Rabu, 31 Mei 2017

Kafarot Bagi Suami Istri Yang Jima' Disiang Hari Saat Romadhon

Hubungan intim yang telah legal asalnya halal bahkan bisa bernilai pahala. Namun ketika puasa, bersetubuh atau bersenggama (hubungan intim suami istri) menjadi terlarang bahkan menjadikan puasa seorang muslim batal. Karena kehormatan bulan Ramadhan, pelanggaran tadi dihukumi dengan hukuman yang berat dalam kafaroh.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ . قَالَ « مَا لَكَ » . قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ » . قَالَ لاَ . فَقَالَ « فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا » . قَالَ لاَ . قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ – وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ – قَالَ « أَيْنَ السَّائِلُ » . فَقَالَ أَنَا . قَالَ « خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ » . فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا – يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى ، فَضَحِكَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ « أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ »

“Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,“Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.” (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111).

Laki-laki mengatakan bahwa dirinya itu binasa, yaitu karena telah menyetubuhi istrinya di siang hari Ramadhan.

Beberapa faedah dari hadits di atas:

1- Wajib bagi yang berhubungan intim di siang bulan Ramadhan untuk membayar kafaroh seperti yang disebutkan dalam hadits: (1) membebaskan satu orang budak, (2) jika tidak diperoleh, berpuasa dua bulan berturut-turut, (3) jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin.

2- Pembatal puasa lainnya tidak ada kewajiban kafaroh seperti di atas seperti misalnya ada yang melakukan onani di siang hari Ramadhan.

3- Yang terkena hukuman adalah bagi yang melakukan hubungan intim di siang hari Ramadhan, bukan di bulan lainnya. Bentuk kafaroh ini untuk menebus kesalahan di bulan Ramadhan sebab mulianya bulan tersebut. Kafaroh ini hanya berlaku bagi puasa di bulan Ramadhan, namun tidak berlaku pada puasa qodho’ dan puasa sunnah lainnya. Pendapat ini dianut oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di -semoga Allah merahmati beliau-.

4- Bersetubuh di siang hari mendapat dosa besar karena dalam hadits disebut sebagai suatu kebinasaan.

5- Kasus yang terjadi dalam hadits amatlah menakjubkan karena ia mengadu kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dalam keadan takut, namun ia balik pulang dalam keadaan senang karena membawa kurma.

6- Tertawa dalam keadaan yang pas, itu terpuji dan menunjukkan baiknya akal serta menandakan akhlak yang lemah lembut. Sebaliknya tertawa dalam keadaan yang tidak pada tempatnya, malah menunjukkan kurangnya akal.

7- Jika seseorang tidak mampu menunaikan kafaroh lantas orang lain yang menunaikannya, maka itu dianggap sah. Dan kafarohnya bisa diberikan kepada yang tadi punya kewajiban kafaroh. Namun hadits ini bukan menjadi dalil bahwa orang yang tidak mampu menjadi gugur kewajibannya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membayarkan kafarohnya. Kafaroh itu seperti halnya utang, bisa gugur jika pemberi utang menggugurkannya.

8- Jika seseorang berbuat dosa, maka hendaklah ia segera bertaubat kepada Allah, termasuk pula dalam menunaikan kafaroh.

9- Sekedar memberi makan walau tidak dibatasi kadarnya dibolehkan. Kalau sudah mengenyangkan 60 orang seperti kasus di atas, maka sudah cukup.

Jika suami-istri telah melakukan jima’ di siang hari pada bulan ramadhan secara sengaja bukan karena lupa maka diwajibkan atas mereka kafarat (denda). Ada tiga pilihan bagi mereka dalam kafarat ini. Diantaranya adalah memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan 60 faqir miskin.

Para ulama berbeda pendapat mengenai kafarat itu sendiri. Apakah kafarat itu diwajibkan hanya kepada sang suami saja atau sang istri juga berkewajiban untuk membayar kafarat juga.

Berikut ini akan saya paparkan beberapa pendapat para ulama pada masing masing madzhab :


Madzhab Hanafi
Ibnul Humam (w. 681 H) dalam kitab Fathul Qadir mengatakan bahwa kewajiban kafarat itu ditanggung oleh suami dan istri yang telah melakukan jima’ disiang hari pada bulan ramadhan. Itu artinya masing masing dari pasangan suami istri harus wajib membayar kafarat tersebut.

ثُمَّ عِنْدَنَا كَمَا تَجِبُ الْكَفَّارَةُ بِالْوِقَاعِ عَلَى الرَّجُلِ تَجِبُ عَلَى الْمَرْأَةِ . وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي قَوْلٍ : لَا تَجِبُ عَلَيْهَا لِأَنَّهَا مُتَعَلِّقَةٌ بِالْجِمَاعِ وَهُوَ فِعْلُهُ وَإِنَّمَا هِيَ مَحَلُّ الْفِعْلِ

Kemudian menurut kami kewajiban kafarat itu dibebankan kepada istri sebagaimana dibebankan pula pada suami. Imam syafii mengatakan tidak wajib bagi sang istri untuk membayar kafarat. Karena kafarat itu berhubungan dengan jima’ yang dilakukan oleh sang suami. Sedangkan sang istri itu hanya tempat melakukan jima saja.

Al-Kasani (w.587 H) dalam kitab Badai’ As-Sonaai’ mengatakan bahwa kafarat diwajibkan kepada sang istri sebagaimana diwajibkan pula kepada sang suami. Dengan syarat sang istri berkeinginan sendiri untuk melakukan jima’ tersebut tanpa paksaan.

وَلا خِلافَ فِي وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ عَلَى الرَّجُلِ بِالْجِمَاعِ , وَأَمَّا الْمَرْأَةُ فَكَذَلِكَ يَجِبُ عَلَيْهَا عِنْدَنَا إذَا كَانَتْ مُطَاوِعَةً

Dan tidak ada perbedaan diantara kami mengenai kewajiban kafarat atas sang suami. Adapun sang istri maka menurut kami wajib baginya juga untuk membayar kafarat jika dia melakukan jima’ atas keinginan dirinya sendiri.


Madzhab Maliki
Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) dalam kitab Al-kafi Fi Fiqhi Ahli Al-Madinah mengatakan bahwa kewajiban kafarat juga harus dibayar oleh sang istri jika dia melakukan jima atas kemauan nya sendiri.

وان جامع امرأته وهي طائعة كان عليها الكفارة أيضا عن نفسها مع القضاء ولا تجزئهما كفارة واحدة عند مالك وأصحابه وإن أكرهها على ذلك لزمه الكفارة عنها كفارة تامة سوى كفارته عن نفسه هذا تحصيل مذهب مالك وعليه أكثر أصحابه وقال سحنون لا كفارة عليه عنها لأنها لا كفارة عليها وقد سقطت عنها بإكراهها وعليه مع ذلك القضاء

Jika suami menyetubuhi istrinya sedang sang istri juga menginginkannya maka kewajiban kafarat juga ditanggung oleh sang istri dan wajib qadha juga. Tidak sah jika dibayar oleh salah satu dari suami istri. Dan ini adalah pendapat imam malik dan ashab. Meskipun suami memaksa sang istri untuk melakukan jima maka tetap wajib bagi istri untuk membayar kafarat.adapun Sahnun mengatakan bahwa tidak wajib membayar kafarat bagi sang istri jika dia dipaksa oleh suaminya. Baginya hanya wajib qadha puasa saja .

Al-Qarafi (w. 684 H) dalam kitab Adz-Dzakhirah berpendapat seperti Al-mam Malik. Beliau mengatakan bahwa kafarat itu ada dua macam. Yaitu kafarat sughro dan kafarat kubro. Adapun kafarat kubro adalah kafarat yang diwajibkan karena sengaja berbuka puasa disiang hari bulan ramadhan. Beliau juga menyebutkan bahwa kafarat kubro itu diwajibkan atas sang suami dan istri juga.

الْكَفَّارَةُ كَفَّارَتَانِ صُغْرَى لِتَأْخِيرِ الْقَضَاءِ عَنْ زَمَنِهِ وَكُبْرَى وَهِيَ لَا تَجِبُ إِلَّا لِرَمَضَانَ بِتَعَمُّدِ إِفْطَارِهِ عَلَى وَجْهِ الْهَتْكِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ مِنْ جِمَاعٍ أَوْ أَكْلٍ أَوْ غَيْرِهِمَا أَوْ رَفْضٍ أَوْ إِمْسَاكٍ بَعْدَ الشُّرُوعِ أَوْ عَزْمٍ عَلَى تَرْكِهِ فَلَمْ يُشْرَعْ فِيهِ وَعَلَى كُلِّ مُعْتَقِدٍ لِوُجُوبِهِ مِنْ رَجُلٍ أَوِ امْرَأَةٍ لِكُلِّ يَوْمٍ كَفَّارَةٌ وَلَا يُسْقِطُهَا طُرُوُّ الْعُذْرِ بَعْدَ ذَلِكَ وَلَا يُقَدَّمُ التَّكْفِيرُ فِي يَوْمٍ عَنْ يَوْمٍ

Kafarat ada dua macam : kafarat sugro dan kafarat kubro. Kafarat kubro adalah kafarat yang wajib dibayar ketika seseorang melakukan ifthor dibulan ramadhan seperti jima’. Kewajiban kafarat ini diperuntukkan bagi suami dan istri dengan ketentuan satu hari satu kafarat.


Madzhab Asy-Syafi’i
Imam An-Nawawi (w. 676 H) dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab mengatakan bahwa ulama berbeda pendapat dalam masalah kafarat. Pendapat pertama mengatakan kewajiban kafarat hanya diperuntukkan bagi sang suami. Dan ini adalah pendapat yang benar. Kemudian pendapat kedua mengatakan wajib bagi sang istri untuk membayar kafarat digabung dengan kafarat sang suami. Dan pendapat ketiga mengatakan sang istri harus membayar kafarat nya dengan tersendiri.

وجوب الكفارة ثلاثة أقوال (أصحها) تجب الكفارة على الرجل عن نفسه فقط ولا شئ على المرأة ولا يلاقيها الوجوب (والثاني) تجب عليه الكفارة وتكون عنه وعنها وهي كفارة واحدة (والثالث) تجب عليه كفارة وعليها كفارة أخرى

Kewajiban kafarat ada tiga pendapat. Yang pertama dan ini adalah pendapat yang benar mengatakan bahwa kafarat wajib bagi sang suami saja. Adapun sang istri tidak wajib membayar kafarat. Pendapat kedua mengatakan bahwa sang istri harus membayar kafarat sekali bersamaan dengan sang suami. Pendapat ketiga mengatakan bahwa sang istri harus membayar kafarat sendiri .

Zakariya Al-Anshari (w. 926 H) penulis kitab Asnal Mathalib Syarh Raudh At-Thalib mengatakan bahwa sang istri juga berkewajiban membayar kafarat jika dia melakukan jima’ karena keinginannya sendiri bukan karena paksaan.

وقوله أو جومع نص على أنها تجب على المفعول به وعلى المرأة إن كان بطوعها

Ini menunjukkan bahwa sang istri wajib membayar kafarat jika dia lakukan karena keinginannya sendiri.

Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H) penulis kitab Tuhfatul Muhtaj Fi Syarh Al-Minhaj mengatakan kafarat itu hanya diwajibkan atas sang suami saja. Karena nabi tidak memerintahkan kafarat kepada sang istri ketika ada seorang suami bertanya kepada nabi mengenai jima’ disiang hari ramadhan.

والكفارة على الزوج عنه) دونها؛ لأنه - صلى الله عليه وسلم - لم يأمر بها زوجة المجامع مع مشاركتها له في السبب ولأن صومها ناقص كما مر (وفي قول) تلزمه كفارة واحدة لكنها تكون (عنه وعنها) لمشاركتها له في السبب ولهذا القول تفريع وتقييد ليس من غرضنا ذكره (وفي قول عليها كفارة أخرى) قياسا على الرجل

Kewajiban kafarat hanya untuk sang suami saja. Karena nabi Muhammad SAW tidak memerintahkan kewajiban kafarat kepada istri seorang suami yang berjima’. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa istri wajib membayar kafarat bersamaan dengan sang suami. Ada juga yang mengatakan baginya kafarat terdendiri.


Madzhab Hanbali
Ibnu Qudamah (w. 620 H) di dalam kitab Al-Mughni mengatakan bahwa sang istri juga wajib membayar kafarat sebagaimana sang suami juga wajib membayar kafarat. Karena sang istri telah melakukan jima yang menyebabkan batalnya puasa.

فصل: ويفسد صوم المرأة بالجماع، بغير خلاف نعلمه في المذهب؛ لأنه نوع من المفطرات، فاستوى فيه الرجل والمرأة، كالأكل وهل يلزمها الكفارة؟ على روايتين؛ إحداهما، يلزمها. وهو اختيار أبي بكر، وقول مالك، وأبي حنيفة، وأبي ثور، وابن المنذر ولأنها هتكت صوم رمضان بالجماع، فوجبت عليها الكفارة كالرجل

Faslun : puasa sang istri batal karena jima yang dilakukannya. Karena jima termasuk salah satu yang membatalkan puasa. Apakah wajib bagi sang istri kafarat? Ada dua pendapat. Yang pertama wajib baginya kafarat. Dan ini adalah pendapat abu bakr, imam malik, imam abu hanifah, abu tsaur dan ibnul mundzir. Karena sang istri telah membatalkan puasa ramadhan dengan jima’ maka wajib pula baginya membayar kafarat seperti sang suami.

Al-Mardawi (w. 885 H) mengatakan di dalam kitab Al-Inshof bahwa tidak wajib bagi sang istri untuk membayar kafarat. Beliau mengklaim bahwa ini adalah pendapat madzhab hanbali.

قَوْلُهُ (وَلَا يَلْزَمُ الْمَرْأَةَ كَفَّارَةٌ مَعَ الْعُذْرِ) هَذَا الْمَذْهَبُ، نَصَّ عَلَيْهِ. وَعَلَيْهِ أَكْثَرُ الْأَصْحَابِ، وَذَكَرَ الْقَاضِي رِوَايَةً تُكَفِّرُ

Tidak wajib bagi sang istri untuk membayar kafarat jima’. Ini adalah pendapat madzhab. Dan ini juga pendapat sebagian besar ashab. Al-qodhi berkata: ada pendapat lain mengatakan bahwa sang istri harus membayar kafarat..


Madzhab Adz-Dzahiri
Ibnu Hazm (w. 456 H) berpendapat di dalam kitab Al-Muhalla bil Atsar bahwa sang istri tidak wajib membayar kafarat. Karena Kafarat itu hanya diwajibkan kepada sang suami saja.

وأما المرأة فموطوءة، والموطوءة غير الواطئ، فالأمر في سقوط الكفارة عنها على كل حال أوضح من كل واضح؟ وأيضا: فإن واطئ الحرام لا يصل إلى الوطء إلا بعد قصد إلى ذلك بكلام أو بطش ولا بد؛ وكلا الأمرين معصية تبطل الصوم فلم يجامع إلا وصومه قد بطل - وبالله تعالى التوفيق

Istri itu disetubuhi. Yang disetubuhi tidak sama dengan yang menyetubuhi. Maka kewajiban kafarat itu gugur atas sang istri. Begitu juga bagi yang berzina kedua duanya telah melakukan maksiat yang dapat membatalkan puasa..

Inilah pendapat ulama pada tiap tiap madzhab dalam masalah kewajiban kafarat. Sebenarnya perbedaan mereka ini muncul karena adanya kontradiksi antara hadits nabi dengan qiyas. Jika kita memahami hadits nabi tentang seorang laki-laki yang bertanya kepada nabi itu adalah perintah untuk suami saja maka tidak wajib kafarat bagi sang istri. Dan jika kita menggunakan qiyas yaitu dengan mengqiyaskan keadaan istri dengan keadaan suami maka itu berarti sang istri juga harus wajib membayar kafarat sebagaimana suami wajib membayar kafarat.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

1 komentar:

  1. JOIN NOW !!!
    Dan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
    Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.name

    BalasHapus