Sabtu, 30 September 2017

Filosofi Keris Sempono Bungkem

SEMPONO BUNGKEM, atau supana bungkem adalah salah satu bentuk dhapur keris ‘keluarga’ sempana yang agak berbeda dari sempana umumnya karena bukan berluk sembilan melainkan ber-pakem luk tujuh. Dan tampaknya semua literatur yang ada mulai dari Dhapur Damartaji (1998), Ensiklopedi Keris (2004), Buku Keris Jawa Antara Mistik dan Nalar (2006), hingga literatur lama seperti Tjuriga Dhapur (1963) dan Kawruh Empu (1914) menegaskan keris ini berluk tujuh (7).

Ricikan keris sempana bungkem memakai kembang kacang, tetapi kembang kacang-nya bungkem, dimana ujungnya rapat menempel pada dinding gandik. Selain itu jika kembang kacangnya pogok pun disebut sempono bungkem juga. Tidak ada ricikan lain, kecuali jalen, dan kadang-kadang memakai tikel alis. Termasuk dhapur keris yang susah ditemui pada saat ini.

Dhapur sempono bungkem populer  karena keris ini banyak dicari oleh mereka yang berprofesi sebagai hakim, jaksa, pembela, atau penasihat hukum hingga para pejabat pemerintahan karena konon keris dhapur sempono bungkem memiliki tuah yang dapat mempengaruhi lawan bicaranya. Menurut kepercayaan keris sempono bungkem memiliki taksu yang baik dimiliki oleh mereka yang dalam pekerjaan atau profesi sehari-harinya harus sering berdebat atau adu argumen. Bahkan yang lebih ‘nyeleneh‘ lagi keris ini juga tidak hanya menjadi monopoli kaum atau profesi di atas, mereka yang menginginkan keluarga yang ‘samawa’ sering mencari dhapur ini sebagai piandel untuk membungkam ocehan mertua, mulut istri yang cerewet, hingga menjauhkan rasan-rasan (fitnah) orang lain baik di lingkungan kerja maupun kehidupan bertetangga (sosial). Bahkan mereka-mereka yang terjerat dengan masalah “hukum” seringkali membutuhkan dan  percaya akan ‘taksu’dhapur sempono bungkem sebagai salah satu sarana dukungan non fisik.

Karena kepercayaan akan tuah yang terkandung seperti itu dan akhirnya berhubungan dengan kelangkaan pasar, lalu banyak beredar keris dhapur sempono bungkem tiruan, diantaranya keris sempana berluk sembilan dipotong atau diubah menjadi luk tujuh, kembang kacang yang biasa ditarik ujungnya diubah menjadi bungkem atau dijadikan kembang kacang pogok sekalian.

FILOSOFI DAPUR SEMPONO BUNGKEM

Dalam filosofi jawa luk tujuh disebut “pitu” yang dalam jarwo dosok pitu ini dikaitkan dengan konsep pitulungan. sehingga apapun yang diikatkan dengan luk tujuh mempunyai makna bahwa kita nyuwun pitulungan, atau memohon kepada Tuhan untuk pertolongannya. Dalam tradisi Jawa juga ada ‘momen’ tertentu yang berhubungan dengan angka 7. Sebagai contoh ketika orang hamil sudah usia 7 bulan, maka diadakan selamatan dengan istilah yang disebut “Tingkepan”. Lalu pada bayi yang telah berusia 7 bulan, maka ada prosesi yang dinamakan turun tanah (tedak siten).

Bungkem = Belajar Diam, Ricikan wajib yakni kembang kacang bungkem menjadi ciri atau penanda tersendiri dari dhapur sempono bungkem. Jika dalam pemahaman umum tuah yang diharapkan keris Sempono Bungkem adalah untuk dapat membungkam (terkuncinya mulut) lawan bicara (baca: didengar), tetapi apabila kita mau lebih bijak untuk mampu berkaca pada diri sendiri (baca:mendengar), ada sebuah piwulang yang dititipkan pada keris dhapur sempono bungkem. Belasan atau puluhan tahun lalu, saat masih balita seringkali orangtua mengajari kita untuk belajar berbicara. Mengeja kata perkata, belajar merangkai kalimat. Semakin banyak kosa kata yang diucapkan oleh anak maka semakin banggalah orangtua. Berbeda ketika kita masih kecil, ketika dewasa ada baiknya kita belajar untuk diam.

Ada pitutur orang-orang tua pada jaman dahulu “Aja mung meneng jen lagi kesusahan bae, nglakoni meneng utawa bungkem,” Derita dan kesusahan memang sering dijadikan alasan diam. Manusia bergantung pada hukum sebab-akibat. Diam seharusnya tak sekadar “akibat”. Diam justru membuktikan laku-hidup di segala situasi. Diam untuk menenangkan, membersihkan, membeningkan. Diam juga merupakan bagian penting dari komunikasi, untuk mendengarkan. Keadaan ini juga sekaligus memberi ruang bagi kita untuk berpikir dan menanggapi. Diam mengandung kehendak refleksi. Diam itu olah kesabaran. Diam mengajarkan mawas diri. Diam itu ejawantah diri.   Percayalah; ‘langit tak perlu bersusah payah menjelaskan dirinya tinggi dan sampah tidak perlu berbicara dirinya kotor’.

Filosofi Keris Pamor Kethip

Pekalongan dikenal dengan julukan kota batik. Tetapi tahukah Anda, Pekalongan mempunyai kerisnya sendiri? Keris Suratman Kethip  dan Suratman Lethrek.  Kethip diambil dari nama mata uang jaman dulu yang berbentuk koin kuno. Keris Suratman memiliki gambaran timbul (relief) bulatan bulatan uang kuno di sepanjang bilah, ada yang terpisah (dinamakan : suratman kethip) ada pula yang bertumpuk berjajar (dinamakan : suratman lethrek). Keris pusaka yang di yakini asli empu Pekalongan, juga memiliki ciri khas lain yakni besi yang keras mampu menancap di koin yang diyakini memiliki campuran besi Brojoguno.

Nama Suratman bukanlah nama dhapur keris, karena memang jika kita membuka buku/literatur tentang perkerisan tidak diketemukan. Tetapi dengan menyebut namanya, orang yang telah paham akan langsung tahu, bentuk keris dan pamor yang seperti apa yang dimaksud. Keris ini boleh dikata asli endemik daerah Pekalongan, Jawa Tengah dan sekitarnya yang konon menjadi ageman Raden Bahurekso (cerita asal usul pekalongan). Dhapurnya bisa berupa dhapur brojol, tilam upih dan tilam sari (sedikit sekali), dengan pola hiasan motif seperti mata uang kuno berderet di bilahnya. Pola hiasan pamor tersebut ada dua jenisnya, pertama yang biasa adalah seperti koin mata uang disusun dengan jarak-jarak dan kedua seperti koin mata uang disusun berderet rapat atau disebutnya lethrek. Motif koin ini juga mempunyai keunikan lain karena rata-rata berjumlah ganjil dan apabila diperhatikan dengan seksama, motif setiap koin yang menempel di sisi bilah sebelah depan dan belakang tidak akan tampak sejajar tingginya (selang-seling) tetapi jumlahnya sama. Pamor yang ada bukan semata-mata untuk hiasan, tetapi mempunyai maksud yang sangat penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Pamor dalam bahasa fisiognomi bisa diartikan sebagai lambang “kekeramatan” sebuah tosan aji, yang memberikan sugesti kepada pemiliknya. Misalnya pamor ketip dipercaya akan mendatangkan keberuntungan (hoki) di rumah atau tempat kerja, karena mata uang (koin) identik dengan kemakmuran dan kesuksesan.

Keris Suratman rata-rata disimpan pemiliknya sebagai keris tayuhan (lebih mementingkan isoteri) yang di-sinengker-kan. Bilahnya yang tampak hitam legam dan wingit dengan bau khas, karena memang menurut kepercayaan turun temurun yang ada, dalam ngrukti (perawatannya) hanya dioles minyak (cendana) kemudian diasapi (hio, dupa, menyan) dan malah dibiarkan tidak diwarangi.  Untuk bisa menampilkan warna bilah yang hitam dan wingit seperti pada keris ini tentu saja bukan sebuah proses rekayasa dengan hasil yang instan, perlu proses waktu bertahun-tahun untuk bisa memperoleh endapan minyak dan asap seperti itu.

FILOSOFI

Suratman Ketip bermakna surataning manungso kedah eling titahipun ingkang Pangeran, terkandung wujud harapan kehidupan manusia yang sudah tersurat akan berkah harta benda duniawi. Banyak hal bisa dipelajari dibalik makna tersebut, ada sebuah kearifan jawa dimana “Manungsa iku kudu luwih saka bandhane” atau manusia haruslah lebih dari harta bendanya. Jika manusia hanya mengikuti kemauannya saja, sampai kapanpun tidak pernah akan merasa cukup dan akan selalu merasa kekurangan, sejatinya sudah kehilangan jati dirinya. Sehingga haruslah memahami apa sejatinya hidup di dunia, hidup di dunia hanya untuk mengumpulkan harta benda yang tidak dibawa mati sajakah? atau mencari kesejatian hidup, dengan melangkah dari kenyamanan yang ada, kembali kepada yang Menciptakan Hidup, yang Besarnya melebihi semua harta benda di dunia ini?

Supaya tidak terjerat nafsu keserakahan dunawi, manusia harus tahu batasnya, kemampuan manusia ada batasnya, harta benda juga ada kapasitasnya. Manusia juga harus tahu kebutuhannya, karena seringkali apa yang dimiliki jauh melebihi dari apa yang dibutuhkan, menjadi sia-sia, tidak menjadi mubazir apabila mau berbagi kepada orang yang membutuhkan (sedekah). Jika sudah memahami tiga hal tersebut, paham apa yang menjadi tujuan hidup, sadar batas kemampuan dirinya dan menyadari semua kebutuhannya, merekalah yang akan tertuntun dengan sendirinya menuju jalan kebahagiaan dan ketentraman hati.

Keris Suratman bermakna surataning manungso, terkandung wujud harapan kehidupan manusia yang sudah tersurat dengan pemilikan harta benda. Kedalaman makna keris suratman tergambar dalam Sendratari Legenda Keris Kethip Empu Suratman yang menunjukkan bahwa keris adalah senjata masyarakat Jawa yang memiliki Filosofi tinggi yang dibuat dengan pertarungan batin yang sangat dalam untuk menciptakan sebuah keris yang menunjukkan jati diri pemilik keris. Sendratari ini terdiri dari 4 (empat) bagian cerita.

BAGIAN I

Menceritakan tentang aktifitas masyarakat Desa Gambaran sehari-hari. Lalu datanglah Empu Suratman dan anak buahnya ikut beraktifitas di Desa Gambaran. Tetapi masyarakat Desa Gambaran yang dipimpin Dewi Tumanggal tidak senang dengan kedatangan Empu Suratman, sehingga terjadilah perang antara Dewi Wulan Tumanggal dan Empu Suratman. Pada akhirnya Dewi Wulan Tumanggal kalah dan menyerah kepada Empu Suratman. Empu Suratman berbelas asih dan mengampuni Dewi Wulan Tumanggal dan ingin menikahinya. Maka, terjalinlah pernikahan diantara mereka.

BAGIAN II

Adegan ini menceritakan tentang kehidupan masyarakat Desa Gambaran yang tenang, tenteram, damai, dan sejahtera, diisi dengan tarian kerakyatan atau tari pergaulan. Di tengah canda tawa masyarakat Desa Gambaran, munculah Empu Suratman untuk membuat keris dengan melakukan semedi terlebih dahulu. Setelah mendapat ijin dari Dewi Wulan Tumanggal, akhirnya Empu Suratman melakukan semedi bersama cantrik – cantriknya.

BAGIAN III

Menceritakan Empu Suratman dan kelima cantriknya melakukan aktifitas pembuatan keris. Empu Suratman bersemedi, sedangkan para cantriknya memproses keris. Ditengah – tengah adegan, datanglah sekelompok setan yang merayu para cantrik dalam membuat keris. Akhirnya gagallah pembuatan keris mereka, tetapi tidak dengan semedi Empu Suratman. Maka terjadilah perang antara kedua kelompok tersebut. Para Setan dapat dikalahkan oleh Empu Suratman, dan mereka melarikan diri untuk meminta perlindungan raja mereka.

BAGIAN IV

Terjadilah perang antara Empu Suratman dan Raja Setan. Dalam pertempuran tersebut Empu Suratman dapat membunuh raja setan dengan keris yang belum selesai dibuatnya. Tetapi, dengan terbunuhnya raja setan oleh keris tersebut, maka keris tersebut menjadi sempurna, dan jadilah Keris Kethip Empu Suratman.

Sabtu, 23 September 2017

Filosofi Keris Dapur Carubuk

Pusaka keris dapur Carubuk berkarakter sederhana seperti layaknya kesederhanaan santri.

Keris mengajarkan kita buat menyimpan atau mengesampingkan ego dan amarah. Kita tentu sering melihat bahwa pada waktu kita jagongan temanten,atau bhkn temanten sendiri atau bahkan keluarga keraton dan para abdi dalem dalam mengenakan pusaka diletakkan dibelakang punggung,ini dimaksudkan secara tersirat dan tersurat dalam ajaran leluhur kita,bahwa agar kita dalam hal berfikir,berpendapat dan bertindak diharapkan dapat lebih momong,bijaksana,serta perlunya menjaga akhlak dan tepo seliro kita terhadap sesama. Karena dengan menaruh dibelakang posisi keris diharapkan kita membelakangkan emosi,ego,amarah dalam serawung,pertemanan ataupun persahabatan baik didunia nyata maupun dunia maya. Tapi tetap dengan menunjukkan ketegasan dan kesantunan juga keberanian pada tempatnya dan pada saatnya. Dan ini menunjukkan bahwa kita memiliki dan mengedepankan etika,estetika dalam pergaulan,membuat perasaan nyaman bagi rekan2 di sekitar kita.

Carubuk Kadang-kadang disebut Crubuk, salah satu dhapur keris luk tujuh. Ukuran panjang bilahnya sedang, biasanya nglimpa, tanpa ada-ada. Keris ini memakai kembang kacang, lambe gajah satu, selain itu memakai sraweyan  dan greneng. Ricikan lainnya tidak ada. Dhapur Carubuk biasanya dimiliki oleh mereka yang mendalami dunia spiritual.

Dalam manuskrip Sejarah Mpu ing Tanah Jawi, dijelaskan bahwa kersi dhapur Carubuk pertama kali dibuat oleh Mpu Dewayasa II merupakan cucu dari Mpu Dewayasa I yang mengabdi pada Raja Negeri Wiratha. Mpu Dewayasa II membabar tiga dhapur keris, yaitu Sang Carubuk, Sang Kebo Lajer dan Sang Kabor. Dalam versi lain, keris Carubuk yang khusus untuk dikenakan wanita pertama kali dibuat oleh Mpu Gandawijaya tahun 1125 Saka, pada era Pengging Wiratadya.

Keris dhapur Carubuk menjadi sangat terkenal ketika menjadi piyandel yang dipegang  dan dimiliki oleh Panembahan Hadiwijaya atau yang lebih familiar disebut Joko Tingkir, yaitu Raja Kasultanan Pajang di Jawa Tengah. Dengan keris Carubuk yang dimilikinya, Jaka Tingkir dikenal menjadi sosok yang sangat pandai, cerdik, pemberani, berwibawa dan sangat sakti, sehingga terangkat derajad kemuliannya menjadi menantu Sultan Demak (Trenggono) kala itu. Seiring runtuhnya Kasultanan Demak, Jaka Tingkir kemudian mendirikan dinasti Kasultanan Pajang di Pedalaman Jawa Tengah, dan bergelar Panembahan Hadiwijaya.

Sejarah Keris Carubuk Sunan Kalijogo

Keris Kyai Carubuk, Senjata Pusaka Kanjeng Sunan Kalijaga. Terkait keris pusaka dan sakti di Indonesia, dalam khanazah sejarah dan budaya nusantara, kebanyakan keris sakti berasal dari pulau Jawa, terutama di era kejayaan Kerajaan Majapahit. Banyak cerita, kisah dan juga mitos seputar keris. Konon, keris yang memiliki kesaktian tidak sembarangan bisa dimiliki, harus memiliki kecocokan atau berjodoh dengan yang memegangnya. Banyak yang meyakini juga keris yang sakti bisa berdiri sendiri jika diminta oleh pemegangnya, dan banyak lagi cerita lainnya tentang kesaktian keris ini. Kali ini, infomistik akan membawa anda ke wilayah kajian keris pada konteks sejarah. Terkait sejarah ini, ada bebeberapa keris yang terkenal dan paling populer di Indonesia, salah satunya adalah Keris Kyai Carubuk, Senjata Pusaka Kanjeng Sunan Kalijaga.

Keris Kyai Carubuk ini adalah mahakarya ketiga dari Mpu Supa Madrangi selain Keris Kyai Sangkelat dan Keris Kyai Nagasasra. Keris ini juga merupakan peninggalan Mahapahit.

Dalam satu legenda dikisahkan, Kanjeng Sunan Kalijaga meminta tolong kepada Mpu Supa Mandragi untuk dibuatkan sebuah keris coten-sembelih (untuk menyembelih kambing). Sunan Kaljaga memberikan besi yang ukurannya sebesar biji asam jawa sebagai bahan pembuatan keris kepada Mpu Supa Mandrangi. Mengetahui besarnya calon besi tersebut, Empu Supa sedikit terkejut. Namun setelah Mpu Supa menerima besi tersebut dari Kanjeng Sunan Kalijaga, Ia berkata “besi ini bobotnya berat sekali, tak seimbang dengan besar wujudnya dan tidak yakin apakah cukup untuk dibuat keris”. Lalu Sunan Kalijaga berkata “besi itu tidak hanya sebesar biji asam jawa tetapi besarnya seperti gunung”. Karena ampuhnya perkataan Kanjeng Sunan Kalijaga, pada waktu itu juga besi yang sebesar biji asam jawa tersebut menjelma menjadi sebesar gunung. Hati empu Supa menjadi gugup, karena mengetahui bahwa Kanjeng Sunan Kalijaga memang benar-benar wali yang dikasihi oleh Sang Pencipta Kehidupan, yang bebas mencipta apapun. Lantaran itu, empu Supa berlutut dan takut.

Ringkas cerita, besipun kemudian dikerjakan oleh Mpu Supa Mandrangi. Tidak lama kemudian, jadilah sebilah keris, kemudian Mpu Supa Mandrangi menyerahkan keris tersebut kepada Kanjeng Sunan Kalijaga. Begitu melihat bentuk kerisnya, Kanjeng Sunan Kalijaga menjadi kaget karena hasil kejadian keris itu berbeda jauh sekali dengan yang dimaksudkan. Semula ia bermaksud meminta dibuatkan keris untuk menyembelih kambing, ternyata yang dihasilkan adalah keris Jawa (baca Nusantara) asli Majapahit, luk tujuhbelas. Begitu mengetahui keindahan keris, perasaan Kanjeng Sunan Kalijaga tersentuh, oleh karena itu mengamatinya sempai puas tidak bosan-bosannya. Kemudian ia berkata sambil tertawa dan memuji keindahan keris itu.

Kemudian Kanjeng Sunan Kaljaga memberikan besi sebesar biji kemiri kepada Mpu Supa Mandrangi dan meminta Mpu Supa Mandrangi untuk membuatkannya sebilah keris lagi. Lalu Empu Supa mengerjakannya, dan setelah dikerjakan, jadilah sebilah keris mirip pedang suduk (seperti golok atau belati). Kemudian Mpu Supa Mandrangi menyerahkan keris tersebut kepada Kanjeng Sunan Kaljaga. Begitu mengetahui wujud keris yang dihasilkan, Kanjeng Sunan Kalijaga sangat senang hatinya dan menamai keris tersebut dengan nama “Keris Kyai Carubuk”.

Keris Kyai Carubuk ini kemudian menjadi senjata pusaka Sultan hadiwijaya, dan pernah digunakan bahkan sanggup mengalahkan keris kyai setan kober milik arya penangsang yang ketika itu digunakan oleh pesuruh Arya Penangsang untuk melakukan percobaan pembunuhan kepada Sultan Hadiwijaya.  Karena utusan Arya Penangsang dapat dikalahkan, keris Kyai Setan Kober diambil oleh Sultan Hadiwjaya, lalu dikembalikan sendiri oleh Sultan Hadiwjaya kepada Arya Penangsang yang membuat Arya Penangsang tersinggung dan marah.  Karena Arya Penangsang tersinggung dan marah, maka timbul kerbutan antara Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya, dan keributan tersebut dapat dihentikan oleh Kanjeng Sunan Kudus.

Filosofi Carubuk

Carubuk memiliki pengertian “bagaikan bumi”, jadi manusia harus “Momot, Bakuh, Pengkuh,aja tampik ingkan den arepi among marang ingkang becik kewolo, Kang ala aka den mohi“. Artinya Bahwa manusia itu harus bagaikan bumi, tidak hanya menerima hal-hal yang kita sukai namun harus juga bisa menerima hal-hal yang tidak disukai, karena kesemuanya itu adalah wujud warna kehidupan, bagaikan bumi yang selalu dapat menerima biji yang baik ataupun yang tidak baik.

”Penerimaan” mengandung arti seseorang ikhlas akan sesuatu hal. “Penerimaan” disini bukan sekedar penerimaan apa adanya atau menyerah pada nasib, melainkan penerimaan hasil atas usaha atau ikhtiar yang telah dilakukan. Berusaha, berdoa dan tawakal adalah wajib. Apakah nanti hasilnya baik atau tidak, sesuai dengan harapan atau tidak, kata syukur senantiasa terucap karena perkara hasil adalah urusan dari Sang Pencipta.

Pemahaman ini akan mengajarkan seseorang untuk dapat ikhlas, tidak mengharapkan sebuah balasan dan menjadi pribadi yang selalu bersyukur, bersyukur pada apa yang telah diberikan Sang Khalik hari ini, kemarin dan mungkin esok hari. Dan menjadi simbol optimisme, keyakinan sekaligus kepasrahan. Menerima bukan perkara mudah dan ikhlas adalah ilmu yang sulit dikuasai, sedangkan kita tahu bahwa Tuhan YME mempunya rencana yang terbaik bagi kita.

Dalam filosofi jawa Dhapur Carubuk ini mengandung makna untuk selalu mengingat asal, menjalani hidup dan kehidupan sesuai yang telah digariskan, menyerahkan segala sesuatunya kepada kehendak yang Di Atas, dan mempunyai sikap batin sanggup menerima ikhlas semua kehendak-Nya baik berupa rahmat maupun ujian setelah kita melakukan upaya dan ikhtiar.

Sikap ini akan membuat kita tidak akan lelah maupun putus asa menghadapi tantangan hidup untuk mencapai yang lebih, karena usaha dan perjuangan yg dilakukan untuk mendapatkan peningkatan (materi maupun spiritual) bukan berdasarkan nafsu dan ambisi semata, tetapi sebagai sebuah laku atau kewajiban manusia dalam hidup. Sikap ini juga memuat perilaku selalu ikhlas dan bersyukur atas anugerah Tuhan.

Dalam filosofi jawa luk tujuh disebut “pitu” yang dalam jarwo dosok bisa berarti pitutur, piwulang, dan pitulungan, yaitu ajaran yang baik, petunjuk atau pertolongan. Angka tujuh bagi penduduk Nusantara, terutama masyarakat Jawa, merupakan angka keramat yang memiliki makna ketentraman, kebahagiaan, kewibawaan dan kesuksesan. Angka tujuh dapat dipersamakan dengan jumlah lapisan langit (sap) hingga seluruhnya ada tujuh, demikian pula dengan hari dalam seminggu yang terdiri dari 7 hari. Atau kesempurnaan dan selamatan anak dalam kandungan dilakukan hitungan bulan ke-7 (pitonan), dalam upacara kematianpun dilakukan peringatan pada hari ke-7 (pitung dinanan).

Jika Makmum Kepada Imam Yang Beda Madzhab

Sering kali kita mempunyai kenyataan tentang sholat dibelakang imam yang berbeda madzab , terutama dari orang-orang yang akan berangkat ketanah suci mekah. Hal itu karna mereka melihat tayangan televisi tentang sholat yang mana imamnya tidak terdengar bacaan basmalah padahal menurut madzab kita syafi’I madzab yang popular di Indonesia, membaca surat al-fatihah tanpa basmallah adalah membatalkan sholat dan yang perbedaan-perbedaan yang menurut pandangan syafi’iyah itu bisa membatalkan sholat atau sholatnya tidak sah berikut pandangan para ulama’ tentang penjelasanya.

Bahwa persoalan bermakmum kepada orang yang menganut madzhab yang berbeda memang acapkali mengemukan di kalangan masyarakat bawah. Perbedaan antara imam dan makmum itu sebenarnya perbedaan dalam soal furu`.

Meskipun perbedaan ini menyangkut soal furu` tetapi faktanya menimbulkan kebingungan tersendiri bagi umat dibawah. Kebingunan ini lahir karena shalatnya imam dalam keyakinan imam adalah sah, tetapi dalam pandangan makmum dianggap tidak sah, atau sebaliknya.

Misalnya, imam dalam shalat tidak membaca basmalah, padahal dalam madzhab syafi’i basmalah termasuk bagian dari surat Al-Fatihah. Atau dalam soal wudlu, di mana menurut pendapat madzhab syafi’i, wudlu itu harus tertib, tetapi imam dalam melakukan wudlu tidak tertib. Menurut imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kasus yang seperti ini terdapat empat pendapat.

اَلْاِقْتِدَاءُ بِأَصْحَابِ الْمَذَاهِبِ الْمُخَالِفِينَ بِأَنْ يَقْتَدِيَ شَافِعِيٌّ بِحَنَفِيٍّ أَوْ مَالِكِيٍّ لَا يَرَى قِرَاءَةَ الْبَسْمَلَةِ فِي الْفَاتِحَةِ وَلَا إِيْجَابَ التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ وَالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا تَرْتِيبِ الْوُضُوءِ وَشِبْهِ ذَلِكَ؛ وَضَابِطُهُ أَنْ تَكُونَ صَلَاةُ الْإِمَامِ صَحِيحَةً فِي اعْتِقَادِهِ دُونَ اعْتِقَادِ الْمَأْمُومِ أَوْ عَكْسِهِ لِاخْتِلَافِهِمَا فِي الْفُرُوعِ فِيهِ أَرْبَعَةُ أَوْجُهٍ:

“Bermakmum dengan orang yang menganut madzhab lain itu contohnya seperti orang yang menganut madzhab Syafi’i bermakmum dengan orang yang mengikuti madzhab hanafi, atau maliki yang tidak membaca basmalah ketika membaca surat Al-Fatihah, tidak mewajibkan tasyahhud akhir, shalawat kepada Nabi saw, tidak mengharuskan adanya tertib dalam wudlu dan semisalnya. Prinsipnya adalah bahwa shalatnya imam itu sah menurut keyakinan pihak imam itu sendiri, bukan makmum atau sebaliknya, karena terdapat perbedaan di antara keduanya dalam hal-hal furu`. Dalam konteks ini ada empat pendapat.” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Jeddah-Maktabah al-Irsyad, tt, juz, 4 h. 182)  

Pendapat pertama adalah pendapat yang dikemukakan oleh al-Qaffal. Menurut al-Qaffal bermakmum kepada imam yang berbeda madzhab adalah sah secara mutlak. Kesahan ini dilihat dari sudut pandangan imam itu sendiri.

Artinya, karena imam menyakini bahwa shalat yang dia lakukan adalah sah, maka shalat orang yang bermakmum kepadanya otomatis juga sah, tanpa harus melihat perbedaan keyakinan keduanya dalam soal-soal furu`.

أَحَدُهَا- اَلصِّحَّةُ مُطْلَقًا: قَالَهُ الْقَفَّالُ اِعْتِبَاراً بِاعْتِقَادِ الْاِمَامِ

“(Pertama) sah secara mutlak. Pandangan ini dikemukakan oleh oleh al-Qaffal dengan melihat pada keyakinan imam itu sendiri.” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)

Pendapat kedua menyatakan tidak sah secara mutlak. Ini adalah pendapat yang dianut oleh Abu Ishaq al-Isfarayini. Alasan yang dikemukan adalah jika seorang imam melakukan apa yang kami anggap sebagai syarat atau kami mewajibkannya, padahal ia tidak menyakini apa yang dia lakukan adalah sebagai syarat sah atau kewajiban maka ia sama saja tidak dianggap melakukannya.

وَالثَّانِي- لَا يَصِحُّ اقْتِدَاؤُهُ مُطْلَقًا: قَالَهُ أَبُو إِسْحَاقَ اَلَإِسْفَرَايِنِيُّ لِأَنَّهُ وَإِنْ أَتَى بِمَا نَشْتَرِطُهُ وَنُوْجِبُهُ فَلَا يَعْتَقِدُ وُجُوبَهُ فَكَأَنَّهُ لَمْ يَأْتِ بِهِ

“(Kedua) tidak sah secara mutlak. Pandangan ini dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Isfarayini karena jika imam melakukan sesuatu yang kita syaratkan atau wajibkan tetapi ia tidak menyakini kewajbannya maka ia seperti tidak melakukannya” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)

Dari pendapat kedua ini maka lahirlah pendapat ketiga yang menyatakan bahwa jika imam melakukan apa yang dianggap oleh madzhab makmum telah melakukan apa yang dipandang sah menurutnya maka sah bermakmum kepada imam tersebut. Namun apabila imam meninggalkan apa yang dianggap sebagai syarat bagi kesahan shalat dalam pandangan madzhab makmum, atau makmum meragukannya maka tidak sah bermakmum kepadanya.  

وَالثَّالِثُ-- إِنْ أَتَي بِمَا نَعْتَبِرُهُ نَحْنُ لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ صَحَّ الْاِقْتِدَاءُ وَإِنْ تَرَكَ شَيْئاً مِنْهُ أَوْ شَكَّكْنَا فِي تَرْكِهِ لَمْ يَصِحَّ

“(Ketiga) jika imam melakukan apa yang kita anggap sebagai syarat kesahan shalat maka sah bermakmum kepadanya, dan jika ia meninggalkan sesuatu yang kami anggap sebagai  kesahan shalat atau kita meragukan dalam meninggalkannya maka tidak sah bermakmum kepadanya” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)

Selanjutnya adalah pendapat yang keempat. Pendapat ini menyatakan bahwa jika imam telah terbukti secara nyata meninggalkan sesuatu yang dianggap terkait dengan kesahan shalat dalam pandangan madzhab makmum maka tidak sah bermakmum kepadanya.

Tetapi jika terbukti secara nyata melakukan seluruh hal yang menjadi kesahan shalat menurut pendapat madzhabnya makmum atau diragukannya, maka bermakmum kepadanya adalah sah. Pendapat ini dipegangi oleh Abu Ishaq al-Marwazi, Syaikh Abu Hamid al-Isfarayini, al-Bandaniji, al-Qadli Abu ath-Thayyib, dan mayoritas ulama dari kalangan madzhab syafi’i.  

 وَالرَّابِعُ-- وَهُوَ الْأَصَحُّ وَبِهِ قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ اَلْمَرْوَزِيُّ وَالشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ اَلْإِسْفَرَايِنِيِّ وَالْبَنْدَنِيجِيُّ وَالْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ وَالْأَكْثَرُونَ إِنْ تَحَقَّقْنَا تَرْكَهُ لِشَيْءٍ نَعْتَبِرُهُ لَمْ يَصِحَّ الْاِقْتِدَاءُ وَاِنْ تَحَقَّقْنَا الْإِتْيَانَ بِجَمِيعِهِ أَوْ شَكَّكْنَا صَحَّ

“(Empat) yaitu pendapat yang paling sahih yang dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Marwazi, Syaikh Abu Hamid al-Isfarayini, al-Bandaniji, al-Qadli Abu ath-Thayyib, dan mayoritas ulama (madzhab syafi’i). (Pendapat ini menyatakan) jika kita mengetahui secara pasti ia meninggalkan sesuatu yang kita anggap sebagai syarat kesahan shalat, maka tidak sah bermakmum kepadanya. Tetapi jika kita mengetahui secara pasti ia melakukan semua hal yang menjadi syarat kesahan shalat menurut pandangan kita atau kita meragukannya maka sah bermakmum kepadanya.”  (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)

Pendapat kedua, ketiga, dan keempat sebenarnya merupakan pendapat yang saling berkaitkelindan. Jadi, empat pendapat tersebut bisa diringkas jadi dua. Yaitu, pendapat yang menyatakan sah secara mutlak, dan pendapat yang menyatakan tidak sah. Bahkan ketidaksahan bermakmum itu bisa secara mutlak ketika imam meninggalkan hal-hal yang diwajibkan atau disyaratkan dalam shalat menurut madzhabnya makmum. Namun jika, ternyata imam melakukan apa yang diwajib atau disyaratkan menurut madzhabnya makmum maka sah bermakmum kepadanya.

Penjelasan ini dapat membantu untuk menjawab pertanyaan mengenai shalat jumatan dengan orang yang tidak mensyaratkan adanya empat puluh orang mukim. Karena jumlah empat puluh orang merupakan syarat kesahan shalat jumat maka shalat jumat anda tentu tidak sah karena tidak terpenuhi jumlah tersebut. Tetapi jika anda mengikuti pandangan al-Qaffal maka shalat anda sah dan boleh.

Sedang mengenai perbedaan dalam niat antara imam dan makmum sepanjang yang kami ketahui tidak ada persoalan. Tetapi jika ternyata dalam pelaksanaan shalat diketahui secara pasti bahwa imam misalnya tidak membaca basmalah, sedangkan anda mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa basmalah adalah bagian dari surat Al-Fatihah maka shalat anda tidak sah.

Dalam kondisi seperti ini maka sebaiknya anda bermakmum dengan orang yang sepaham dengan anda, jika tidak ditemukan maka shalat munfarid. Tetapi jika anda mengikuti pandangan al-Qaffal maka shalat anda sah.

Dari penjelasan yang kami kemukakan dapat dipahami bahwa inti permasalahannya bukan terletak pada apakah imam menganut madzhab yang berbeda atau tidak. Tetapi apakah imam telah memenuhi apa yang menjadi syarat-rukun atau kewajiban yang kita yakini atau tidak.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Kaidah Imam Asy-syafi'i Dalam Masalah Beda Niat Antara Imam Dan Makmum

Bolehkah berbeda niat antara imam dan makmum? Misalkan, makmum telat dan baru bangun tidur, belum melaksanakan shalat Zhuhur, sedangkan imam sedang mengerjakan shalat ‘Ashar. Atau misalkan pula, seseorang sedang melaksanakan shalat sunnah lalu ada makmum yang datang dan berniat melaksanakan shalat wajib di belakangnya.

Lalu kemudian muncul pertanyaan dari beberapa teman, “itu kalau sholat sunnah dan imam sholat wajib. Dan juga sebaliknya. Lalu bagaimana kalau imam dan makmum sama-sama sholat wajib, tapi berbeda jenis kewajibannya. Contohnya Imam sholat zuhur sedangkan makmum sholat ashar. Bagaimana, apakah itu juga sah?”

Dan masalahnya memang sama saja, yaitu bertumpu pada “perbedaan niat” antara Imam dan makmum. Apakah niat itu disyaratkan harus sejalan atau boleh berbeda?

Dalam masalah ini Imam Malik dan Imam Hanafi tidak membolehkan adanya perbedaan niat antara Imam dan makmum dalam sholat. Karena sejatinya sholat berjamaah itu haruslah tidak boleh ada perbedaan antara Imam dan makmum. Hanya saja Imam hanafi membolehkan makmum sholat sunnah dibelakang sholat wajib, selain itu tidak boleh.

Sedangkan 2 imam mazhab lainnya; Mazhab Syafi’I dan Hambali membolehkan terjadinya perbedaan niat antara Imam dan makmum. Apapun jenis sholatnya, Imam sholat wajib dan makmum sunnah. Imam Sunnah dan makmum wajib. Atau juga Imam dan Makmum sama-sama sholat wajib tapi berbeda jenis wajibnya, seperti ashar dan zuhur.(Al-Majmu' 4/272)

Bahkan Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Hawi Al-Kabir mengatakan kalau pendapat Imam syafi’I yang membolehkan perbedaan niat itu adalah Ijma’ (Konsensus) para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum. (Al-Hawi Al-Kabir 2/316)

Mengenai masalah ini akan terjawab dengan kaedah Imam Syafi’i rahimahullah yang dibahas dalam tulisan sederhana berikut.

Kaedah Imam Syafi’i Mengenai Beda Niat antara Imam dan Makmum

Kata Al Baidhowi sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar, niat adalah istilah untuk geraknya hati. Sehingga dari pengertian, namanya niat tentu di hati, bukan di lisan.

Ada kaedah yang disampaikan oleh Imam Asy Syafi’i mengenai masalah niat ini. Beliau rahimahullah berkata,

ونية كل مصل نية نفسه لا يفسدها عليه أن يخالفها نية غيره وإن أمه

“Niat setiap orang yang melaksanakan shalat adalah niat bagi dirinya sendiri. Niat orang lain yang mengimaminya jika berbeda tidak membuat cacat ibadahnya.” (Al Umm, 1: 201)

Kaedah Imam Syafi’i khusus membahas hukum seputar shalat jama’ah, yaitu bagaimana jika ada perbedaan niat antara imam dan makmum. Setiap yang shalat berniat untuk dirinya sendiri. Yang ia niatkan boleh jadi adaa’(kerjakan shalat di waktunya) atau qodho’ (mengganti shalat di luar waktu), seperti yang satu mengerjakan shalat Zhuhur dan lainnya shalat ‘Ashar. Boleh jadi niatannya adalah shalat wajib, yang lainnya shalat sunnah, seperti imamnya berniat shalat sunnah fajar, yang makmum berniat shalat Shubuh. Tidak mengapa ada beda niat semacam ini selama pengerjaan shalatnya sama.

Dalil Kaedah

Beberapa dalil yang mendukung kaedah Imam Syafi’i di atas adalah sebagai berikut.

عَنْ جَابِرٍ قَالَ كَانَ مُعَاذٌ يُصَلِّى مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ثُمَّ يَأْتِى قَوْمَهُ فَيُصَلِّى بِهِمْ

Dari Jabir, ia berkata bahwa Mu’adz pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia mendatangi kaumnya dan mengerjakan shalat bersama mereka. (HR. Bukhari no. 711 dan Muslim no. 465)

Pendalilan: Dalil di atas menunjukkan sahnya shalat orang yang mengerjakan shalat fardhu di belakang orang yang mengerjakan shalat sunnah. Karena Mu’adz di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mengerjakan shalat wajib. Lantas ia kembali ke kaumnya untuk mengimami mereka dengan niatan shalat sunnah bagi Mu’adz, sedangkan kaumnya berniat shalat wajib.

عن عطاء قال وإن أدركت العصر بعد ذلك ولم تصل الظهر فاجعل التى أدركت مع الامام الظهر وصل العصر بعد ذلك

Dari ‘Atho’, ia berkata, “Jika engkau mendapati waktu ‘Ashar dan belum melaksanakan shalat Zhuhur, maka niatkan bersama imam dengan shalat Zhuhur, setelah itu barulah engkau melaksanakan shalat ‘Ashar.” (Diriwayatkan oleh Imam Asy Syafi’i dalam Al Umm, 1: 200).

Imam Syafi’i berkata,

وإذا لم تفسد صلاة المأموم بفساد صلاة الامام كانت نية الامام إذا خالفت نيه المأموم أولى أن لا تفسد عليه

“Jika shalat imam batal, shalat ma’mum tidaklah batal. Maka demikian pula jika niat imam berbeda dengan niat ma’mum, itu tidak masalah.” (Al Umm, 1: 201)

Di halaman yang sama dalam Al Umm, Imam Syafi’i rahimahullah juga berkata,

وإذا صلى الامام نافلة فائتم به رجل في وقت يجوز له فيه أن يصلى على الانفراد فريضة ونوى الفريضة فهى له فريضة كما إذا صلى الامام فريضة ونوى المأموم نافلة كانت للمأموم نافلة لا يختلف ذلك وهكذا إن أدرك الامام في العصر وقد فاتته الظهر فنوى بصلاته الظهر كانت له ظهرا ويصلى بعدها العصر

“Jika imam melaksanakan shalat sunnah, lalu datang seseorang bermakmum di belakangnya pada saat itu, maka boleh ia berniat dengan niatan ia sendiri yaitu niatan shalat fardhu. Makmum tersebut mendapatkan niat shalat fardhu. Sebagaimana juga ketika imam melaksanakan shalat fardhu, lalu makmum berniat shalat sunnah, maka makmum diperbolehkan seperti itu. Tidaklah bermasalah adanya perbedaan niat kala itu. Begitu pula ketika seseorang mendapati imam melaksanakan shalat ‘Ashar, namun ia ada udzur luput dari shalat Zhuhur, maka ia boleh berniat shalat Zhuhur di belakang imam yang melaksanakan shalat ‘Ashar kemudian setelah itu ia melaksanakan shalat ‘Ashar. ” (Al Umm, 1: 201)

Imam Nawawi rahimahullah berkata,

في مذاهب العلماء في اختلاف نية الامام والمأموم: قد ذكرنا أن مذهبنا جواز صلاة المتنفل والمفترض خلف متنفل ومفترض

“Menurut pendapat para ulama dalam hal perbedaan antara niatan imam dan makmum, sebagaimana yang telah kami sebutkan bahwa menurut madzhab kami, madzhab Syafi’i, boleh adanya beda niat antara imam dan makmum di mana imam melaksanakan shalat sunnah atau shalat wajib dan makmum melaksankan shalat sunnah dan shalat wajib.” (Al Majmu’, 4: 271)

Sedangkan mengenai hadits,

إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ

“Imam itu diangkat untuk diikuti” (Muttafaqun ‘alaih). Yang dimaksud adalah mengikuti imam dalam hal gerekan dan bukan dalam niat. Karena jika seperti itu dibebani, ini adalah pembebanan yang tidak mungkin dilakukan. Dan di dalam hadits juga disebutkan mengenai gerakan,

فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا

“Jika imam bertakbir, maka bertakbirlah. Jika imam ruku’, maka ruku’lah.”

Contoh Lain dalam Penerapan Kaedah

Contoh lain dalam penerapan kaedah Imam Syafi’i di atas:

1- Imam Syafi’i dalam Al Umm (1: 185) berkata,

وإذا افتتح الرجل الصلاة لنفسه لا ينوى أن يؤم احدا فجاءت جماعة أو واحدا فصلوا بصلاته فصلاته مجزئة عنهم وهو لهم إمام ولا فرق بينه وبين الرجل ينوي أن يصلى لهم ولو لم يجز هذا لرجل لم يجز أن ينوي إمامة رجل أو نفر قليل بأعيانهم لا ينوى إمامة غيرهم ويأتى قوم كثيرون فيصلون معهم ولكن كل هذا جائز إن شاء الله تعالى وأسأل الله تعالى التوفيق.

“Jika seseorang memulai shalat untuk dirinya sendiri tanpa berniat menjadi imam bagi yang lain, lalu ada jama’ah atau satu orang shalat di belakangnya, maka shalat orang yang shalat lebih dulu tadi sah untuk mereka. Ia ketika itu menjadi imam untuk mereka. Tidak ada bedanya antara dia dengan orang yang sejak awal sudah berniat menjadi imam. Seandainya hal ini tidak dibolehkan maka jika ada yang berniat imam untuk seseorang atau sekelompok orang lalu datang lagi jama’ah lainnya kala itu, tentu ia tidak boleh jadi imam untuk yang datang terlambat. Intinya semuanya itu boleh -insya Allah Ta’ala-. Aku memohon pada Allah taufik.”

2- Juga Imam Syafi’i menyebutkan dalam Al Umm (1: 209),

ولو صلى مسافر بمسافرين ومقيمين ونوى أن يصلى ركعتين فلم يكمل الصلاة حتى نوى أن يتم الصلاة بغير مقام أو ترك الرخصة في القصر كان على المسافرين والمقيمين التمام ولم تفسد على واحد من الفريقين صلاته

“Seandainya ada musafir yang mengimami para musafir dan orang mukim, di awal imam tersebut berniat dengan shalat dua raka’at (qoshor). Namun ternyata ia meniatkan menyempurnakan shalat (menjadi empat raka’at) setelah itu dengan meninggalkan rukhsoh shalat dua raka’at. Ketika itu shalat makmum musafir dan mukim di belakangnya yang sempurna (dengan empat raka’at) tidaklah batal karena shalat mereka masing-masing tidak merusak shalat yang lain.”

Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Misteri Simbol Pamor Buntel Mayat

Pamor Buntel Mayit Nama yang menyeramkan, artinya “pembungkus mayat”. Tergolong pamor sangat pemilih. Kalau cocok akan cepat menanjak kariernya atau kekayaannya tetapi kalau tidak cocok tuah bisa kurang maksimal. Karena itu bila menginginkan pamor ini sebaiknya ditanyakan dulu pada sesepuh Dunia Pusaka agar bisa dilihat cocok atau tidaknya. Banyak orang yang punya usaha dan karir menanjak secara drastis karena mempunyai Keris Buntel Mayit. Energi Keris Buntel Mayit memang tidak diragukan lagi.

Pamor Buntel Mayat merupakan pamor yang berbentuk lilitan miring dari pangkal hingga ujung bilah Tosan Aji.

Pamor ini berasal dari kata :

Buntel : melilit atau membungkus
Mayat : miring

Adapun makna filosofi dari Buntel Mayat adalah harapan agar pemiliknya selalu memiliki semangat dalam memperjuangkan hidupnya, merambat naik terus menuju puncak cita-citanya, seperti yg disimbolisasikan pada Pamor Buntel Mayat yg berbentuk lilitan merambat naik hingga di ujung bilah.

Dalam perjalanannya terjadi kesalahpahaman masyarakat awam bahkan beberapa kolektor bahwa pamor Buntel Mayat disamakan dengan Buntel Mayit.

Dalam bahasa Jawa, Mayat berarti miring & Mayit berarti tubuh orang yang sudah meninggal (jenazah).

Kemudian dicampurkan dalam bahasa Indonesia Buntel Mayat itu adalah buntelan kain kafan pembungkus jenazah. Kemudian dikembalikan ke bahasa Jawa jadilah Buntel Mayit. Ini kesalahpahaman!

Kesalahpahaman ini menyebabkan banyak dijumpai keris dengan Pamor Buntel Mayat dilarung atau dibuang karena si pemilik merasa ketakutan saat menerima warisan keris ini. Kemudian ada pula mitos bahwa keris dengan pamor ini sangat pemilih, orang yang tidak cocok bisa sakit bahkan meninggal.

Padahal tuah Tosan Aji dengan pamor ini adalah untuk membantu meningkatkan rejeki pemiliknya, walaupun memang kebanyakan bilah Tosan Aji dengan pamor ini cenderung memilih pemilik yang sesuai dengannya, sebelum benar-benar memancarkan energi aura yang membantu pemilik mencapai cita-citanya.

Pamor Buntel Mayit dalam Keris oleh masyarakat Jawa selama ini cenderung dihindari, karena dianggap bisa mendatangkan pengaruh buruk bagi pemiliknya. Namun sebaliknya, bagi masyarakat Bali dan Lombok, Pamor Buntel Mayit justru pamor yang paling digemari, karena dipercaya akan bisa mendatangkan rezeki dan kemakmuran.

Bagi masyarakat Jawa, barangkali tidak ada pamor yang paling ditolak, kecuali pamor Buntel Mayit. Namaa pamor ini memang mengesankan sesuatu yang menakutkan. Buntel yang berarti bungkus dan mayit yang berarti mayat, seperti menyiratkan makna yang dekat dengan kematian dan sesuatu yang berbau ajal. Bagi orang Jawa, akan berarti suatu kesialan atau bahkan petaka. inilah sebabnya sebagian besar penggemar keris dari masyarakat Jawa akan menolak untuk menyimpan pusaka dengan pamor Buntel Mayit.

Anggapan ini demikian mengakar dalam lubuk hati masyarakat Jawa, sampai Bambang Hasrinuksmo, penulis buku Ensiklopedi Keris menggaris bawahi tentang pengaruh isoteri jenis pamor ini. Dalam buku karyanya itu, Almarhum Bambang Hasri menuturkan bahwa pamor Buntel Mayit dipercaya sebagian pecinta keris, bisa membawa dampak kurang baik. Pamor yang gambaran motifnya menyerupai belitan kain yang menyelimuti seluruh badan bilah keris, tombak atau pedang ini, banyak dipercaya akan membawa kesialan bagi pemiliknya.

Akan tetapi Almarhum pakar keris itu juga memberi catatan. Bahwa sebagian orang lain berpendapat, jika si pemilik ini memang tergolong orang yang kuat, maka pamor Buntel Mayit justru akan memudahkan si pemilik dalam mencari rezeki. Sebuah pendapat yang memang cenderung saling bertolak belakang. Namun kendati begitu, toh nyatanya masyarakat Jawa lebih banyak yang menolak menyimpan Buntel Mayit, ketimbang memeliharanya.

Lain lagi dengan kalangan penggemar keris dan tosan aji dari lombok dan Bali. Pamor ini justru dianggap sebagai pamor favorit di kalagan perkerisan di Lombok. Di pulau yang terkenal dengan slogannya sebagai Bumi Gogo Rancah ini, pamor Buntel Mayit dianggap sebagai jenis pamor tambangan dan yang paling digemari adalah pamor Tambang Badung.

Menurut sebuah sumber di Lombok, sebutan pamor tambangan badung itu memang ada hubungannya dengan sebuah kerajaan du Wilayah Bali di masa lalu, yakni Kerajaan Badung dan tambangan badung memang mengandung arti ada tali (pertalian) kerajaan Badung dengan kerajaan di Lombok.

Dalam buku Keris di Lombok, karya Ir. H. Lalu Djelenga, masyarakat Lombok percaya, bahwa keris dengan pamor tambangan bisa mendatangkan segala tuah baik bagi diri manusia, yakni kepercayaan diri dan kemantapan, juga membawa kewibawaan dan keberanian. Perbedaan keyakinan dalam memandang pamor Buntel Mayit di Jawa dan di Lombok ini, menurut Lalu Djelenga dalam bukunya, bahwa tidak hanya dalam memandang soal pamor. Dalam sikap duduk saja, sangat jelas perbedaan pandangan antara dua etnis ini. Jika wanita Jawa duduk setengah bersila itu sebagai hal yang biasa, maka justru hal yang tabu bagi orang Sasak, Lombok. Wanita Sasak kalau duduk harus bersimpuh.

Dalam tafsir tentang pamor keris di Lombok, masih menurut buku Keris di Lombok itu, tidak dikenal pamor yang tidak baik, semua pamor adalah baik, yang terjadi menurut Lalu Djelenga adalah cocok atau tidak cocoknya pamor bagi seseorang yang menyandang atau memiliki kerisnya. Misalnya seseorang dengan pembawaan yang keras dan pemberani, tidak cocok menyimpan keris dengan pembawaan keras dan berani, karena keris itu dipercaya hanya akan membawa pemiliknya berangasan, emosional dan tidak terkendali. Keris dengan pembawaan keras dan berani akan lebih cocok untuk orang yang berpembawaan lemah lembut.

Sebaliknya, keris yang memang dibuat untuk orang berkharisma tinggi seperti panglima, senopati, bangsawan keraton atau apalagi raja, dipercaya justru akan membawa kesialan dan malapetaka jika jatuh ke tangan orang yang tidak sesuai. Hal itu dikatakannya sebagai "tidak kuat memegang keris sekelas itu.

Menurut seseorang pemerhati keris yang tak mau disebut namanya, pamor Buntel Mayit justru mengandung filosofi yang tinggi. Belitan seperti kain dari bawah ke atas menggambarkan bahwa seseorang untuk menuju kesempurnaan hidup harus melalui perjalanan berputar dan menanjak seperti mengitari gunung menuju puncak. Suatu perjalanan spiritual untuk mencapai tahapan Manunggaling Kawulo Gusti.

Apapun pamor Buntel Mayit secara eksoteris, termasuk pamor rekan yaitu bentuk pamor yang sudah dirancang sebelumnya oleh sang Empu. Dari teknik pembuatannya, pamor ini termasuk pamor puntiran yaitu perpaduan antaraa pamor mlumah dan pamor miring. Sebelum dibentuk manjadi kodhokan keris, saton keris dipelintir lebih dulu.

Lepas dari perbedaan pendangan tersebut, keris atau tosan aji dengan pamor Buntel Mayit sebenarnya memiliki keindahan yang khas. Agaknya agar tidak memberikan kesan yang negatif, nama pamor Buntel Mayit barangkali akan lebih tepat bila diberi nama Buntel Mas.

Jumat, 22 September 2017

Keris Luk 9 Sebagai Simbol Kerohanian

Sejak jaman purbakala hingga saat ini, keris menemukan bentuknya yang bermacam-macam dan penuh dengan makna spiritual yang dalam dibalik pembuatanya. Orang-orang jaman sekarang akan semakin rumit bila mempelajari keris secara satu per satu, karena banyak sekali makna yang terkandung di dalam masing-masing keris.

Dengan melihat begitu banyaknya ilmu tentang keris serta perdebatan didalamnya, alangkah lebih sarat makna bagi kita dalam diri pribadi masing-masing untuk selalu berupaya mempelajari makna sejarah, budaya dan filosofi keris dengan tanpa memandang apakah keris tersebut sudah aus, geripis ataukah masih utuh. Toh jika kita lihat, Kanjeng Kyai Kopek, pusaka kraton Jogjakarta yang dulunya dipesan Sunan Kalijaga kepada mPu Supo, pada bagian wadidhangnya sudah lubang dan tetap disimpan sebagai salah satu Keris Pusaka andalan Keraton Jogja karena memiliki muatan sejarah dan filosofi yang dalam dibandingkan sekedar bentuk atau wujud fisiknya. Dengan demikian, kebanggan atas sebilah keris tua yang masih utuh bagi saya hanyalah kesenangan semu yang hampa jika tidak diikuti dengan pemahaman terhadap sejarah dan filosofi keris. “Pamor keris boleh rontok, besi keris bisa saja terkikis aus karena usia, dan wrangka keris bisa saja rusak karena jaman, tetapi pemahaman atas sejarah dan filosofi sebilah keris akan selalu hidup dalam hati dan pikiran kita dan akan kita turunkan pada generasi selanjutnya”.

Oleh karena itu, pemahaman terhadap sejarah dan kebudayaan masyarakat jaman dahulu sangatlah memegang peranan penting dalam memahami tentang budaya perkerisan.

Dari bentuknya ada dua macam jenis keris, yaitu keris lurus dan keris ber-luk (lekuk). Sebagai senjata fisik, keris lurus berfungsi murni sebagai senjata tusuk dan sabet, menjadi senjata yang diandalkan untuk menusuk dan merobek tubuh lawannya dan seperti kabanyakan senjata tarung lainnya, racun pada keris (warangan keris) akan sangat menyakitkan lawan dan bahkan bisa membunuhnya walaupun hanya tergores sedikit saja.

Tidak demikian dengan keris ber-luk. Keris ber-luk, selain sebagai senjata tusuk dan sabet, bentuk luk-nya juga berguna dalam menahan dan menangkis senjata lawan dan menghasilkan luka yang lebih besar dan lebih parah bila berhasil menusuk lawan. Yang terakhir ini sering tidak disadari oleh kebanyakan orang, karena secara filosofis jawa, hal demikian memang tidak pantas untuk diutarakan. Jadi oleh Empu pembuatnya, bentuk luk keris memang sengaja dibuat dengan tujuan lain yang tersembunyi, bukan hanya sebagai pemanis. Selain itu, bentuk keris juga menjadi pakem untuk menunjukkan makna spiritual kerisnya.

Untuk keris pusaka luk 9 sendiri memiliki makna yaitu angka sembilan ditujukan untuk orang-orang yang sudah tidak lagi melulu mengejar keduniawian, sudah lebih menekuni kerohanian. Keris-keris ber-luk 9 dibuat untuk tujuan kemapanan kerohanian dan kesepuhan. Dikhususkan untuk dimiliki oleh para pandita atau penembahan dan para sesepuh masyarakat. Selain memberikan tuah keselamatan, kerohanian, keilmuan dan pembawa kesepuhan, jenis keris ini biasanya mengeluarkan hawa aura yang sejuk.

Beberapa istilah di bagian ini diambil dari tradisi Jawa, semata karena rujukan yang tersedia.

Keris atau dhuwung terdiri dari tiga bagian utama, yaitu bilah (wilah atau daun keris), ganja ("penopang"), dan hulu keris (ukiran, pegangan keris). Bagian yang harus ada adalah bilah. Hulu keris dapat terpisah maupun menyatu dengan bilah. Ganja tidak selalu ada, tapi keris-keris yang baik selalu memilikinya. Keris sebagai senjata dan alat upacara dilindungi oleh sarung keris atau warangka.

Bilah keris merupakan bagian utama yang menjadi identifikasi suatu keris. Pengetahuan mengenai bentuk (dhapur) atau morfologi keris menjadi hal yang penting untuk keperluan identifikasi. Bentuk keris memiliki banyak simbol spiritual selain nilai estetika. Hal-hal umum yang perlu diperhatikan dalam morfologi keris adalah kelokan (luk), ornamen (ricikan), warna atau pancaran bilah, serta pola pamor. Kombinasi berbagai komponen ini menghasilkan sejumlah bentuk standar (dhapur) keris yang banyak dipaparkan dalam pustaka-pustaka mengenai keris.
Pengaruh waktu memengaruhi gaya pembuatan. Gaya pembuatan keris tercermin dari konsep tangguh, yang biasanya dikaitkan dengan periodisasi sejarah maupun geografis, serta empu yang membuatnya.

Hulu atau pegangan keris

Pegangan keris (bahasa Jawa: gaman, atau hulu keris) ini bermacam-macam motifnya, untuk keris Bali ada yang bentuknya menyerupai dewa, pedande (pendeta), raksasa, penari, pertapa hutan dan ada yang diukir dengan kinatah emas dan batu mulia dan biasanya bertatahkan batu mirah delima.

Pegangan keris Sulawesi menggambarkan burung laut. Hal itu sebagai perlambang terhadap sebagian profesi masyarakat Sulawesi yang merupakan pelaut, sedangkan burung adalah lambang dunia atas keselamatan. Seperti juga motif kepala burung yang digunakan pada keris Riau Lingga, dan untuk daerah-daerah lainnya sebagai pusat pengembangan tosan aji seperti Aceh, Bangkinang (Riau) , Palembang, Sambas, Kutai, Bugis, Luwu, Jawa, Madura dan Sulu, keris mempunyai ukiran dan perlambang yang berbeda. Selain itu, materi yang dipergunakan pun berasal dari aneka bahan seperti gading, tulang, logam, dan yang paling banyak yaitu kayu.

Untuk pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah wingking ( kepala bagian belakang ) , jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan) ,weteng dan bungkul.

Warangka atau sarung keris

Warangka, atau sarung keris (bahasa Banjar : kumpang), adalah komponen keris yang mempunyai fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, paling tidak karena bagian inilah yang terlihat secara langsung. Warangka yang mula-mula dibuat dari kayu (yang umum adalah jati, cendana, timoho, dan kemuning). Sejalan dengan perkembangan zaman terjadi penambahan fungsi wrangka sebagai pencerminan status sosial bagi penggunanya. Bagian atasnya atau ladrang-gayaman sering diganti dengan gading.

Secara garis besar terdapat dua bentuk warangka, yaitu jenis warangka ladrang yang terdiri dari bagian-bagian : angkup, lata, janggut, gandek, godong (berbentuk seperti daun), gandar, ri serta cangkring. Dan jenis lainnya adalah jenis wrangka gayaman (gandon) yang bagian-bagiannya hampir sama dengan wrangka ladrang tetapi tidak terdapat angkup, godong, dan gandek.

Aturan pemakaian bentuk wrangka ini sudah ditentukan, walaupun tidak mutlak. Wrangka ladrang dipakai untuk upacara resmi , misalkan menghadap raja, acara resmi keraton lainnya (penobatan, pengangkatan pejabat kerajaan, perkimpoian, dll) dengan maksud penghormatan. Tata cara penggunaannya adalah dengan menyelipkan gandar keris di lipatan sabuk (stagen) pada pinggang bagian belakang (termasuk sebagai pertimbangan untuk keselamatan raja ). Sedangkan wrangka gayaman dipakai untuk keperluan harian, dan keris ditempatkan pada bagian depan (dekat pinggang) ataupun di belakang (pinggang belakang).

Dalam perang, yang digunakan adalah keris wrangka gayaman , pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena wrangka gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, karena bentuknya lebih sederhana.

Ladrang dan gayaman merupakan pola-bentuk wrangka, dan bagian utama menurut fungsi wrangka adalah bagian bawah yang berbentuk panjang ( sepanjang wilah keris ) yang disebut gandar atau antupan ,maka fungsi gandar adalah untuk membungkus wilah (bilah) dan biasanya terbuat dari kayu ( dipertimbangkan untuk tidak merusak wilah yang berbahan logam campuran ).

Karena fungsi gandar untuk membungkus , sehingga fungsi keindahannya tidak diutamakan, maka untuk memperindahnya akan dilapisi seperti selongsong-silinder yang disebut pendok . Bagian pendok ( lapisan selongsong ) inilah yang biasanya diukir sangat indah , dibuat dari logam kuningan, suasa ( campuran tembaga emas ) , perak, emas . Untuk daerah diluar Jawa ( kalangan raja-raja Bugis , Goa, Palembang, Riau, Bali ) pendoknya terbuat dari emas , disertai dengan tambahan hiasan seperti sulaman tali dari emas dan bunga yang bertaburkan intan berlian.

Untuk keris Jawa , menurut bentuknya pendok ada tiga macam, yaitu (1) pendok bunton berbentuk selongsong pipih tanpa belahan pada sisinya , (2) pendok blewah (blengah) terbelah memanjang sampai pada salah satu ujungnya sehingga bagian gandar akan terlihat , serta (3) pendok topengan yang belahannya hanya terletak di tengah . Apabila dilihat dari hiasannya, pendok ada dua macam yaitu pendok berukir dan pendok polos (tanpa ukiran).

Wilah atau bilah keris

Wilah, wilahan, atau bilah adalah bagian utama dari sebuah keris. Wilah keris adalah logam yang ditempa sedemikian rupa sehingga menjadi senjata tajam. Wilah terdiri dari bagian-bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap wilahan, yang biasanya disebut dapur, atau penamaan ragam bentuk pada wilah-bilah (ada puluhan bentuk dapur). Sebagai contoh, bisa disebutkan dapur jangkung mayang, jaka lola , pinarak, jamang murub, bungkul , kebo tedan, pudak sitegal, dll.

Pada pangkal wilahan terdapat pesi , yang merupakan ujung bawah sebilah keris atau tangkai keris. Bagian inilah yang masuk ke pegangan keris ( ukiran) . Pesi ini panjangnya antara 5 cm sampai 7 cm, dengan penampang sekitar 5 mm sampai 10 mm, bentuknya bulat panjang seperti pensil. Di daerah Jawa Timur disebut paksi, di Riau disebut puting, sedangkan untuk daerah Serawak, Brunei dan Malaysia disebut punting.

Pada pangkal (dasar keris) atau bagian bawah dari sebilah keris disebut ganja (untuk daerah semenanjung Melayu menyebutnya aring). Di tengahnya terdapat lubang pesi (bulat) persis untuk memasukkan pesi, sehingga bagian wilah dan ganja tidak terpisahkan. Pengamat budaya tosan aji mengatakan bahwa kesatuan itu melambangkan kesatuan lingga dan yoni, dimana ganja mewakili lambang yoni sedangkan pesi melambangkan lingganya. Ganja ini sepintas berbentuk cecak, bagian depannya disebut sirah cecak, bagian lehernya disebut gulu meled , bagian perut disebut wetengan dan ekornya disebut sebit ron. Ragam bentuk ganja ada bermacam-macam, wilut , dungkul , kelap lintah dan sebit rontal.

Luk, adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah keris, dan dilihat dari bentuknya keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan keris yang bilahnya berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara sederhana menghitung luk pada bilah , dimulai dari pangkal keris ke arah ujung keris, dihitung dari sisi cembung dan dilakukan pada kedua sisi seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka bilangan terakhir adalah banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal ( ganjil) dan tidak pernah genap, dan yang terkecil adalah luk tiga (3) dan terbanyak adalah luk tiga belas (13). Jika ada keris yang jumlah luk nya lebih dari tiga belas, biasanya disebut keris kalawija, atau keris tidak lazim.

Ilmu keris adalah ilmu lambang.

Mengerti dan memahami bahasa lambang mengandalkan peradaban rasa (sense) – bukan melulu kemampuan intelektual. Jadi adalah keliru jika memahami keris secara dangkal sebagai sebuah benda yang berkekuatan magis untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Keris menjadi pusaka karena makna lambang-lambang dalam keris dianggap mampu menuntun pembuat dan pemiliknya untuk hidup secara benar, baik dan seimbang. Dan bagi orang jawa, hidup ini penuh pralambang yang masih samar-samar dan perlu dicari dan diketemukan melalui berbagai laku, tirakat maupun dalam berbagai aktivitas sehari-hari manusia jawa, misalkan dalam bentuk makanan (tumpeng, jenang, jajan pasar,dsb), baju beskap, surjan, bentuk bangunan (joglo, limas an, dsb) termasuk juga keris. Di dalam benda-benda sehari-hari tersebut tersembunyi sebuah misteri berupa pesan dan piwulang serta wewler yang diperlukan manusia untuk mengarungi hidup hingga kembali bersatu dengan Sang Pencipta.

Dalam tradisi budaya Jawa ada sebuah pemahaman “Bapa (wong tuwa) tapa, anak nampa, putu nemu, buyut katut, canggah kesrambah, mareng kegandeng, uthek-uthek gantung siwur misuwur”. Jika orang tua berlaku tirakat maka hasilnya tidak hanya dirasakan olehnya sendiri dan anak-anaknya melainkan hingga semua keturunannya. Demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu manusia Jawa diajak untuk selalu hidup prihatin, hidup “eling lan waspada”, hidup penuh laku dan berharap. Siratan-siratan laku, tirakat, doa, harapan, cita-cita restu sekaligus tuntunan itu diwujudkan oleh para leluhur Jawa dalam wujud sebuah senjata. Senjata bukan dilihat sebagai melulu wadag senjata (tosan aji) melainkan dengan pemahaman supaya manusia sadar bahwa senjata hidup dan kehidupan adalah sebuah kearifan untuk selalu mengasah diri dalam olah hidup batin
Oleh karena itu orang Jawa menamakan keris dengan sebutan Piyandel – sipat kandel, karena memanifestasikan doa, harapan, cita-cita dan tuntunan lewat dapur, ricikan, pamor, besi, dan baja yang dibuat oleh para empu dalam laku tapa, prihatin, puasa dan selalu memuji kebesaran Tuhan. “Niat ingsun nyebar ganda arum. Tyas manis kang mantesi, ruming wicara kang mranani, sinembuh laku utama”. Tekadku menyebarkan keharuman nama berlandaskan hati yang pantas (positive thinking), berbicara dengan baik, enak didengar, dan pantas dipercaya, sembari menjalankan laku keutamaan.

Meski demikian keris tetaplah benda mati. Manusia Jawa pun tidak terjebak dalam pemahaman yang keliru tentang pusaka. Peringatan para leluhur tentang hal ini berbunyi : “Janjine dudu jimat kemat, ananging agunging Gusti kang pinuji”. Janji bukan jimat melainkan keagungan Tuhan-lah yang mesti diluhurkan. “Nora kepengin misuwur karana peparinge leluhur, ananging tumindak luhur karana piwulange leluhur”. Tidak ingin terkenal lantaran warisan nenek moyang, melainkan bertindak luhur karena melaksanakan nasihat nenek moyang. Oleh karena itu keris bukan jimat, tetapi lebih sebagai piyandel sebagai sarana berbuat kebajikan dan memuji keagungan Ilahi.

Dengan menempatkan keris sebagai benda yang memiliki makna filosofi mendalam, maka kita sebenarnya telah berusaha memahami apa keinginan sang mPu dan orang yang memesannya dahulu ketika membabar keris tersebut. Karena tentunya para mPu dan orang yang memesannya tersebut sebenarnyna juga memiliki harapan-harapan yang tentunya bermaksud baik. Dengan memahami makna filosofi dari sebuah keris tersebut, maka sudah pasti kita turut “Nguri-uri”, melestarikan budaya keris karena salah satu makna keris tersebut adalah sebagai simbol dari adanya suatu harapan dan doa.

Khodam adalah merupakan manifestasi energi pintar yang terlahir dari sebuah doa, mantra dan tatalaku ritual spiritual tertentu yang mengandung tingkatan konsentrasi yang tinggi kepada sang pencipta alam dibarengi doa doa atau cita - cita agar terkabulnya suatu maksud dan tujuan.

Tuah Keris, karakteristik khusus keris

Ketiga contoh tuah yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu tuah untuk kesaktian, tuah untuk kekuasaan dan wibawa, dan tuah kerejekian, adalah tuah-tuah pokok yang diberikan oleh keris. Penekanan kami pada istilah tuah pokok keris adalah bahwa tuah-tuah itu merupakan satu kesatuan tuah yang diberikan oleh sebuah keris, lengkap, tidak kurang.

Pada perkembangan selanjutnya, setelah keris-keris itu tidak lagi dimiliki oleh si pemilik pertama (yang menerima langsung dari empu pembuatnya), keris-keris tersebut menyesuaikan diri dengan pemiliknya yang baru. Karena tidak semua pemilik keris kondisinya sesuai dengan keris yang dimilikinya, tuah-tuah yang diberikan oleh si keris pun tidak sama lagi dengan tuah-tuah pokok tersebut di atas, menurun fungsinya, tidak lagi sama dengan tujuan pertama keris itu dibuat.

Pada dasarnya, keris itu masih memiliki tuah-tuah pokok tersebut, namun tidak semuanya diberikannya kepada si pemilik keris, karena kondisi si pemilik tidak sesuai dengan kondisi yang dipersyaratkan oleh kerisnya dan tingkat penyatuan kebatinan antara si pemilik dengan kerisnya juga sudah jauh berkurang.

Demikianlah yang terjadi pada masa sekarang. Mungkin keris yang kita miliki sudah tidak lagi memberikan tuah-tuah pokok tersebut, sudah menurun fungsinya, tidak lagi sesuai dengan tujuan pertama keris itu dibuat. Namun mungkin kondisi ini lebih baik untuk kita, mengingat kondisi kita juga mungkin tidak sama dengan kondisi yang dipersyaratkan oleh si keris.

Sebagai catatan, untuk mengetahui tuah dari masing-masing turunan tuah antara keris yang satu dengan keris yang lain, agak sulit membedakannya secara fisik, karena yang membedakan adalah tuahnya, bukan fisik kerisnya dan fungsinya juga mirip. Pembedaannya hanya bisa dilakukan secara kebatinan saja. Misalnya keris yang dahulu pertama dibuat adalah untuk memberikan tuah kesaktian, keselamatan, kekuasaan dan wibawa. Ternyata keris itu (keris yang sama) sekarang hanya memberikan tuah keselamatan saja, atau kesaktian saja, atau wibawa saja. Padahal kerisnya sama. Pembedaannya hanya bisa dilakukan secara kebatinan saja.

Untuk menjelaskan turunan atau "pecahan" tuah pokok keris, pada jaman sekarang ini, maka kami membagi tuah pokok keris menjadi 2, yaitu :

1. Tuah kesaktian, keselamatan, kekuasaan dan wibawa.

2. Tuah kerejekian.

Untuk jenis tuah keris yang pertama, yaitu tuah kesaktian, keselamatan, kekuasaan dan wibawa, turunan atau pecahan tuah kerisnya adalah sebagai berikut :

1. Tuah Keselamatan.

Secara umum pada jaman sekarang, tuah inilah yang diberikan oleh keris kepada pemiliknya, yaitu untuk menjaga keselamatan si pemilik secara gaib dari serangan / gangguan gaib atau orang-orang yang berniat jahat / mencelakakannya.

2. Tuah Kesaktian.

Keris yang memberikan tuah kesaktian, selain berguna untuk menjaga keselamatan si pemilik secara gaib dari serangan / gangguan gaib atau orang-orang yang berniat jahat / mencelakakannya, juga berguna untuk tujuan adu kekuatan gaib atau kesaktian, yaitu untuk menembus benteng pertahanan gaib lawannya (perlindungan gaib atau ilmu kebal lawan) atau untuk menyerang langsung secara fisik maupun secara gaib. Penggunaan kekuatan gaib keris biasanya dilakukan oleh orang yang mengerti tentang ilmu gaib dan bisa menggunakan kekuatan gaib. Namun serangan secara fisik bisa dilakukan oleh siapa saja yang memegang keris.

3. Tuah Kekuasaan dan Wibawa.

Keris yang memberikan tuah untuk kekuasaan dan wibawa, berguna untuk menaikkan derajat pemiliknya hingga dapat mencapai derajat yang tinggi, mengamankan posisinya dari persaingan dan menjaga wibawanya di mata atasan maupun bawahan.

4. Tuah Kewibawaan.

Keris bertuah kewibawaan hanya akan memberikan tuah untuk menjaga wibawa si pemilik di mata atasan maupun bawahan dan di mata orang-orang lain di sekitarnya. Tuah ini juga berguna untuk menjauhkan si pemilik dari fitnah yang akan menjatuhkan martabatnya.

5. Tuah Penundukan.

Tuah dari keris ini berguna untuk menundukkan lawan bicara, sehingga pembicaraan si pemilik keris tidak akan dibantah oleh orang yang mendengarkannya dan permintaan atau perintahnya kepada orang lain akan dituruti.

6. Tuah Pambungkem.

Jenis tuah ini sebenarnya adalah turunan dari keris bertuah penundukkan dan wibawa. Walaupun tuahnya adalah turunan dari tuah penundukkan dan wibawa, keris yang memberikan tuah ini tidak lagi memberikan tuah untuk penundukkan ataupun wibawa, tetapi memberikan tuah yang lebih ekstrim lagi, yaitu membungkam mulut lawan bicara si pemilik keris atau membuat lawan bicara menjadi seolah-olah lupa akan apa yang akan diucapkannya. Ini berguna sekali saat si pemilik keris sedang mengalami tuntutan atau dakwaan. Orang-orang yang menuntutnya akan banyak diam atau lupa akan apa yang akan dituntutnya, sehingga si pemilik keris akan terbebas dari tuntutan.

Keris-keris yang bertuah untuk kewibawaan, penundukkan atau pambungkem mungkin dimanfaatkan oleh orang-orang (atau pejabat) yang bermasalah di pengadilan dengan membawanya ke ruang sidang (di dalam tas tentunya) untuk mengamankan dirinya dari tuntutan hukum.

Ciri-ciri dari keris pambungkem biasanya adalah yang lambe gajah-nya melingkar dan ujungnya menyatu / menempel dengan badan kerisnya.


Untuk jenis tuah keris yang kedua, yaitu tuah kerejekian, turunan atau pecahan tuah kerisnya adalah sebagai berikut :

1. Tuah Kerejekian, kesuburan dan penglarisan

Keris ini masih memberikan satu rangkaian tuah, yaitu tuah kerejekian, kesuburan dan penglarisan (kerejekian umum) dan cocok untuk dimiliki oleh kebanyakan orang.

2. Tuah Kesuburan / Kemakmuran.

Keris yang bertuah kerejekian untuk kesuburan dan kemakmuran, lebih cocok dimiliki oleh orang yang memiliki sumber pendapatan sendiri dari pertanian dan peternakan. Keris ini akan membantu memberikan aura yang baik untuk kesuburan tanah dan ternak dan menjauhkan dari serangan hama dan penyakit hewan dan tumbuhan.

Agak sulit membedakan keris ini secara fisik dari keris kerejekian yang lain, karena fungsinya memang mirip. Pembedaannya hanya bisa dilakukan secara kebatinan saja.

Kujang yang berwarna hitam, yang bahan pembuatannya mirip keris, biasanya memberikan tuah jenis ini.

3. Tuah Penglarisan.

Keris yang bertuah kerejekian untuk penglarisan, lebih cocok dimiliki oleh orang yang memiliki sumber pendapatan sendiri dari perdagangan, misalnya seorang pedagang / pengusaha.

Keris ini membantu memberikan aura yang membuat orang senang dengan pemiliknya, senang datang ke tempat usahanya (dan merasa betah) dan senang untuk melakukan transaksi bisnis dengannya.

Sama dengan jenis keris sebelumnya, agak sulit membedakan keris ini secara fisik dari keris kerejekian yang lain. Pembedaannya hanya bisa dilakukan secara kebatinan saja.

4. Tuah Pengasihan.

Keris ini memberikan tuah pengasihan dan cocok untuk dimiliki oleh kebanyakan orang, terutama adalah pedagang, karyawan dan pegawai yang penghasilannya berasal dari gaji / upah.

Keris ini akan memancarkan aura pengasihan, sehingga si pemilik akan dikasihi oleh orang lain di sekitarnya, oleh atasan ataupun bawahannya.

Jenis keris ini juga agak sulit dibedakan secara fisik dari keris kerejekian yang lain. Pembedaannya hanya bisa dilakukan secara kebatinan saja. Namun ada keris-keris yang fisiknya memiliki lubang di bagian tengahnya (keris combong). Keris ini mudah dikenali dan bisa digunakan untuk ilmu pelet (pemikat hati seseorang).

5. Tuah Karisma.

Keris ini memberikan tuah karisma dan cocok untuk dimiliki oleh kebanyakan orang. Keris ini akan memancarkan aura wibawa dan karisma, sehingga si pemilik akan dihormati dan dikasihi oleh orang lain di sekitarnya, oleh atasan maupun bawahannya. Bila berbicara atau berpidato, orang akan mendengarkan dengan rasa suka.

Jenis keris ini juga agak sulit membedakannya secara fisik dari keris kerejekian yang lain. Pembedaannya hanya bisa dilakukan secara kebatinan saja.

Spiritual Keris Lurus dan Keris Luk

Keris, di pulau Jawa khususnya, memiliki tahapan / jaman yang mempengaruhi bentuk keris. Sejak jaman purbakala hingga saat ini keris menemukan bentuknya yang bermacam-macam dan penuh dengan spiritual yang dalam dibalik pembuatannya. Orang-orang jaman sekarang pun semakin rumit bila mempelajari keris secara satu per satu, karena memang banyak sekali terkandung makna di dalam masing-masing keris.

Pada jaman sekarang, komunitas perkerisan lebih suka menjelaskan perkerisan dengan cara mempelajari bentuk-bentuk keris, seperti dari dapur keris, luk, pamor keris, dsb. Kita juga dapat mempelajarinya dengan membaca buku-buku perkerisan, walaupun tetap perlu adanya penjelasan dari orang yang lebih mengerti tentang perkerisan.

Secara umum orang berpendapat bahwa ada suatu tren / pakem pembuatan keris yang diikuti oleh para empu dalam membuat keris, sehingga dari suatu bentuk keris dapat diketahui kapan keris itu dibuat, juga dapat diketahui fungsi / tuahnya. Dengan kata lain, orang berpendapat bahwa ada suatu pakem tertentu yang diikuti oleh para empu pada jamannya masing-masing dalam membuat keris. Apalagi ada keris-keris tertentu yang terkenal karena kesaktiannya, dsb, kemudian banyak dibuat turunan / tiruannya karena banyak yang ingin memiliki.

Dilihat dari bentuknya, secara garis besarnya, ada 2 macam jenis keris, yaitu keris lurus dan keris ber-luk (lekuk). Sebagai senjata, keris lurus berfungsi murni sebagai senjata penusuk. Tidak demikian dengan keris ber-luk. Keris ber-luk, selain sebagai senjata penusuk, bentuk luk-nya juga berguna dalam menangkis senjata lawan, tidak mudah patah bila berbenturan / menangkis senjata lawan, dan menghasilkan luka sobekan yang lebih lebar dan lebih parah bila berhasil menusuk lawan. Yang terakhir ini sering tidak disadari oleh kebanyakan orang, karena secara filosofis jawa, hal demikian memang tidak pantas diutarakan. Jadi oleh empu pembuatnya, bentuk luk keris memang dibuat dengan tujuan lain yang tersembunyi, bukan hanya sebagai bentuk pemanis.

Berbagai jenis keris pada dasarnya merupakan senjata yang bersifat pusaka (bernilai pribadi secara psikologis bagi pemiliknya) dan senjata pamungkas dalam penggunaannya. Dalam tulisan ini kami ingin menjelaskan spiritual dari masing-masing bentuk keris yang mungkin kita memiliki salah satunya, sbb:

1. Keris Lurus.

Jenis keris lurus adalah jenis yang sederhana dalam bentuknya pada awalnya. Namun sesuai perkembangan jaman bentuk lurusnya tidak lagi sederhana, karena dihiasi dengan bermacam-macam motif pamor dan hiasan, misalnya pamor udan mas. Dalam kategori keris lurus, termasuk juga pusaka lain yang tidak mirip keris tetapi sering disebut keris, seperti keris dapur banyak angrem, keris semaran atau keris yang berbentuk gunungan.

Jenis keris lurus mengandung sisi spiritual dalam pembuatannya sebagai sarana pemujaan kepada Sang Pencipta. Si pemilik harus selalu ingat kepada Yang Kuasa dan harus tekun dalam beribadah dan menjaga moral. Dalam ritual-ritual pemujaan, selain si pemilik beribadah kepada Yang Maha Kuasa, keris itupun diberi sesaji sebagai sarana membantu supaya doa-doanya dan permohonannya cepat sampai kepada Yang Dipuja. Bagi pemiliknya, keris lurus berguna, selain sebagai senjata dan pusaka, juga sarana untuk membantu dalam kerohanian.

Bahkan dalam ritual kerohanian, ada jenis keris lurus yang dijadikan persembahan, atau dijadikan sarana pembersihan gaib dari gaib-gaib yang mengganggu, ruwatan sengkolo, ritual bersih desa, dsb, yang biasanya kemudian keris itu akan dilarung.

Dalam pemeliharaannya, biasanya keris lurus lebih banyak menuntut untuk diberi sesaji, dibandingkan keris ber-luk. Secara umum, walaupun bentuknya lebih sederhana, namun keris lurus memiliki kegaiban dan wibawa yang lebih kuat dan lebih wingit dibanding keris ber-luk. Selain itu, karena wibawa kegaibannya yang lebih kuat dari keris ber-luk, banyak keris lurus yang sebenarnya merupakan keris tindih.

2. Keris Luk 1.

Dalam pembuatannya, keris ber-luk 1 memiliki makna sebagai sarana untuk membantu pemiliknya mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa dan membantu supaya keinginan-keinginan si pemilik dapat lebih cepat tercapai, misalnya keinginan dalam hal kepangkatan dan derajat.

Dibandingkan keris lurus, keris ber-luk 1 lebih menandakan kekuatan hasrat duniawi manusia yang ingin dicapai. Biasanya keris ber-luk 1 mengeluarkan hawa aura yang agak panas dan sifat energi yang tajam. Kebanyakan dibuat untuk tujuan kesaktian, kekuasaan dan wibawa.


3. Keris Luk 3.

Makna spiritual dalam pembuatan keris ber-luk 1 dan 3 hampir mirip, yaitu sebagai lambang kedekatan manusia dengan Sang Pencipta, dan juga sebagai sarana membantu mempercepat tercapainya keinginan-keinginan dari sang pemilik keris.

Dibandingkan keris ber-luk 1, keris ber-luk 3 lebih menonjolkan keseimbangan antara kehidupan kerohanian dan duniawi manusia, keseimbangan antara sisi spiritual dan jasmani, kemapanan dalam menghadapi pergolakan kehidupan dunia.

Dibandingkan keris ber-luk 1, kegaiban keris ber-luk 3 lebih dapat menyesuaikan diri dengan spiritual / psikologis si pemilik. Hawa aura yang ditimbulkannya juga lebih halus dan lembut.


4. Keris Luk 5.

Pada jaman kerajaan dahulu, keris ber-luk 5 hanya boleh dimiliki oleh raja, pangeran (keluarga raja), bupati dan adipati. Selain mereka, tidak ada orang lain yang boleh memiliki atau menyimpan keris ber-luk 5. Demikianlah aturan yang berlaku di masyarakat perkerisan jaman dahulu. Keris ber-luk 5 hanya cocok dimiliki oleh orang-orang yang memiliki keturunan raja, memiliki kemapanan sosial dan menjadi pemimpin di masyarakat.

Biasanya keris ber-luk 5 dibuat untuk tujuan memberikan tuah kekuasaan dan wibawa dan supaya dicintai banyak orang.

Biasanya keris ber-luk 5 lebih banyak menuntut untuk diberi sesaji, dibandingkan keris lurus dan keris ber-luk selain luk 5.


5. Keris Luk 7.

Keris ber-luk 7 dibuat untuk raja dan keluarga raja dan untuk tujuan kemapanan kerohanian. Dimaksudkan untuk dimiliki oleh raja atau keluarga raja yang sudah matang dalam usia dan psikologis atau yang sudah mandito.


6. Keris Luk 9.

Keris ber-luk 9 juga dibuat untuk tujuan kemapanan kerohanian dan kesepuhan. Dikhususkan untuk dimiliki oleh para pandita atau panembahan dan sesepuh masyarakat.

Selain memberikan tuah keselamatan, kerohanian / keilmuan dan perbawa kesepuhan, jenis keris ini biasanya memiliki kesaktian yang tinggi dan mengeluarkan hawa aura yang sejuk.


7. Keris Luk 11.

Keris ber-luk 11, mungkin awalnya dibuat untuk mendobrak kemapanan / pakem pembuatan keris pada jamannya, mengingat angka 11 tidak mempunyai makna tertentu dalam budaya jawa.

Contoh keris ber-luk 11 adalah Keris Sengkelat yang terkenal sakti dan banyak dibuat tiruannya. Awalnya keris ber-luk 11 ini memang membingungkan karena tidak sesuai dengan kebiasaan / pakem keris yang umum. Namun karena kesaktiannya yang sangat tinggi, keris ini kemudian banyak dibuat tiruannya.


8. Keris Luk 13.

Angka 13 dalam budaya jawa mempunyai makna yang jelek, yaitu kesialan atau musibah. Keris ber-luk 13 dibuat dimaksudkan sebagai penangkal kesialan atau musibah. Biasanya dibuat untuk tujuan kesaktian, kekuasaan dan wibawa.

Contohnya yang terkenal adalah keris Nogososro.



9. Keris ber-Luk lebih dari 13.

Mengenai keris ber-luk lebih dari 13, Penulis tidak menemukan makna tertentu dari maksud pembuatannya yang dapat dikategorikan secara seragam. Jadi tidak ada maksud tertentu dari pembuatannya yang bisa dijadikan patokan dalam menilai keris-keris ber-luk lebih dari 13. Mungkin jenis keris ini sengaja dibuat bentuknya demikian sebagai variasi dari keris-keris yang sudah ada.



Selain jenis-jenis keris berdasarkan jumlah luk seperti dijelaskan di atas, ada banyak keris yang ternyata spiritualitasnya tidak sesuai dengan spiritual keris seperti diuraikan di atas, karena dipengaruhi juga oleh dapur kerisnya, yang memberikan suatu makna spiritual tersendiri

Langkah awal menilai baik / tidaknya sebuah keris



Ilmu Tayuh Keris adalah sejenis ilmu tradisional yang digunakan untuk menentukan apakah sebilah keris akan cocok dipakai atau dimiliki oleh seseorang atau tidak. Ilmu ini bersifat kebatinan, terutama bermanfaat untuk meningkatkan kepekaan seseorang agar dia dapat menangkap kesan karakter sebilah keris dan menyesuaikan dengan kesan karakter dari calon pemiliknya.

Biasanya orang awam yang memiliki keris, untuk mengetahui perihal kegaiban dari kerisnya, akan menanyakannya kepada orang yang dianggapnya mengerti, misalnya kepada paranormal, penjamas keris, kolektor keris, dsb. Walaupun jawabannya tidak selalu akurat, namun itu adalah informasi yang penting bagi si pemilik keris, karena dia sendiri tidak paham cara menayuh keris.

Untuk dapat menayuh keris atau tosan aji lainnya, tidak harus lebih dulu menjadi seorang ahli kebatinan. Untuk mengetahui kecocokkannya dengan pemiliknya, tidak harus dilakukan dengan ritual dan olah batin. Orang awam pun bisa, asalkan tahu caranya. Pemiliknya dapat melakukannya dengan cara yang lebih mudah, yaitu meminta pemberitahuan dari sang keris melalui mimpi. Bagi orang awam, cara menayuh lewat mimpi inilah yang sering dilakukan.

Cara yang umum dilakukan adalah dengan cara meletakkan keris atau tombak atau benda gaib lain di bawah bantal, atau diposisikan di atas kepala, sebelum tidur. Jika malam pertama tidak berhasil akan diulanginya lagi pada malam berikutnya, dan seterusnya, sampai mimpi yang diharapkan itu datang. Dengan cara ini si Pemilik atau orang yang me-nayuh itu berharap dapat bertemu dengan 'isi' keris di dalam mimpinya. Namun cara ini tidak senantiasa berhasil. Kadang-kadang mimpi yang dinantikan tidak muncul, atau seandainya bermimpi, sesudah bangun pun lupa akan isi mimpinya.

Cara yang benar adalah dengan berkomunikasi dengan si keris, yaitu kita berkata-kata kepada si keris, seolah-olah si keris tersebut adalah manusia, minta tolong supaya ditunjukkan lewat mimpi, tentang tanda kecocokkannya dengan si keris. Kemudian keris itu bisa dikembalikan ke tempat penyimpanannya, tidak harus ditaruh di bawah bantal. Sebelum tidur, si pemilik harus ingat bahwa dia meminta tanda lewat mimpi, jadi dia harus ingat apa isi mimpinya.

Bila keris itu cocok atau berjodoh dengan si pemilik, maka di dalam mimpinya, keris itu akan menampilkan diri sebagai sosok yang bersahabat. Dalam mimpinya mungkin dia bertemu dengan seorang bayi, anak, gadis, atau wanita, pemuda atau orang tua, yang menyatakan ingin ikut, ingin diangkat anak, atau ingin diperistri, atau menyertai / menemani perjalanannya, atau kejadian lain yang sifatnya bersahabat. Ini adalah tanda bahwa si keris berkenan kepadanya.

Bila keris itu tidak cocok atau tidak berjodoh dengan si pemilik, maka di dalam mimpinya, keris itu akan menampilkan diri sebagai sosok yang tidak bersahabat. Bisa jadi, yang ditemui dalam mimpinya adalah sosok yang menakutkan, berkelahi dengannya, atau mengancam. Mimpi yang seperti itu adalah sebagai isyarat dari 'isi' keris yang tidak cocok dengannya atau tidak cocok untuk dimiliki. Bila ini yang kita alami, sebaiknya jangan memaksakan diri untuk tetap menyimpan keris itu.

Menayuh dengan cara di atas (lewat mimpi) bisa dilakukan untuk bermacam-macam keperluan, misalnya untuk mengetahui kecocokkan keris dengan kita, apa sesaji yang diminta, kerisnya perlu dijamas atau tidak, apa perlengkapan keris yang diminta (misalnya apakah minta ganti sarung keris, minta dibungkus kain hitam / putih, dsb).

Beberapa hal yang ingin ditekankan oleh penulis kepada para pembaca untuk dilakukan, karena sifat pentingnya, adalah sebagai berikut :

1. Bila kita memiliki keris, perlakukanlah dia seolah-olah dia adalah manusia anggota keluarga kita. Kita harus menghormatinya, sehingga diapun menghormati kita. Jangan memperlakukannya dengan tidak hormat, tetapi juga jangan terlalu meninggikan dia dan memperlakukannya dengan terlalu istimewa (jangan mengkultuskan keris).

2. Simpanlah keris di tempat yang bersifat pribadi, yang tidak sembarang orang boleh masuk ke dalamnya, misalnya di kamar tidur, tidak di ruang tamu. Letakkan di posisi yang tinggi, tidak lebih rendah daripada tinggi dada orang dewasa. Jangan di bawah, apalagi di lantai. Bila disimpan di lemari, letakkan di rak paling atas.

3. Jangan menciumi bau keris dan jangan menyimpan keris di sela-sela tumpukan pakaian, karena keris mengandung racun yang bahkan uapnya bisa meracuni kita.

4. Bila bermimpi berkelahi jangan sampai kalah, kalau dikejar jangan sampai tertangkap.

5. Jangan terlalu sering melakukan jamasan (memandikan) keris, karena dapat mengikis logam keris. Cukup sekali saja dalam setahun (bulan suro atau maulid) atau sekali saja seumur hidup kita, yaitu pada saat pertama memiliki keris itu. Selebihnya cukup kita minyaki saja setiap 3 atau 6 bulan sekali supaya keris itu tidak karatan.

6. Jangan memberi sesaji macam-macam. Cukup kembang telon atau kembang setaman (kembang tujuh rupa) sesuai budaya jawa. Lebih praktis kalau kita meminyakinya sendiri dengan minyak singer yang dicampur dengan minyak cendana merah, setahun sekali atau dua kali cukup. Bila tempat menyimpan keris diberi dasar kain berwarna hitam akan dapat menaikkan kekuatan gaib dan wibawa si keris.

7. Usahakan untuk mengetahui sendiri keperluan keris kita. Walaupun perlu, tetapi jangan bergantung kepada pendapat orang lain, walaupun dia seorang ahli kebatinan. Kita bisa tahu sendiri tentang karakter keris dengan menayuhnya dengan cara seperti diceritakan di atas. Manfaat lainnya adalah kita akan menjadi lebih mengerti mengenai keris kita dan secara psikologis kita dan si keris akan menjadi lebih dekat. Keris yang baik untuk kita akan menyesuaikan diri dengan kehidupan kita, dia tidak akan meminta perlakuan yang merepotkan kita. Bila keris itu meminta perlakuan yang aneh atau merepotkan kita, misalnya minta dibakarkan menyan, daging mentah, telor ayam mentah, darah ayam, dsb, berarti keris itu tidak baik untuk kita. Keris yang tidak baik atau tidak sejalan dengan kita sebaiknya jangan kita paksakan untuk kita miliki, supaya kita tidak terbebani oleh pengaruh buruknya. Lebih baik kalau kita serahkan kepada orang lain yang mungkin lebih mengerti dan bisa merawat keris itu.



Cara Keris Berkomunikasi dengan Pemiliknya

Cara menayuh keris seperti diceritakan di atas adalah upaya manusia untuk dapat berkomunikasi dengan kerisnya, meminta jawaban dari si keris atas pertanyaan-pertanyaan si pemilik kepada kerisnya. Bagaimana sebaliknya ? Bagaimana cara si keris bila ingin berkomunikasi atau menyampaikan sesuatu kepada si pemilik keris ?

Ada beberapa cara yang biasanya terjadi bila si keris ingin menyampaikan sesuatu kepada manusia / si pemilik keris (meminta perhatian dari si pemilik keris), sbb :

1. Menimbulkan kejadian-kejadian aneh.

Cara ini antara lain adalah membuat suara-suara aneh di kotak / tempat penyimpanan keris, menimbulkan suara / bisikan tertentu yang hanya dapat didengar oleh si pemilik keris dan keluarganya, membuat penampakkan gaib, misalnya penampakkan sinar, penampakkan orang masuk ke dalam rumah, dsb. Seringkali kejadian-kejadian ini secara awam dianggap sebagai fenomena-fenomena gaib biasa saja oleh manusia.

2. Memberi ilham atau mimpi.

Cara ini misalnya memberikan bisikan ilham di benak si pemilik keris atau keluarganya (sering disebut bisikan gaib atau wangsit), atau memberikan mimpi yang dimaksudkan menggambarkan sesuatu kejadian. Bila diberi mimpi, seringkali orang yang diberi mimpi tidak mengerti arti mimpinya atau mungkin lupa akan mimpinya setelah dia bangun tidur.

3. Membuat si pemilik keris atau anggota keluarganya sakit.

Biasanya sesudah kejadian 1 dan 2 di atas terjadi, tidak ada lagi kejadian yang berlanjut. Namun bila si pemilik keris belum juga tanggap akan arti maksudnya, bila apa yang akan disampaikan dianggap penting, maka cara ke 3 inilah yang sering dilakukan oleh si gaib keris.

Kejadian 1 sampai 3 di atas sering secara awam diartikan ada gangguan gaib atau gangguan dari si keris. Namun sebenarnya tidaklah selalu demikian. Seperti sudah Penulis jelaskan sebelumnya bahwa bila kita memiliki sesuatu keris ataupun benda gaib lain, sebaiknya kita mengerti dengan kegaibannya dan tanggap akan kejadian-kejadian gaib yang terjadi. Jadi adanya kejadian-kejadian di atas bukanlah selalu berarti gangguan gaib. Sebaiknya kita mempertajam kepekaan kita atau mengkonsultasikannya kepada yang mengerti.

Beberapa hal yang mungkin ingin disampaikan oleh si keris adalah :

* Si keris meminta diberi sesaji (atau mengingatkan sudah waktunya diberi sesaji).

* Si keris meminta kerisnya dibersihkan atau mungkin dijamas.

* Ada gaib atau orang yang berniat jahat kepada si pemilik keris / keluarganya.

* Ada musibah yang akan menimpa si pemilik keris / keluarganya (mengingatkan supaya waspada).

Siapakah yang menjadi pemilik sebenarnya dari sebuah keris?

Keris dan gaib / wahyu di dalamnya dikhususkan oleh si empu untuk si pemilik pertama (si pemesan). Oleh si empu pembuatnya, keris itu ditugaskan untuk mendampingi si pemilik pertama tersebut selama hidupnya. Dengan demikian, keris itu adalah milik si gaib keris itu sendiri (sebagai rumahnya) dan si pemilik pertama, secara bersama-sama.

Bila sebuah keris oleh pemiliknya diwariskan / diturunkan kepada anaknya, atau diberikannya kepada orang lain, belum tentu keris itu mau mengikut atau berkenan kepada orang yang kepadanya keris itu diberikan. Jadi, walaupun kita memiliki keris peninggalan orang tua secara turun-temurun, bukan berarti kita memilikinya dan boleh memindahtangankannya kepada siapa saja yang kita berkenan. Secara hukum manusia, fisik keris itu mungkin milik kita. Tetapi pemilik keris yang sebenarnya

adalah bukan kita pemiliknya.

Setelah si pemilik pertama tersebut meninggal, atau setelah keris itu oleh si pemilik pertama dipindahtangankan kepada orang lain, maka tugas dari keris tersebut telah selesai. Dengan meninggalnya si pemilik keris pertama, atau sesudah dipindahtangankan olehnya, maka kemudian keris itu mutlak menjadi milik si gaib keris itu sendiri (karena keris itu adalah rumahnya) dan keris tersebut bebas menentukan kepada siapa dia akan mengikut selanjutnya. Malah banyak keris-keris yang dahulu terkenal kesaktiannya, sekarang tidak ada lagi. Mereka telah moksa, kembali ke alam gaib bersama dengan fisik kerisnya.

Dengan telah meninggalnya si pemilik keris pertama, maka kemudian keris itu mutlak menjadi milik si gaib keris itu sendiri (karena keris itu adalah rumahnya). Dan kita, yang "merasa" memiliki / menyimpan keris itu, lebih tepat kiranya kalau kita disebut "ketempatan" sebuah keris. Dan karena kita dan keris itu "hidup bersama", mudah-mudahan kita dan keris itu dapat sejalan dan saling memberi manfaat. Namun bila ternyata tidak sejalan, ya sebaiknya berpisah saja, hidup sendiri-sendiri.

Langkah awal menilai baik / tidaknya sebuah keris bagi si pemilik

Banyak orang berpendapat bahwa keris yang terbaik untuk dimiliki adalah keris peninggalan orang tua atau sering disebut keris pusaka keluarga, yang diwariskan turun-temurun kepada anak keturunan. Walaupun banyak yang berpendapat demikian, tetapi menurut hemat penulis hal itu tidak selalu benar. Ada pemilik keris yang memperoleh / menyimpan keris peninggalan orang tua, tetapi justru banyak mengalami nasib buruk, misalnya anggota keluarganya sering sakit-sakitan, rejeki tidak lancar, sering dirundung nasib sial, kerapkali mengalami musibah / kecelakaan, sering bermimpi buruk, kerisnya kerap menimbulkan bunyi-bunyian aneh hingga mengganggu dan membuat takut seisi rumah, atau hal-hal buruk lainnya. Mengapa bisa terjadi yang demikian itu?

Masing-masing keris mempunyai tuah / kegaiban sendiri-sendiri, seperti untuk perlindungan, kesaktian, kekuasaan, rejeki, dsb. Tuah keris yang paling dasar adalah untuk perlindungan bagi si pemilik dari serangan gaib / kejahatan. Jadi, selain tuah untuk kesaktian, kekuasaan atau rejeki, keris juga memberikan tuah sebagai perlindungan bagi si pemilik. Namun tuah-tuah itu tidak begitu saja didapatkan oleh si pemilik keris, walaupun kerisnya itu adalah peninggalan orang tua. Harus ada ritual / proses untuk menyatukan gaib keris dengan pemiliknya dahulu sampai si keris benar-benar mau "mengikut" si pemilik keris. Setelah itu, barulah kemudian si keris mau memberikan tuahnya kepadanya. Bila tidak demikian, maka keris itu tidak akan memberikan tuah apapun kepadanya. Malah bisa jadi justru nasib jelek yang akan dialami oleh orang itu dan keluarganya.

Biasanya, bila si keris mau "ikut" dengan seseorang (pemilik keris), keris itu akan memberi mimpi kepada orang itu. Dalam mimpi itu, gaib keris akan menampakkan diri sebagai seseorang yang bersahabat dan akan menunjukkan, dalam bentuk penggambaran, tentang manfaat apa yang akan diberikan oleh si keris kepadanya.

Begitu juga sebaliknya, bila si keris tidak mau ikut, maka ia akan memberikan mimpi buruk kepadanya dan dalam mimpi itu si keris menggambarkan diri sebagai sesuatu yang menakutkan dan menjadi ancaman bagi si pemilik. Dengan demikian si pemilik keris harus bisa menerjemahkan arti dari mimpinya itu.

Keris akan berkomunikasi dengan pemiliknya dengan cara memberi mimpi kepada si pemilik / anggota keluarga si pemilik keris. Misalnya tentang dia mau ikut atau tidak, sesaji apa yang dia minta, sampai mengenai kejadian-kejadian penting yang akan dialami oleh si pemilik atau anggota keluarganya. Dengan demikian, si pemilik keris dan keluarganya harus cepat tanggap dan tidak menganggap mimpinya adalah mimpi biasa, karena mereka tidak sendiri lagi. Ada si keris yang senantiasa memperhatikan kehidupan mereka.

Bila si pemilik keris tidak pernah mendapatkan mimpi apa-apa, kemungkinan besar si keris tidak mau ikut dengannya dan tidak peduli kepadanya. Namun walaupun si pemilik tidak mendapatkan tanda apapun dari si keris, bukan berarti keberadaan keris itu aman-aman saja baginya. Karena bila ada perbuatan si pemilik yang tidak berkenan bagi si keris, bisa jadi si pemilik akan mengalami nasib buruk.

Jadi, memiliki / menyimpan keris peninggalan orang tua tidaklah selalu baik untuk kita. Mendapatkan keris dari orang lain atau "membeli" dari pedagang juga belum tentu tidak baik. Yang terpenting adalah keris yang kita miliki adalah yang sesuai dan sejalan dengan kita dan bermanfaat dalam kehidupan kita. Ini adalah langkah awal kita untuk menilai baik / tidaknya sebuah keris bagi kita.

Hal yang penting yang harus diperhatikan adalah bila anda mendapatkan tanda bahwa si keris tidak mau ikut dengan anda, maka kami menganjurkan supaya anda merelakan keris itu untuk dipindahtangankan kepada orang lain yang kira-kira si keris mau ikut dengannya. Jangan memaksakan diri untuk menyimpan keris itu. Hal-hal yang tidak sejalan dengan anda sebaiknya jangan anda paksakan untuk bersama anda, karena nantinya anda dan keluarga akan menjadi terbebani dengan keberadaannya.

Keris Luk Lima Sebagai Simbol Keningratan

Di tengah era globalisasi dan hiruk pikuk persoalan kebangsaan yang tak kunjung rampung, keris masih dianggap sebagai sebuah karya seni budaya yang berkaitan dengan sesuatu (kearifan lokal) yang bersifat spiritual. Keindahan spiritual berakar pada pandangan manusia terhadap sesuatu yang goib, segala sesuatu yang serba tak terlihat namun dapat dirasakan yang dapat kita kenal pada segala bentuk kepercayaan dan agama. Kalangan priyayi Jawa memandang keris atau tosan aji sebagai simbolisasi dari sebuah jabatan atau garis keturunan dari raja, seperti kata keris dari istilah Jawa ungkere waris, yang artinya menjadi simbol pewarisan bagi pemiliknya terhadap para leluhur. Nilai filosofi yang terkandung dalam tosan aji, tertuang secara implisit dari bentuk bilahnya, mulai dari motif pamor, tangguh atau masa pembuatan, jenis keris lajer(lurus) atau luk (berkelok-kelok), hingga kandungan makna dari maksud atau niat sang empu yang menciptakan maha karyanya berupa keris atau tosan aji (dhapur). Tosan aji tersebut pada umumnya merupakan suatu benda sakral dari manifestasi sebuah harapan, di dalamnya syarat nilai-nilai, doa-doa dan daya pikat batin. Senjata-senjata pusaka menjadi media komunikasi batin agar pemiliknya tetap selamat hidupnya (pengameng-ameng). Dengan motif dhapur, motif pamor, bahan besi, baja dan meteorit solah-olah menjadi harapan atas segala godaan yang bersifat fisik ataupun gaib di sekeliling manusia akan tersingkirkan.

Pada jaman kerajaan dulu di jawa, keris-keris ber-luk 5 hanya boleh dimiliki oleh raja, pangeran dan keluarga raja, para bangsawan yang memiliki kekerabatan atau memiliki garis keturunan raja, dan adipati / bupati saja. Orang-orang ningrat. Selain mereka, tidak ada orang lain yang boleh memiliki atau menyimpan keris ber-luk 5.

Demikianlah aturan yang berlaku di masyarakat perkerisan jaman dulu. Keris-keris ber-luk 5 hanya boleh dimiliki oleh orang-orang keturunan raja dan bangsawan kerabat kerajaan, memiliki kemapanan sosial dan menjadi pemimpin di masyarakat. Dengan kata lain, keris ber-luk 5 disebut juga Keris Keningratan.

Biasanya keris-keris ber-luk 5 dibuat untuk tujuan memberikan tuah yang menunjang wibawa kekuasaan dan supaya pemiliknya dicintai / dihormati banyak orang. Keris-keris jenis ini diciptakan untuk menjaga wibawa dan karisma keagungan kebangsawanan / keningratan, dihormati dan dicintai rakyat / bawahan, dan menyediakan kesaktian yang diperlukan untuk menjaga wibawa kebangsawanan itu.

Selain keris-keris ber luk 5, yang tergolong dalam jenis keris keningratan adalah pusaka-pusaka yang dulu menjadi lambang kebesaran sebuah kerajaan / kadipaten / kabupaten, yang hanya patut dimiliki oleh seorang raja, adipati, dan bupati jaman dulu atau keturunan mereka yang masih membawa sifat-sifat dan derajat leluhurnya itu. Selain itu, yang tergolong dalam jenis keris keningratan adalah keris-keris berdapur nagasasra yang hanya patut dimiliki oleh seorang raja dan anggota keluarga raja saja, dan keris-keris berdapur singa barong untuk kelas di bawahnya, yaitu untuk adipati / bupati dan keluarganya.

Sesuai tujuan awal pembuatannya yang hanya untuk dimiliki oleh kalangan ningrat, pada jaman sekarang pun keris-keris ber-luk 5 mengsyaratkan manusia pemiliknya adalah seorang keturunan bangsawan. Jika pemiliknya adalah orang yang tidak memiliki garis keturunan bangsawan, maka keris-keris itu hanya akan diam saja, pasif, tidak memberikan tuahnya.

Pada jaman sekarang jenis keris keningratan ini masih memberikan satu rangkaian tuah yang lengkap, yaitu tuah kesaktian dan wibawa kekuasaan, jika, dan hanya jika, keris-keris itu dimiliki oleh orang-orang yang sesuai dengan tuntutan kerisnya. Keris-keris yang bertuah keningratan dan kebangsawanan, misalnya keris-keris ber-luk 5, keris berdapur nagasasra atau singa barong, mengsyaratkan seorang pemilik yang memiliki garis keturunan ningrat / bangsawan, sesuai tujuan keris itu diciptakan. Keris-keris itu akan menjadikan manusia pemiliknya tampak elegan, berwibawa dan penuh karisma keagungan. Jika sudah terjadi keselarasan, keris-keris itu akan membantu mengangkat derajat pemiliknya kepada derajat yang tinggi dan kemuliaan.

Tetapi jika persyaratan kondisi status pemiliknya tidak terpenuhi, maka keris-keris itu hanya akan diam saja, pasif, tidak akan memberikan tuahnya dan tidak menunjukkan penyatuannya, karena pribadi pemiliknya tidak sesuai dengan peruntukkan kerisnya.

Keris-keris ber-luk 5 dan keris-keris keningratan lainnya, biasanya hanya akan diam saja, pasif, tidak memberikan tuahnya dan tidak menunjukkan penyatuannya dengan pemiliknya jika si pemilik keris bukan keturunan ningrat dan tidak menghargai keningratan. Kondisi tersebut menjadikan keris-keris ber-luk 5 dan keris-keris keningratan lainnya sebagai keris-keris khusus yang tidak semua orang cocok memilikinya dan tidak semua orang bisa mendapatkan manfaat dari keris-keris itu.

Seperti halnya sempana bungkem luk tujuh, keris Pendawa Cinarita luk lima juga dipercaya mempunyai tuah untuk membungkam lawan bicara (lancar berkomunikasi) dan disenangi orang-orang sekitarnya dalam pergaulan (luwes bergaul) hingga banyak diburu orang-orang perkotaan yang mempunyai profesi sebagai artis, sales, MC, pengacara, notaris, jaksa dan lain-lain yang dalam kegiatan/profesinya  berhubungan langsung dengan orang banyak.

Inspirasi bisa datang dari manapun. Bisa dari siapa dan apa saja, tak terbatas seperti halnya keris Pendawa Cinarita. Pendawa bisa diartikan sebagai pandalaman wawasan dan cinarita adalah karakter heroik dari lima bersaudara. Rasanya, nyaris setiap orang mengetahui kisah pendawa lima. Pendawa lima adalah penggambaran manusia. Penggambaran bagaimana kematangan seseorang dalam bersikap. Namun sebenarnya manusia, melewati fase lima tingkat ini, dimulai dari yang terkecil.

Sadewa. Orang yang berada di fase ini, adalah mereka-mereka yang merasa bak dewa. Hebat atau merasa ‘paling’. Tak ada yang salah dengan orang yang merasa hebat. Hanya saja, biasanya orang yang sungguh-sungguh hebat, tidaklah merasa. Seperti paweling Jawa : “ojo rumongso biso, nanging biso‘o rumongso” artinya “jangan merasa bisa, tapi bisalah merasa” (tahu diri).

Nakula. Ini adalah tahapan saat seseorang mulai banyak berpikir (kritis). Banyak mempertanyakan tentang peristiwa dan apapun. Isi kepalanya selalu penuh tanda tanya. Bukan karena ia tidak mengerti akan banyak hal, namun karena ada kegelisahan dalam hati, menuntut jawaban atas setiap remah cerita penuh misteri yang ditawarkan semesta. Selalu mengedepankan rasio.

Arjuna. Kaum hawa tentu fasih mengenal nama ini. Arjuna digambarkan sebagai orang yang ala kadarnya. Hanya memakai jubah, tak memakai perhiasan untuk menarik perhatian. Sosoknya menarik, bukan karena ketampanan lahiriah. Fase ini menggambarkan manusia seperti cawan yang kosong dan siap menampung ilmu kehidupan. Ia akan membiarkan diri kosong agar bisa menerima banyak hal. Ia akan menarik dengan sifatnya yang rendah hati. Seperti padi, berisi namun tetap akan selalu menunduk. Mungkin ini kalimat yang tepat untuk menggambarkannya.

Bima. Dalam kisah pewayangan, fase ini memiliki cerita paling panjang. Fase ini adalah masa mencari jati diri secara mendalam. Manusia menerjemahkan visi dan berusaha mencapainya. Bisa lari ke puncak tertinggi, atau menyelam ke dasar laut terdalam. Ini adalah masa mencari tujuan hidup dan meresapi saripati hidup. Bima digambarkan memakai kalung ular, menggambarkan seorang yang bijak sekalipun mungkin pernah menjadi jahat. Masa lalu yang buruk tidak untuk dihilangkan dan dilupakan, di kubur di tempat terdalam. Masa lalu yang buruk, sebaiknya menjadi pengingat, seseorang pernah melakukan kesalahan, cukup diingat tidak untuk diulang. Berdamailah dengan masa lalu, tak perlu menutupinya.

Yudhistira. Ini adalah fase kematangan kepribadian. Tahap ini adalah masa dimana seseorang benar-benar telah mampu menyerap ilmu kehidupan. Konon Yudhistira juga seorang yang tak pernah berbohong. Kesombongan bisa jadi sudah tak ada dalam dirinya. Ia belajar memahami tidak lagi menghakimi.

Jadi, sudah ada di tahap manakah Anda?