Rabu, 01 Februari 2017

Pandangan Imam Ar-Roghib Al-Asfahani Dalam Al-Qur'an

Sejauh penelusuran yang penulis lakukan belum ditemukan biografi secara lengkap yang membahas tentang kepribadian, sejarah kehidupannya maupun basic intelektual al-Raghib al-Asfahani. Satu-satunya rujukan utama yang penulis gunakan adalah melalui karyanya mu’jam al-Mufradat li alfaz al-Qur’an yang ditahqiq oleh Nadim Mara ‘Usyaily. Sehingga informasi yang didapat sebatas nama dan tempat tinggal, dan karya-karyanya yang belum sempat penulis jumpai.

Nama lengkapnya, Abul Qasim Al-Husain bin Muhammad bin Al Mufadal. Al-Asfahani adalah nisbah dari tempat asalnya yaitu kota Asfahan. Akan tetapi beliau hidup di kota Bagdad. Tidak diketahui kapan beliau lahir. Yang pasti, melalui karya-karya yang dihasilkan dapat disimpulkan bahwa beliau adalah seorang ahli sejarah dan sastra, pakar dalam ilmu balaghah (retorika) dan sya’ir. Wafat tahun 502 H/1108. Diantara buah penanya yang yang sangat berharga, adalam Mu’jam Mufradat Li Alfadzil Quran. Kitab ini mengupas makna al-Qur’an dengan menyajikan kosakata didalamnya dan menyusunnya sesuai urutan abjad dan menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam kosakata tersebut.

Keahliannya di bidang bahasa  dan segala cabangnya tampak dalam uraian kosa kata lafaz-lafaz dan pengertian-pengertian yang ditunjukkannya menurut letak kata-kata dalam rangkaian kalimat

Dalam kajiannya ini, beliau semata-mata memfokuskan pada hakekat al-Qur’an dan wataknya sebagai teks bahasa. Ini berarti bahwa kajian ini memperlakukan al-Qur’an sebagai kitab agung berbahasa Arab, dan pengaruh sastrawinya yang indah.

Bagi al-Asfahani, al-Qur’an merupakan kitab artistika Arab yang sakral. Setelah menuntaskan kajiannya pada aspek sastrawi tersebut, al-Asfahani mengarahkannya pada kepada kandungan ayat dengan mengambil dan menukil apa saja yang dikehendakinya dan sesuai dengan bahasan.

Pandangan al-Asfahani tentang al-Qur’an.

Al-Asfahani adalah seorang pemikir yang sangat handal dalam bidang al-Qur’an. Diantara pemikirannya tentang al-Qur’an tampak pada ayat-ayat serta ungkapan yang dipakai dalam mukaddimah mu’jam Mufradat li alfaz al-Qur’an. Diantaranya adalah sebagai berikut:

· انا انزلناه قرأنا عربيا لعلكم تعقلون
· وهذا كتاب مصدق لسانا عربيا لينذر الذين ظلموا
· إنه لقرأن كريم في كتاب مكنون لايمسه إلا المطهرون
· ولو أن ما في الارض من شجرة اقلام والبحر يمده من بعده سبعة ابحر ما نفدت كلمات الله
· قل هوللذين امنوا هدا وشفاء والذين لا يؤمنون في اذانهم وقروهو عليهم عمى
· يتلوا صحفا مطهرة فيهاكتب قيمة
Sebelum menguraikan pandangan Al-Asfahani mengenai al-Qur’an, menurut penulis, bukan hal yang mudah membuat batasan definisi al-Qur’an secara logika dengan mengelompokkan segala jenis, bagian-bagian serta ketentuan-ketentuan khusus, mempunyai genus, differentia dan propium, sehingga definisi al-Qur’an mempunyai batasan yang benar-benar konkrit.

Adapun definisi yang konkrit untuk al-Qur’an ialah menghadirkannya dalam pikiran atau dalam realita misalnya menunjuk  al-Qur’an sebagai bacaan yang tertulis dalam mushaf atau terbaca dengan lisan. Dengan demikian al-Qur’an adalah bismillahi ar-rahmani al-Rahim, ahhamdu lillahi rabbi al-alamin,dan seterusnya sampai dengan min al-jinnati wa al-nas.‎

Para ulama menyebutkan definisi al-Qur’an yang mendekati maknanya dan membedakannya dari yang lain dengan menyebutkan bahwa, Qur’an adalah Kalam atau Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang pembacaannya merupakan suatu ibadah. Dalam definisi tersebut terdapat batasan “kalamullah”, hanya diturunkan kepada Nabi Muhammad, bukan nabi-nabi yang lain, serta pembacaannya merupakan suatu ibadah, ini mengecualikan hadis ahad dan hadis qudsi.

Pada dasarnya al-Asfahani juga mempunyai batasan yang sama dengan pendapat diatas, di mana kata al-Qur’an mempunyai kekhususkan atau batasan kitab yang hanya diturunkan kepada Nabi Muhammad. Dengan pengertian ini dapat membedakan kitab-kitab lainnya, seperti, Taurat, Injil dan Zabur.

Adapun untuk merumuskan pandangan Al-Asfahani tentang al-Qur’an perlu dikaji terlebih dahulu kupasan akar kata dari huruf qa, ra’, ‘a. Qara’a mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun, dan qira’ah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun. ‎Qur’an pada mulanya seperti qira’ah, yaitu Masdar (infinitive) dari kata qara’a, qira’atan, qur’anan. Al-Asfahani mengutip ayat

إن عليناجمعه وقرأنه فإذا قرأناه فاتبع قرأنه

Artinya: “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya. (Q.S. al-Qiyamah (75): 17-18.)

Qur’anahu disini berarti qira’atuhu (bacaannya/cara membacanya). Jadi kata itu adalah Masdar wazan (konjungsi, tashrif) dari lafaz “fu’lan” dengan fokal “u” seperti “ghufran” dan “syukran“. Menurut Al-Asfahani, lafaz qira’atuhu, qur’an, qira’atan dan qur’anan, mempunyai arti yang sama. Sedangkan al-Qur’an dikhususkan sebagai nama bagi kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, sehingga Qur’an menjadi nama khas kitab itu.‎

Di samping itu, pandangan Al-Asfahani  tentang al-Qur’an juga dapat dilihat dalam uraiannya tentang beberapa nama dan sifat-sifat al-Qur’an. Maka  penulis akan menguraikan sekilas tentang ungkapan Al-Asfahani  mengenai nama-nama al-Qur’an. Di antara nama-nama al-Qur’an adalah sebagai berikut:

1. Al-Qur’an

إن هذا القران يهدي للتي هي أقوم ويبشر المؤمنين الذين يعملون الصالحات أن لهم أجرا كبيرا

Artinya: “Sesungguhnya Al Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.”

2. Al-Kitab

لقد أنزلنا إليكم كتابا فيه ذكركم أفلا تعقلون

Artinya: “Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya.”

3. Al-Furqan.

تبارك الذي نزل الفرقان على عبده ليكون للعالمين نذيرا

Artinya: “Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”

4. Al-Zikr

إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون

Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”

5. Al-Tanzil

وإنه لتنزيل رب العالمين

Artinya: “Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam”

Dari berbagai indikasi diatas, penulis dapat merumuskan pandangan al-Asfahani mengenai al-Qur’an adalah kitab agung yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad dengan bahasa Arab, serta menjadi petunjuk bagi umat manusia, karena keluasan muatannya.

Perhatian Al-Asfahani terhadap al-Qur’an juga terlihat dalam beberapa kupasan kata-kata yang berhubungan dengan ilmu-ilmu al-Qur’an. Misalnya tentang:

1. Muhkam dan Mutasyabih.

Meskipun tidak secara panjang lebar beliau mengemukakan konsepsi tentang muhkam dan Mutasyabih, namun ketika mengupas tentang akar kata Syabaha dan hakama, dapat diketahui bahwa pandangan beliau tentang muhkam adalah sebagai berikut:

Menurut bahasa, muhkam berasal dari kata-kata hakamtu al-dabbata wa ahkamtu yang artinya saya menahan binatang itu. Kata al-hukmu berarti memutuskan antara dua hal atau dua perkara. Maka ‎hakim adalah orang yang mencegah yang zalim dan memisahkan antara yang hak dengan yang batil dan antara kebenaran dan kebohongan. Dikatakan ‎hakamtu al-sqfihi wa ahkamtuhu artinya saya memegang kedua tangan orang dungu. Juga dikatakan hakamtu al-dabbata wa ahkamtuha, artinya saya memasang hikmah pada binatang itu. ‎Hikmah dalam ungkapan ini berarti kendali yang dipasang pada leher, ini mengingat bahwa ia berfungsi untuk mencegahnya agar tidak bergerak secara liar. Dari pengertian inilah lahir kata hikmah, karena ia dapat mencegah pemiliknya dari hal-hal yang tidak pantas.

Muhkam berarti sesuatu yang dikokohkan. Ihkam al-kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang sesat. muhkam adalah sesuatu yang tidak mengandung syubhat di dalamnya baik secara lafaz maupun makna. Jadi ayat-ayat yang muhkam adalah ayat yang secara lahir sudah jelas dan pasti sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman atau membutuhkan pemahaman atau pemikiran yang mendalam.

Adapun Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. ‎Dan syubhah ialah keadaan di mana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara keduanya secara konkrit maupun abstrak. ‎Jadi ayat yang Mutasyabih adalah ayat yang bermakna samar atau tidak pasti, yakni, ayat-ayat yang masih membutuhkan pemahaman dan pemikiran yang mendalam, sehingga sangat interpretable‎

Adapun ayat-ayat yang Mutasyabih dapat dibagi juga menjadi 3 bagian. Yaitu; 

Pertama, Mutasyabih dari segi lafaznya saja (Mutasyabih Lafzi), ‎
Kedua, Mutasyabih dari segi maknanya saja (Mutasyabih Maknawi), dan ‎
Ketiga, Mutasyabih lafaz sekaligus maknanya (Mutasyabih lafzan wa ma’nan). 

Adapun Mutasyabih lafzi dibagi menjadi 2, 

Pertama, yaitu makna yang kembali pada lafaz-lafaz tunggal. Adakalanya disebabkan oleh keasingan lafaz tersebut sehingga tidak mempunyai kemungkinan terhadap arti yang lain, Misalnya kata al-Abu, yaziffuna.Adakalanya disebabkan oleh musyarakah, misalnya lafaz al-yadi dan al-‘aini. ‎
Kedua, makna yang kembali pada jumlah kalimat yang .tersusun. 

Dalam hal ini dibagi menjadi 3 bagian, 

Pertama adalah disebabkan oleh ringkasnya perkataan. Misalnya ayat wa in khiftum alla tuqsithu fi al-yatama fankihu ma thaba lakum mina al-Nisa’i. ‎
Kedua, disebabkan oleh panjangnya perkataan, misalnya laisa kamislihi syai’un. Karena jika dikatakan laisa mislahu syai’unmaka pendengar akan lebih jelas. ‎
Ketiga, karena susunan kalimat. Misalnya anzala ‘ala ‘abdihi al-kitaba walam yafal lahit ‘iwajan qayyiman. Susunan sebenarnya adalah al-kitaba qayyiman walam yafal lahu ‘iwajan.

Sedangkan Mutasyabih Maknawi adalah sifat-sifat Allah dan sifat-sifat hari kiamat. Karena sifat-sifat tersebut tidak digambarkan secara jelas, sehingga kita belum mendapat gambaran sebenarnya tentang sifat-sifat tersebut dan tidak bisa merasakan kehadirannya karena sifat itu tidak berbentuk jenis yang dapat dirasakan.

Adapun Mutasyabih Lafzan wa Ma’nan terbagi menjadi 5 bagian, pertama: untuk menutupi karena keumuman dan kekhususan, misalnya uqtulu al-Musyrikina. Kedua, karena keadaan seperti wajib dan sunnah, misalnya fankihu ma thaba lakum. Ketiga, karena masa seperti nasikh dan mansukh. Misalnya,ittaqu allaha haqqa tuqatihi. Keempat, karena tempat dan kondisi atau latar belakang turunnya ayat tersebut, Misalnya walaisa al-birru bi’an ta’tu al-buyuta min dhuhuruha, innama al-nasi’u ziyadatun fi al-kufri. ‎Para mufassir yang tidak memperhatikan sebab turunnya ayat tersebut serta tidak memahami kebiasaan orang jahiliyah, maka akan terjebak pada penafsiran dan pemahaman yang salah terhadap ayat tersebut. Kelima karena adanya syarat-syarat khusus yang menjadikannya suatu perbuatan itu menjadi sah atau tidak sah. Seperti syarat-syarat sholat dan syarat-syarat nikah.‎

Demikianlah, ketika sebab-sebab tersebut dijelaskan secara eksplisit maka akan diketahui bahwa setiap hal yang disebutkan oleh para mufasir dalam tafsirnya tentang ayat-ayat Mutasyabih maka tidak akan terlepas dari pembagian ini.

Menurut al-Asfahani tentang kemungkinan mengetahui ayat Mutasyabih ada tiga yaitu, pertama, tidak ada kemampuan bagi manusia untuk mencapai makna yang sebenarnya sehingga hanya Allah saja yang bisa mengetahui makna ayat-ayat Mutasyabih, misalnya kapan terjadinya bari kiamat. Dan huruf-huruf muqatha’ah dalam al-Qur’an, Kedua, ada cara bagi manusia untuk mengetahui makna ayat-ayat Mutasyabih, seperti mengetahui makna lafaz-lafaz asing, serta hukum-hukum yang sulit dimengerti. Ketiga, hanya orang-orang yang mendalam ilmunya dan mempunyai keahlian khusus yang bisa memahami maksud dari ayat-ayat Mutasyabih. Pada bagian ini memang dikhususkan bagi orang-orang yang dikehendaki oleh Allah dapat memahami ayat-ayat Mutasyabih. ‎

Hal ini didasarkan pada firman Allah berikut ini:

هو الذي أنزل عليك الكتاب منه ايات محكمات هن أم الكتاب وأخر متشابهات فأما الذين في قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة وابتغاء تأويله وما يعلم تأويله إلا الله والراسخون في العلم يقولون امنا به كل من عند ربنا

Artinya: “Dialah yang menurunkan padamu Al-Kitab. Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkanwt yang merupakan induk Al-Kitab dan yang lain mutasyabihat. Akan tetapi, orang-orang yang di dalam hatinya terdapat kesesatan mengikuti apa yang mutasyabihat (sesuatu yang tidak jelas) dari Al-Kitab untuk membuat fitnah dan mencari ta’wi-nya. Padahal, yang mengetahui ta’wil-nya hanyalah Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya yang mengatakan kami meyakininya (Al-Kitab) setiap berasal dari sisi Tuhan kami.” (Q.S. Ali ‘imran (3):7)

Ayat di atas berbicara mengenai gerak ittiba’, yaitu gerak mentalitas bukan material pada yang ‎mutasyabih, dan gerak ini berusaha mewujudkan dua sasaran melalui keterangan maf’ul li ajlihi kata ‎ibtigha’a, yaitu “fitnah” dan “Ta’wil”. Ini berarti bahwa gerak mentalitas merupa­kan gerak yang berorientasi pada “sasaran” dan “tujuan”, sebab ia merupakan gerak yang “mengikuti” bukan gerak “kembali”.‎

Oleh karena itu, pengertian yang dimaksud dengan kata “ta’wil” di sini adalah “sampai pada tujuan”. Makna ini sesuai dengan makna “untuk membuat fitnah”. Tujuan dari mengikuti yang mutasyabih adalah membuat fitnah dan sampai pada tujuan dan akibatnya. Pembacaan ayat di atas berhenti pada nama “Allah”, dan kalimat selanjutnya wa ar-rasikhuna fi al-‘ilmi yaquluna dianggap sebagai kalimat baru. Sementara itu, ‘ataf pada ayat ini dianggap sebagai pengkontrasan antara dua situasi dan dua kelompok (pengikut mutasyabih dan pengikut dalam kalimat berikutnya).‎

Kesalahan ulama kuno dalam memahami ayat di atas berasal dari kesalahan mereka dalam memahami makna “ta’wil”, dan di dalam menarik kesimpulan bahwa ayat tersebut membuat hukum atau aturan umum terhadap yang mutasyabih. Ta’wil yang dilarang menurut maksud ayat tersebut adalah ta’wil yang mengarah pada fitnah, dan ta’wil yang hanya diketahui oleh Allah adalah ta’wil yang mengarah pada “tujuan” dan “akibat” yang tidak diketahui oleh manusia.‎

2. Nasikh dan Mansukh

Para ulama dalam menetapkan pengertian naskah berpegang pada dua teks (ayat) Al-Qur’an yang salah satunya makkiyah (Q.S. al-Nahl (16): 101dan yang lain madaniyah. (Q.S. al-Baqarah (2): 106

Teks  makkiyah adalah

وإذا بدلنا اية مكان اية والله اعلم بما ينزل قالوا انما انت مفتر  بل اكثرهم لايعلمون

Artinya; ”ِِApabila kami menggantikan sebuah ayat pada ayat lain, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata “sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mengada-ada saja” bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.”

Dalam konteks ini, “penggantian” ayat dengan ayat lain berarti perubahan hukum yang ada pada suatu teks dengan teks lain dengan tetap mempertahankan kedua teks tersebut. Oleh karena itu, struktur ayat mengikuti pola kondisional (syarat), sementara isi kalimat (jawab syarat) berupa tuduhan orang-orang Makkah terhadap Muhammad sebagai kebohongan. Tuduhan ini hanya mengindikasikan bahwa menurut anggapan mereka ada kontradiksi dalam teks.

Ayat lain yang dipegangi para ulama dalam menentukan makna naskah adalah ayat madaniyyah,yaitu:

ما ننسخ من ا ية او ننسها نأت بخير منها او مثلها الم تعلم ان الله كل شيئ قدير

Artinya; “Ayat mana saja yang kami nasakhkan atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Konteks teks di atas berbeda dengan konteks teks sebelumnya, yang terakhir menunjuk pada permusuhan ahli kitab terhadap kaum muslimin dan sikap menentang mereka terhadap kaum muslimin dalam segala hal. Menurut mereka ayat-ayat al-Qur’an bersifat kontradiktif. Misalnya, keberatan mereka atas dibatalkannya teks tentang riba, sementara teks yang sama menjanjikan orang-orang mukmin sebuah kebaikan yang akan dibalas dengan sepuluh sampai tujuh puluh kali lipat.

Contoh kedua, sebuah ayat yang dimasukkan oleh para ulama ke dalam Nasakh, yaitu perubahan arah kiblat ke Ka’bah, sementara sebelumnya Nabi dan kaum muslimin dalam shalat menghadap ke Bait al-Maqdis.

Pada dasarnya, Al-Asfahani dalam menguraikan definisi mengenai naskh dan mansukh juga mendasarkan pada kedua ayat di atas, namun Al-Asfahani lebih detail dalam kupasan akar katanya.

Naskh menurut bahasa dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan). Misalnya: nasakhat al-syamsu al-dhilla artinya, matahari menghilangkan bayang-bayang; ‎dan wanasakhat al-rihu asara al-syamsa artinya, angin meng­hapuskan jejak perjalanan. ‎Kata naskh juga dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Misal­nya: nasakhtu al-kitab artinya, saya memindahkan (menyalin) apa yang ada dalam buku. Di dalam Qur’an dinyatakan: inna kunna nastansikhu ma kuntum ta’malun (al-Jasiyah [45]:29). Maksudnya, kami memindahkan (mencatat) amal perbuatan ke dalam lembaran (catatan amal).

Menurut istilah naskh ialah mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang lain. Dengan perkataan “hukum”, maka tidak termasuk dalam pengertian naskh meng­hapuskan “kebolehan” yang bersifat asal (al-bara’ah al-asliyah).

Atas dasar itulah, maka makna nasakh menurut al-Asfahani adalah mengganti hukum sebuah teks atas hukum lain tapi dengan mempertahankan kedua teks tersebut.

Mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan. Maka ayat mawaris atau hukum yang terkandung di dalamnya,  adalah menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat (mansukh). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam naskh diperlukan syarat-syarat berikut:

Hukum yang mansukh adalah hukum syara’.
Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh.
Khitab yang mansukh hukumnya tidak terikat (dibatasi) de­ngan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan naskh.
Pandangan al-Asfahani tentang Tafsir.

Ada perbedaan di antara ahli bahasa mengenai asal-usul etimologis kata “tafsir”, apakah ia berasal dari fassara, yufassiru, tafsiran, atau berasal dari safara.  Demikian juga menurut al-Asfahani, jika kata al-Fasru dimaknai “pengamatan dokter terhadap air”, dan kata al-tafsirah adalah “urine” yang dipergunakan untuk menunjukkan adanya penyakit, dan para dokter meneliti berdasarkan warnanya untuk menunjukkan adanya penyakit bagi si sakit” maka kita dihadapkan pada dua perkara yaitu, pertama materi yang diamati dokter untuk menyingkapkan penyakit, yang disebut ‎tafsirah. Dan kedua adalah tindakan yang memungkinkannya untuk meneliti materi dan menyingkapkan penyakit.‎

Materi yang dicermati dokter mempresentasikan “medium” yang digunakan sang dokter untuk dapat menemukan penyakit. Ini berarti bahwa ‘tafsir’,  yaitu penemuan penyakit si sakit, menuntut adanya materi (objek) dan pengamatan (zat).

Selanjutnya kata safara mempunyai banyak makna yang intinya adalah perjalanan dan perpindahan. Dari makna ini muncul makna penyingkapan dan pemunculan. Dinamakan “Musafir” karena ia menyingkapkan tudung penutup wajahnya. Sedangkan Safar  berarti membuka wajah-wajah musafir dan akhlak-akhlak mereka sehingga tampaklah apa yang sebelumnya tertutup. Asfar al-qaum artinya mereka memasuki waktu pagi. Asfara artinya menerangi sebelum matahari terbit. Safara wajhuhu husnan wa asfara artinya wajahnya bersinar. Dalam Al-Qur’an ada ungkapan: wujuhun yauma’idzin musfirah. Al-Farra’ mengatakan: maksudnya wajahnya bersinar.

Dari materi ini terdapat kata as-Safir, yaitu utusan dan pendamai antar kelompok, bentuk jamaknya as-Sufara. Barangkali makna ini berkaitan dengan pengertian perpindahan dan gerakan. Safartu baina qaumi, artinya saya berusaha mendamaikan mereka.

Ibnu Arafah mengatakan: Para malaikat disebut dengan safarah karena menampakkan diri antara Allah dan para Nabi-Nya. Abu Bakr mengatakan: Mereka disebut dengan safarah karena mereka membawa turun wahyu Allah, izin-Nya, dan apa saja yang dapat dipergunakan untuk mendamaikan manusia. Dalam hadits Terdapat ungkapan: Perumpamaan orang yang mahir Al-Qur’an seperti ‎safarah, yaitu para malaikat. Dinamakan demikian karena ia dapat menjelaskan sesuatu. Atas dasar penjelasan ini, pengertian safarah (mufrad: safir) berkaitan dengan makna menyingkapkan dan menjelaskan, selain berkaitan dengan gerak dan mobilitas.‎

Atas dasar itu, kata tafsir berakar kata dari al-fasru atau as-safru, keduanya  sama-sama memiliki unsur pembentukan kata yang sama: sin–fa’-ra,’ sehingga kedua materi tersebut pada akhirnya bermakna satu, yaitu mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi melalui mediator yang dianggap sebagai tanda agar dapat mengungkap yang tersembunyi dan samar.

Oleh karena itu, Ibnu Faris berpendapat bahwa: “untuk mengungkapkan maksud dari suatu ungkapan atau pernyataan dapat dikembalikan pada tiga hal, yaitu makna, tafsir, dan tawil. Ketiganya, meskipun berbeda, namun maksudnya berdekatan. Makna adalah tujuan dan maksud. Kalimat: ‘unitu bi hadza al-kalam kadza, berarti maksud saya begini. la merupakan derivasi dari kata idhar, yaitu memperlihatkan. Kalimat: ‘anal al-qirbatu, maksudnya apabila anda tidak menyimpan air, malahan memperlihatkannya. Makna ini sama dengan ungkapan ‘unwan al-kitab. Ada yang mengatakan asal makna kata tersbut berasal dari ucapan orang Arab: ‘anat al-ard bi nabat hasan, maksudnya bumi itu menumbuhkan tanaman-tanaman yang bagus.‎

Dengan demikian, Tafsir menurut bahasa berasal dari makna memperlihatkan dan menyingkapkan. Menurut bahasa ia berasal dari masdar tafsirah, yaitu sedikit air yang dipakai dokter untuk sampel. Dengan pengamatannya itu ia dapat menemukan penyakit pasien. Demikian pula seorang mufassir yang menyingkapkan masalah ayat, cerita, dan maknanya, serta penyebab turunnya. Dengan demikian, tafsir adalah penyingkapan maksud yang terkunci lewat kata serta mengeluarkan sesuatu yang tertahan untuk dipahami. Kata fasara dan fassara mempunyai makna yang sama, hanya saja yang lebih banyak dipakai bentuknya yang lebih dari tiga huruf (fassara). Abu al-Fath bin al-Jinni memakai bentuk masdar al-fasrketika menamakan suku-sukunya.

Pemakaian kata at-Tafsir dalam Al-Qur ‘an dengan pengertian menjelaskan, yaitu dalam Surat al-Furqan:

ولا يأتونك بمثل إلا جئناك بالحق وأحسن تفسيرا

Artinya: “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan padamu  sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.”

Ayat tersebut berkaitan dengan bantahan terhadap orang-orang musyrik Makkah yang sering menyakiti Rasulullah dengan sikap-sikap mereka yang meragukan kenabiannya dan risalahnya. Mereka pernah menyebutkan Al-Qur’an sebagai “kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan dia dibantu oleh kaum lain”.
Pandangan al-Asfahani tentang Ta’wil.

Sebelum menguraikan pandangan al-Asfahani mengenai ta’wil, akan sedikit disinggung bahwa kata ta’wil muncul dalam Al-Qur ‘an sebanyak 17 kali, ‎sementara kata tafsir muncul hanya sekali. Tentunya ini menunjukkan bahwa kata ta’wil lebih populer dalam bahasa pada umumya, dan dalam teks khususnya, daripada kata tafsir. Barangkali, rahasia di balik ini adalah bahwa ta’wil merupakan konsep yang dikenal dalam peradaban sebelum Islam yang berkaitan dengan tafsir terhadap mimpi atau ta’wil al-ahadis.‎

Akar kata “ta’wil” berasal dari kata al-awal yang berarti kembali/pulang (ruju’ ‘ala, ya’ulu, awlan, ma’alan berarti raja’a. Awwala ilaihi as-syai’ berarti mengembalikan padanya. Dalam sebuah hadits terdapat ungkapan: man shama ad-dahra fa la shama wa la ala (Barangsiapa yang berpuasa sepanjang masa sebenarnya ia tidak berpuasa dan tidak akan mendapatkan kebaikan). Kata “ta’wil” di sini merupakan bentuk kata “taf’il” dari kata kerja awwala, yu’awwilu, ta’wilan, dan bentuk kata dasarnya adalah ‎ala, ya’ulu yang berarti pulang atau kembali.

Dengan demikian, pengertian ta’wil adalah kembali pada asal-usul sesuatu; apakah itu berbentuk perbuatan ataukah cerita, dan itu dilakukan untuk mengungkapkan makna dan substansinya.
Perbedaan Tafsir dan Ta’wil

Setelah mengetahui pengertian antara “tafsir” dan “ta’wil’ menurut bahasa, terdapat perbedaan yang penting antara keduanya tercermin dalam kenyataan bahwa proses “tafsir” membutuhkan “tafsirah“, yaitu medium yang dicermati mufasir sehingga ia dapat menyingkapkan apa yang dikehendakinya, sementara “ta’wil” merupakan proses yang tidak selalu membutuhkan medium ini, bahkan kadang-kadang berdasarkan pada gerak mental dalam menemukan asal mula dari sebuah gejala, atau dalam mengamati akibatnya. Dengan kata lain, ta’wil dapat dijalankan atas dasar semacam hubungan langsung antara “zat/subjek” dan “objek”, sementara hubungan ini dalam proses “tafsir” bukanlah hubungan langsung tetapi hubungan melalui medium yang berupa teks bahasa, atau berupa sesuatu yang bermakna. ‎

Dalam dua situasi tersebut harus ada medium yang mempresentasikan “tanda”, di mana melalui tanda ini proses pemahaman terhadap objek oleh mufasir dapat berlangsung.

Perbedaan yang dilakukan oleh para ulama tafsir dan ‎ta’wil menurut istilah dapat kita rasakan adanya beberapa sisi perbedaan menurut bahasa. Dari sisi-sisi ini, mereka membatasi tafsir kadang-kadang pada berbagai aspek eksternal dari teks, selain teks itu sendiri, sehingga tafsir adalah:

“Ilmu tentang turunnya ayat, surat-surat, dan cerita-cerita yang berkenaan dengan ayat, isyarat yang ada di dalamnya, kronologi makkiyyah dan madaniyyah, muhkam dan mutasyabih, nasikh dan mansukh, khasdan ‘am, mutlaq dan muqayyad, mujmal dan ‎mufassar. Selain itu, ada yang menambahkan: ilmu tentang halal haram, janji dan ancaman, perintah dan larangan, ibrah dan perumpamaan. Inilah aspek yang tidak diperkenankan bagi ra’yu untuk ikut campur.”‎

Sementara itu, ta’wil menurut bahasa barasal dari al-awl. Pengertian dari ungkapan: Ma ta’wilu hadza al-Kalam? Ada yang mengatakan: ‘ala al-amru ila kadza,artinya urusan tersebut menjadi demikian …. Kata tersebut berasal dari al-ma’al, yaitu akibat dan kondisi akhir. Awwaltuhu fa ‘ala, artinya saya membuatnya berpaling, maka ia pun berpaling, sehingga kata ta’wil berarti mengarahkan ayat pada makna yang dimungkinkannya. Ada yang mengatakan: asalnya dari ‘iyalah, yaitu mengatur sehingga seolah-olah orang yang men-ta’wil-kan kalam mengatur kalam dan meletakkan makna di tempatnya pada kalam tersebut.”

Di sini, tafsir tampaknya khusus bagi aspek-aspek umum yang eksternal dari teks, seperti pengetahuan tentang asbdb an-nuzul, cerita makkiyyah dan madaniyyah, nasikh dan mansukh. Semua ilmu ini adalah ilmu-iknu naqliyah yang berdasarkan pada riwayat menurut ulama kuno. Dalam ilmu-ilmu tersebut tidak ada tempat untuk berijtihad kecuali hanya memberikan penilaian di antara riwayat-riwayat tersebut atau berusaha mengkompromikannya seperti yang kita ketahui pada pasal-pasal sebelumnya. Menunjuk pada ‘dm dan khas, mutlaq dan muqayyad, mujmal dan mufassar, merupakan penunjukan terhadap aspek-aspek semantis ijtihadiah di mana mufassir memiliki peran dalam menentukannya, tetapi ia hanya merupakan penunjukan terhadap “pengetahuan” tentang apa saja yang dikatakan ulama kuno di seputar permasalahan tersebut. Hal yang sama berlaku pada pengetahuan mengenai halal dan haram, janji dan ancaman, perintah dan larangan, ibrah dan perumpamaan. Ilmu tafsir melalui batasan di atas tampak sebagai suatu ilmu yang menghimpun semua ilmu yang menjadi pengantar bagi ta’wil yang mempresentasikan usaha pen-ta’wil dalam “mengarahkan” ayat pada makna yang dimungkinkan ayat. Atas dasar itu, “tafsir” merupakan bagian dari proses “ta’wil”, dan hubungan antara keduanya adalah hubungan antara yang khas dan yang ‘am di satu sisi, atau hubungan naql dengan ijtihad di sisi lain, yaitu hubungan yang diungkapkan oleh ulama kuno dengan nama riwayah dan dirayah.

Ada yang mengatakan: Ta’wil berusaha menyingkapkan makna yang terkunci. Oleh karena itu, al-Bajili mengatakan: Tafsir berkaitan dengan riwayah, dan ta’wil berkaitan dengan dirayah. Abu Nasr al-Qusyairi mengatakan: dalam tafsir yang dikedepankan adalah mengikuti dan mendengar sementara istinbat hanya dilakukan pada apa yang berkaitan dengan ta’wil.
Abu al-Qasim bin Habib al-Naisaburi, Baghawi, al-Kawasyi, dan lainnya mengatakan: Ta’wil adalah mengarahkan ayat pada makna yang sesuai dengan yang sebelum dan sesudahnya yang dimungkinkan oleh ayat, tidak bertentangan dengan Al-Kitab dan as-Sunnah melalui istinbat.

“Ta’wil” berkaitan dengan istinbat, sementara tafsir umumnya didominasi oleh naql dan riwayat. Dalam perbedaan ini terkandung salah satu dimensi penting dari proses ta’wil, yaitu peran pembaca dalam mengahadapi teks dan dalam menemukan maknanya. Peran pembaca atau pen-ta’wil bukanlah peran mutlak yang mengubah ta’wil menjadi teks yang tunduk pada kepentingan subjektif, tetapi ta’wil harus berdasarkan pada pengetahuan mengenai beberapa ilmu yang secara niscaya berkaitan dengan teks, dan berada dalam konsep “tafsir”. Pen-ta’wil harus mengetahui benar tentang tafsir yang memungkinkannya memberikan “ta’wil” yang diterima dalam teks, yaitu ta’wil yang tidak menundukkan teks pada kepentingan subjektif dan ideologisnya.

Inilah yang diungkapkan oleh ulama kuno sebagai ta’wil yang dilarang dan bertentangan dengan apa yang dikatakan dan yang dipahami dari teks.
Kontribusi Al-Asfahani dalam kajian Al-Qur’an

Sumbangan pemikirannya akan sangat membantu para pengkaji al-Qur’an terutama orang awam yang belum mcndalam pengetahuan kebahasaanya. Namun perlu dicermati bahwa al-Asfahani bukan seperti para mufassir yang mencoba menafsirkan al-Qur’an melalui pendekatan kebahasaan sebagaimana al-Zamkhsyari dengan al-Kasysyaf, Jalaludin al-Mahally dan Jalaluddin al-Suyuthi dalam tafsir jalainnya dan masih banyak lagi para mufassir sekaligus ahli bahasa. Terutama para mufassir kontemporer seperti A’isyah Abdurrahman bint al-Syathi’ dalam tafsir al-Bayan li al-Qur’an al-karim.

Al-Zamakhsyari adalah seorang ulama genius yang sangat ahli dalam bidang ilmu nahwu, bahasa, sastra dan sekaligus ilmu tafsir. Bahkan dalam aspek kebahasaan beliau berhasil berjasa telah menyingkap keindahan al-Qur’an dan daya tarik balaghahnya.

Begitu juga tafsir jalalain karya al-Suyuthi dan al-Mahally, nuansa kebahasaan tergambar jelas dalam kupasan setiap ayat yang tidak pernah sepi akan kajian yang mendalam tentang keindahan gaya bahasa al-Qur’an.

Di antara mufassir perempuan modern yang ikut ambil! bagian dalam kesusasteraan arab dan pemikiran social adalah A’syah Abdurrahman yang popular dengan Bint al-Syathi’. Beliau adalah pengajar pada fakultas adab di Kairo dan pada fakultas tarbiyah putri.

Di dalam tafsirnya, al-Tafsir al-Bayan li al-Qur’an al-Karim, Bintu Syathi’ memusatkan perhatian pada aspek-aspek balaghah al-Qur’an dan mengungkapkannya dengan sastrawi yang tinggi.

Berbeda dengan mereka, al-Asfahani menguraikan ayat-aya al-Qur’an melalui mufradat (kosa kata) lafaz-lafaz dan pengertian-pengertian yang ditunjukkannya menurut letak kata-kata dalam rangkaian kalimat. Jadi tidak berangkat dari sebuah ayat kemudian dikupas habis melalui kajian bahasa, tapi metode yang dipakai adalah menetapkan kosa kata atau kata-kata pokok dalam al-Qur’an kemudian dihubungkan dengan potongan-potongan ayat yang terdapat kata yang sama. Metode ini juga berbeda dengan Ensiklopedi yang mencoba memahami al-Qur’an lewat entri-entri atau kata-kata kunci. Misalnya taqwa, hanif, iman dan lain sebagainya.
Takhtimah

Al-Asfahani termasuk salah satu pemikir al-Qur’an abad pertengahan yang  memfokuskan pada hakekat al-Qur’an dan wataknya sebagai teks bahasa. Ini berarti bahwa kajian ini memperlakukan al-Qur’an sebagai kitab agung berbahasa Arab, dan pengaruh sastrawinya yang indah.

Bagi al-Asfahani, al-Qur’an merupakan kitab artistika Arab yang sakral. Setelah menuntaskan kajiannya pada aspek sastrawi tersebut, al-Asfahani mengarahkannya pada kepada kandungan ayat dengan mengambil dan menukil apa saja yang dikehendakinya dan sesuai dengan bahasan.‎

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar