Rabu, 01 Februari 2017

Imam Nashiruddin Al-Baidhowi Dan Penafsiran Al-Qur'an

Dalam studi Al-Qur’an, nama al-Baidhawi dikenal sebagai salah seorang mufassir yang cukup terkenal dengan kitab tafsirnya Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil. Kitab ini sangat popular baik di kalangan umat Islam maupun non-Islam. Populeritas kitab Tafsir al-Baidhawi di dunia Barat konon menyamai populernya kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuti dan Jalaluddin Al-Mahalli di kalangan umat Islam. Beberapa bagian dari tafsir al-Baidhawi ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Prancis. Bahkan kitab ini lebih luas daripada kitab tafsir Jalalain itu, serta mendalam dan meyakinkan sehingga sering dijadikan sandaran oleh para pencari ilmu terutama ketika berkaitan dengan pembentukkan kata.
Dan atas karunia Allah SWT, kitab ini diterima dengan baik dikalangan jumhur. Diantara meraka ada yang menjadikannya sebagai pijakan dengan melakukan kajian kritis, ada mengerumuninya untuk mengkaji dan membuat hasyiyah (komentar) terhadapnya. Ada yang membuat hasyiyah secara lengkap, ada yang membuatnya untuk sebagian dari kitab tafsir tersebut. Para ulama memberikan perhatian yang besar terhadap tafsir ini. Sehingga banyak sekali hasyiyah dari para ulama yang datang setelahnya. Kalau Al-Dzahabi memperkirakan jumlah komentar terhadap kitab tafsir al-Baidhawi itu sekitar empat puluhan, Edwin Calverley menyebutkan sekitar delapan puluhan, dan ada juga yang menyebutkan lebih dari 120, maka penelitian yang dilakukan oleh Al-Majma’ Al-Malaki telah menemukan lebih dari tiga ratus hasyiyah mendasarkan komentarnya pada tafsir al-Baidhawi. Di Indonesia pun, kitab tafsir ini juga digunakan oleh berbagai Pesantren. Isinya yang cenderung mendukung pandangan-pandangan Asy’ariyah dan juga Sunniy tampaknya yang membuat kitab tafsir ini diterima dengan baik oleh kalangan Pesantren.

Biografi Imam Baidhowi

Al-Imam al-Qadhi al-Mufassir Nashiruddin Abu Sa`id Abu al-Khair Abdullah bin Abi al-Qasim Umar bin Muhammad bin Abi al-Hasan Ali al-Baidlawi asy-Syirazi asy-Syafi`i (bahasa Arab: الإمام القاضي المفسر ناصر الدين أبو سعيد أو أبو الخير عبد الله بن أبي القاسم عمر بن محمد بن أبي الحسن علي البيضاوي الشيرازي الشافعي) lahir di al-Baidha', Persia pada awal abad ke-7 Hwafat di Tabriz pada tahun 685 H/1292, namun sebagian riwayat menyebutkan bahwa ia wafat pada tahun 691 H, adalah seorang ulama di bidang Fikih, Ushul Fiqih,Ilmu Kalam, Hadits, Tafsir dan Nahwu. Karena ia lahir di kota al-Baidla` maka ia dinisbatkan sebagai al-Baidlawi (Orang al-Baidla').

Imam al-Baidlawi memiliki banyak guru, di antaranya:

Ayahnya, Al-Imam Abu al-Qasim Umar bin Muhammad bin Ali al-Baidlawi (Wafat pada tahun 672 H), ia mempelajari darinya fikih mazhab syafi'i, ayahnya adalah seorang Qadhi di Syiraz dan terkenal atas keilmuan dan ketakwaannya, ayahnya sangat memberikan pengaruh terhadap al-Baidlawi, dan ia menulis perkataan-perkataan ayahnya di dalam karya-karyanya.
Asy-Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Kahta'i ash-Shufi, Sahabat al-Baidlawi, ia belajar darinya tentang zuhud dan ibadah.
Asy-Syaikh Syarafuddin Umar al-Busykani az-Zaki (wafat pada tahun 680H), merupakan salah satu ulama besar.
Imam al-Baidlawi memiliki banyak murid, di antaranya:

Asy-Syaikh al-Imam Fakhruddin Abu al-Makarim Ahmad bin al-Hasan al-Jarbardi (Wafat pada tahun 746 H
Asy-Syaikh Jamaluddin Muhammad bin Abi Bakr bin Muhammad al-Muqri'
Asy-Syaikh Ruhuddin bin asy-Syaikh Jalaluddin ath-Thayyar
Al-Qadhi Zainuddin Ali bin Ruzbiha bin Muhammad al-Khanaji (Wafat pada tahun 707 H
Al-Qadhi Ruhuddin Abu al-Ma`ali (Wafat pada tahun 735 H
Tajuddin al-Hanaki

al-Baidawi adalah seorang ulama multidisipliner dalam  ilmu pengetahuan, yaitu ahli dalam bidang tafsir, bahasa arab, fiqh, ushul fiqh, teologi, dan mantiq. Iapun merupakan sosok yang pandai berdebat dan sangat menguasai etika berdiskusi, sehingga pantaslah ia mendapatkan gelar nazzar atau mutabahhir fi maida fursan al-kalam. Al-Baidhawi merupakan salah satu pengikut madzhab syafi’iyah dalam bidang fiqh dan ushul fiqh serta menganut konsep teologi ahl al-sunnah wa al-jama’ah.

Sesuai dengan jabatan dan keahliannya dalam berbagai bidang keilmuan, al-Baidawi dapat disebut sebagai sosok yang unggul dalam masyarakatnya. Salah satu bukti kepandaiannya adalah pujian yang diteriama beliau, yaitu Nasir al-Din (penolong agama). Al-Baidawi hidup dalam keadaan politik yang tidak menentu. Sultan Abu Bakar yang memegang tampuk kekuasaan pada saat itu tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk membangun tatanan masyarakat yang baik. Bukan hanya supremasi keadilan yang lemah, namun juga sikap hedonis dan boros dari para pejabat yang berkuasa. Nampaknya hal inilah yang melatarbelakangi pengunduran diri al-Baidawi dari jabatan hakim agung. Intervensi dari penguasa terhadap lembaga peradilan yang begitu kuat membuat kekhawatiran tersendiri bagi banyak fuqaha’, termasuk al-Baidawi. Mereka khawatir jika diperintah untuk mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan syari’at Islam. Keputusan al-Baidawi ini juga dipengaruhi oleh nasihat yang diberikan oleh pembimbing spiritualnya, Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Khata’i agar al-Baidawi tidak lagi bersentuhan dengan lembaga hukum.

Setelah melepaskan jabatannya sebagai hakim di daerah Syiraz, al-Baidawi mengembara ke Tabriz dan berguru pada ulama setempat. Ia singgah di sebuah majlis dars bagi para pembesar setempat. Karena kehebatan beliau, banyak diantara pembesar setempat memujinya. Dikota inilah beliau mengarang kitab tafsir yang berjudul Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil. Beliau menetap di kota ini hingga ajal menjemputnya. Ada perbedaan diantara ulama tentang tahun wafat beliau, antara lain al-Subki dan Asnawi menyatakan bahwa al-Baidawi wafat pada tahun 691 M, sedangkan Ibnu Kasir menyatakan bahwa beliau wafat tahun 685 M.

Sebagai seorang ulama yang terkemuka, al-Baidawi telah menghasilkan banyak karya tulis diberbagai bidang keilmuan. Karya-karya tesebut antara lain:
Tafsir yang bernama Anwar at-Tanzir wa Asrar at-Ta'wil, Tafsir ini dikenal dengan nama Tafsir al-Baidlawi
Minhaj al-Wushul ila Ilmi al-Ushul, dalam bidang ushul fiqih
Thawali` al-Anwar fi Ushuliddin), dalam bidang ilmu kalam
Al-Ghayatu al-Qashwa fi Dirayati al-Fatwa `ala Madzhab asy-Syafi`iyyah
Syarh al-Mahshul fi Ushul al-Fiqh ar-Razi, dalam bidang ushul fiqih‎
Mirshad al-Afham ila Mabadi' al-Ahkam, Syarh Mukhtashar Ibnu al-Hajib, dalam bidang ushul fiqih
Syarh at-Tanbih Abu Ishaq asy-Syirazi, dalam bidang fikih, kitab ini terdiri dari 4 jilid
Syarh al-Muntakhab fi Ushul al-Fiqh al-Imam Fakhruddin ar-Razi
Lubb al-Lubab fi 'ilmi al-I`rab merupakan ringkasan Kafiyah Ibnu al-Hajib
Al-Adzkiya
Mishbah al-Arwah fi al-Kalam
Muntaha al-Muna fi Syarhi al-Asma' al-Husna
Tuhfatu al-Abrar fi Syarhi Mashabih as-Sunnah al-Baghawi
Risalah fi Maudhu`at al-`Ulum wa Ta`arifuha
Nizhamu at-Tawarikh, menceritakan sejarah negeri Persia dan ia tulis dalam bahasa Persia
Tasbi` al-Burdah yang dinamakan Al-Kawakib ad-Dariyyah Tasbi` al-Burdah al-Bushairiyyah fi Madhi Khairi al-Bariyyah

Wafatnya Sang Imam

Ia wafat pada tahun 685 H/1292, dan ada sebagian riwayat menyebutkan bahwa ia wafat pada tahun 691 H. Quthbuddin asy-Syirazi mewasiatkan agar al-Baidlawi dimakamkan disebelahnya, maka ia dimakamkan di sebelahnya di Kharandab,Tabriz.

Seputar Tafsir Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil

a.      Latar Belakang Penulisan

Kitab tafsir al-Baidhawi dinamainya sendiri dengan Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil. Hal ini tampak dalam dari pernyataan beliau sendiri sebagaimana terdapat dalam pengantar tafsirnya sebagaimana dikutip oleh Al-Dzahabi: “Setelah melakukan shalat istikharah, saya memutuskan untuk melakukan apa yang telah saya niatkan, yaitu mulai menulis dan menyelesaikan apa yang telah saya harapkan. Saya akan menamakan buku ini, setelah selesai penulisannya, dengan Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil”. Alasan al-Baidawi menulis kitab ini adalah sebagaimana yang beliau tuliskan dalam muqaddimah kitab bahwa ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling tinggi derajatnya. Tafsir merupakan pemimpin, fondasi, dan dasar bagi ilmu-ilmu agama yang lainnya.

b.     Bentuk dan Sistematika Penafsiran

Kitab tafsir al-Baidawi ini merupakan salah satu kitab tafsir yang mencoba memadukan penafsiran bi al-ma’sur dengan bi al-ra’yi sekaligus. Dalam hal ini, al-Baidawi tidak hanya memasukkan riwayat-riwayat dari Nabi yang menjadi ciri khas penafsiran bi al-ma’sur, tapi juga menggunakan ijtihad untuk memperjelas analisisnya ataupun argumentasinya. Model seperti ini dinilai dapat mempermudah pemahaman dan pengamalan akan petunjuk kitab suci tersebut, karena mufasir tidak hanya mengutip pendapat ulama terdahulu, melainkan juga menggunakan tinjauan dari pengetahuannya sendiri.

Kitab ini, sebagaimana yang dipaparkan al-Zahabi, merupakan kitab hasil ringkasan dari tafsir al-Kasysyaf dengan meninggalkan unsur-unsur kemu’tazilahan yang terdapat dalam kitab al-Kasysyaf. Namun, terkadang beliau juga mengambil pendapat dari Shahib al-Kasysyaf, al-Zamakhsyari. Selain bertolak pada kitab ini, al-Baidawi juga menggunakan kitab tafsir al-Razy dan juga al-Ashfahani. Terlepas dari pendapat al-Zahabi dan Haji Khalifah tersebut, dalam muqadimahnya, al-Baidawi menyebutkan bahwa ada dua macam sumber yang dijadikan rujukan dalam menulis tafsirnya. Pertama, berdasarkan qaul para sahabat, tabi’in, dan ulama-ulama salaf. Kedua, qaul yang terdapat kitab tafsir sebelumnya. Beliau menerapkan hal ini memang  sebagai salah satu upaya untuk mensarikan pendapat ulama-ulama sebelumnya. Disamping itu, beliau juga memberikan pandangannya sendiri dalam menafsirkan ayat al-Qur’an sehingga pantaslah beliau menyatakan bahwa karyanya adalah langkah independen dari hasil istinbat yang beliau lakukan sendiri.

Dari segi sistematika penyusunannya, kitab tafsir ini diawali dengan menyebutkan basmalah, tahmid, penjelasan tentang kemu’jizatan al-Qur’an, signifikasi ilmu tafsir, latar belakang penulisan kitab, baru kemudian uraian penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan metode al-Baidawi tersendiri. Di akhir kitabnya, al-Baidhawi menjelaskan tentang keunggulan kitab karyanya, mengungkapkan harapan agar kitab ini bisa dimanfaatkan oleh pelajar. Bacaan ‎tahmid dan shalawat menjadi penutup dari kitab ini.

c.       Metode Penafsiran

Tafsir al-Baidhawi ini menggunakan metodologi tahlili (analitis), berupaya menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan urutan urutan mushaf Usmani, dari surat ke surat, dan dari ayat ke ayat, mulai dari al-Fatihah sampai al-Nas. Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, beliau menggunakan berbagai sumber, antara lain ayat al-Qur’an, hadis Nabi, pendapat para sahabat dan tabi’in, dan pandangan ulama sebelumnya. Selain itu, penggunaan tata bahasa dan qira’at juga menjadi suplemen utama guna penguatan analisis dan penafsiran al-Baidawi. Keberadaan cerita-cerita israiliyat dapat ditemukan walau penggunaanya diminimalisir oleh al-Baidawi.

Kisah-kisah Israiliyat yang menjadi bagian penting dalam kitab-kitab sebelumnya, dalam tafsir al-Baidhawi diminimalisir. Kalaupun mengutip kisah-kisah tersebut, al-Baidhawi menyebutkannya dengan menggunakan istilah ruwiya (diriwayatkan) atau qila (dikatakan). Menurut Al-Dzahabi, penggunaan kedua istilah itu menunjukkan bahwa al-Baidhawi mengisyaratkan akan kelemahan kualitas kisah-kisah Israiliyat tersebut yang tidak bisa diterima oleh akal dan logika. 

Contohnya adalah ketika beliau menafsirkan surat Al-Naml: 22;

فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطْتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ زماناً غير مديد يريد به الدلالة على سرعة رجوعه خوفاً منه، وقرأ عاصم بفتح الكاف. فَقالَ أَحَطْتُ بِما لَمْ تُحِطْ بِهِ يعني حال سبأ، وفي مخاطبته إياه بذلك تنبيه له على أن في أدنى خلق الله تعالى من أحاط علماً بما لم يحط به لتتحاقر إليه نفسه ويتصاغر لديه علمه، وقرئ بإدغام الطاء في التاء بإطباق وبغير إطباق. وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ وقرأ ابن كثير برواية البزي وأبو عمرو وغير مصروف على تأويل القبيلة أو البلدة والقواس بهمزة ساكنة. بِنَبَإٍ يَقِينٍ بخبر متحقق
روي أنه عليه الصلاة والسلام لما أتم بناء بيت المقدس تجهز للحج فوافى الحرم وأقام بها ما شاء، ثم توجه إلى اليمن فخرج من مكة صباحاً فوافى صنعاء ظهيرة فأعجبته نزاهة أرضها فنزل بها ثم لم يجد الماء. وكان الهدهد رائده لأنه يحسن طلب الماء.
فتفقده لذلك فلم يجده إذ حلق حين نزل سليمان فرأى هدهداً واقعاً فانحط إليه فتواصفا وطار معه لينظر ما وصف له، ثم رجع بعد العصر وحكى ما حكى، ولعل في عجائب قدرة الله وما خص به خاصة عباده أشياء أعظم من ذلك يستكبرها من يعرفها ويستنكرها من ينكرها.

"Tidak lama kemudian datanglah Hud-Hud seraya berkata: Aku telah menemukan sesuatu yang tidak kamu ketahui. Aku datang dari negeri Saba’ dengan membawa berita yang meyakinkan”. Dalam hal ini, setelah menafsirkan secar ringkas ayat tersebut dan mengemukakan macam-macam bacaan dari lafadh makaksa, saba’ serta bacaan tajwid pada beberapa kata, al-Baidhawi mengemukakan, ”Diriwayatkan bahwa Nabi Sulaiman As setelah menyelesaiakan bangunan Bait Al-Maqdis, lalu bersiap-siap untuk menunaikan ibadah haji”. Setelah mengutip sebuah kisah israiliyat tentang pengembaraan Nabi Sulaiman dari Makkah ke Sana’a tanpa menyebutkan kualitas riwayat tersebut dan juga tidak menafikannya beliau berkata: ”Barangkali di antara keajaiban kekuasaan Allah yang dikhususkan bagi hamba_hamba-Nya terdapat perkara-perkara yang lebih besar darinya, yang menyebabkan orang-orang yang mengetahui kekuasaan-Nya akan mengagungkan-Nya, dan sebaliknya, orang-orang yang mengingkarinya akan menolaknya”.

Sebagaimana telah disebutkan bahwa penggunaan tata bahasa dan qira’at menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat analisis dan penafsiran yang dilakukan al-Baidhawi. Dengan demikian pendekatan bahasa menjadi ”menu utama” dalam setiap penafsirannya.

Adapun langkah operasional penafsiran al-Baidhawi dalam kitabnya ialah mula-mula al-Baidhawi menyebutkan tempat turun surat (Makki atau Madani) beserta jumlah ayat yang menjadi obyek. Penjelasan makna ayat baik menggunakan analisis kebahasaan, hadis nabi, maupun qira’ah menjadi langkah selanjutnya yang diterapkan al-Baidhawi. Pada bagian akhir surat, beliau menyertakan hadis-hadis yang menerangkan tentang keutamaan surat yang sedang ditafsirkan. Lebih lanjut, al-Baidawi juga menggunakan metode munasabah ayat antara suatu ayat dengan ayat lain.
d.     Corak Penafsiran

Sebagaimana yang al-Zahabi kutip dari shahib al-kasyf al-Zunun, bahwa al-Baidawi dalam menulis tafsirnya merujuk pada al-Zamakhsyari dalam hal I’rab, Ma’ani, dan Bayan, al-Razy dalam hal filsafat dan kalam, jugapada al-Ashfahani dalam hal asal-usul kata.

Dalam hal penetapan hukum, tafsirnya dipengaruhi oleh teologi ahlus-sunnah, yakni dipengaruhi oleh tafsir Mafatih al-Ghaibi karya Imam Fakhruddin ar-Raziy. Walaupun begitu tafsir ini merupakan ringkasan dari tafsir Al-Kasysyaf, namun beliau meninggalkan aspek-aspek kemuktazilahannya. Namun kadang dalam beberapa hal, beliau sependapat juga dengan pendapat penulis al-Kasysyaf.

Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, al-Baidhawi sebenarnya tidak memiliki kecenderungan khusus untuk menggunakan satu corak yang spesifik secara muthlak, misalnya fiqh, aqidah atau yang lainnya.Karyanya ini justru mencakup berbagai corak, baik kebahasaan, akidah, filsafat, fiqh, bahkan tasawuf. Tentunya ini didukung oleh basis awal keilmuan beliau dan juga aspek-aspek yang mempengaruhi beliau dalam penafsiran, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Yang jelas, sebagai seorang Sunni, penafsiran al-Baidhawi memang cenderung kepada madzhab yang dianutnya tersebut. Dan secara otomatis, kitab tafsir ini lebih kental nuansa teologisnya.

Dalam hal penetapan hukum, tafsirnya dipengaruhi oleh teologi ahlus-sunnah, yakni dipengaruhi oleh tafsir Mafatih al-Ghaibi karya Imam Fakhruddin ar-Raziy. Walaupun begitu tafsir ini merupakan ringkasan dari tafsir Al-Kasysyaf, namun beliau meninggalkan aspek-aspek kemuktazilahannya. Namun kadang dalam beberapa hal, beliau sependapat juga dengan pendapat penulis al-Kasysyaf. Seperti halnya ketika beliau menafsirkan surat Al-Baqarah: 275;

الَّذِينَ يَأْكُلوُنَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ

Kadang pula, beliau mengemukakan pandangan kaum muktazilah, namun pada akhirnya beliau mentarjih pandangan madzhab ahlus-sunnah. Seperti halnya ketika beliau menafsirkan surat Al-Baqarah:2-3:

ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ{2} الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ {3}

Sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang yang percaya kepada yang ghaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka”.

Setelah memberikan penjelasan secukupnya mengenai ayat tersebut, al-Baidhawi mencoba untuk mengemukakan makna ”iman” dan ”munafik” menurut pandangan madzhab ahlus-sunnah, mu’tazilah, dan khawarij. Namun pada akhirnya beliau mentarjih pandangan masdzhab Ahlus-sunnah.

Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, al-Baidhawi sebenarnya tidak memiliki kecenderungan khusus untuk menggunakan satu corak yang spesifik secara muthlak, misalnya fiqh, aqidah atau yang lainnya. Karyanya ini justru mencakup berbagai corak, baik kebahasaan, akidah, filsafat, fiqh, bahkan tasawuf. Tentunya ini didukung oleh basis awal keilmuan beliau dan juga aspek-aspek yang mempengaruhi beliau dalam penafsiran, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Yang jelas, sebagai seorang Sunni, penafsiran al-Baidhawi memang cenderung kepada madzhab yang dianutnya tersebut. Dan secara otomatis, kitab tafsir ini lebih kental nuansa teologisnya.

Di samping itu, al-Baidhawi memberikan perhatian terhadap ayat-ayat alam semesta (ayat al-kauniyyah). Ketika menjumpai ayat-ayat semacam itu, beliau tidak sampai membiarkannya tanpa memberikan penjelasan yang panjang lebar untuk menerangkan hal-hal yang menyangkut alam semesta dan ilmu-ilmu kealaman. Hal inilah yang menguatkan perkiraan al-Dzahabi bahwa dalam hal seperti ini al-Baidhawi terpengaruh oleh penafsiran Fakhruddin ar-Raziy. Sebagai contoh ketika beliau menafsirkan Qs. Al-Shaffat: 10;
فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ{10} ”

Maka ia diburu oleh bola api yang menyala-nyala serta menyilaukan”
Dalam hal ini beliau memberikan penjelasan tentang apa yang disebut dengan syihab (bola api) dalam ayat tersebut. Al-Baidhawi menyebutkan bahwa ”Dikatakan bahwa bola api itu adalah uap yang menguap kemudian menyala.

Dari segi sistematika penyusunan, kitab tafsir yang terdiri dari jilid ini, diawali dengan menyebutkan basmalah, tahmid, penjelasan tentnag kemukjizatan Al-Qur’an, signifikansi ilmu tafsir, latar belakang penulisan kitab, baru kemudian diuraikan penafsirannya terhadap Al-Qur’an. Di akhir kitab tafsirnya, al-Baidhawi berupaya untuk ”mempromosikan” keunggulan dan kehebatan tafsirnya yang dikemas dengan menggunakan bahasa yang singkat dan praktis dengan harapan agar dapat dikonsumsi secara mudah oleh para pemabaca. Bacaan tahmid dan shalawat menjadi penutup kitab tafsir ini. Tafsir ini memperlihatkan kepenguasaan dan kedalaman ilmu pengarangnya, tetapi juga bercorak ringkas. Beliau tidak mencantumkan satu kata pun jika tanpa adanya pertimbangan. Karena itu banyak ditulis catatan pinggir (hasyiyah) untuk menerangkan kepelikan-kepelikannya dan menguraikan rumusan-rumusannya. Diantara catatan-catatan pinggir tersebut adalah catatan pinggir Imam Syihab al-Khalaji, hasyiyah Zadah, dan hasyiyah Al-Nawawi. Banyaknya hasyiyah ini mengindikasikan sangat ringkasnya kitab tafsir al-Baidhawi ini.
Kitab tafsir ini dikenal dengan sebutan Tafsir al-Baidhawi. Tafsir ini merupakan salah satu kitab yang populer di dunia Islam, yang memiliki banyak manfaat, gaya bahasa yang indah, perumpamaan yang manis, dan banyak diminati para pakar dan cendekiawan terkemuka untuk mengkaji dan memberi catatan pinggir (komentar) terhadapnya.

Isinya dibuat semodel ringkasan (ikhtishâr), mengandung berbagai pemikiran, pandangan-pandangannya diarahkan pada banyak dimensi gramatika bahasa, fiqh, dan ushul yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an, dan begitu juga dari sudut pandang bacaan (qirâat) dan makna intrinsik ayat (isyârât), serta mengkombinasikan antara tafsir dan takwil berdasarkan kaidah-kaidah bahasa dan syar’i.

Metode penafsirannya dibuat sebagaimana umumnya kitab-kitab tafsir, menyebutkan nama surat, mengaitkan dengan konteks turunnya, baru menafsirkan ayat demi ayat, serta mengangkat hadis tentang keutamaannya pada akhir surat tersebut.

Penafsiran yang dilakukan al-Baidhawi dalam hal gramatika bahasa, ma’ani, dan bayan merujuk pada kitab Al-Kasysyâf karya Az-Zamakhsyari, sampai-sampai dikategorikan sebagai “ikhtishâr al-Kasysyâf” karena itu. Akan tetapi, al-Baidhawi meninggalkan pandangan-pandangan Mu’tazilahnya dan berpegang pada madzhab Asy’ariyah dalam masalah teologi dan kalam, demikian menurut adz-Dzahabi. Selain itu, juga merujuk pada kitab At-Tafsîr al-Kabîr milik Ar-Razi dalam kaitannya dengan hikmah dan kalam, serta Jâmi’ at-Tafsîr karya Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kaitannya dengan pembentukan kata, makna intrinsik, dan isyarat-isyarat batin dari ayat.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar