Kamis, 02 Maret 2017

Tragedi Pembunuhan Massal Di Hutan Situkup Kaliwiro

Setiap tempat di dunia ini pasti memiliki kisah yang berbeda-beda entah itu kisah menggelikan maupun kisah yang mengerikan seperti kisah di Wonosobo, tepatnya di hutan situkup yang berada di desa Ndempes kecamatan Kaliwiro.

Di kelokan jalan yang tajam itu tersembunyi kisah mengerikan yang menimbun 21 orang yang berasal dari Yogyakarta yang dianggap 'merah', dianggap komunis sekaligus dianggap pengkhianat bangsa. Di Hutan Situkup, Ndempes, Kaliwiro, Wonosobo, ada cerita suram tentang pemberondongan dengan senapan laras panjang, kemudian ditimbun dalam tumpukan yang mengerikan. Mereka ada disana. Mereka tak bernyawa. Tetapi hari ini mereka ditemukan. Hanya berupa tulang-tulang berserakan.

Siapa sangka di jalan yang berkelok tajam itu menyimpan sebuah misteri. Kurang lebih setengah abad silam di balik jalan yang merupakan penghubung antara Wonosobo dan Kebumen via Kaliwiro ini terjadi pembantaian masal, sebanyak 21 orang yang dianggap komunis dibunuh kemudian jasadnya ditimbun dalam tumpukan yang mengerikan. 

Dua puluh satu orang itu merupakan tapol G30S yang di bon (dipindahkan) dari Yogyakarta pada 26 Februari 1966. Mereka adalah Sandiwijoyo, Dolah Asror, Tondo Prapto, Harsono Siswosumarto, Amin, Amat Ali, Marlan, Drs Ibnu Santoro, Muhadi, A Song, Tony, Sudiyono, Widodo, Sri Murwani, Setyo Mudjiono, Maryono, Slamet Suyatno, Siswohardjono, Sumitro, Supraworo dan Sudibyo.
Mereka tidak mengira bahwa bumi tanah-airnya Indonesia akan "menelan" mereka, dengan cara-cara yang tidak berperikemanusiaan.

Awalnya  adalah Kastawi (70) tidak pernah memimpikan memiliki hidup yang begitu berwarna; sayangnya bukan warna pelangi yang indah namun warna hidup yang sangat "merah" ada lumuran darah di sana, ada noda hitam yang harus disimpan selama nyaris 35 tahun dilatar belakangi  "sejarah merah" bangsa ini. Berstatus sebagai narapidana dengan vonis 3.5 thn di LP Wonosobo karena kasus menggarong pada tahun 1965. Ia dan tiga napi lain suatu Subuh didaulat oleh militer untuk "kerja bakti" di Hutan Situkup, Ndempes, Kaliwiro - Wonosobo. 

Subuh itu ia digelandang memasuki hutan Situkup, ia dan tiga temannya diminta mencangkul dan membuat dua lubang berukuran PxLxD  @2 m. Pukul 07.00 pekerjaan selesai ia dibawa kembali ke LP untuk sarapan dan menjemput 21 orang penghuni LP untuk dibawa ke hutan itu, ada 10 anggota Kodim mengawal rombongan itu ke Situkup. Duapuluh satu orang yang dianggap terlibat G30S PKI dan dibon (dipindahkan) dari Yogyakarta pada 26 Februari 1966. 

Kepicikan dan kesewenang-wenangan yang dimiliki penguasa-penguasa militer telah menjadikan mereka sebagai korban yang sia-sia. Barangkali hidup bagi mereka seperti Jamu Jawa: rasanya tidak enak. Mereka harus berhadapan dengan pemutarbalikan fakta dan mitos yang keliru tentang G30S. Tetapi, tenggorokan mereka tidak bisa menyeruak ketika harus berhadapan dengan senjata yang dikokang.

Begitu tiba di Hutan Ndempes, mereka disuruh duduk, saling berhadapan dan diwajibkan nyanyi Genjer-genjer. Mereka dinasehati oleh anggota Kodim, "Ini semua secara Jawa-nya memang insaf benar kepada partainya dan agamanya, bahwa iya partai saya ini dan agama saya ini. Ya sudah, kalau anda sudah insaf benar. Jadi sudah tidak bolak-balik?" Lantas mereka menjawab, "Tidak!!!" Lalu senjata dikokang. Der-der-der, bruk, bruk, bruk.

Pukul 09.00 WIB mereka dihabisi, 3 Maret 1966. Dalam sekedip mata, Kastawi melihat kejadian yang memilukan, yang kemudian dicatatnya dalam ingatan baik-baik. Dengan senjata laras panjang, dua orang anggota Kodim memberondong 21 orang itu dengan garang. Mereka berdiri disamping 2 barisan korban-korban yang duduk saling berhadapan. Jarak penembak dengan korban paling ujung tidak lebih dari 0,5 m. Delapan orang lainnya berjaga-jaga di sekitar lokasi pembantaian. Kastawi dan napi lainnya dibariskan dibelakang penembak dan tidak boleh bergeser sedikitpun. Tidak ada salam perpisahan, tidak ada ucapan terima kasih. Yang ada hanyalah cipratan darah yang menuntut kebenaran, kejujuran dan keterbukaan.

Tetapi ada satu korban yang tidak meninggal dalam berondongan peluru itu. Ia perempuan. Klewang tidak mempan menembus tubuhnya. Ketika payudaranya di klewang, malah klewang-nya patah. Kesabaran militer anggota Kodim memang tak setebal kesabaran revolusioner 21 orang itu. Sesudah menghabiskan 4 klewang, akhirnya ia diikat dengan tali tambang pada bagian perutnya kemudian disungkurkan ke lubang yang sudah disiapkan Kastawi. Lubang-lubang itulah yang digunakan untuk "menyembunyikan" 11 jenazah dan 10 jenazah yang tergolek tak berdaya. Ketika ditimbun dengan tanah, perempuan itu masih hidup. Kepada Kastawi, ia mengatakan, "Mas, jangan keras-keras ya, sakit!"

Tidak ada penimbun yang tidak menangis, tak terkecuali Kastawi. Oleh anggota Kodim, Kastawi juga diancam, "Ayo ditimbun!!! Kalau tidak mau menimbun, ditembak semua dan ikut ditimbun disitu!!!" Yang berkecamuk dalam diri Kastawi adalah badan-badan yang rapuh, yang hancur, yang remuk, yang terus menerus menangis selama ditimbun, hingga tanah terakhir lubang-lubang menjadi rapat kembali.

Hingga Kastawi kembali ke LP Wonosobo, Tapol/Napi yang masih tertinggal di penjara tidak mengetahui nasib kawan-kawan mereka yang sudah menyatu dengan bumi. Mereka beranggapan bahwa ke-21 orang tersebut mengikuti Kastawi untuk kerja bakti, kemudian dipindahkan ke CHTH (Chung Hua Chung Hui).

Dua pohon kelapa ditanam pada masing-masing lubang, sebagai pertanda bahwa di sekitar pohon kelapa itu terhampar orang-orang yang "disembunyikan" dari mata umum. Yang menanam pohon kelapa itu Kodim Wonosobo, sesaat setelah penembakan terjadi. Barangkali sebagai pertanda bahwa merekalah yang menghilangkan orang-orang itu dari muka bumi kita ini.

Yang ditemukan hari ini (tanggal 16 November 2000) adalah serakan tulang-tulang, dan anak peluru. Tulang-tulang dan anak peluru itu meniadakan penyangkalan-penyangkalan yang selama ini terlontar dari mulut-mulut yang tidak memiliki nurani yang tulus. Penyangkalan atas kebenaran, kekejaman, fitnah, ternyata akhirnya rontok juga.

Indonesia akhirnya harus memilih hidup dengan kebenaran, bukan lagi kebohongan dan ketidakmanusiawian. Hari ini, waktu telah menunjukkkan bahwa ia bersedia menjadi saksi yang meneriakkan kebenaran dan menyerukan perlawanan. Dan penemuan tulang-tulang dan anak peluru hari ini adalah bagian penting dari sejarah.

Ada sesuatu yang perlu dicatat tentang Sulami (umur 74 tahun). Mantan Wakil Sekjen Gerwani (sampai peristiwa 1965), berbicara tentang satu soal yang penting dalam sejarah: pelurusan sejarah untuk kemanusiaan. Sejarah 1965/966 tidak bisa dibikin plintat-plintut. Ia harus jelas: ada angka-angka yang membuktikan bahwa ada pembantaian di berbagai tempat di Indonesia, salah satunya di Hutan Situkup, Ndempes, Kaliwiro, Wonosobo.

Singkatnya, kemampuan untuk menyembunyikan kebohongan sejarah toh akhirnya ada batasnya. Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65/66) hari ini tidak lagi menjilat angkasa ataupun menciumi matahari: ia sudah menemukan tumpukan tulang dalam kondisi saling bersilangan. Tidak ada genjer-genjer, tidak ada desingan peluru. Yang ada hanyalah kerumunan masyarakat yang memiliki antusiasme yang tinggi untuk mengiyakan dugaan YPKP 65/66, bahwa benar dalam dua lubang di Hutan Situkup terdapat tulang-tulang yang tidak lagi bisa berteriak kesakitan.

Pada sebuah siang yang gerimis, 16 November 2000 dua batang kelapa itu dirobohkan. Di bagian tanah yang agak curam, dengan kedalaman 1 m, ditemukan potongan tulang tengkorak berukuran 5 x 6 x 0,5 cm dalam keadaan yang cukup rapi. Penggalian diteruskan dengan mencoba mengidentifikasi alur posisi jenazah. Setelah alur itu diamati, ternyata posisi jenazah saling tumpang tindih, bersilangan, bertumpukan.

Meskipun tulang-tulang itu sudah rapuh, tetapi ada hal yang yang tidak bisa ditumbangkan disana, yaitu kesedihan tersembunyi yang mengandung gugatan: siapa yang memaklumkan bahwa mereka dibunuh secara layak disana? Delapan posisi jenazah ditemukan dalam keadaan yang bertumpukan, diperlakukan seperti tumpukan binatang. Sayangnya, tidak semua bagian tubuh ditemukan secara utuh. Dari 8 posisi, ditemukan 4 tengkorak kepala, 2 diantaranya ada lubang tembakan.

Pada posisi 1 ditemukan gigi seri yang dipangur (diratakan) cukup kuat sebagai identifikasi seorang perempuan suku Jawa dan sebuah sisir berwarna merah. Posisi 2 terdapat 2 lubang peluru, yaitu (1) pada tulang kepala belakang sebelah kanan terdapat lubang tembak masuk yang kemungkinan keluar pada (2) tulang dahi bagian kiri, sangat dekat dengan tulang ubun yakni lubang peluru tembakan keluar. Pada posisi 3 ditemukan pakaian yang diikat menjadi simpul mati, kemungkinan digunakan sebagai penutup mata. Disamping itu pada posisi 1, 2, 3, 5, 7 dan 8 terdapat bagian-bagian tulang tengkorak. Dari 8 posisi itu ditemukan juga rahang atas dan bawah dengan gigi geligi yang tidak utuh. Ditemukan juga tulang-tulang yang bertumpang tindih tidak beraturan, yaitu tulang lengan atas, tulang radialis, tulang tungkai atas dan tulang-tulang iga.

Kalau sudah ditemukan kerangka yang mengenaskan seperti ini, yang bisa digunakan sebagai bukti kejahatan kemanusiaan, gugatan apa yang paling baik yang mestinya disodorkan, dan kepada siapa gugatan itu ditujukan? Ditambah lagi, penggalian hari ke-2, 17 November 2000, ternyata tidak menyurutkan jumlah massa yang menggendong tanda tanya besar akibat kekuasaan penguasa yang serakah. Sejarah barangkali memang penuh dengan kekeliruan. Pembunuh, penembak, pembantai, atau apapun namanya, barangkali tidak menyangka bahwa kerangka-kerangka itu akhirnya akan muncul juga, setelah penyangkalan demi penyangkalan diupayakan menjadi sebuah mitos.

Tetapi mereka keliru. Pasalnya, pada hari kedua ini ditemukan lebih banyak lagi kerangka manusia!. Ada yang istimewa dalam penemuan kali ini. Jumlah kerangka yang ditemukan pada hari kedua sebanyak 9 kerangka tubuh manusia, terhitung dari posisi 9 hingga posisi 17. Pada posisi 10 ditemukan cincin emas/cincin kawin bertuliskan nama Sudjijem, 26-06-1965. Di sekitarnya terdapat selongsong peluru dan sebuah anak peluru serta sisir plastik berwarna biru muda. Diperkirakan usia korban 24 tahun.

Pada posisi 11, di antara tulang-tulang terdapat sebuah kancing baju berwarna abu-abu dengan diameter 1 cm, 1 selongsong besar dan 5 selongsong kecil peluru. Bagian pelipis pada potongan tulang kepala yang dimiliki posisi 12 terdapat lubang bekas tembakan dan di dekatnya terdapat proyektil sebanyak 2 buah. Tulang kering kanan bagian bawah terlihat patah (dan telah menyambung kembali pada posisi 13. Pada posisi 15 terdapat potongan baju kaos berlubang-lubang warna putih. Ada pula potongan gigi palsu seri atas. Di dekat posisi 16 terdapat kemasan pasta gigi dental.

Penguasa militer memang bisa sewenang-wenang, saksi pun bisa diancam, sejarah bisa direkayasa dan kesalahan dugaan pun bisa terjadi. Dugaan awal penggalian ini adalah terdapat 21 orang yang dibunuh secara tidak manusiawi, tetapi penggalian hari ketiga, 18 November 2000, menemukan lebih dari 21 kerangka. Penggalian hari ketiga ditemukan 7 posisi baru, sehingga total posisi kerangka ada 24 posisi. Pada posisi 18 ditemukan alas sandal jepit yang bercorak warna-warni yang terbuat dari karet, diduga sandal itu merk Swallow. Ditemukan juga sisir warna kuning , dan di tempat yang tidak berjauhan ditemukan juga sandal bandol (alas karet) lengkap sepasang.

Posisi 19 menunjukkan adanya rahang aras gigi palsu platina bagian depan (dua buah) dan di bagian geraham belakang kanan yang kedua (satu buah). Di antara posisi tulang-belulang posisi 20 yang berserakan di tanah, ditemukan anak peluru. Pada posisi 23 ditemukan kancing putih berdiameter kurang lebih 1 cm.

Sulami dan teman-temannya belum memutuskan apa yang akan ditindaklanjuti ketika melihat ada lebih dari 21 kerangka ditemukan waktu itu. Lantaran melebihi dugaan semula, maka lahir dugaan baru: barangkali tidak hanya 24, tetapi bisa jadi 25, 26, 27, 40, 56 ... siapa tahu? Siapa saja kerangka-kerangka itu? Selain dari Yogyakarta, kerangka itu "didatangkan" dari mana saja? Seakan-akan, sebuah mimpi buruk ketika hari ini Sulami mengangkat begitu banyak kerangka yang tertimbun tanah yang curam itu: berarti korban pembantaian bertambah banyak.

Kira-kira sudah sejak 32 tahun yang lalu Sri Muhayati (59) mengetahui bahwa ayahnya, Moehadi, diperkirakan tergolek di salah satu lubang di Hutan Situkup, Ndempes, Kaliwiro, Wonosobo. Seperti kebanyakan anak yang merindukan ayahanda, dan sebagai kesetiaan terhadap keluarga, titik api selalu menyala dalam hatinya, yaitu: menemukan makam Moehadi. Sri yang, dalam masa lalu, berafiliasi pada CGMI sejak tahun 1963 itu, akhirnya mendengar tentang adanya lokasi pembantaian di Hutan Situkup.

Moehadi yang bekerja pada pabrik sabun dan tinggal di Jalan Kusumanegara Yogyakarta pada masa itu berpawakan tinggi 172 cm dengan berat badan 72 kg. Ketika di "bon" ke Wonosobo, beratnya turun 17 kg. Tangan kirinya pernah patah, juga kakinya sebelah kanan. Tetapi hingga kerangka ke-24 diangkat, Sri belum juga mendapati kerangka ayahnya. Soal besar disini bukanlah mengapa kerangka Moehadi belum ditemukan. Yang jadi soal pokok ialah berapa kerangka lagi dibutuhkan (untuk diketemukan), sehingga Sri bisa menemukan kerangka Moehadi?! Sebab perijinan awal penggalian ini ialah mencari kerangka Moehadi: bagaimana kerangka Moehadi ditemukan dengan sekaligus kerangka-kerangka lain.

Apa boleh buat memang, dimana kerangka terpusat ke Moehadi, di situ perkara korban A, korban B, korban C menjadi perkara kemanusiaan yang sangat tinggi nilainya. Lantas korban X, korban Y, korban Z yang berada di luar dugaan? Tak mudah memahami kenapa begitu banyak "kelebihan kerangka" pada dua lubang itu. Dua puluh satu orang Yogyakarta hanyalah satu bentuk kecil dari rangkaian pembunuhan yang sudah direncanakan oleh Kodim Yogyakarta dan Kodim Wonosobo pada masa itu. Tidak menutup kemungkinan setelah 21 orang tersebut, ditambah lagi korban yang di "bon" dari daerah-daerah lain. Dari panorama sejarah yang suram seperti itu yang tampak memang bukan hanya pengambilalihan kekuasaan saja, melainkan penyalahgunaan kekuasaan secara sewenang-wenang.

Penggalian ini, dengan kata lain, adalah salah satu upaya untuk menggugat penyalahgunaan kekuasaan yang ganas dan kejam itu. Kastawi, Sulami bahkan Sri Muhayati, adalah sejumlah orang yang ingin mengingatkan kepada seluruh bangsa bahwa pada suatu hari, 3 Maret 1966, ada lebih dari 21 orang yang dibunuh, dan ditimbun dengan keji dalam dua lubang yang sempit.

Kisah Pak Dosen Yang Tragis 

Di antara 21 orang itu tersebutlah nama Ibnu Santoro - seorang dosen UGM yang baru saja pulang dari Amerika - belum sempat merampungkan kuliah sudah dipanggil kembali ke Indonesia. Di hutan itu ke duapuluh satu orang itu disuruh duduk berhadap-hadapan dan diwajibkan menyanyi lagu Genjer-Genjer, kemudian mereka dinasehati agar insyaf akan ke PKI-annya. Setelah diminta berjanji untuk tidak kembali PKI, selanjutnya ....doooor, senapan ditembakkan ke mereka. Dengan senjata laras panjang, dua anggota Kodim memberondong 21 orang itu dalam jarak 0.5m, delapan Anggota Kodim lainnya berjaga-jaga. 

Seorang wanita tidak mempan ditembus berondongan peluru itu, akhirnya klewang disabetkan ke tubuhnya tapi sabetan klewangpun tak mampu melukai tubuhnya bahkan hingga empat klewang patah dibuatnya. Akhirnya perempuan itu diikat tambang dan dijebloskan ke lubang yang dibuat Kastawi hidup-hidup. Sempat dia berucap pada Kastawi yang disuruh menimbun lubang itu dengan tanah ..."Mas, jangan keras-keras, sakit." Kastawi dan dua temannya bekerja menimbun lubang yang sudah berisi ke duapuluh satu jasad itu sembari gemetaran dengan bersimbah airmata. Mereka terus bekerja karena jika tidak beres pekerjaannya maka mereka  diancam akan ditembak dan dikubur dalam lubang yang mereka gali itu. Dua pohon kelapa ditanam pada masing-masing lubang sebagai pertanda. Dan Kastawi serta kedua temannya harus menyimpan rahasia itu rapat-rapat hingga... Tahun 2000, saat sang penguasa itu sudah lengser ke prabon dan era keterbukaan sudah dimulai maka beranilah Kastawi bertutur tentang sejarah kelam itu. 

Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65/66)di bawah pimpinan Esther Indahyani Yusuf - seorang wanita muda yang aktif membela Hak Azasi Manusia pada 16 November 2000 itu melakukan penggalian di hutan itu dan menemukan kerangka dalam posisi saling bersilang dan bertumpuk tanpa penghormatan kepada sesama manusia - diperlakukan seperti tumpukan binatang. Tahun 2001, peristiwa ini difilmkan oleh Hilton Cordel Productions dengan judul SHADOW PLAY. 24 Juli  2009 saat Omar Dhani mantan Menteri/ Panglima Angkatan Udara meninggal seperti membuka kenangan lama. 

Kompas menurunkan dua tulisan obituari menandakan pentingnya sosok ini dalam perputaran sejarah Indonesia. Omar Dhani diadili dalam Sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Dituding bersama AURI terlibat dalam G30S PKI; selain dituduh karena Lanud. Halim PK yang berada di bawah wewenangnya menjadi tempat latihan Gerwani juga diberatkan karena mengeluarkan perintah harian Menteri/ Panglima AU setelah mendengar adanya G30S PKI dari siaran RRI. Divonis mati pada bulan Desember 1966, pada 2 Juni 1995 mendapat Grasi dan sejak 16 Agustus 1995 sudah bisa menghirup udara bebas. 

Kehidupan seorang yang menyandang stigma Tapol umum diketahui sangat berat. Stigma itu tertempel pada KTP dengan tanda E ( alias eks ); derita terus berlanjut bagi keturunannya- akan sangat sulit bagi keturunan eks tapol G30S PKI untuk mencari pekerjaan dan berbisnis di sektor Plat Merah dan sektor strategis. Aku pernah membaca di majalah Tempo lawas - seorang putra Omar Dhani pernah bekerja beberapa bulan di suatu perusahaan perminyakan. Saat dilakukan screening test timbul kecurigaan karena mencantumkan tempat kelahiran di Pnom Penh kendatipun saat itu tidak mencantumkan Omar Dhani sebagai ayahnya. Akhir pemeriksaan lebih lanjut menemukan bahwa ayah kandungnya adalah Omar Dhani maka ia diminta meninggalkan perusahaan perminyakan itu. Saat sedang bernostalgia di Lanud Iswahyudi bersama rombongan mantan KASAU tahun 2001, ia ditanya apakah menaruh dendam pada Pak Harto. Omar Dhani menjawab dengan lirih..."Tidak. Uripku saiki luwih kepenak timbang dheweke ( tidak, hidupku jauh lebih enak daripada dia - Pak Harto)." 

Pada Jum'at 14 Maret 2003 ada pertemuan eks tapol dengan ketua MA - Bagir Manan. Mereka meminta kepastian status hukum 20 juta warganegara Indonesia korban eks tapol dan napol dimana 1.9 jutanya pernah ditahan. Sangat diperlukan kejelasan status karena mereka mengalami diskriminasi dalam segala bidang - sayang pertemuan ini tidak ada kelanjutannya. 17 Agustus 2009 - upacara peringatan kemerdekaan Indonesia yang ditayangkan seluruh stasiun televisi menggambarkan upacara di Istana Negara. 

Mengingatkanku akan sosok putri Ibnu Santoro - si tertuduh G30S PKI yang sekian belas tahun lalu akhirnya berada di Istana Negara dan melakukan hal yang sama dengan gadis itu...menjadi anggota Paskribaka Istana pada peringatan kemerdekaan Indonesia - 17 Agustus. Bagaimana mungkin, bagaimana bisa? 

Sementara kita tahu bagaimana stigma PKI saat itu seolah menjadi dosa yang diwariskan pada tujuh turunan. Apakah karena kebesaran hati seorang Suharto? Semua kelebatan bayang-bayang itu membawaku pada cerita berikut.... Ibnu Santoro si dosen UGM yang jadi korban pembunuhan hutan Situkup itu merupakan putra sulung Mrs. Sarbini - nenekku. Ya Ibnu Santoro terhitung sebagai pamanku...tepatnya dia kakak dari ibuku;  kami menyebutnya Pakde Ib. Tahun 1960an mendiang dikirim tempatnya mengajar (UGM) untuk melanjutkan studi di Amerika. Saat itu belum banyak alternatif beasiswa sehingga hanya segelintir orang yang dikirim ke LN untuk belajar. 

Belum lagi kuliah kelar, pakde Ib dipanggil pulang maka bersama isteri dan gadis kecilnya  yang baru berusia 3 tahun (selanjutnya disebut Gadis) terpaksa kembali ke Jogja. Baru beberapa hari kembali ke Jogja - Pakde Ib ditawari menjadi anggota barisan cendikia PKI, selembar formulir pendaftaran kosong diberikan kepadanya. Dan formulir itu masih dalam keadaan kosong saat suatu malam serombongan tentara dalam truk menyantroni rumahnya dan menciduk (istilah yang popular waktu itu) mendiang di depan isteri, nenek-ku dan Gadis yang sedang bermain-main dengan sepupu-sepupu Gadis yang lain. Beberapa waktu berlalu - pencarian panjang dan mahal nenekku dan keluarga tidak membuahkan hasil, jangankan penuduhan resmi melalui Pengadilan, sekedar mengetahui keberadaan Pakde Ib-pun tak bisa. 

Akhirnya keluarga besar berembuk, yang masih tersisa (anak dan isteri Ibnu Santoro) harus diselamatkan, terutama tentu Gadis si putri semata wayang. Maka dibuatkan identitas baru - Gadis sekarang menjadi putri dari Sarbini - kakekku. Kemudian mereka diungsikan dan hidup di kota lain jauh dari hiruk pikuk stigma PKI itu. 

Di kota itu Bude Ib dan Gadis mulai merenda hidup baru yang sangat bersahaja - saat itu Bude Ib menjelang 30 tahun, cantik dan mungil. Tidak heran banyak pria yang menghampiri tapi Bude Ib terlalu gentar untuk membuka lembar cinta yang baru - fokusnya hanya bekerja, bekerja dan bekerja demi masa depan Gadis.  Jangankan bercinta - berpikir untuk PDKT pun tidak pernah terlintas di benaknya, stigma PKI (yang terngiang dalam benaknya sendiri)  telah mampu meluluhlantakkan asa seorang wanita muda. Kendatipun Gadis dibesarkan dalam keprihatinan- dia tumbuh menjadi gadis cantik , lincah dan cerdas. Gadis selain mengukir prestasi dalam pelajaran juga aktif di kegiatan remaja lain dan prestasinya bergaung hingga nasional bahkan internasional. 

Nah yang berkesan itu saat dia terpilih menjadi anggota Paskribraka di Istana pada era Pak Harto - orang yang tentunya tidak sudi berurusan dengan Gadis jika mengetahui jati diri si Gadis remaja. Kiranya kebesaran dan kasih sayang Allah atas perjuangan Bude Ib yang telah membawa Gadis pada situasi yang "luar biasa" ini. Gadis sempat jadi pelajar AFS dan ditempatkan di kota tempat Bapaknya belajar dulu. Saat ini ia telah menamatkan pendidikan S2nya di Belanda dan mendarma baktikan hidupnya pada kesejahteraan bangsa dengan aktif menangani bencana-bencana nasional. 

Tapi tidak berarti kiprah Gadis harus menunggu hingga terjadi bencana karena hari-hari Gadis dilalui dengan berkarya untuk membuat tiap orang makin menyadari perlunya mereka meningkatkan kualitas kesehatan mereka. Selain berkarya nyata, tulisannya juga bertebaran dalam jurnal ilmiah internasional. 

Catatan: Omar Dhani dan keluarga, Okkie Asokawati, Gadis dan ibunya merupakan sosok yang berhasil survive memperjuangkan masa depannya tapi bagaimana dengan yang lain? Yang menjadi korban atas stigma terlibat G30S PKI - ada 20 juta warga negara Indonesia dan 1.9 juta bahkan pernah mengenyam tahanan. Stigma itu terus mengikuti dan menciptakan diskriminasi bagi mereka dalam menggapai kesejahteraan sebagai mahluk hidup di bumi Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar