swt:
وما ينطق عن الهوى ان هو الا وحي يوحى (النجم: 3-4)
Artinya : ” Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al Quran) menuruti kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya”. (an Najm: 3-4)

Ibnu Hazm mengkategorikan nash hanya dari al Quran dan Hadits sebagai sumber hukum pokok, juga mensejajarkan kedudukan al Quran dengan Hadits. Beliau berkata:”perintah Allah dan Rasulnya semuanya fardhu, dan semua larangan Allah dan Rasulnya hukumnya haram. Seseorang tidak pantas berkomentar persolaan ini sunnah atau makruh, keculi dengan nash yang shahih yang menerangkan hal tersebut atau ijma”.

Ibnua Hazm tidak mengkategorikan perbuatan Nabi sebagai hujjah, kecuali sejalan dengan sabda Nabi. Adapun perkataan dan taqrir Nabi beliau memasukkannya secara langsung sebagai hujjah.Contoh sabda Rasulullah Saw:

عن عبد الله بن عمر أن رسول الله صلى الله عليهوسلم كان اذا افتتح الصلاة رفع يديه حذو منكبيه واذارفع رأسه من الركوع رفعهما كذالك أيضا وقال: سمعالله لمن حمده ربنا ولك الحمد, وكان لا يفعل ذالك فىالسجود  (  رواه البخارى

Artinya : “Dari Abdullah bin Umar bahwasanya Rasulullah Saw apabila hendak memulai salat mengangkat tangannya sejajar dengan bahunya, dan apabila ingin bangkit dari ruku’ beliau juga mengangkatnya seperti itu dan berkata: Allah mendengar terhadap orang yang memujinya, Ya Allah segala puji hanyalah untuk-Mu dan Rasulullah Saw tidak melakukan hal demikian di saat bangun dari sujud”. (HR. Bukhari)
c.       Ijma’
Ijma, yang dimaksudkan Ibnu Hazm di sini yaitu terkhusus ijma’ para sahabat. Karena mereka menyaksikan langsung turunnya wahyu. Ibnu Hazm juga mempunyai pendapat yang berbeda dengan pendapat mayoritas Ulama, yaitu tidak ada perbedaan pendapat dalam dalam ijma. Sebaaimana terdahulu beliau tidak mengkategorikan ijma’ secara umum yang meliputi ijma’ para Ulama melainkan hanya terkhusus ijma’ para sahabat saja yang hidup di awal Islam bersama Nabi. Ijma’ inilah yang beliau maksudkan dengan firman Allah Swt:

واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا (ال عمران: 103)
Artinya : “Berpegang tegulah kalian semua kepada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai berai” (al Imran: 103).  Dan firman Allah Swt. :
ولا تنازعوا فتفشلوا وتذهب ريحكم (الأنفال: 46)
Artinya : “Dan jangnlah kalian berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu”(al Anfal:46).

Dari hal ini apabila didapati dalam agama ada kesepakatan dan perselisihan, maka Allah Swt sungguh telah mengabarkan dalam kitab-Nya bahwa perselisihan bukanlah dari sisinya. Allah Swt berfirman:

ولو كان من عند غيرالله لوجدوا فيه اختلافا كثيرا(النسا: 82)
Artinya : Sekiranya al Quran itu bukan dari sisi Allah tentulah mereka akan mendapati perentangan yang banyak dalamnya”.(anNisa:82).
Para mujtahid telah sepakat dari semua mazhab bahwa tidak ada ikhtilaf dalam mengambil perkataan sahabat yang tidak ada lapangan pemikiran dan ijtihad di dalamnya, karena kedudukannya merupakan khabar taukifi dari pembawa risalah. Begitu juga tidak ada perbedaan pendapat apa yang telah disepakati oleh para sahabat secara jelas, atau terhadap apa yang kita ketahui meskipun secara tidak sharih tapi mereka tidak berselisih pendapat di dalamnya. Seperti bagian seperenam dari warisan untuk kakek.
d.      Dalil
Sumber hukum keempat yang dijadikan istimbat hukum oleh Ibnu Hazm az Zhahiri yaitu: “Dalil”. Beliau memaksudkan dalil di sini adalah setiap perkara yang diambil dari ijma’ atau nash yang dapat dipahami maknanya secara langsung dari lafaznya dan bukan membawa keduanya kepada makna lain karena adanya illat. Hal ini berbeda dengan qiyas yang tidak disetujuinya. Karena qiyas mengelurkan illat dan nash kemudian memberikan hukum asal yang sama kepada setiap perkara yang masuk di dalamnya (baca illat). Adapun dalil yang dipakai Ibnu Hazm, yaitu apa yang bersandar kepada nash itu sendiri dan tidak mengeluarkannya kepada proses qiyas. Kalau kita memperhatikan dngan seksama kita dapat mengatakan bahwa dalil yang dipergunakan oleh Ibnu Hazm az Zhahiri sebagai sumber hukum keempat ini, tidak ada bedanya dengan sumber hukum ketiga sebelumnya, hanya saja penyebutan dalil ini merupakan ringkasan dari sumber hukum ketiga sebelumnya.

Metode ijtihad Madzhab Adh Dhahiri

Madzhab Adh Dhahiri yang kelahirannya dibidaniDawud bin Khalaf al-Isbahani, dikenal literalis, dan menentang keras liberalisme dalam berijtihad. Pengangum berat Imam Syafi`i  yang dianggapnya sangat kuat berpegang kepada nash Al-Quran dan Al-Sunnah ini, masyhur dengan predikat "kaku" dan "tidak adaptif terhadap perubahan zaman". Prinsip literal yang dipeganginya membuahkan kritikan keras terhadap metode qiyas karena menurutnya sudah keluar dari nash. Baginya Syariat Allah yang diturunkan kepada umat manusia sudah sempurna, tidak perlu lagi ada penambahan, dan seakan akal sama sekali tidak diberikan porsi dalam berijtihad, misalnya terlihat pada penolakan penggunaan metode ijtihad bi al-ra`yi seperti qiyas, istihsan dan maslahah mursalah. 
Belakangan, ditemukan bahwa dibalik kesan kekakuan mazhab ini ditemukan potensi keluwesan dan progresvitas dalam berijtihad. Metode ijtihad yang kemudian dinamakan "al-Dalid" oleh muridnya, Ibn Hazm Al-Andalusi ini, ternyata berpotensi untuk dikembangkan sebagai metode ijtihad alternatif dalam menjawab tantangan modernitas. Ibnu hazm dalam semua tulisannya menempuh jalan polemik, dia membantah pendapat-pendapat orang dengan disebut dalilnya satu persatu, kemudian didiskusikannya, dan menampakkan kekeliruan-kekeliruan paham itu sambil diterangkan alasan-alasan yang membenarkan pendapatnya dan menyalahkan pendapat orang lain. Kemudian dia berpindah pada Martabat jidal yang kedua yaitu menyalahkan pendapat orang lain dengan perkataan-perkataan mereka sendiri. Ia menempuh jalan ilzam dan ifham sesudah menempuh hujjah dan burhan.‎
            
Sebagian ulama’ membedakan jadal dan ‎munadharah jidal, ialah perdebatan untuk mengalahkan lawan dan memperoleh kemenangan, bukan semata-mata mencari kebenaran. Ia mempergunakan kata jadal untuk perdebatan, perdebatan itu guna mencari kebenaran atau guna mengaburkan kebenaran. Karenanya ia membagikan jidal pada dua bagian :
a.       Jidal yang dipuji, wajib dilakukan untuk menegakkan kebenaran oleh yang sanggup melaksanakannya.
b.      Jidal yang tercela yaitu perdebatan yang tidak berdasarkan pengetahuan atau terus berdebat walaupun kebenaran telah nyata.

Perkembangan Madzhab Dzohiriyah

Pada masa terbaiknya pengikut mazhab ini terdiri dari mayoritas Muslim yang tinggal di kawasan Mesopotamia, Iran bagian selatan, Semenanjung Iberia, Kepulauan Balears dan Afrika bagian Utara. Madzhab ini awalnya memiliki pengaruh pada lembaga peradilan di Irak. Para ulama dari mazhab Zhahiri ditunjuk menjadi hakim kota oleh pemerintahan Baghdad, Syiraz,Isfahan, Firuzabad, Ramlah, Damaskus,Sindh dan Fustat. ‎Di wilayah timur yang dikuasai dinasti Abbasiyah, Mazhab Zhahiri harus bersaing dengan mazhab yang lain, namun karena kurang memiliki kedekatan secara personal dan politik dengan pemerintahan mengakibatkan Mazhab Zahiri kurang populer. Pada masa itu empat mazhab fikih yang besar adalah Hanafi, Maliki, Zhahiri, dan Syafi'i, sedangkan mazhab Hanbali belum dianggap sebagai mazhab fikih tersendiri.

Dengan berbagai sebab seperti politik, dukungan resmi pemerintah atas mazhab lain, mazhab Zhahiri perlahan kehilangan dominasinya di seluruh kawasan Irak dan Persia. Mazhab Zahiri masih berpengaruh di Syam hingga tahun 788 M, juga memegang pengaruh yang kuat di Mesir untuk waktu yang lebih lama, namun pada perkembangannya mereka kehilangan sebagian besar pendukung di timur secara keseluruhan. Meskipun ajaran Zahiri terus bertahan terutama dikalangan ulama dan ahli hadits, masyarakat mulai jarang mengikut mazhab ini sehingga banyak ahli sejarah mulai menyatakannya telah punah. Saat ini, mazhab ini masih diikuti oleh komunitas-komunitas kecil di Maroko dan Pakistan. Banyak ahli hadis di era belakangan yang memiliki kecenderungan untuk mengikuti sebagian metode yang digunakan mazhab Zhahiri yakni tidak secara keseluruhan dan ketat.

Adapun yang mendukung penyebaran mazhab Zahiriyyah antara lain adalah:

Daud az-Zahir menulis pendapatnya dengan dalil-dalil yang cukup kuat.

Murid-muridnya berfungsi sebagai penyebar dan penerus ajarannya, antara lain: Ibnu Hazm (putra Daud az-Zahiri), Abu Yahya Zakaria bin Yahya bin Abdullah Saji’ (w. 307 H), Ibrahim bin Naftawaih (244-323 H) dan Abu Hasan Abdullah bin Ahmad bin al-Mugallas (w. 324).

Dari pengikut aliran Zahiriyyah, terdapat orang-orang yang berpengaruh pada pemerintahan Bani Umayyah seperti qadi Abu al-Qasim Ubadilillah bin Ali an-Nakha’i yang membawahi wilayah kehakiman Khurasan dan Iran. Pada abad ke-empat hijriyah, aliran ini tidak hanya berkembang di Irak dan Iran tapi juga meluas hingga ke Oman dan Sind.

Di dunia Timur, mazhab Zahiriyyah masih memiliki penganut hingga pertengahan abad ke-lima hijriyah. Pada saat itu muncul Muhammad bin Husain bin Muhammad Abu Ya’la al-Farra’ al-Hanbali (w. 458 H), beliau adalah seorang tokoh dari aliran Hanbali, menguasai ushul fikih, mendalami Alquran al-Karim dam Hadis. Beliau juga merupakan seorang qadi, dalam kapasitasnya sebagai qadi, ia berhasil mengeser posisi mazhab Zahiriyyah dan sejak itu pamornya menurun dan digantikan oleh mazhab Hambali.

Pada abad ke-lima yakni di saat mazhab Zahiriyyah mulai mundur di belahan dunia timur, akan tetapi sebaliknya di belahan dunia barat, tepatnya di Spanyol justeru muncul Ibnu Hazm yang menyebarkan dan membangun mazhab Zahiriyyah, sehingga mazhab Zahiriyyah menjadi besar dan mempunyai pengikut yang banyak.

Munculnya Ibnu Hazm di Barat bukan berarti mazhab Zahiriyyah baru dikenal di Spanyol pada priode Ibnu Hazm tersebut. pada akir abad ke-tiga Baqi bin Bukhalat (200-276 H), Ibnu Waddah (w. 286 H) dan Qasim bin Asbagh (w. 340 H) ketiganya ahli fikih dari Spanyol, sekembalinya menuntut ilmu dari dunia timur, mereka membawa ajaran mazhab Zahiriyyah ke Spanyol. Bahkan terdapat ulama fikih dari Iraq yang berkunjung ke Spanyol dengan membawa mazhab Zahiriyyah tersebut.

Mereka yang dimaksud antara lain: Abdullah bin Qasim bin Qasim as-Sayyar (w. 272 H) dan Mundzir bin Sa’id al-Balluti (273-335 H). Setelah priode Mundzir bin Sa’id, tampil pula Mas’ud bin Sulaiman bin Muflih Abu al-Khayyar (w. 426 H). Tokoh yang disebut terakhir ini merupakan seorang mujtahid yang memiliki kebebesan berfikir dan yang menjadi guru utama Ibnu Hazm dalam mempelajari dan mendalami ajaran mazhab Zahiriyyah.[6]

Ibnu Hazm merupakan tokoh yang menjadikan mazhab Zahiriyyah berkembang pesat di dunia Barat. Ibnu Hazam menulis berbagai karya dan mengkader beberapa orang muridnya sebagai upaya mengembangkan dan memperjuangkan mazhab Zahiriyyah, sehingga menurut penilaian Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H) seorang fakih kontemporer Mesir, tidak terdapat tokoh di Spanyol yang tidak memiliki tokoh yang bermazhab Zahiriyyah, dan tidak ada di pelosok Spanyol yang tidak menganut mazhab Zahiriyyah.

Daerah-daerah, selain Spanyol yang sempat dijangkau oleh murid-murid Ibnu Hazm dalam rangka mengembangkan dan mengajarkan mazhab Zahiriyyah antara lain adalah:

Maroko atau Maghribi. Di daerah ini yang berperan menyebarkan dan mengembangkan mazhab Zahiriyyah adalah Muhammad bin Suraih (392-476 H) di Maroko, pada waktu itu dikenal adanya kelompok al-Hazmiyyah, yaitu sekelopok ulama fikih yang menganut secara sungguh-sungguh ajaran Ibnu Hazm. Mazhab Zahiriyyah pernah menjadi mazhab resmi rakyat Maroko, yaitu pada masa pemerintahan Abu Yusuf Ya’qub, al-Manshur (seorang sultan dinasti Muwahhidun) yang memerintah pada tahun 580-595 H.

Baghdad. Di sini, mazhab Zahiriyyah tumbuh dan dikembangkan oleh Muhammad bin Nashr Futuh bin Abdullah al-Asadi al-Humaidi (420-488 H) ahli dalam bidang sejarah dan periwayatan hadis dan diteruskan oleh Abu al-Fadhl Muhammad bin Tahir al-Makdisi (488-507 H).

Iskadariyah. Di daerah ini mazhab Zahiriyyah dilanjutkan dan dikembangkan oleh Muhammad bin al-Walid al-Fikhri (w. 502 H). Sementara itu di Spanyol sendiri sepeninggal Ibnu Hazm, mazhab Zahiriyyah dikembangkan dan diteruskan oleh Abu Rafi’ bin Fadhal bin Ali bin Sa’id bin Hazim atau salah seorang putera Ibnu Hazm yang tidak diketahui kelahiran dan tahun wafatnya, Abdul Baqi bin Muhammad bin Sa’id bin Biryal al-Anshari (416-502 H).

Perkembangan mazhab Zahiriyyah di Syuriah tidak hanya terbatas pada sisi ajaran keagamaan saja, tetapi juga dalam masalah politik praktis. Pada tahun 788 H, sebagian dari tokoh mazhab ini dibawah pimpinan Syihabuddin Abu Hasyim Ahmad bin Muhammad bin Isma’il bin Abdurrahman bin Yusuf (704-792 H) melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Mamluk yang berkuasa saat itu, tetapi pemberontakan itu dapat digagalkan oleh pemerintah yang berkuasa dan pelaku. Akan tetapi tidak semua tokoh mazhab Zahiriyyah ikut dalam pemberontakan tersebut, di antaranya adalah Musa bin Amir Syafaruddin az-Zanji (w. 788 H) dan Ahmad bin Muhammad bin Manshur bin Abdullah Syihabuddin al-Asymuni (w. 809 H).

Pada akhir abad ke-8 awal abad ke-9 H, mazhab Zahiriyyah mengalami kemerosotan jumlah pengikut. Penyebab kemerosotan ini antara lain munculnya buku al-Khuttat (catatan-catatan sejarah yang memuat informasi negatif tentang mazhab Zahiriyyah), buku itu ditulis oleh Ahmad bin Ali bin Abdulkadir Abul Abbas al-Husain al-Ubaidi Taqiyuddin al-Makrizi (w. 845 H) ahli Sejarah dari Persia.

Kedudukan mazhab Zhahiri di dalam Sunni‎

Seringkali mazhab Zhahiri mendapat kritik dari mazhab-mazhab yang lain dalam pengambilan hukum yang mengharuskan mengambil makna literal dari setiap nash yang ada. Kritik keras kebanyakan datang dari ulama mazhab Maliki dan Syafi'i. Imam Abu Bakr Ibnul Arabi, yang ayahnya adalah seorang pengikut mazhab Zahiri menganggap beberapa kaidah hukum mazhab Zhahiri sebagai hal yang tidak dapat diterima. Imam Ibnu Abdil Barr yang awalnya adalah seorang pengikut mazhab Zahiri bahkan tidak memasukkan Dawud az-Zahiri dalam daftarnya mengenai para ahli fikih Sunni terbesar. Imam Nawawi ‎dikatakan menyalahkan metode mereka secara keseluruhan. Imam Adz-Dzahabi  ‎dan Ibnu ash-Shalah meski tidak setuju dengan metode Zhahiri namun mereka tetap membela legitimasi Zhahiri sebagai mazhab yang memiliki landasan ilmiah dalam menetapkan hukum sebagaimana mazhab-mazhab yang lain. Dari kalangan ulama mazhab Hanbali, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah ‎meski juga memiliki kritik terhadap mazhab Zhahiri, ia tetap membela legitimasi mazhab tersebut, dengan menyatakan sebuah retorika bahwa satu-satunya "dosa" mereka adalah "Mengikuti kitab Tuhan mereka dan meneladani Nabinya". Hubungan yang paling pelik adalah antara Zahiri dengan Sufi (Tasawuf), sepanjang sejarahnya, pengikut Zhahiri terus mengkritik dengan keras terhadap ajaran Tasawuf maupun para penganutnya.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar